Disusun Oleh:
DISKI MAULANA
D.202104514
MUHAMMAD SHOFWAN HAMDI
D.202104092
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang “
ULUMUL QUR’AN” Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah
ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai
pihak.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…...……………………………………………………………i
DAFTAR ISI………….………………………………………………………………ii
BAB 1 PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG………………………………………………………………..1
RUMUSAN MASALAH…………………………………………..…………………1
BAB II PEMBAHASAN
KESIMPULAN…………………...…………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad SAW.Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mencapai kebahagiaannya didunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-
Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an
memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan,
Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain. Al
Qur’an diturunkan secara berangsur angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada
yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada
yang khusus, adayang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang
sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish
Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat
tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh
B. Rumusan Masalah
Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata
nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan
sesuatu dari suatutempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau
mengubah, dan pengalihan. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah
membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan
pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun
pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau Melahirkan dalil yang
datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang
lain”
“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datangkemudian”
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh
sehinggamencakup beberapa hal sebagai berikut:
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang
telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum.
1.Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu
adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi
dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat
dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, Mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan
daripadaayat yang nasikh (menghapus).
2.Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
A. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala
segi.
B. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan
dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
C. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang
diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
b. Pembagian Nasakh
َو اَّلِذْي َن ُيَت َو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُرْو َن َاْز َو اًج ۖا َّو ِص َّي ًة َاِّلْز َو اِجِه ْم َّم َت اًعا ِاَلى اْلَح ْو ِل َغْي َر ِاْخ َر اٍج ۚ َف ِاْن َخ َر ْج َن
َف اَل ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم ِفْي َم ا َف َع ْل َن ِفْٓي َاْنُفِس ِه َّن ِمْن َّمْع ُرْو ٍۗف َو ُهّٰللا َع ِز ْي ٌز َح ِكْي ٌم
Yang artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkanisteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".
Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:
َو اَّلِذْي َن ُيَت َو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُرْو َن َاْز َو اًج ا َّي َت َر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِه َّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّو َع ْش ًر اۚ َف ِاَذ ا َب َلْغ َن َاَج َلُهَّن َف اَل
ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم ِفْي َم ا َف َع ْل َن ِفْٓي َاْنُفِس ِه َّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف َو ُهّٰللا ِبَم ا َت ْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر
Yang artinya :
Yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannyaitu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lainmenolak naskh
seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:
َم ا َن ْن َس ْخ ِمْن ٰا َي ٍة َاْو ُنْن ِس َه ا َن ْأِت ِبَخ ْي ٍر ِّم ْن َه ٓا َاْو ِم ْث ِلَه اۗ َاَلْم َت ْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد ْيٌر
Yang artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul
maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144 untuk
menghadap ka’bah.
Yang artinya :
Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat.
Menurutnya,apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja
yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.
Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada
waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah
kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur.
Yang artinya :
“ Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah kamu.”
(H.R. Muslim)
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam al-Qur’an dibagi menjadi empat
macam yaitu:
1. Naskh sharih,
yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayatterdahulu. Misalnya ayat
tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal yangmengharuskan satu orang muslim
melawan sepuluh orang kafir:
ٰٓي َاُّي َه ا الَّن ِبُّي َح ِّر ِض اْلُمْؤ ِم ِنْي َن َع َلى اْل ِقَت اِۗل ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم ِع ْش ُرْو َن ٰص ِبُرْو َن َي ْغ ِلُبْو ا ِم اَئَت ْي ِۚن َو ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم
ِّم اَئ ٌة َّي ْغ ِلُبْٓو ا َاْل ًفا ِّم َن اَّلِذْي َن َكَفُرْو ا ِبَاَّن ُهْم َق ْو ٌم اَّل َي ْف َقُهْو َن
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua pulub
orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan duaratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapatmengalahkan
seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al -
Anfal:65)
َاْلٰٔـ َن َخ َّفَف ُهّٰللا َع ْنُك ْم َو َعِلَم َاَّن ِفْي ُك ْم َض ْع ًفۗا َف ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم ِّم اَئ ٌة َص اِبَر ٌة َّي ْغ ِلُبْو ا ِم اَئَت ْي ِۚن َو ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم َاْلٌف
َّي ْغ ِلُبْٓو ا َاْل َفْي ِن ِبِاْذ ِن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َمَع الّٰص ِبِر ْي َن
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki
kelemahan. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar,niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamuterdapat seribu orang yang
sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”(QS. Al-Anfal:66)
2. Naskh dhimmy.
yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidakdikompromikan, dan
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, sertakeduanya diketahui waktu
turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-ayatterdahulunya. Contohnya: ketetapan
Allah yang mewajibkan berwasiat bagiorang-orang yang akan mati yang terdapat dalam
surat al-Baqarah 180.
ُك ِتَب َع َلْي ُك ْم ِاَذ ا َح َض َر َاَح َد ُك ُم اْل َم ْو ُت ِاْن َت َر َك َخ ْيًر اۖ ۨ اْلَو ِص َّي ُة ِلْلَو اِلَد ْي ِن َو اَاْلْق َر ِبْي َن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى
Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis “la wahiyyah
liwaris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Nash kully,
yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contoh: ketentuan ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah ayat 234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah
satu tahun pada ayat 240 di surat yang sama.
4. Naskh juz’iy,
yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individudengan hukum yang
hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya, hukumdera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi padasurat An-Nur ayat 4, dihapus oleh
ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami
yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam Al-Quran dapat
dibagi menjadi tiga:
1. Penghapusan Hukum Dan Bacaan Secara Bersamaan (nasikh al-hukmi wa at-
tilawah ma’a)
Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dandiamalkan.
Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a
"Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari Al-Qur'an
adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itumenyebabkan mahram,
kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai
Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an yang dibaca." (H.R.
Muslim)
Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak adalagi di dalam Al-
Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang radha’ah itu tidak sampai
kepada semua orang, sehingga sampai Rasulullah SAW wafat masih ada yang
membacanya. Karena sudah di nasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di
dalam mushaf ‘Utsmani’.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaan tetap ada (nasikh al-
hukmi wa tilawatuha yabqa)
ٰٓي َاُّي َه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َن اَج ْي ُتُم الَّر ُسْو َل َفَقِّد ُمْو ا َب ْي َن َي َدْي َن ْج ٰو ىُك ْم َص َد َق ًة ۗ ٰذ ِلَك َخ ْيٌر َّلُك ْم َو َاْط َه ُۗر َف ِاْن َّلْم َت ِج ُد ْو ا
َف ِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِحْي ٌم
َء َاْش َف ْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُمْو ا َب ْي َن َي َدْي َن ْج ٰو ىُك ْم َص َد ٰق ٍۗت َف ِاْذ َلْم َت ْف َع ُلْو ا َو َت اَب ُهّٰللا َع َلْي ُك ْم َف َاِقْيُموا الَّص ٰل وَة َو ٰا ُتوا الَّز ٰك وَة
َو َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َر ُسْو َلٗه ۗ َو ُهّٰللا َخ ِبْيٌرۢ ِبَم ا َت ْع َم ُلْو َن
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiadamemperbuatnya dan Allah
telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-
Mujâdilah 58: 13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagaisyarat untuk
rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan
bagi umat.
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan ubayya ibn
ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkanadalah ayat:
"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya
dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"
(H. R. Ibnu Hibban dan Ibn Majah)
Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh sehingga tidak ditemukan
dalam mushaf ‘Utsmani’.
Untuk lebih jelasnya ada baiknya dikemukakan beberapa contoh dari hal tersebut diatas.
َو ِهّٰلِل اْلَم ْش ِر ُق َو اْلَم ْغ ِر ُب َف َاْي َن َم ا ُتَو ُّلْو ا َف َث َّم َو ْج ُه ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َو اِس ٌع َع ِلْي ٌم
”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap,di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”
َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْط َر اْل َم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم ۗ َو َح ْي ُث َم ا ُكْنُتْم َفَو ُّلْو ا ُو ُجْو َه ُك ْم َش ْط َر ٗه
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya.
2.Surah 5 Al Maidah 42
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yangditurunkan
Allah
1. Istitsna
َو اَّلِذْي َن َي ْر ُمْو َن اْلُمْح َص ٰن ِت ُثَّم َلْم َي ْأُتْو ا ِبَاْر َبَع ِة ُشَه َد ۤا َء َف اْج ِلُد ْو ُه ْم َث ٰم ِنْي َن َج ْلَد ًة َّو اَل َت ْق َب ُلْو ا َلُهْم َش َه اَد ًة َاَب ًد ۚا
ٰۤل
َو ُاو ِٕىَك ُه ُم اْل ٰف ِس ُقْو َن
ِااَّل اَّلِذْي َن َت اُبْو ا ِم ْۢن َب ْع ِد ٰذ ِلَك َو َاْص َلُحْو ۚا َف ِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِحْي ٌم
.Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An- Nur:5)
Kalimat “illa alladzina tabu pada ayat tersebut adalah mukhassis terhadap pengertian
umum pada kalimat sebelumnya
2.Shifat (sifat)
ّٰل ّٰل
َو َر َب ۤا ِٕىُبُك ُم ا ِتْي ِفْي ُحُجْو ِر ُك ْم ِّمْن ِّن َس ۤا ِٕىُك ُم ا ِتْي َد َخ ْلُتْم ِبِه َّۖن َف ِاْن َّلْم َت ُك ْو ُنْو ا َد َخ ْلُتْم ِبِه َّن َف اَل ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم
“anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamucampuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya;….
3.Syarth (syarat)
4.Ghayah (batas)
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh mansukhdan ada
pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini memberikanargumentasinya masing-
masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini:
Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh dalam Al-Qur’an.
Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji.
Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi, tetapitidak mungkin
terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-ashafani sebagaimana dikutip ash-
shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-qur’an dan ada ayat yang telah dimansukh berarti
membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa dalam Alquran
ada yang batal atau salah. Oleh karena itu, ia dengan tegas menolak sepenuhnya nasikh
dalam Alquran. Hal ini berdasarkan ayat Alquran “
اَّل َيْأِتْيِه اْلَباِط ُل ِم ْۢن َبْيِن َيَد ْيِه َو اَل ِم ْن َخ ْلِفٖه ۗ َتْنِز ْيٌل ِّم ْن َحِكْيٍم َحِم ْيٍد
“Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun daribelakang (pada
masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan yang bijaksana, maha
terpuji.” (QS Fushilat :41-42)
Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu syariat yang
diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia sepanjangmasa, maka
tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang mansukh. Kalau sunnah boleh saja
dinasikh, karena ia sebagiannya datang untuk seketika saja,lalu dinasikh dengan sunnah
yang datang sesudahnya. Dan mengingatkan bahwakandungan Alquran bersifat kulliyah
(general), bukan juziyyah (lebih khusus).Hukum-hukum yang diterangkan juga bersifat
ijmali (umum), bukan secaratafsili (terperinci). Dengan demikian, menurutnya hukum-
hukum Alquran tidakakan ada yang dibatalkan atau dinasikh untuk selamanya. Dan ayat-
ayat tentangnasikh semua ia tasiskan.
Adanya kelompok ulama yang menolak adanya nasikh dalam Alquran ini,karena
mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata (ayat) yang terdapatdalam surat
(Albaqarah ayat 106) di atas. Mereka mengatakan bahwa ayat yangdimaksud adalah
mukjizat para nabi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasiini, mereka
mengemukakan firman Allah yang artinya sebagai berikut “Tidak datang kepadanya (al-
Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, (karena) ia diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).
Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak mungkin disentuh
pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa keberatan terhadap pendapat al-
Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi
tentang “kebatilan” yang merupakan lawan Dari “kebenaran”. Juga, menurut mereka,
hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil,
sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan
kemaslahatan pada suatuwaktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-Qur’an pada
dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada
waktu yang lain akan tetap berlaku bagi orang-orang yangmemiliki kesesuaian kondisi
dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.
Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk memperkuat
pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai argumentasi, baik yang bersifat
aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah (berasal dari Alquran) :
a. Bahwa perbuatan–perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan melarang pada sewaktu-waktu yang lain.
