Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ULUM AL-QUR’AN

Ilmu Nasikh Mansukh


Dosen Pengampu : Muhammad Aufal Minan, M. Pd

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK V
AULIA (221104050027)
UMU SALUMITA SARI (22104050012)
LUTFI ELMA SINTIYA (22104050024)
ZULFI ARIF FADHLI (22104050009)

PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah- Nya sehingga kami dari kelompok lima dapat
menyelesaikan makalah dengan tema ‘Ilmu Nasikh Mansukh’ pada mata kuliah Ulum Al-
qur’an dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Aufal Minan, M. Pd
selaku dosen pengampu mata kuliah Ulum Al-quran yang telah membimbing serta
mengarahkan dan memberi materi kepada kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dalam kelompok ini yang selalu setia
membantu dan menyelesaikan pengerjaan makalah ini dengan kompak dan tertib.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini, terdapat banyak kesalahan kata dan
penjelasan yang belum kami ketahui. Maka dari itu, kami terbuka untuk saran dan kritikan dari
Bapak Muhammad Aufal Minan, M. Pd. selaku dosen mata kuliah Ulum Al-qur’an dan teman-
teman demi tercapainya makalah yang baikdan benar serta bermanfaat di masa mendatang.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 14 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Naskh dan Masukh 2
B. Pendapat Ulama 3
C. Pembagian Naskh 4
D. Pedoman untuk mengetahui Naskh 6
BAB III PENUTUP 7
A. Kesimpulan 7
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena Naskh Hukum. Yakni, suatu fenomena berupa pembaruan atau
penyempurnaan atau pembatalan atau penggantian suatu produk hukum undang-
undang dengan produk hukum undang-undang terbaru yang sifatnya lebih idealis
sekaligus lebih realistis sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sifatnya dinamis. Naskh Hukum undang-undang merupakan suatu hal
yang realistis sekaligus idealis. Mengingat hukum undang-undang yang telah disusun
dan kemudian diterapkan oleh suatu bangsa dan negara itu haruslah bisa selalu sesuai
dengan segala bentuk kebutuhan dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
selalu berkembang secara dinamis.
Untuk sekedar memahami al Qur`an sejatinya merupakan suatu proses yang
relatif sulit. Apalagi untuk menafsirkan (menjelaskan) Al-Qur`an. Untuk layak
menafsirkan Al-Qur`an diperlukan ilmu yang luas dan dalam dari pelakunya (mufassir).
Di samping dipenuhinya sejumlah syarat oleh pelakunya. Al Zarkasyi dan al Suyuthi
tampak sama-sama mengatakan: 201 para imam mengatakan tidak boleh bagi 200
seseorang untuk menafsirkan Kitabullah kecuali setelah mengetahui ayat Nasikh dan
ayat Mansukh dari Al-Qur`an. Dan sungguh Ali (bin Abi Thalib) pernah mengatakan
kepada seorang Qadhi (Qash ?): apakah kamu mengetahui ayat Nasikh atas ayat
Mansukh. Dia (Qadhi / Qash) mengatakan: Tidak. Dia (Ali) mengatakan : Kamu rusak
dan merusak. Menurut riwayat Ibn Abd al Barr,202 Yahya bin Maktum mengatakan:
Tidak ada ilmu apapun yang wajib bagi para ulama dan para murid dan seluruh umat
Islam yang lebih utama daripada Ilmu Nasikh-Mansukh. Karena mengambil (ayat)
Nasikh-nya al Qur`an itu wajib sebagai suatu kewajiban dan penerapannya (ayat
Nasikh) itu wajib sebagai suatu keharusan dalam beragama, dan ayat Mansukh tidak
diterapkan dan tidak dipatenkan. Sehingga, pengetahuan akan hal itu wajib bagi setiap
ulama, agar dia tidak mewajibkan bagi dirinya dan bagi para hamba Allah atas suatu
perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau -agar dia tidak- menghilangkan dari
mereka suatu kewajiban yang diwajibkan Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Naskh dan Mansukh?
2. Bagaimana pendapat para ulama megenai Naskh dan Mansukh?
3. Apa saja pembagian dalam Naskh?
4. Bagaimanakah pedoman untuk mengetahui Naskh?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Naskh
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Mansukh
3. Untuk Mengetahui pendapat para ulama megenai Naskh dan Mansukh
4. Untuk mengetahui pembagian yang terdapat didalam Naskh
5. Untuk mengetahui pedoman untuk menetahui Naskh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Naskh dan Masukh


