Anda di halaman 1dari 14

1

NASIKH DAN MANSUKH

MAKALAH

Dibuat dan Dipresentasikan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Ulumul Quran Pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam Prodi Perbankan Syariah

Dosen Pengampu:
Sri Anugrah Indriani, S.Sy., M.H

Oleh:
Kelompok 5

NUR AFTIKA
NIM. 612062023046

AMANDA
NIM. 612062023047

INDRI RAMADANIH
NIM. 612062023048

NOVI ANGGRIANI
NIM. 612062023049

NAYLA ADREVY
NIM. 612062023055

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) BONE


2023
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah swt. Yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yaitu berupa ilmu
pengetahuan dan amal. Tidak lupa pula kita kirimkan sholawat serta salam kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad Saw. Nabi yang memberikan syafa`at bagi
seluruh umat islam di hari akhir kelak. Sehingga pada kesempatan ini, kita dapat
menyelesaikan tugas makalah Ulumul Quran yang berjudul “Nasikh dan
Mansukh” tepat pada waktunya.
Kemudian tentunya semua hal yang berkaitan dengan makalah ini dari
mulai penulisan kami ucapkan terima kasih banyak atas semua pihak yang telah
terlibat. Tentunya tak ada gading yang tak retak, tak ada mawar yang tak berduri
kami menyadari dalam makalah ini banyak kekurangan baik dari segi sistematika,
penulisan maupun materi, dari itu kami memerlukan saran dan kritik untuk
menjadikan kami lebih baik kedepannya agar bisa jadi pelajaran untuk kami.
Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bone, 6 November 2023

Penyusun

ii
iii

DAFTAR ISI

Sampul i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh 3

B. Syarat-Syarat serta Pembagian Nasakh 4

C. Ruang Lingkup Nasikh dan Mansukh 8

D. Hikmah Adanya Nasikh dan Mansukh dalam Al-Quran 9

BAB III PENUTUP 10


A. Kesimpulan 10

B. Saran 10

Daftar Pustaka 11

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
. Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi

Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk

mencapai kebahagiaannya didunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-

Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.

Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an

memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengankeimanan,

Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada umat tmanusia

untukberiman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.

Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al

Qur’an ada yangdikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya

saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-

ayat yang sepintas lalu menunjukkanadanya gejala kontradiksi yang menurut

Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi

ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.1

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh?

2. Apa saja syarat-syarat serta pembagian Nasikh dan Mansukh?

3. Bagaimana ruang lingkup Nasikh dan Mansukh?

4. Apa hikmah adanya Nasikh dan Mansukh dalam Al-Quran?

1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan Pustaka, 1994), h. 14.

1
2

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Nasikh dan Mansukh

2. Untuk Mengetahui Syarat-Syarat serta Pembagian Nasikh dan

Mansukh.

3. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup Nasikh dan Mansukh.

4. Untuk Mengetahui Hikmah Adanya Nasikh dan Mansukh dalam Al-

Quran.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh

Kata nasikh merupakan bentuk isim fail dan Mansukh merupakan

bentuk isim maf ul yang berasal dari masdar naskh. Secara etimologi, naskh

mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilangan/penghapusan

(izalah), penggantian(tabdil), pengubahan(tahwil), dan pemindahan (naql).

Sedangkan secara terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah

terputusnya hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya

substansi hukum itu sendiri. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh

adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang

menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara

keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau:

Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit menghapus

pelaksanaan dalil yang lebih dulu.2

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti

Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum

yang ditetapkan kemudian.

2. Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus

yang datang kemudian.

2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema
Risalah Press, 1997 ), h. 391.

3
4

3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian

(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang

datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan

berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan

hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.3

Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang

dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut

istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’

yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan

hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Tegasnya, dalam mansukh

itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan

diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang

menghendaki perubahan dan penggantian hukum.4

B. Syarat-Syarat Nasikh dan Mansukh

1. Syarat-Syarat Nasakh

Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum

yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali,

tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila

3
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998), h. 40.
4
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), h. 122.
5

terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya

waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat

dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang

dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh

itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).

b. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan

syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri

yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan

sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’

(konsensus) ataupun qiyas (analogi).

c. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang

ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-

kadang pula berupa sunnah.

d. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-

orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi

sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah

tertuju kepada mereka.

2. Pembagian Nasakh

Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam,

yaitu:

a. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah

terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam


6

Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari

yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:

‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُروَن َأْز َو اًج ا َو ِص َّيًة َأِلْز َو اِجِهْم َم َتاًع ا ِإَلى اْلَح ْو ِل َغ ْي َر ِإْخ َر اٍجۚ َف ِإْن‬

‫َخ َر ْج َن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفي َم ا َفَعْلَن ِفي َأْنُفِس ِهَّن ِم ْن َم ْعُر وٍف ۗ َوُهَّللا َع ِز يٌز َح ِك يٌم‬

Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu


dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-
isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka
pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”

b. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah

Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua

macam:

1) Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad: Jumhur ulama’

berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad,

sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang

hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula

menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan

yang madznun (diduga).

2) Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir: Naskh demikian

dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman

Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya

adalah wahyu.

c. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an.


7

Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang

dahulunya menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian

dinasakh oleh Q.S Al-Baqarah: 144 untuk menghadap ka’bah yang

berbunyi:

‫ۚ َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر ٱْلَم ْس ِج ِد ٱْلَح َر اِم‬

Artinya : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu

riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung

oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung

pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus

senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

d. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir

dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan

mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama

dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti

halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh

jumhur. Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas

atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shohih tidak

membolehkannya.

Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan

berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan

hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat


8

mengetahui hakikat ziarah kubur.5

C. Ruang Lingkup Nasikh dan Mansukh.

Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan

dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar

(berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut

tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah,

sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula

dengan etika dan akhlak atau dengan pokokpokok ibadah dan mu’amalah. Hal

ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok pokok tersebut. Naskh

tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab

(tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-

wa’id).

Penununjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah SWT:

‫َو ِإَذ ا َبَّد ْلَنا آَيًة َم َك اَن آَيٍة‬

Artinya : “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang
lain”. (An Nahl: 101)

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an

yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan

pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh.

D. Hikmah Adanya Nasikh dan Mansukh dalam Al-Quran

Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:

5
Manna’ Khalil al-Qhaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Litera AntarNusa. Halim
Jaya, 2009),h. 334
9

1. Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang

paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua

syariat dari agamaagama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah

mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala

periodenya, mulai dari Nabi Adam A.S. yang kebutuhan-kebutuhannya

masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang

kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.

2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa

terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.

3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan

semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang

sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.

4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan

penggantianpenggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia

mengamalkan hukum-hukum Tuhan.

5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia

mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah

sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit menjalankan suatu peraturan

Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya.

6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam

beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan

pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT

yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang


10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu

tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau

mengubah, dan pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah hukum syara’ yang

diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan

dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya

mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang

berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu

ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf). Umumnya para

ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-Qur’an

dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan

Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.

B. Saran

Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan kali ini, meskipun

penulisan ini jauh dari kata sempurna, minimal kita bisa mengimplementasikan

tulisan ini. Mungkin masih banyak kesalahan dari penulisan makalah ini,

karena kami adalah manusia yang tempatnya salah dan dosa: dalam hadits “al

insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa

menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.

10
11

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Litera


AntarNusa. Halim Jaya.

Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana


Bhakti Prima Yasa.

Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy.
Bandung: Gema Risalah Press.

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.

11

Anda mungkin juga menyukai