PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi
pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga
menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk memperbaiki umat di bidang
akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki prinsip yang
sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat.
Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok
untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping
itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan
perjalannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian
hikmah tasyri’ (pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah
tasyri’ pada periode yang lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah,
rahmat dan ilmuNya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun
hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain
untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang
yang pertama dan yang terkemudian.
B. Rumusan Masalah
Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya dikatakan
nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat
ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga
dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.
Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan:
Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan
batas tertentu, seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia
dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di
dalamnya.
Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan
mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan sebutan al-
badadiperselisihkan dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap
kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada
dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap kenabian dan kitab
sucinya. Yahudi dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh
mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah,
naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh dan
mansukh telah diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut
bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang
lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala
milikNya.
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan
tentang hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terdapat
banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada
suatu hari, ia bertanya pada seorang hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yang
mansukh?” “Tidak” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan
mencelakakan orang lain.”
Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
a) Keterangan tegas dari Nabi
b) Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
c) Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
3. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh
َ ان فَ َم ْن
ش ِه َد ِ َاس َو َبيِنَات ِمنَ ْال ُه َدى َو ْالفُ ْرق ِ َّآن ُهدًى ِللن ُ ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْر َ ش ْه ُر َر َم َ
َللاُ ِب ُك ُم َّ سفَر فَ ِعدَّة ِم ْن أَيَّام أُخ ََر ي ُِري ُد َ علَى َ ضا أ َ ْو ً ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِري ُ َش ْه َر فَ ْلي
َّ ِم ْن ُك ُم ال
علَى َما َه َدا ُك ْم َو َل َعلَّ ُك ْم َ َّ ْاليُس َْر َو َل ي ُِري ُد ِب ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْك ِملُوا ْال ِع َّدة َ َو ِلت ُ َك ِب ُروا
َ َللا
َت َ ْش ُك ُرون
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata
“hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian,
diantaranya:
Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
Memelihara kepentingan hamba
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan
perkembangan kondisi umat manusia
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal
dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena
hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl :101)
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan
paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun
meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan
sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya…” (Al-Baqarah :106)