Anda di halaman 1dari 21

Al Nasikh Wal Mansukh

Diajukan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Ulumul Qur'an


Dosen Pengampu:
Dr. Supangat, M.Pd.I.

Disusun Oleh :
1. Lutvi Kharisma (2386232018)
2. Putri Puspita Sari (2386232025)
3. Naila Musfika (2386232029)
4. Fitri Wulandari (2386232043)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH


IBTIDAIYAH FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NURUL HUDA
OGAN KOMERING ULU TIMUR
2023

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

A. PENDAHULUAN.........................................................................................1

B. PEMBAHASAN............................................................................................2
1. Pengertian Nasikh Wal Mansukh............................................................2
2. Rukun dan Syarat Naskh.........................................................................4
3. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh............................................................5
4. Hikmah Nasikh Dan Mansukh................................................................8
5. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh.....................................8
C. Kesimpulan.................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

ii
A. Pendahuluan
Al-qur’an bersumber dari Allah, baik lafaz maupun maknanya, maka di
dalamnya tidak akan ditemukan kontradiksi. Dan berdasarkan ayat ini pula
umat islam memegang teguh prinsip dan meyakini kebenarannya. Namun
demikian, jika ditemukan adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an, hal ini
disebabkan pemahaman para ulama yang berbeda dalam memahami ayat yang
seolah-olah (secara zahir) menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah
muncul adanya pembahasan nasikh mansukh.
Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa para ulama telah
menyepakati tidak ditemukan ikhtikaf (kontradiksi) dalam kandungan ayat-ayat
Al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai memiliki
gejala kontradiksi, mereka mempromosikannya. Hal tersebut dilakukan oleh
salah satu pihak tanpa menyatakan adanya alat yang telah dibatalkan, dihapus,
atau bahkan tidak berlaku lagi. Tetapi, ada pula yang menyatakan bahwa ayat
yang turun kemudian telah membatalkan ayat sebelumnya, akibat perubahan
kondisi sosial.

1
B.PEMBAHASAN

1. Pengertian Nasikh Wal Mansukh


Al-Qattan berkata, istilah nasikh menurut bahasa berarti izalah yakni
menghilangkan. Misalnya nasakhati ayamsu az-zilla ( matahari menghilangkan
bayang-bayangan ). Selanjutnya, Al-Qattan menyebutkan bahwa kata nasikh
juga dipergunakan untuk menghapuskan jejak pertahanan. Juga bermakna
memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
Lebih lanjut Rosihin Anwar dengan mengutip beberapa ulama ulumul
qur’an, seperti Az-Zarqani As-Suyuthi bahwa selain bermakna tersebut diatas,
nasikh juga bermakna tabdil yang artinya penggantian, tahwil yang berarti
memalingkan, dan naql yang berarti memindahkan dari suatu tempat ke tempat
yang lain.
Menurut Quraish Shihab, secara etimologis kata nasikh dipakai untuk
beberapa makna, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan sesuatu
dari suatu wadah ke wadah yang lain. Oleh karena sesuatu yang bermakna
yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya, dinamai
nasikh. Adapun yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya
dinamakan mansukh.1
Adapun pengertian nasikh sacara termonologis (istilah) sebagaimana
dikemukakan oleh Manna’khalil al-qattan adalah mengangkat(menghapuskan)
hukum syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang
mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab
syarak pula. Maksud menghapuskan di sini adalah terputusnya hubungan
hukum yang dihapus dari seseorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi
hukum itu sendiri.
Para ulama mutaqadimin yakni para ulama yang hidup sekitar abad ke-1
sampai dengan abad ke-3 hijriah, sebagaimana dikemukakan oleh Asy-
Syaitibi
1
( Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al Qur’an),Bandung:
CV Arfino Raya,2015,Hlm. 108 )

