Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH: ULUMUL AL-QUR’AN

AL-NASIKH WA AL-MANSUKH

Disusun oleh :

Rusniati : 16050102076

Tirtayanti : 16050102083

JURUSAN PERBANKKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha Esa atas segala
rahmat dan karunianya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai tepat
pada waktunya.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai al-nasikh wa al-mansukh. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya.

Untuk itu,penulis berharap adanya kritikan, saran atau usulan yang


membangun demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah sederhana ini
dapat dipahami bagi siapa pun yang akan membacanya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua
terutama bagi penulis dan pembacanya.

Kendari, 26 April 2017

Penulis.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan 5

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Nasikh dan Mansukh 6
B. Ruang Trjadinya Nasikh dan Mansukh 8
C. Dasar Hukum Nasikh dan Mansukh 9
D. Pembagian Nasikh dan Mansukh 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 17

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Kajian tentang al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, selalu menarik
untuk dikaji tidak saja datang dari kalangan umat Islam sendiri, bahkan dari luar
Islam (orientalis). Salah satu wacana yang masih menjadi perdebatan adalah apakah
ada proses penghapusan pada ayat-ayat al-Qura’an? Dan ayat-ayat apa saja yang
dihapus dalam al-Qur’an? Tulisan ini, mencoba mengangkat beberapa argumentasi
dari beberapa kelompok yang memperdebatkan persoalan diatas.

Kitab Suci yang terdiri dari 6.326 ayat lebih, yang terhimpun dalam 114
kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan, salah
satunya adalah berbicara tentang perintah dan larangan. Persoalannya kemudian
adalah ada kesan ta’arudl (pertentangan) antara perintah dan larangan tersebut.
Karena pada posisi ini, umat Islam dihadapkan pada pembicaraan hukum.

Dari sinilah lalu, banyak yang bersilang pendapat mengenai arti nasikh,
yang didalam al-Qur’an disebutkan pada beberapa tempat yaitu Surat al-Baqarah/2
: 106, Surat al-A’raf/7 : 154, Surat al-Hajj/22 : 52, dan Surat al-Jasiyah/45 : 29.
Imam al-Syuyuti dan al-Syatibi meyakini bahwa setiap ayat al-Qur’an tidak ada
kontradiksi. Artinya ayat yang kelihatan bertentangan, pada dasarnya tidak
bertentangan. Oleh karena itu, perlu adanya metode penafsiran untuk meluruskan
ayat-ayat yang kelihatan bertentangan tersebut, maka lahirlah Nasikh-Mansukh.

Dalam makalah ini, penulis ingin menunjukkan bahwa Nasikh-Mansukh


menjadi bagian penting dari bahasan Ulum al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk
mengetahui Nasikh-Mansukh ini kita harus menggunakan beberapa cara sebagai
berikut : Pertama, keterangan tegas dari Nabi atau shahabat (Shohih dan
Mutawatir). Kedua, Ijma’ (kesepakatan Umat atau Ulama’ tentang mana yang
nasikh dan mana yang mansukh). Dan Ketiga, Pengetahuan tentang sejarah wahyu,
yaitu mana yang diturunkan lebih dahulu dan mana yang turun kemudian.

4
2. Rumusan Masalah
A. Apa dari definisi Nasikh dan Mansukh?
B. Bagaimana ruang terjadinya Nasikh dan Mansukh?
C. Apa saja dasar hukum Nasikh dan Masnsukh?
D. Bagaimana pembagian Nasikh dan Mansukh?

3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
A. Untuk memahami definisi dari Nasikh dan Mansukh
B. Mengetahui ruang terjadinya Nasikh dan Mansukh
C. Mengetahui apa saja yanng menjadi dasar hukum Nasikh dan Mansukh
D. Mengetahui pembagian dari Nasikh dan Mansukh.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Nasikh dan Al-Masukh