Menurut Ilmu Gramatikal Bahasa Arab (Shorof), kata Nâsikh dan kata Mansûkh
berasal dari kata Nasakha-Yansukhu- Naskh(an). Yakni, kata Nâsikh merupakan Isim
Fail dari Masdar berupa kata Naskh. Sehingga, kata Nâsikh pun bisa dimaknai sebagai
sesuatu yang me-Naskh. Adapun kata Mansûkh, ia merupakan Isim Maful dari Masdar
berupa kata Naskh. Sehingga kata Mansûkh tersebut bisa dimaknai sebagai sesuatu
yang di- Naskh.
Menurut al Zarqani,203 secara bahasa kata Naskh (Nasakha) memiliki dua makna.
Meliputi:
1) Menyingkirkan sesuatu dan menghilangkannya. Diantaranya seperti yang
terdapat dalam sabda Allah,
ٰ ‫ّللاه َما ي ْهلقِى الشي ْٰط هن ثهم يه ْح ِك هم‬
‫ّللاه ٰا ٰيتِه‬ َ ‫فَ َي ْن‬
ٰ ‫س هخ‬

“Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan, dan kemudian Allah
menguatkan ayat-ayat-nya. QS. Al-Hajj : 52
2) Seperti seperti yang diisyaratkan sabda Allah

ِ ‫علَ ْي هك ْم بِ ْال َح‬


َ‫ق اِنا هكنا نَ ْستَ ْن ِس هخ َما هك ْنت ه ْم تَ ْع َمله ْون‬ َ ‫ٰهذَا ِك ٰتبهنَا يَ ْنطِ هق‬
“Inilah Kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-
benarnya. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.”
Menurut al Zarqani, banyak definisi telah diberikan oleh para ulama untuk
menjelaskan dan menentukan pengertian definitif Naskh. Hanya saja definisi-definisi
Naskh itu sejatinya bisa disederhanakan lagi menjadi mengankat/mencabut/mengganti
hukum syariat dengan sebab dalil syariat.
Pengertian Naskh di atas memiliki empat maksud. Meliputi:
1) Ungkapan mengangkat ( mencabut / mengganti) hukum memiliki maksud
bahwa Naskh tidak mungkin ada tanpa adanya dua faktor. Faktor pertama: dalil
syariat muncul lebih akhir daripada dalil syariat -sebelumnya- atas hukum yang
-kemudian- diangkat (dicabut / diganti). Faktor kedua: kedua dalil syariat harus
bertentangan secara Hakiki (asli) sehingga tidak bisa dipertemukan dan -atau-
dilaksanakan bersamaan sekaligus.
2) Pengertian Naskh tidak mengarah kecuali kepada persoalan hukum. Sehingga,
pembagian Naskh ke dalam Naskh Tilâwah (bacaan) merupakan sesuatu yang
tidak memiliki makna (fungsi).
3) Pengertian Naskh memuat Naskh al Qur`an dan juga Naskh al Sunnah.
4) Pengertian Naskh tidak menyebutkan pelaku (subyek) secara jelas. Karena
pelaku Naskh yang Hakiki adalah Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan
oleh sabda Allah ‫س ْخ مِ ْن ٰا َية ا َ ْو نه ْن ِس َها‬
َ ‫( َما نَ ْن‬kami tidaklah me-Naskh suatu ayat
ataupun melupakannya. QS. Al-Baqarah: 106).

Adapun Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/


dipindah atau disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah, Mansukh adalah hukum

2
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

B. Pendapat Ulama
Kehadiran Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur'an telah lama menjadi
perdebatan di kalangan ulama. Di mana sumber dari pada perdebatan tersebut berawal
dari pemahaman mereka tentang QS. An-Nisaa’ 82:
‫ّٰللا لَ َو َجد ُْوا فِ ْي ِه ا ْخت ََِلفًا َكثِي ًْرا‬ َ ‫اَفَ ََل يَتَدَب َُّر ْونَ ْالقُ ْر ٰانَ ۗ َولَ ْو َكانَ مِ ْن ِع ْن ِد‬
ِ ‫غي ِْر ه‬

Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? Sekiranya (Al-Qur'an) itu


bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di
dalamnya.
Kesimpulan dari ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya
oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat al-
Qur’an yang secara zahir menunjukkan kontradiktif (Abu Anwar, 2002: 54).
Dalam hal ini terbagi dalam empat golongan:

1. Orang Syi’ah Rafidah, Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan
meluaskannya, mereka mandang konsep al-bada’ yakni suatu yang nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas) adalah sebagai suatu hal yang sangat mungkin terjadi
bagi Allah SWT. Mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi yang tidak
mengakui keberadaan nasakh. Kelompok Syi’ah Rafidah berargumentasi dengan
firman Allah SWT dalam ar-Ra’d [13]:39

ِ ‫ّٰللاُ َما يَش َۤا ُء َويُثْبِتُ َۚو ِع ْندَ ٓٗه ا ُ ُّم ْال ِك ٰت‬
‫ب‬ ‫يَ ْم ُحوا ه‬

Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya
terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).

