Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ILMU NASIKH WAL MANSUKH

Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu: Syamsuddin M.Pd.

Disusun Oleh:

DISKI MAULANA
D.202104514
MUHAMMAD SHOFWAN HAMDI
D.202104092

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM

INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang “
ULUMUL QUR’AN” Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah
ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai
pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang
kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Depok, 24 November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…...……………………………………………………………i

DAFTAR ISI………….………………………………………………………………ii

BAB 1 PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG………………………………………………………………..1

RUMUSAN MASALAH…………………………………………..…………………1

BAB II PEMBAHASAN

PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH……………………………………….2

KLASIFIKASI TENTANG NASIKH DAN MANSUKH…………………….……6

PERBEDAAN ANTARA NASIKH DAN TAKHSHIS…………...………………12

PERBEDAAN PENDAPAT NASIKH MANSUKH………………………………15

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN…………………...…………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad SAW.Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mencapai kebahagiaannya didunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-
Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an
memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan,
Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain. Al
Qur’an diturunkan secara berangsur angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada
yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada
yang khusus, adayang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang
sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish
Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat
tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh

B. Rumusan Masalah

1). Apa pengertian nasikh dan Mansukh?

2). Apa klasifikasi nasikh dan Mansukh?

3). Apa perbedaan antara nasikh dan takhshish?

4). Sebutkan perbedaan pendapat tentang ayat-ayat Mansukh


BAB II
PEMBAHASAN

A. ILMU NASIKH DAN MANSUKH


1. Pengertian nasikh dan mansukh

Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata
nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan
sesuatu dari suatutempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau
mengubah, dan pengalihan. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah
membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan
pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun
pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau Melahirkan dalil yang
datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.

Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:


1). Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:

“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang
lain”

2). Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:

“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datangkemudian”

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh
sehinggamencakup beberapa hal sebagai berikut:

1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum


yangditetapkan kemudian.
2) Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian
3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian,
(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datangkemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yangditetapkan terakhir.

Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus /dihilangkan


/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh
ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah
dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.

Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang
telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum.

a. Syarat- Syarat Nasakh

Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui


syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu
adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi
dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat
dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, Mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan
daripadaayat yang nasikh (menghapus).

2.Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).

3.Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan


hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4.Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang
sudahaqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang
menghapus danatau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat


dilakukan apabila :

A. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala
segi.
B. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan
dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
C. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang
diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
b. Pembagian Nasakh

Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam:

1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam


pandanganmereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat
tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:

‫َو اَّلِذْي َن ُيَت َو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُرْو َن َاْز َو اًج ۖا َّو ِص َّي ًة َاِّلْز َو اِجِه ْم َّم َت اًعا ِاَلى اْلَح ْو ِل َغْي َر ِاْخ َر اٍج ۚ َف ِاْن َخ َر ْج َن‬
‫َف اَل ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم ِفْي َم ا َف َع ْل َن ِفْٓي َاْنُفِس ِه َّن ِمْن َّمْع ُرْو ٍۗف َو ُهّٰللا َع ِز ْي ٌز َح ِكْي ٌم‬

Yang artinya:

"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkanisteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".
Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:

‫َو اَّلِذْي َن ُيَت َو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُرْو َن َاْز َو اًج ا َّي َت َر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِه َّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّو َع ْش ًر اۚ َف ِاَذ ا َب َلْغ َن َاَج َلُهَّن َف اَل‬
‫ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم ِفْي َم ا َف َع ْل َن ِفْٓي َاْنُفِس ِه َّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف َو ُهّٰللا ِبَم ا َت ْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر‬

Yang artinya :

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat".

2.Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah

Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:

A. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad: Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an


tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad,sebab Qur’an adalah mutawatir dan
menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, di samping tidak
sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang
madznun (diduga).
B. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir: Naskh demikian dibolehkan oleh
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan ImanAhmad dalam satu riwayat, sebab
masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat an-Najm ayat
3-4:

‫ِاۡن ُه َو ِااَّل َو ۡح ٌى ُّي ۡو ٰح ۙى‬٣ ‫َو َم ا َي ۡن ِط ُق َع ِن اۡل َه ٰو ؕى‬

Yang artinya:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannyaitu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lainmenolak naskh
seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:

‫َم ا َن ْن َس ْخ ِمْن ٰا َي ٍة َاْو ُنْن ِس َه ا َن ْأِت ِبَخ ْي ٍر ِّم ْن َه ٓا َاْو ِم ْث ِلَه اۗ َاَلْم َت ْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد ْيٌر‬
Yang artinya:

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”

3.Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an

Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul
maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144 untuk
menghadap ka’bah.