2
dalam Al-Mufawaqat Fi Usul Asy-Syari’ahb yang dikutip oleh Quraish Shihab,
memperluas makna nasikh sehingga mencakup beberapa hal berikut :
a) Pembatalan hukum yang ditetapakan terdahulu oleh hukum yang
ditetapakan kemudian;
b) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian;
c) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar,
d) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Abd. Azhim al-Zarqaniy, seperti juga yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab, diantara mereka ada yang beranggapan,
bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi
tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda. Misal,
perintah untuk bersabar dan menahan diri, pada periode Makkah disaat kaum
muslimin masih dalam keadaan lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah
atau izin berperang pada periode Madinah.2
Sementara itu, para ulama mutaakhirin (para ulama yang datang
kemudian sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa nasikh itu
terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah hal yang ditetapkan
diakhir.
Dalam pandangan kelompok yang pro-nasakh mensinyalir, bahwa
penetapan maupun pencabutan suatu hukum oleh al-Qur’an terhadap ayat al-
Qur’an lain didasarkan oleh pertimbangan kemaslahatan. Sehingga, dalam
konteks ini, ada yang menganalogikannya dengan turunnya al-Qur’an kepada
nabi secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an, diturunkan oleh Allah sesuai
dengan realitas yang berkembang serta memperhatikan kesanggupan umat
manusia yang mukallaf terhadap pesan yang dibawa oleh al-Qur’an itu sendiri.
2
( Dr. Usman, M.Ag. Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009) Hal. 259.)
3
( Ibid, hal.261.)

3
Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat
atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan,
atau dipindahkan.

2. Rukun dan Syarat Naskh


Rujun nashk:
a) Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b) Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat
hukum dan Dia pula lah yang menghapusnya.
c) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
d) Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh adalah
a) Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c) Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti
dinaskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d) Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:
a) Seluruh khabar/aqidah baik dalam al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab,
pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri pula. Sedangkan
al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mungkin berbohong.
b) Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.
4
( Al-Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Hal.165-166.)

4
3. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam al-Qur’an dibagi
menjadi empat macam yaitu:
a) Naskh Sharih
Yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal
yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:

‫ٰٓيَاُّيَها الَّنِبُّي َح ِّر ِض اْلُم ْؤ ِمِنْيَن َع َلى اْلِقَتاِۗل ِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم ِع ْش ُرْو َن ٰص ِبُرْو َن َيْغ ِلُبْو ا ِم اَئَتْيِۚن َو ِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم‬
‫ِّم اَئٌة َّيْغ ِلُبْٓو ا َاْلًفا ِّم َن اَّلِذ ْيَن َكَفُرْو ا ِبَاَّنُهْم َقْو ٌم اَّل َيْفَقُهْو َن‬

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika


ada dua pulub orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang
sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab
orang- orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al-Anfal:65)

Yang kemudian dinasakh oleh ayat selanjutnya

‫َاْلٰٔـ َن َخ َّفَف ُهّٰللا َع ْنُك ْم َو َع ِلَم َاَّن ِفْيُك ْم َض ْع ًفۗا َفِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم ِّم اَئٌة َص اِبَر ٌة َّيْغ ِلُبْو ا ِم اَئَتْيِۚن َو ِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم َاْلٌف‬
‫َّيْغ ِلُبْٓو ا َاْلَفْيِن ِبِاْذ ِن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َم َع الّٰص ِبِر ْيَن‬
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula
bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika diantara kamu ada
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang yang
sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (QS.
Al-Anfal:66)

b) Naskh Dhimmy
Yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-
ayat terdahulunya. Contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat
bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat al-Baqarah 180.

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َحَض َر َاَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخ ْيًر ۖا ࣙ اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن‬
‫َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقْيَۗن‬
5
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk
berwasiat bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”

Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis


“la wahiyyah li waris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
c) Nash Kully
Yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contoh: ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah
ayat 234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 di surat
yang sama.
d) Naskh Juz’iy
Yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya,
hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya
saksi pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu
bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.5
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam
Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga:
a) Penghapusan Hukum dan Bacaan Secara Bersamaan (Nasikh Al-Hukmi wa
At-Tilawah Ma’a)
Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca
dan diamalkan. Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari
Aisyah r.a

"Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang


diturunkan dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali susuan yang maklum
(jelas diketahui) itu menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini
dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai Rasulullah
SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an yang dibaca."
(H.R. Muslim)
Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak
ada lagi di dalam Al-Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat
5
( Ibid, hal. 173-175 )

6
tentang radha’ah itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai
Rasulullah SAW wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah di
nasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di dalam mushaf
‘Utsmani’.
b) Penghapusan Terhadap Hukumnya Saja, Sedangkan Bacaan Tetap Ada
(Nasikh Al-Hukmi wa Tilawatuha Yabqa)
Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikin
kepada orang-orang muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus
oleh ayat qital. Contoh nasikh jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12)
dinasakh oleh surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanya
hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam mushf ‘Utsmani’.