Nasikh dan mansukh berasal dari akar kata nasakha-yansukhu-naskhun.
Dalam bentuk masdar, naskhun berarti al-izalah dengan pengertian
menghilangkan sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya seperti matahari
yang menghilangkan bayang-bayang. Nasikh adalah isim fa’il dari nasakha dan
mansukh adalah isim maf’ulnya 1.
1. Nasikh
Nasikh menurut bahasa berarti menghilangkan, pembatalan,
menghapuskan, mengganti atau memindahkan. Sedangkan menurut istilah
Nasikh yaitu hukum syara’ yang menghapus atau mengubah hukum atau dalil
syara’ yang terlebih dahulun dan menggantinya dengan ketentuan hukum yang
baru yang di bawanya. Yang menggantikan atau mengubah hukum syara’ itu
ialah Allah tidak ada yang lain.
2. Mansukh
Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus, dihilangkan,
dipindah ataupun disalin. Sedangkan menurut istilah Mansukh ialah suatu
ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan atau digantikan oleh hukum yang
baru atau yang lain. Mansukh merupakan ketentuan hukum syara’ pertama
yang telah diubah dan diganti dengan yang baru karena adanya perubahan
situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Nasikh adalah hukum syara’ yang
menggantikan hukum yang terdahulu. Sedangkan Mansukh adalah hukum
syara’ yang digantikan oleh hukum baru.

Syarat-syarat Nasakh-Mansukh2 :
1. Hukum yang dinasikh harus hukum syar'i, bukan hukum aqli.

1
Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A. Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
2013. Hlm 173.
2
Ibid. Hlm 175-176.

6
2. Dalîl syar'i yang menasakh haruslah datang kemudian dari dalîl syar'i yang
dinasakh. Dan antara keduanya terdapat pertentangan yang hakiki yang
sama sekali tidak mungkin dikompromikan dengan metode apapun
termasuk dengan takhshîsh atau at-tadarruj fi at-tasyrî'.
3. Khithâb yang diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithâb yang
dikaitkan dengan waktu tertentu, karena hukum akan berhenti dengan
sendirinya apabila waktunya sudah habis, hal seperti ini tidak dinamai
naskh.
4. Naskh hanya ada pada masalah hukum semata. Dengan demikian tidak ada
naskh untuk masalah aqidah, sejarah, tentang alam semesta dan lain-lain
yang tidak bersifat hukum.

Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh:


a. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW dan sahabat, seperti
hadits:“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi
(sekarang) berziarahlah“.
b. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin ‘Aus dan lainnya yang
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda :“orang yang melakukan
bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”. Dan hadits Ibnu Abbas
r.a. ia berkata :“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau
sedangberpuasa“. Dengan demikian jelas bahwa hadits yang pertama
(hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu
pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas ) terjadi pada
waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua
merupakan Nasikh bagi hadits yang pertama.
c. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di naskh dan ayat yang di
Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat
diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendiri, maka harus ada ijmak
ulama yang menetapkan hal tersebut.

7
B. Ruang Terjadinya Nasikh dan Mansukh
Imam Suyutti menyatakan bahwa naskh hanya terjadi pada masalah
hukum syara’ yaitu pada perintah (amr) dan larangan (nahyi) baik yang
diungkap dengan redaksi tegas atau yang tidak tegas maupun yang diungkap
dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna perintah (amr) atau yang
bermakna larangan (nahy). Naskh tidak terjadi pada hal-hal yang berhubungan
dengan aqidah, adab dan akhlak serta pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
Naskh juga tidak terjadi pada berita yang jelas tidak bermakna thalab (tuntutan
perintah atau larangan) seperti janji dan ancaman3.
Pendapat para ulama mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dan
mansukh. Yang pertama, Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma’ kaum muslimin/jumhur ulama tidak ada
perselisihan diantara para ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur’an
dengan hadits.
Dalil mereka surah al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “apa saja ayat
kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-
Baqarah : 106).
Yang kedua, Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa
sekarang yang menyerang islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak
mempunyai hikmah dan tidak beralasan, bahkan hal nasakh akan diketahui
setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala
sesuatu yang dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan.
Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah yang mengetahui
segalanya.

3
Khadir Syafruddin, “Nasikh dan Mansukh”, diakses dari
Http://khadirsyafruddin.blogs.com/2013/02/babI-pendahuluan-.html, pada tanggal 14 April
2017 pukul 13:40.

8
Yang ketiga, Secara akal mungkin terjadi namun secara pandangan
tidak mungkin terjadi. Pendapat ini merupakan pendapat golongan Inaniyah
dari kaum yahudi dan Pendirian Abu Muslim Ashifani. Mereka mengetahui
terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang
dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan
pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 42 yang
artinya: “yang datang kepadanya ( al-Qur’an) kebathilan baik dari depan
maupun belakang”.

C. Dasar Hukum Nasikh dan Mansukh


Didalam al-quran ayat yang menjadi pedoman atau dasar hukum adanya
Naskh didasarkan pada firman allah dalam QS.Al-Baqarah: 106)4.
Surah Al-Baqarah ayat 106:

Artinya:”Ayat yang kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti
kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu?”.
Ayat tersebut berbicara, bahwa Allah swt, berfirman secara konkrit dan jelas
dalam ayat tersebut, di mana peryataan Allah benar-benar mengganti ayat satu
dengan ayat yang lain dengan yang lebih baik lagi atau dengan yang semisal.
Ayat ini berarti dapat dikonotasikan dengan persoalan tentang hukum, bahwa
ketentuan hukum dari hukum satu kehukum yang lain merupakan suatu

4
Nehrun, “Jumlah Ayat Al-Quran yang Dinasakh, Nasikh dan Penjelasannya”, diakses dari
Http://www.adipintar.com/2015/04/jumlah-ayat-al-quran-yang-dinasakh-nasikh-dan-
penjelasannya.html. Pada tanggal 14 April 2017 pukul 13:40.

9
perbaikan yang terus di lakukan sepanjang peradaban manusia, sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad saw., dengan melihat situasi dan kondisi
masyarakat setempat, sehingga terciptalah masyarakat yang Baldatun
Thayibatun wa rabun gofur dengan berprinsip kepada norma-norma
kemanusian, dengan demikian ayat tersebut banyak dikalangan ulama yang
mengambil ayat ini sebagai pijakan atau landasan berfikir ke teori nasikh.
Dan berdasarkan pernyataan Ali Bin Abi Thalib kepada seorang
Hakim:“Apakah kamu mengerti tentang nasikh-mansukh? Tidak, jawabnya.
(kalau begitu kamu celaka dan mencelakakan orang lain, ujar Ali).
Pernyataan diatas, paling tidak menegaskan akan adanya urgensi ilmu
Nasikh-Mansukh sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an.

D. Pembagian Nasikh dan Mansukh


1. Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh mansukh dalam Al-
Qur'an dapat dibagi tiga5:
a. Naskh Tilawah dan Hukum
Seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah, dia berkata: “Adalah
di antara yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali susuan yang
maklum (jelas diketahui) itu menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini
dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai Rasulullah SAW
wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an yang dibaca." (H.R.
Muslim).
Riwayat di atas memberitahukan bahwa ketentuan tentang susuan ini
tidak ada lagi di dalam Al-Qur'an, baik bacaan maupun hukumnya. Naskh
ayat tentang radhâ'ah itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai
Rasulullah SAW wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah dinasakh
tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di dalam Mushaf 'Utsmâni.
b. Naskh Hukum tetapi Tilâwahnya Tetap

5
Ibd Hlm 181-184.

10
Contoh nasakh jenis ini adalah Surat Al-Mujâdilah ayat 12 dinasakh oleh
Surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanyalah hukumnya,
sedangkan tilawâh keduanya tetap ada dalam Mushf ' Utsmâni.

Artinya:“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan


pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik
bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 12)

Artinya: "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu


memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul?
Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S.
Al-Mujâdilah 58: 13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin
sebagai syarat untuk dapat berbicara secara khusus dengan Rasulullah SAW