‫ْل‬ ‫ْط ْل‬


‫َفَو ِّل َو ْج َهَك َش َر ا َم ْس ِج ِد ا َح َر اِم‬

Yang artinya :

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat.
Menurutnya,apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja
yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:

1) naskh mutawatir dengan mutawatir,

2)nasakh ahad dengan ahad,

3) naskh ahad dengan mutawatir,

4) naskh mutawatir dengan ahad.

Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur.

Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.
Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada
waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah
kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur.

‫َن َه ْي ُتُك ْم َع ْن ِز َي اَر ِة اْل ُقُبوِر َفُز وُروَه ا‬

Yang artinya :

“ Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah kamu.”
(H.R. Muslim)

B. Klasifikasi Tentang Nasikh Wal Mansukh

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam al-Qur’an dibagi menjadi empat

macam yaitu:

1. Naskh sharih,

yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayatterdahulu. Misalnya ayat
tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal yangmengharuskan satu orang muslim
melawan sepuluh orang kafir:

‫ٰٓي َاُّي َه ا الَّن ِبُّي َح ِّر ِض اْلُمْؤ ِم ِنْي َن َع َلى اْل ِقَت اِۗل ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم ِع ْش ُرْو َن ٰص ِبُرْو َن َي ْغ ِلُبْو ا ِم اَئَت ْي ِۚن َو ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم‬
‫ِّم اَئ ٌة َّي ْغ ِلُبْٓو ا َاْل ًفا ِّم َن اَّلِذْي َن َكَفُرْو ا ِبَاَّن ُهْم َق ْو ٌم اَّل َي ْف َقُهْو َن‬

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua pulub
orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan duaratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapatmengalahkan
seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al -
Anfal:65)

Yang kemudian dinasakh oleh ayat selanjutnya

‫َاْلٰٔـ َن َخ َّفَف ُهّٰللا َع ْنُك ْم َو َعِلَم َاَّن ِفْي ُك ْم َض ْع ًفۗا َف ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم ِّم اَئ ٌة َص اِبَر ٌة َّي ْغ ِلُبْو ا ِم اَئَت ْي ِۚن َو ِاْن َّي ُك ْن ِّم ْنُك ْم َاْلٌف‬
‫َّي ْغ ِلُبْٓو ا َاْل َفْي ِن ِبِاْذ ِن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َمَع الّٰص ِبِر ْي َن‬

“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki
kelemahan. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar,niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamuterdapat seribu orang yang
sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”(QS. Al-Anfal:66)

2. Naskh dhimmy.

yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidakdikompromikan, dan
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, sertakeduanya diketahui waktu
turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-ayatterdahulunya. Contohnya: ketetapan
Allah yang mewajibkan berwasiat bagiorang-orang yang akan mati yang terdapat dalam
surat al-Baqarah 180.

‫ُك ِتَب َع َلْي ُك ْم ِاَذ ا َح َض َر َاَح َد ُك ُم اْل َم ْو ُت ِاْن َت َر َك َخ ْيًر اۖ ۨ اْلَو ِص َّي ُة ِلْلَو اِلَد ْي ِن َو اَاْلْق َر ِبْي َن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى‬

‫اْلُم َّت ِقْي َن‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta
karib-kerabatnya secara ma’ruf.”

Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis “la wahiyyah
liwaris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3. Nash kully,

yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contoh: ketentuan ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah ayat 234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah
satu tahun pada ayat 240 di surat yang sama.

4. Naskh juz’iy,

yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individudengan hukum yang
hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya, hukumdera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi padasurat An-Nur ayat 4, dihapus oleh
ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami
yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.

Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam Al-Quran dapat
dibagi menjadi tiga:
1. Penghapusan Hukum Dan Bacaan Secara Bersamaan (nasikh al-hukmi wa at-
tilawah ma’a)

Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dandiamalkan.
Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a

"Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari Al-Qur'an
adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itumenyebabkan mahram,
kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai
Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an yang dibaca." (H.R.
Muslim)

Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak adalagi di dalam Al-
Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang radha’ah itu tidak sampai
kepada semua orang, sehingga sampai Rasulullah SAW wafat masih ada yang
membacanya. Karena sudah di nasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di
dalam mushaf ‘Utsmani’.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaan tetap ada (nasikh al-
hukmi wa tilawatuha yabqa)

Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikinkepada orang-orang


muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ayat qital. Contoh nasikh
jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12) dinasakh olehsurat yang sama ayat 13
berikutnya. Yang dinasakh hanya hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam
mushf ‘Utsmani’.

‫ٰٓي َاُّي َه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َن اَج ْي ُتُم الَّر ُسْو َل َفَقِّد ُمْو ا َب ْي َن َي َدْي َن ْج ٰو ىُك ْم َص َد َق ًة ۗ ٰذ ِلَك َخ ْيٌر َّلُك ْم َو َاْط َه ُۗر َف ِاْن َّلْم َت ِج ُد ْو ا‬
‫َف ِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِحْي ٌم‬

"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khususdengan


Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak
memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 12)

‫َء َاْش َف ْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُمْو ا َب ْي َن َي َدْي َن ْج ٰو ىُك ْم َص َد ٰق ٍۗت َف ِاْذ َلْم َت ْف َع ُلْو ا َو َت اَب ُهّٰللا َع َلْي ُك ْم َف َاِقْيُموا الَّص ٰل وَة َو ٰا ُتوا الَّز ٰك وَة‬
‫َو َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َر ُسْو َلٗه ۗ َو ُهّٰللا َخ ِبْيٌرۢ ِبَم ا َت ْع َم ُلْو َن‬
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiadamemperbuatnya dan Allah
telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-
Mujâdilah 58: 13)

Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagaisyarat untuk
rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan
bagi umat.

3. Penghapusan terhadap tilawah atau bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap


berlaku (nasikh at-tilawah, wa hukmuha yabqa)

Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan ubayya ibn
ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkanadalah ayat:

"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya
dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"
(H. R. Ibnu Hibban dan Ibn Majah)

Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh sehingga tidak ditemukan
dalam mushaf ‘Utsmani’.

C. Perbedaan Antara Nasikh Dan Takhshish

Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antaralain,


terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum.Keduanya
berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz.Hanya saja, takhsis
lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum,sedangkan nasIkh
menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.

Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai


kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuaidengan lafadz yang
dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan
hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yangsebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)

Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di


antarakeduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)
1. Thaksis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula
terhadaplafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan
nasakh mutlaq hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian
2. Thaksis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil
aqli,sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
3. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah
saja, seperti “Berilah si fulan:, sedangkan nasakh bisa dilakukan dapa kasus
seperti itu.
4. Lafadz yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-
takhsis,sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
5. Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan
dalil-dalil syara’ lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan para
ulama).Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang
qath’i, kecualidengan lafadz yang qath’i pula.

Untuk lebih jelasnya ada baiknya dikemukakan beberapa contoh dari hal tersebut diatas.

a. Beberapa contoh naskah

1.Firman Allah dalam Surah 2 Al Baqarah: 115

‫َو ِهّٰلِل اْلَم ْش ِر ُق َو اْلَم ْغ ِر ُب َف َاْي َن َم ا ُتَو ُّلْو ا َف َث َّم َو ْج ُه ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َو اِس ٌع َع ِلْي ٌم‬

”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap,di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”

Di nasakh oleh Surah 2 Al Baqarah: 144,

‫َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْط َر اْل َم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم ۗ َو َح ْي ُث َم ا ُكْنُتْم َفَو ُّلْو ا ُو ُجْو َه ُك ْم َش ْط َر ٗه‬

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya.

2.Surah 5 Al Maidah 42

‫َفِاْن َج ۤا ُءْو َك َفاْح ُك ْم َبْيَنُهْم َاْو َاْع ِر ْض َع ْنُهْم‬

Di nasakh oleh surah 5 Al Maidah 49


‫َو َاِن اْح ُك ْم َب ْي َن ُهْم ِبَم ٓا َاْن َز َل ُهّٰللا‬

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yangditurunkan
Allah

b. Beberapa contoh takhshis

1. Istitsna

(pengecualian)Dalam surah 24 al-Nur: 4-5

‫َو اَّلِذْي َن َي ْر ُمْو َن اْلُمْح َص ٰن ِت ُثَّم َلْم َي ْأُتْو ا ِبَاْر َبَع ِة ُشَه َد ۤا َء َف اْج ِلُد ْو ُه ْم َث ٰم ِنْي َن َج ْلَد ًة َّو اَل َت ْق َب ُلْو ا َلُهْم َش َه اَد ًة َاَب ًد ۚا‬
‫ٰۤل‬
‫َو ُاو ِٕىَك ُه ُم اْل ٰف ِس ُقْو َن‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)dan


mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yangmenuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksianmereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.(Q.S.An-Nur:4)