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا ُنْٓو ا ِاَذ ا َناَج ْيُتُم الَّر ُسْو َل َفَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد ْي َنْج ٰو ىُك ْم َص َد َقًۗة ٰذ ِلَك َخْيٌر َّلُك ْم َو َاْطَهُۗر‬
‫َم‬
‫َفِاْن َّلْم َتِج ُد ْو ا َفِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِح ْيٌم‬

"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus


dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan
lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-
Mujâdilah 58: 12)

‫َء َاْش َفْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد ْي َنْج ٰو ىُك ْم َص َد ٰقٍۗت َفِاْذ َلْم َتْفَع ُلْو ا َو َتاَب ُهّٰللا َع َلْيُك ْم َفَاِقْيُم وا الَّص ٰل وَة‬
‫۝‬١٣ ‫َو ٰا ُتوا الَّز ٰك وَة َو َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َر ُسْو َلۗٗه َو ُهّٰللا َخ ِبْيٌرۢ ِبَم ا َتْع َم ُلْو َࣖن‬

"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu


memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan
Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 13)

Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin


sebagai syarat untuk rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat
13 berikutnya sebagai keringanan bagi umat.

7
c) Penghapusan Terhadap Tilawah atau Bacaanya Saja, Sedangkan Hukumnya
Tetap Berlaku (Nasikh At-Tilawah, wa Hukmuha Yabqa)

8
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin
khatab dan ubayya ibn ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang
pernah diturunkan adalah ayat:
"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina
maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (H. R. Ibnu Hibban
dan Ibn Majah)

Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh


sehingga tidak ditemukan dalam mushaf ‘Utsmani’.6

4. Hikmah Nasikh Dan Mansukh


Hikmah keberadaan Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
a) Memelihara kepentingan hamba.
b) Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
c) Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d) Menghendaki kebaikan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke
hal yang mengandung kemudahan dan keringanan.
Pengetahuan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang
mansuh,disamping dapat membantu seseorang didalam memahami konteks
diturunkannya.7

5. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh


Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh
mansukh dan ada pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini
memberikan argumentasinya masing-masing, sebagaimana dijelaskan berikut
ini:
6
( Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta, ITQAN Publishing, 2014, Hlm 181-185)
7
(Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. Ulum Al-Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Hal. 179.)

9
a) Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an
Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh
dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman
Ar-Raji.
Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi,
tetapi tidak mungkin terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-
ashafani sebagaimana dikutip ash-shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-
qur’an dan ada ayat yang telah dimansukh berarti membatalkan sebagian
isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa dalam Alquran ada yang
batal atau salah. Oleh karena itu, ia dengan tegas menolak sepenuhnya
nasikh
dalam Alquran. Hal ini berdasarkan ayat Alquran “

‫ا َيْأِتْيِه اْلَباِط ُل ِم ْۢن َبْيِن َيَد ْيِه َو اَل ِم ْن َخ ْلِفٖه ۗ َتْنِز ْيٌل ِّم ْن َحِكْيٍم َحِم ْيٍد‬

Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari
belakang (pada masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan
yang bijaksana, maha terpuji.” (QS Fushilat :41-42)

Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu


syariat yang diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia
sepanjang masa, maka tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang
mansukh. Kalau sunnah boleh saja dinasikh, karena ia sebagiannya datang
untuk seketika saja, lalu dinasikh dengan sunnah yang datang sesudahnya.
Dan mengingatkan bahwa kandungan Alquran bersifat kulliyah (general),
bukan juziyyah (lebih khusus). Hukum-hukum yang diterangkan juga
bersifat ijmali (umum), bukan secara tafsili (terperinci). Dengan demikian,
menurutnya hukum-hukum Alquran tidak akan ada yang dibatalkan atau
dinasikh untuk selamanya. Dan ayat-ayat tentang nasikh semua ia tasiskan.
Adanya kelompok ulama yang menolak adanya nasikh dalam Alquran
ini, karena mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata (ayat) yang
terdapat dalam surat (Albaqarah ayat 106) di atas. Mereka mengatakan
bahwa ayat yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Selanjutnya untuk
memperkuat argumentasi ini, mereka mengemukakan firman Allah yang
10
artinya sebagai berikut “Tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik

11
dari depan maupun dari belakangnya, (karena) ia diturunkan dari Tuhan
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).
Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak
mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa
keberatan terhadap pendapat al-Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut
tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang
merupakan lawan dari “kebenaran”. Juga, menurut mereka, hukum
Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum
itu batil, sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu
menjadi tidak benar. Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa
semua ayat al- Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak
kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada waktu yang lain akan tetap
berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa
yang ditunjuk oleh ayat yang
bersangkutan.8
b) Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk
memperkuat pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai
argumentasi, baik yang bersifat aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah
(berasal dari Alquran) :
a. Bahwa perbuatan – perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan
tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan
melarang pada sewaktu-waktu yang lain. Karena hanya Dia-lah yang
lebih mengetahui kepentingan hukumnya.
b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas
dan terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman
Allah berikut.“

۞ ‫َم ا َنْنَس ْخ ِم ْن ٰا َيٍة َاْو ُنْنِسَها َنْأِت ِبَخْيٍر ِّم ْنَهٓا َاْو ِم ْثِلَهاۗ َاَلْم َتْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِد ْيٌر‬
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari
ingatan,pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya.
8
(Ibid, Hal. 169-172.)
12
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”
(Q.S.Al-Baqarah {2{:106)

‫َيْم ُحوا ُهّٰللا َم ا َيَش ۤا ُء َو ُيْثِبُت ۚ َو ِع ْنَد ٓٗه ُاُّم اْلِكٰت ِب‬
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan
di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab.” (Q.S.A Rad{13}:39)

Berdasarkan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam Al-Qur’an


itu terdapat nasikh. Dan menurut mereka maksud kata ”ayat” yang di-nasikh
itu adalah ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.
Gagasan lain yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung
adanya nasikh dalam Al-Qur’an adalah penerapan perintah-perintah tertentu
kepada kaum muslimin di dalam Al-Qur’an hanya bersifat sementara dan
jika keadaan telah berubah, perintah dihapus dan diganti dengan perintah
yang baru. Akan tetapi, karena perintah-perintah itu adalah kalam Allah ia
harus dbaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Selanjutnya, para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-
Qur’an didukung oleh berbagai dalil (argumentari) yang kuat. Diantara
dalil- dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut.
a. Nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan
setiap yang tidak dilarang berarti boleh.
b. Seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh,
syar’i tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, dengan
perintah sementara dan melarang dengan larangan sementara pula.
c. Seandainya nasikh tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut
sam’iyat, tidak akan ditetapkan risalah Muhammad saw. Kepada
seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah berlaku
untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti.
d. Terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nasikh. Oleh
karena itu, keadaan terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh
bertambah (al-jawad wa az-ziyadah).9

9
(Ibid,Hal 170-171.)

13
Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-
nasikh itu masih tetap ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum.
Dengan demikian, menurut para pendukung nasikh, hukum Tuhan yang di-
nasikh atau dibatalkan (diganti) bukan berarti batil, sebagamana
dikemukakan oleh Al- Asfahani. Sesuatu yang dibatalkan pengggunanya,
karena ada perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan
berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika diberlakukan merupakan sesuatu
yang tidak benar. Dengan demikian, yang dibatalkan dan membatalkan
adalah hak dan benar, bukan batil.
Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para
ahli disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn
Kasir, Al-Maragi, dan Al-Asfahani memiliki perbedaan diametral dalam
memandang persoalan nasikh. Ibn Kasir dan Al-Marag menetapkan adanya
pembatalan hukum dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Asfahani dengan
tegas menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan
meskpun pada umumnya dia sepakat tentang adanya, (a) pengecualian Ibn
Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-
Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena
menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-
Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang
bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang emudian, (b)
penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu, (c) penetapan
syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan
Al- Asfahani mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan)
karena menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam
Al- Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-an. Dengan
demikian, menurutnya, takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan dari
satua-satuan yang tercakup dalam lafadz yang ‘amm.