11
pada ayat 12 di atas, dinasakh. oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan
bagi umat.
c. Naskh Tilâwah tetapi Hukumnya Tetap
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari 'Umar ibn
Khathâb dan Ubayya ibn Ka'ab bahwa keduanya berkata, di antara ayat yang
pernah diturunkan adalah ayat:
Artinya:"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina
maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (H. R. Ibnu Hibban dan Ibn Majah).
Riwayat ini menunjukan bahwa dahulu Allah swt telah mensyariatkan
rajam di dalam al-quran. Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut
sudah dinasakh sehingga tidak ditemukan dalam Mushaf 'Utsmâni. Hal ini
juga dikuatkan oleh rasulullah saw. Selama masa hidup rasulullah sampai 3
kali beliau merajam pezina. Mereka adalah Asif, Maiz dan seorang wanita
dhamidiyah.
2. Naskh berdasarkan segi nash yang dinasakh dan menasakh6:
a. Naskh al-quran dangan al-quran, Dalam hal ini para uluma sepakat
mengatakan diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya naskh. Misalnya ayat tentang masa ‘iddah yang
massanya satu tahun pada Q.S Al-baqarah ayat 240. Yang kemudian di
naskh menjadi empat bulan sepuluh hari dalam Q.S Al-baqarah ayat 234.
b. Naskh al-quran dengan sunnah, Dalam hal ini dibagi dalam dua kategori
pertama, naskh Al-Qur'an dengan hadits âhâd dan kedua, naskh Al-Qur'an
dengan hadits mutawâtir. Untuk yang pertama, Jumhur Ulama berpendapat,
Al-Quran tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad, sebab Al-quran adalah
mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni,
bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang
ma’lum dengan yang mazhun.

6
Ibid hlm 185-186.

12
Untuk yang kedua, Naskh Al-Quran dengan hadits mutawattir.
Naskh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, Ahmad dalam satu
riwayat, dengan alasan karena naskh Al-Qur'an hanya boleh dengan Al-
Qur'an juga sebagaimana ditegaskan dalam ayat Q.S Al-Baqarah 2:106.
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-quran.
c. Naskh As-Sunnah dengan Al-Quran, Ini diperbolehkan oleh Jumhur.
Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan
oleh As-Sunnah dan di nasikh oleh Al-Quran didalam Q.S. Al-Baqarah
2:144. Yang artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah
ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya ..." (Q.S. Al-Baqarah
2:144)
d. Naskh As-Sunnah dengan As-sunnah, Seperti hadits“Semula aku
melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah“.

Hikmah adanya Nasikh dan Mansukh:

Adanya nasakh mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-qur’an dan
tujuan yang ingin dicapai. Ayat al-Qur’an turun secara bertahap selama turun secara
bertahap selama kurang lebih 23 tahun, hal ini dimaksudkan sebagai pemantapan
Q.S. Al-Furqan ayat 32, khuusunya di bidang hukum. Adapun hikmah dari nasikh
dan mansukh adalah:

a. Memelihara kepentingan hamba


b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau
tidak
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika
Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya

13
terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung
kemudahan dan keringanan.
Pengetahuan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh,
disamping dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya
sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih
dahulu dan yang turun kemudian. Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini
juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah
Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya
menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan
apapun.

14
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Nasikh adalah Suatu huum syara’ ysng menggantikan hukum yang


terdahulu. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang diganti oleh hukum yang
datang kemudian. Nasikh dan mansukh hanya terjadi pada hukum syara’ pada
perintah dan larangan. Para ulamu berpendapat Naskh kemungkinan terjadi Secara
akal dan pandangan mungkin terjadi. Dan Secara akal mungkin terjadi namun
secara pandangan tidak mungkin terjadi. Ayat al-quran yang menjelaskan adanya
naskh yaitu Q.S al-baqarah 106 dan Q.S an-nahl 101. Ini menjadi landasan para
ulama yang meyakini adanya nasikh dan mansukh. Nasikh dan mansukh terbagi
dari segi ayat dan hukumnya, dari segi Naskh berdasarkan kejelasan dan
cakupannya, dan segi naskh yang dinaskh dan menaskh. Adapun hikmah adanya
nasikh dan mansukh yaitu: Memberikan pengetahuan yang dapat membantu
seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks al-quran juga
dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang
turun kemudian. Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan
memperteguh kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah.
Sebab Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut
kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.

15
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A. Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta: ITQAN
Publishing. 2013.

Http://www.adipintar.com/2015/04/jumlah-ayat-al-quran-yang-dinasakh-
nasikh-dan-penjelasannya.html.

Http://www.khadirsyafruddin.blogs.com/2013/02/babI-pendahuluan-a.html,

16

Anda mungkin juga menyukai