Karena hanya Dia-lah yang lebih mengetahui kepentingan hukumnya.
b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas dan
terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman Allah berikut.
َم ا َن ْن َس ْخ ِمْن ٰا َي ٍة َاْو ُنْن ِس َه ا َن ْأِت ِبَخ ْي ٍر ِّم ْن َه ٓا َاْو ِم ْث ِلَه اۗ َاَلْم َت ْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد ْيٌر
“ Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,pasti Kami ganti dengan
yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkahkamu tahu bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu”(Q.S.Al-Baqarah{2{:106)
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat
Ummul-Kitab.”(Q.S.Ar-Rad{13}:39)
Berdasarkan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam Al-Qur’an ituterdapat
nasikh. Dan menurut mereka maksud kata ”ayat” yang di-nasikh ituadalah ayat Al-Qur’an
yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.
Gagasan lain yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam
Al-Qur’an adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepadakaum muslimin di dalam Al-
Qur’an hanya bersifat sementara dan jika keadaan telah berubah, perintah dihapus dan
diganti dengan perintah yang baru. Akan tetapi, karena perintah-perintah itu adalah kalam
Allah ia harus dbaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Selanjutnya, para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-Qur’an didukung
oleh berbagai dalil (argumentari) yang kuat. Diantara dalil-dalil yang mereka kemukakan
adalah sebagai berikut.
A. Nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang
tidak dilarang berarti boleh.
B. Seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh, syar’i
tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, dengan perintah sementara
dan melarang dengan larangan sementara pula.
C. Seandainya nasikh tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak
akan ditetapkan risalah Muhammad saw. Kepada seluruh alam,
sedangkansemuanya mengakui bahwa risalah berlaku untuk seluruh alam dengan
dalil yang pasti.
D. Terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nasikh. Oleh karena
itu,keadaan terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh bertambah (al-jawad
waaz-ziyadah).
Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-nasikh itumasih tetap
ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum. Dengan demikian, menurut para
pendukung nasikh, hukum Tuhan yang di-nasikh atau dibatalkan(diganti) bukan berarti
batil, sebagamana dikemukakan oleh Al-Asfahani. Sesuatuyang dibatalkan pengggunanya,
karena ada perkembangan dan kemaslahatan padasuatu waktu, bukan berarti bahwa yang
dibatalkan itu ketika diberlakukan merupakansesuatu yang tidak benar. Dengan demikian,
yang dibatalkan dan membatalkanadalah hak dan benar, bukan batil.
Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para ahlidisebabkan oleh
perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn Kasir, Al-Maragi, danAl-Asfahani
memiliki perbedaan diametral dalam memandang persoalan nasikh. IbnKasir dan Al-
Marag menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Asfahani
dengan tegas menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan meskpun
pada umumnya dia sepakat tentang adanya,
A. pengecualian Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan
Al-Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena
menurutnyatidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an
ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat
dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang emudian,
B. penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu,
C. penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-Asfahani
mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan) karena menurutnyatidak ada
nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum yang bersifat
umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-an. Dengan
demikian, menurutnya, takhsis adalah mengeluarkan sebagiansatuan dari satua-satuan yang
tercakup dalam lafadz yang ‘amm.
Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak adanya nasikh dalam
arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil” yang bermakna penggantian,
pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat ayat hukum yang lain.Dengan demikian,
pemahaman Abduh di sini sama dengan sebagian definisi nasikh diatas, yakni
“pemindahan sesutu dari satu wadah ke wadah yang lain.” Berdasarkan pendapatnya ini,
seua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, dan di dalamnya tidak ada kontadiksi, yang ada
hanyalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu,karena kondisi yang
berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap dapat
berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman
demikian akan sangat membantu dakwah Islam sehinggaayat-ayat hukum yang bertahap
tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat
Islam pada masa awal Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum
syarakdengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang
mendefinisikan nasikhadalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab
syarak pula. Adapun yangdimaksud dengan
mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan ataumansukh
bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian
yangmenghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum
yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya Nasikh
dalam Al-Qur’an.Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-
Raji.Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
yang diikutioleh mayoritas jumhur ulama.