‫ِااَّل اَّلِذْي َن َت اُبْو ا ِم ْۢن َب ْع ِد ٰذ ِلَك َو َاْص َلُحْو ۚا َف ِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِحْي ٌم‬

.Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An- Nur:5)

Kalimat “illa alladzina tabu pada ayat tersebut adalah mukhassis terhadap pengertian
umum pada kalimat sebelumnya

2.Shifat (sifat)

Dalam surah 4, al- Nisa’:23,

‫ّٰل‬ ‫ّٰل‬
‫َو َر َب ۤا ِٕىُبُك ُم ا ِتْي ِفْي ُحُجْو ِر ُك ْم ِّمْن ِّن َس ۤا ِٕىُك ُم ا ِتْي َد َخ ْلُتْم ِبِه َّۖن َف ِاْن َّلْم َت ُك ْو ُنْو ا َد َخ ْلُتْم ِبِه َّن َف اَل ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم‬

“anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamucampuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya;….

Kalimat “allati dakhaltum bihinna” merupakan sifat terhadap kalimat“nisa’ikum” Sebagai


mukhasisnya.

3.Syarth (syarat)

Dalam surah 2, al-baqarah: 180,


‫ُك ِتَب َع َلْي ُك ْم ِاَذ ا َح َض َر َاَح َد ُك ُم اْل َم ْو ُت ِاْن َت َر َك َخ ْيًر اۖ ۨ اْلَو ِص َّي ُة ِلْلَو اِلَد ْي ِن َو اَاْلْق َر ِبْي َن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى‬
‫اْلُم َّت ِقْي َن‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapakdan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Kalimat in taraa khairan merupakan syarat diadakannya wasiat.

4.Ghayah (batas)

Dalam surah 2, al-Baqarah: 196,

‫َو اَل َت ْح ِلُقْو ا ُرُءْو َس ُك ْم َح ّٰت ى َي ْب ُلَغ اْلَه ْد ُي َمِح َّلٗه‬

dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat


penyembelihannya.

Kalimat hatta yablugha al-hadyu mahillah merupakan batas dari berlakunyalarangan


mencukur kepala.

D.Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh mansukhdan ada
pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini memberikanargumentasinya masing-
masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

1.Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an

Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh dalam Al-Qur’an.
Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji.

Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi, tetapitidak mungkin
terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-ashafani sebagaimana dikutip ash-
shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-qur’an dan ada ayat yang telah dimansukh berarti
membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa dalam Alquran
ada yang batal atau salah. Oleh karena itu, ia dengan tegas menolak sepenuhnya nasikh
dalam Alquran. Hal ini berdasarkan ayat Alquran “

‫اَّل َيْأِتْيِه اْلَباِط ُل ِم ْۢن َبْيِن َيَد ْيِه َو اَل ِم ْن َخ ْلِفٖه ۗ َتْنِز ْيٌل ِّم ْن َحِكْيٍم َحِم ْيٍد‬

“Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun daribelakang (pada
masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan yang bijaksana, maha
terpuji.” (QS Fushilat :41-42)

Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu syariat yang
diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia sepanjangmasa, maka
tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang mansukh. Kalau sunnah boleh saja
dinasikh, karena ia sebagiannya datang untuk seketika saja,lalu dinasikh dengan sunnah
yang datang sesudahnya. Dan mengingatkan bahwakandungan Alquran bersifat kulliyah
(general), bukan juziyyah (lebih khusus).Hukum-hukum yang diterangkan juga bersifat
ijmali (umum), bukan secaratafsili (terperinci). Dengan demikian, menurutnya hukum-
hukum Alquran tidakakan ada yang dibatalkan atau dinasikh untuk selamanya. Dan ayat-
ayat tentangnasikh semua ia tasiskan.

Adanya kelompok ulama yang menolak adanya nasikh dalam Alquran ini,karena
mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata (ayat) yang terdapatdalam surat
(Albaqarah ayat 106) di atas. Mereka mengatakan bahwa ayat yangdimaksud adalah
mukjizat para nabi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasiini, mereka
mengemukakan firman Allah yang artinya sebagai berikut “Tidak datang kepadanya (al-
Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, (karena) ia diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).

Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak mungkin disentuh
pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa keberatan terhadap pendapat al-
Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi
tentang “kebatilan” yang merupakan lawan Dari “kebenaran”. Juga, menurut mereka,
hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil,
sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan
kemaslahatan pada suatuwaktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.

Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-Qur’an pada
dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada
waktu yang lain akan tetap berlaku bagi orang-orang yangmemiliki kesesuaian kondisi
dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.

2. Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran

Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk memperkuat
pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai argumentasi, baik yang bersifat
aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah (berasal dari Alquran) :

a. Bahwa perbuatan–perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan melarang pada sewaktu-waktu yang lain.
Karena hanya Dia-lah yang lebih mengetahui kepentingan hukumnya.

b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas dan
terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman Allah berikut.

‫َم ا َن ْن َس ْخ ِمْن ٰا َي ٍة َاْو ُنْن ِس َه ا َن ْأِت ِبَخ ْي ٍر ِّم ْن َه ٓا َاْو ِم ْث ِلَه اۗ َاَلْم َت ْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد ْيٌر‬

“ Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,pasti Kami ganti dengan
yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkahkamu tahu bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu”(Q.S.Al-Baqarah{2{:106)

‫َي ْم ُحوا ُهّٰللا َم ا َي َش ۤا ُء َو ُيْث ِبُت ۚ َو ِع ْن َد ٓٗه ُاُّم اْلِك ٰت ِب‬

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat
Ummul-Kitab.”(Q.S.Ar-Rad{13}:39)

Berdasarkan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam Al-Qur’an ituterdapat
nasikh. Dan menurut mereka maksud kata ”ayat” yang di-nasikh ituadalah ayat Al-Qur’an
yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.

Gagasan lain yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam
Al-Qur’an adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepadakaum muslimin di dalam Al-
Qur’an hanya bersifat sementara dan jika keadaan telah berubah, perintah dihapus dan
diganti dengan perintah yang baru. Akan tetapi, karena perintah-perintah itu adalah kalam
Allah ia harus dbaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Selanjutnya, para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-Qur’an didukung
oleh berbagai dalil (argumentari) yang kuat. Diantara dalil-dalil yang mereka kemukakan
adalah sebagai berikut.

A. Nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang
tidak dilarang berarti boleh.
B. Seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh, syar’i
tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, dengan perintah sementara
dan melarang dengan larangan sementara pula.
C. Seandainya nasikh tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak
akan ditetapkan risalah Muhammad saw. Kepada seluruh alam,
sedangkansemuanya mengakui bahwa risalah berlaku untuk seluruh alam dengan
dalil yang pasti.
D. Terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nasikh. Oleh karena
itu,keadaan terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh bertambah (al-jawad
waaz-ziyadah).

Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-nasikh itumasih tetap
ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum. Dengan demikian, menurut para
pendukung nasikh, hukum Tuhan yang di-nasikh atau dibatalkan(diganti) bukan berarti
batil, sebagamana dikemukakan oleh Al-Asfahani. Sesuatuyang dibatalkan pengggunanya,
karena ada perkembangan dan kemaslahatan padasuatu waktu, bukan berarti bahwa yang
dibatalkan itu ketika diberlakukan merupakansesuatu yang tidak benar. Dengan demikian,
yang dibatalkan dan membatalkanadalah hak dan benar, bukan batil.

Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para ahlidisebabkan oleh
perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn Kasir, Al-Maragi, danAl-Asfahani
memiliki perbedaan diametral dalam memandang persoalan nasikh. IbnKasir dan Al-
Marag menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Asfahani
dengan tegas menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan meskpun
pada umumnya dia sepakat tentang adanya,

A. pengecualian Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan
Al-Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena
menurutnyatidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an
ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat
dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang emudian,
B. penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu,
C. penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-Asfahani
mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan) karena menurutnyatidak ada
nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum yang bersifat
umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-an. Dengan
demikian, menurutnya, takhsis adalah mengeluarkan sebagiansatuan dari satua-satuan yang
tercakup dalam lafadz yang ‘amm.

Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak adanya nasikh dalam
arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil” yang bermakna penggantian,
pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat ayat hukum yang lain.Dengan demikian,
pemahaman Abduh di sini sama dengan sebagian definisi nasikh diatas, yakni
“pemindahan sesutu dari satu wadah ke wadah yang lain.” Berdasarkan pendapatnya ini,
seua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, dan di dalamnya tidak ada kontadiksi, yang ada
hanyalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu,karena kondisi yang
berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap dapat
berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman
demikian akan sangat membantu dakwah Islam sehinggaayat-ayat hukum yang bertahap
tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat
Islam pada masa awal Islam.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum
syarakdengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang
mendefinisikan nasikhadalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab
syarak pula. Adapun yangdimaksud dengan
mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan ataumansukh
bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian
yangmenghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum
yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya Nasikh
dalam Al-Qur’an.Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-
Raji.Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
yang diikutioleh mayoritas jumhur ulama.

Anda mungkin juga menyukai