14
Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak
adanya nasikh dalam arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil”
yang bermakna penggantian, pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat
ayat hukum yang lain. Dengan demikian, pemahaman Abduh di sini sama
dengan sebagian definisi nasikh diatas, yakni “pemindahan sesutu dari satu
wadah ke wadah yang lain.” Berdasarkan pendapatnya ini, seua ayat Al-
Qur’an tetap berlaku, dan di dalamnya tidak ada kontadiksi, yang ada
hanyalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena
kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku
lagi baginya tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama
dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat
membantu dakwah Islam sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap
dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan
kondisi umat Islam pada masa awal Islam.10
As-Suyuthi memberikan contoh-contoh naskh dalam beberapa Surat,
antara lain sebagai berikut: Surat Al-Baqarah 184 mansûkhah dengan Al-
Baqarah 185:

ۗ ‫َو َع َلى اَّلِذ ْيَن ُيِط ْيُقْو َنٗه ِفْد َيٌة َطَع اُم ِم ْس ِكْيٍۗن‬
"…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin..." (Q.S. Al-Baqarah 2: 184)

‫َفَم ْن َش ِهَد ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُه‬


"…Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…"
(Q.S. Al-Baqarah 2: 185)

Surat Ali 'Imrân 102 mansûkhah dengan Surat At-Taghâbun 6:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنوا اَّتُقوا َهّٰللا َح َّق ُتٰق ىِتٖه َو اَل َتُم ْو ُتَّن ِااَّل َو َاْنُتْم ُّم ْس ِلُم ْو َن‬

'Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-


benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam…" (Q.S. Ali 'Imrân 3:102)

‫اَّتُقوا َهّٰللا َم ا اْس َتَطْع ُتْم‬


10
(Ibid. Halaman 109-112)
15
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu …
(Q.S. At-Taghâbun 64: 16)

Beberapa contoh di atas cukuplah untuk menggambarkan bahwa


memang sebagian ulama terlalu mudah memutuskan adanya nâsikh
mansûkh sebelum menyelidiki lebih mendalam apa memang ada ta'ârudh
haqîqi antara dua ayat tersebut. Contoh yang terakhir dikutip di atas
misalnya belum memenuhi syarat untuk dinyatakan nâsikh mansûkh, karena
kedua-keduanya tidak betulbetul bertentangan. Ayat pertama (Ali 'Imrân
102) adalah perintah bertaqwa yang bersifat umum, sementara ayat yang
kedua (AtTaghâbun 16) adalah ketentuan khusus apabila tidak mampu
bertaqa sepenuhnya.
Dalam Tafsîr Al-Manâr dijelaskan bahwa ada yang mengira Surat Ali
'Imrân 102 mansûkhah dengan Surat At-Taghâbun 16. Ibn Jarîr
meriwayatkan dari Ibn Mas'ûd bahwa yang dimaksud dengan perintah
bertaqwa benar-benar bertaqwa itu adalah, Allah ditaati sepenuhnya tidak
boleh durhaka sedikitpun; Allah diingat sepenuhnya tidak boleh dilupakan
sedikitpun; dan nikmat dari Allah disyukuri sepenuhnya tidak boleh kufur
sedikitpun.

16
C. Kesimpulan
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum
syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang
mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab
syarak pula. Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang
diangkat atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan,
dihapuskan, atau dipindahkan.
Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian yang
menghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya
Nasikh dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan
Iman Ar-Raji. Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam
Alquran yang diikuti oleh mayoritas jumhur ulama.

17
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, 2015, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al
Qur’an),Bandung: CV Arfino Raya.

Ilyas, Yunahar, 2014, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta, ITQAN Publishing.

Usman, Ulumul Qur’an. 2009.Yogyakarta, Penerbit Teras,

Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an. 2007.Bandung, Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai