Disusun Oleh :
1. Lutvi Kharisma (2386232018)
2. Putri Puspita Sari (2386232025)
3. Naila Musfika (2386232029)
4. Fitri Wulandari (2386232043)
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
A. PENDAHULUAN.........................................................................................1
B. PEMBAHASAN............................................................................................2
1. Pengertian Nasikh Wal Mansukh............................................................2
2. Rukun dan Syarat Naskh.........................................................................4
3. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh............................................................5
4. Hikmah Nasikh Dan Mansukh................................................................8
5. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh.....................................8
C. Kesimpulan.................................................................................................15
ii
A. Pendahuluan
Al-qur’an bersumber dari Allah, baik lafaz maupun maknanya, maka di
dalamnya tidak akan ditemukan kontradiksi. Dan berdasarkan ayat ini pula
umat islam memegang teguh prinsip dan meyakini kebenarannya. Namun
demikian, jika ditemukan adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an, hal ini
disebabkan pemahaman para ulama yang berbeda dalam memahami ayat yang
seolah-olah (secara zahir) menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah
muncul adanya pembahasan nasikh mansukh.
Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa para ulama telah
menyepakati tidak ditemukan ikhtikaf (kontradiksi) dalam kandungan ayat-ayat
Al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai memiliki
gejala kontradiksi, mereka mempromosikannya. Hal tersebut dilakukan oleh
salah satu pihak tanpa menyatakan adanya alat yang telah dibatalkan, dihapus,
atau bahkan tidak berlaku lagi. Tetapi, ada pula yang menyatakan bahwa ayat
yang turun kemudian telah membatalkan ayat sebelumnya, akibat perubahan
kondisi sosial.
1
B.PEMBAHASAN
2
dalam Al-Mufawaqat Fi Usul Asy-Syari’ahb yang dikutip oleh Quraish Shihab,
memperluas makna nasikh sehingga mencakup beberapa hal berikut :
a) Pembatalan hukum yang ditetapakan terdahulu oleh hukum yang
ditetapakan kemudian;
b) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian;
c) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar,
d) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Abd. Azhim al-Zarqaniy, seperti juga yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab, diantara mereka ada yang beranggapan,
bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi
tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda. Misal,
perintah untuk bersabar dan menahan diri, pada periode Makkah disaat kaum
muslimin masih dalam keadaan lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah
atau izin berperang pada periode Madinah.2
Sementara itu, para ulama mutaakhirin (para ulama yang datang
kemudian sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa nasikh itu
terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah hal yang ditetapkan
diakhir.
Dalam pandangan kelompok yang pro-nasakh mensinyalir, bahwa
penetapan maupun pencabutan suatu hukum oleh al-Qur’an terhadap ayat al-
Qur’an lain didasarkan oleh pertimbangan kemaslahatan. Sehingga, dalam
konteks ini, ada yang menganalogikannya dengan turunnya al-Qur’an kepada
nabi secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an, diturunkan oleh Allah sesuai
dengan realitas yang berkembang serta memperhatikan kesanggupan umat
manusia yang mukallaf terhadap pesan yang dibawa oleh al-Qur’an itu sendiri.
2
( Dr. Usman, M.Ag. Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009) Hal. 259.)
3
( Ibid, hal.261.)
3
Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat
atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan,
atau dipindahkan.
4
3. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam al-Qur’an dibagi
menjadi empat macam yaitu:
a) Naskh Sharih
Yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal
yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
ٰٓيَاُّيَها الَّنِبُّي َح ِّر ِض اْلُم ْؤ ِمِنْيَن َع َلى اْلِقَتاِۗل ِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم ِع ْش ُرْو َن ٰص ِبُرْو َن َيْغ ِلُبْو ا ِم اَئَتْيِۚن َو ِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم
ِّم اَئٌة َّيْغ ِلُبْٓو ا َاْلًفا ِّم َن اَّلِذ ْيَن َكَفُرْو ا ِبَاَّنُهْم َقْو ٌم اَّل َيْفَقُهْو َن
َاْلٰٔـ َن َخ َّفَف ُهّٰللا َع ْنُك ْم َو َع ِلَم َاَّن ِفْيُك ْم َض ْع ًفۗا َفِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم ِّم اَئٌة َص اِبَر ٌة َّيْغ ِلُبْو ا ِم اَئَتْيِۚن َو ِاْن َّيُك ْن ِّم ْنُك ْم َاْلٌف
َّيْغ ِلُبْٓو ا َاْلَفْيِن ِبِاْذ ِن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َم َع الّٰص ِبِر ْيَن
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula
bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika diantara kamu ada
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang yang
sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (QS.
Al-Anfal:66)
b) Naskh Dhimmy
Yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-
ayat terdahulunya. Contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat
bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat al-Baqarah 180.
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َحَض َر َاَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخ ْيًر ۖا ࣙ اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن
َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقْيَۗن
5
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk
berwasiat bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
6
tentang radha’ah itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai
Rasulullah SAW wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah di
nasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di dalam mushaf
‘Utsmani’.
b) Penghapusan Terhadap Hukumnya Saja, Sedangkan Bacaan Tetap Ada
(Nasikh Al-Hukmi wa Tilawatuha Yabqa)
Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikin
kepada orang-orang muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus
oleh ayat qital. Contoh nasikh jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12)
dinasakh oleh surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanya
hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam mushf ‘Utsmani’.
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا ُنْٓو ا ِاَذ ا َناَج ْيُتُم الَّر ُسْو َل َفَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد ْي َنْج ٰو ىُك ْم َص َد َقًۗة ٰذ ِلَك َخْيٌر َّلُك ْم َو َاْطَهُۗر
َم
َفِاْن َّلْم َتِج ُد ْو ا َفِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِح ْيٌم
َء َاْش َفْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد ْي َنْج ٰو ىُك ْم َص َد ٰقٍۗت َفِاْذ َلْم َتْفَع ُلْو ا َو َتاَب ُهّٰللا َع َلْيُك ْم َفَاِقْيُم وا الَّص ٰل وَة
١٣ َو ٰا ُتوا الَّز ٰك وَة َو َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َر ُسْو َلۗٗه َو ُهّٰللا َخ ِبْيٌرۢ ِبَم ا َتْع َم ُلْو َࣖن
7
c) Penghapusan Terhadap Tilawah atau Bacaanya Saja, Sedangkan Hukumnya
Tetap Berlaku (Nasikh At-Tilawah, wa Hukmuha Yabqa)
8
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin
khatab dan ubayya ibn ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang
pernah diturunkan adalah ayat:
"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina
maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (H. R. Ibnu Hibban
dan Ibn Majah)
9
a) Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an
Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh
dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman
Ar-Raji.
Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi,
tetapi tidak mungkin terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-
ashafani sebagaimana dikutip ash-shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-
qur’an dan ada ayat yang telah dimansukh berarti membatalkan sebagian
isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa dalam Alquran ada yang
batal atau salah. Oleh karena itu, ia dengan tegas menolak sepenuhnya
nasikh
dalam Alquran. Hal ini berdasarkan ayat Alquran “
ا َيْأِتْيِه اْلَباِط ُل ِم ْۢن َبْيِن َيَد ْيِه َو اَل ِم ْن َخ ْلِفٖه ۗ َتْنِز ْيٌل ِّم ْن َحِكْيٍم َحِم ْيٍد
Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari
belakang (pada masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan
yang bijaksana, maha terpuji.” (QS Fushilat :41-42)
11
dari depan maupun dari belakangnya, (karena) ia diturunkan dari Tuhan
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).
Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak
mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa
keberatan terhadap pendapat al-Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut
tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang
merupakan lawan dari “kebenaran”. Juga, menurut mereka, hukum
Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum
itu batil, sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu
menjadi tidak benar. Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa
semua ayat al- Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak
kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada waktu yang lain akan tetap
berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa
yang ditunjuk oleh ayat yang
bersangkutan.8
b) Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk
memperkuat pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai
argumentasi, baik yang bersifat aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah
(berasal dari Alquran) :
a. Bahwa perbuatan – perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan
tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan
melarang pada sewaktu-waktu yang lain. Karena hanya Dia-lah yang
lebih mengetahui kepentingan hukumnya.
b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas
dan terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman
Allah berikut.“
۞ َم ا َنْنَس ْخ ِم ْن ٰا َيٍة َاْو ُنْنِسَها َنْأِت ِبَخْيٍر ِّم ْنَهٓا َاْو ِم ْثِلَهاۗ َاَلْم َتْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِد ْيٌر
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari
ingatan,pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya.
8
(Ibid, Hal. 169-172.)
12
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”
(Q.S.Al-Baqarah {2{:106)
َيْم ُحوا ُهّٰللا َم ا َيَش ۤا ُء َو ُيْثِبُت ۚ َو ِع ْنَد ٓٗه ُاُّم اْلِكٰت ِب
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan
di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab.” (Q.S.A Rad{13}:39)
9
(Ibid,Hal 170-171.)
13
Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-
nasikh itu masih tetap ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum.
Dengan demikian, menurut para pendukung nasikh, hukum Tuhan yang di-
nasikh atau dibatalkan (diganti) bukan berarti batil, sebagamana
dikemukakan oleh Al- Asfahani. Sesuatu yang dibatalkan pengggunanya,
karena ada perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan
berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika diberlakukan merupakan sesuatu
yang tidak benar. Dengan demikian, yang dibatalkan dan membatalkan
adalah hak dan benar, bukan batil.
Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para
ahli disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn
Kasir, Al-Maragi, dan Al-Asfahani memiliki perbedaan diametral dalam
memandang persoalan nasikh. Ibn Kasir dan Al-Marag menetapkan adanya
pembatalan hukum dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Asfahani dengan
tegas menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan
meskpun pada umumnya dia sepakat tentang adanya, (a) pengecualian Ibn
Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-
Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena
menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-
Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang
bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang emudian, (b)
penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu, (c) penetapan
syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan
Al- Asfahani mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan)
karena menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam
Al- Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-an. Dengan
demikian, menurutnya, takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan dari
satua-satuan yang tercakup dalam lafadz yang ‘amm.
14
Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak
adanya nasikh dalam arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil”
yang bermakna penggantian, pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat
ayat hukum yang lain. Dengan demikian, pemahaman Abduh di sini sama
dengan sebagian definisi nasikh diatas, yakni “pemindahan sesutu dari satu
wadah ke wadah yang lain.” Berdasarkan pendapatnya ini, seua ayat Al-
Qur’an tetap berlaku, dan di dalamnya tidak ada kontadiksi, yang ada
hanyalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena
kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku
lagi baginya tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama
dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat
membantu dakwah Islam sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap
dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan
kondisi umat Islam pada masa awal Islam.10
As-Suyuthi memberikan contoh-contoh naskh dalam beberapa Surat,
antara lain sebagai berikut: Surat Al-Baqarah 184 mansûkhah dengan Al-
Baqarah 185:
ۗ َو َع َلى اَّلِذ ْيَن ُيِط ْيُقْو َنٗه ِفْد َيٌة َطَع اُم ِم ْس ِكْيٍۗن
"…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin..." (Q.S. Al-Baqarah 2: 184)
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنوا اَّتُقوا َهّٰللا َح َّق ُتٰق ىِتٖه َو اَل َتُم ْو ُتَّن ِااَّل َو َاْنُتْم ُّم ْس ِلُم ْو َن
16
C. Kesimpulan
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum
syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang
mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab
syarak pula. Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang
diangkat atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan,
dihapuskan, atau dipindahkan.
Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian yang
menghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya
Nasikh dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan
Iman Ar-Raji. Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam
Alquran yang diikuti oleh mayoritas jumhur ulama.
17
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, 2015, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al
Qur’an),Bandung: CV Arfino Raya.