Menurut al-Qattan yang dikutip oleh Anwar, bahwa pendapat ini kurang
tepat, Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan
menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat.

2. Abu Muslim al-Asfahani seorang mufassir Mu’tazilah, tidak setuju adanya naskh,
baik secara garis besar maupun secara terperinci, karena apabila ada ayat yang
secara sepintas dinilai kontradiktif tidak diselesaikan secara naskh tetapi dengan
jalan takhsis, sebab al- Qur,an adalah syari’at yang muhkam tidak ada yang
Mansukh. Al-Qur’an menyatakan dalam QS Fushshilat: 42

‫ََّّل يَأْتِ ْي ِه ْالبَاطِ ُل مِ ْۢ ْن بَ ْي ِن يَدَ ْي ِه َو ََّل مِ ْن خ َْلف ِٖه ۗت َ ْن ِز ْي ٌل ِم ْن َح ِكي ٍْم َحمِ ْي ٍد‬

Artinya :”Tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur,an baik dari depan atau
belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha
terpuji”
Ayat di atas yang dijadikan landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan
bahwa nasakh Mansukh tidak ada dalam al-Qur,an, yang ada hanya ‘am- takhshis.

3
Hal ini menghindari pembatalan hukum yang telah diturunkan oleh Allah karena
hal itu mustahil. Jika ada pembatalan hukum maka akan memunculkan adanya
pemahaman, Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehungga Dia perlu
mengganti/membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Jika pembatalan
hukum itu dilakukan oleh Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan
belaka.

3. Pendapat Jumhur Ulama, kelompok ini mengakui adanya nasikh dan mansukh
dalam al-Qur’an dan tetap berlaku, (Mereka berpendapat bahwa Naskh adalah
suatu yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum Syara’
berdasarkan dalili-dalil, baik naqli ataupun aqli (Anwar,..54), Firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 106

َ ‫ع ٰلى هك ِل‬
‫ش ْيء قَ ِديْر‬ َ ‫ّللا‬ ِ ْ‫س ْخ مِ ْن ٰا َية ا َ ْو نه ْن ِس َها نَأ‬
َ ٰ ‫ت ِب َخيْر ِم ْن َها ا َ ْو مِ ثْ ِل َها اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَن‬ َ ‫َما نَ ْن‬

Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu”

4. Menurut pendapat segolongan Ulama’ bahwa Allah berbuat secara mutlak, artinya
bahwa Allah SWT. dapat berbuat sesuatu dalam waktu tertentu dan dapat
melarangnya dalam waktu tertentu pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari
kamudharatan).

C. Pembagian Naskh
1. Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an
Contoh:

ِ َّ‫ير َو َم ٰنَ ِف ُع لِلن‬


َ‫اس َوإِثْ ُم ُه َما ٓٗ أ َ ْكبَ ُر مِ ن نَّ ْف ِع ِه َما ۗ َويَسْـَٔلُونَكَ َماذَا يُن ِفقُون‬ ٌ ِ‫ع ِن ْٱل َخ ْم ِر َو ْٱل َم ْيس ِِر ۖ قُ ْل فِي ِه َما ٓٗ إِثْ ٌم َكب‬
َ َ‫يَسْـَٔلُونَك‬
َّ
َ‫ت لَعَل ُك ْم تَتَفَ َّك ُرون‬ِ َ‫ٱل َءا ٰي‬
ْ ‫ٱَّللُ لَ ُك ُم‬ ٰ
َّ ‫قُ ِل ْٱلعَ ْف َو ۗ َكذَلِكَ يُبَيِ ُن‬

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Pada ayat lain yang turun selanjutnya
ُ ‫ص ٰلوة َ َوا َ ْنت ُ ْم‬
َ‫س ٰك ٰرى َحتهى ت َ ْعلَ ُم ْوا َما تَقُ ْولُ ْون‬ َّ ‫ٰ ٓٗياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََّل تَ ْق َربُوا ال‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”
Contoh naskh diatas sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-Nasikh wa Al-
Mansukh karangan Abu Mansyur Al-Baghdady
2. Naskh al-Qur’an dengan al-Sunnah
Pada bagian ini jumhur ulama berpendapat al-Qur’an tidak boleh di-nasikh oleh
hadits ahad. Sedangkan naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir dibolehkan oleh

4
Imam Malik, Imam Ahmad dan Abu Hanifah dalam satu riwayat. Mereka
beralasan Hadits dan Al-Qur’an adalah wahyu.51 Sebagaimana dalam QS. al-
Najm/53:3-452dan QS. al-Nahl/16:44.53Sedangkan di sisi lain Imam Syafi’i dan
Ahli Zahir menolak naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Berdasarkan pada firman
Allah dalam QS.Al-Baqarah/2:106, dimana hadits tidak sebanding dengan Al-
Qur’an.54 Dengan kata lain:55‫‚َّل يىسخ قرآن إَّل بقرآن‬al-Qur’an tidak di-naskh kecuali
dengan al-Qur’an‛.Faktor utama terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah ini
adalah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki Al-Qur'an dan sunnah
dalam syariat itu sendiri

3. Naskh al-Sunnahdenganal-Qur’an
Hal ini dibolehkan oleh jumhur ulama. Misalnya tentang masalah
menghadap ke Baitul Maqdis56 yang ditetapkan dengan sunnah kemudian di-
naskh oleh QS. Al-Baqarah/2:144
‫َط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام‬
ْ ‫فَ َو ِل َوجْ َهكَ ش‬

Artinya: ”Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”


Namun naskhversi ini juga ditolak oleh Imam Syafi’i. Menurutnya apa
saja yang ditetapkan oleh al-Sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an, begitupun
sebaliknya. Hal ini karena keduanya harus senantiasa sejalan dan tidak
bertentangan.57Penulis memahami bahwa baik naskh al-Qur’an dengan Sunnah
ataupun sebaliknya, tidak dibenarkan oleh Syafi’i

4. Naskh al-Sunnahdenganal-Sunnah
Pada bentuk naskh seperti ini terdapat empat bentuk, yaitu pertama; naskh
hadits mutawatir dengan yang mutawatir, kedua; naskh hadits ahad dengan
hadits ahad, ketiga; naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir, keempat; naskh
hadits mutawatir dengan hadits ahad. Untuk tiga bentuk naskh yang pertama
masih dibolehkan, namun untuk naskh yang keempat juga ada sebagian yang
menolak dengan menganalogikan kepada naskh al-Qur’an.
Contoh dari sunnah misaInya, hukum ziarah kubur. Di dalam hadis Nabi
SAW. Disebutkan bahwa "Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur,
sekarang lakukanlah "(Lihat Jami' al-Sahih oleh Imam Muslim). 58Kelompok
pendukung nasikh mansukh, melanjutkan pembahasan ulumul Qur'an mereka
membagi nasikh mansukh menjadi tiga kategori. Kategori pertama; ayat yang
bacaan dan hukumnya di-nasikh, contohnya sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim
hadis dari 'Aisyah ra. tentang dua anak yang berlainan ibu sudah dianggap
bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah
seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan ini kemudian di nasikh menjadi
lima isapan, ayat tentang sepuluh atau lima isapan. Dalam menyusu kepada seorang
ibu sekarang sudah tidak terdapat dalammushafal-Qur'an (mushaf Usmani) karena
baik bacaan maupun hukumnya telah dinaskh.59Namun dalam peristiwa ini, Qadi
Abu Bakar menceritakan dalam al-Intisar bahwa terdapat suatu kaum yang
mengingkari naskh semacam ini dengan alasan ada khabar yang berkaitan
dengannya. Tetapi penolakan itu tidak dibenarkan khabar ahad tidak boleh
dijadikan hujjah.60Kategori kedua;ayat yang bacaannya di-nasikh,

5
sedangkanhukumnya tidak. Contohnya ayat tentang hukum rajamkepada orang tua
yang berzina. Pada awalnya ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur'an, kemudian
bacaannyadi-nasikh, sementara hukumnya tetap berlaku. Ayat yang dinyatakan
mansukh bacaannya sementara hukumnya tetap berlaku adalah “Jika seorang pria
tua dan wanita tua berbuat zina, maka rajamlah keduanya”
Kisah tentang ayat perlakuan terhadapa orang tua berzina di atas
dicontohkan oleh Amir Abd.Aziz, berdasarkan riwayat dari Ubai bin Ka’ab.61
Kategori ketiga; ayat yang bacaannya berlaku, sedang hukumnya di-
nasikh.Misalnya mengenai QS. Al-Baqarah/2:24062tentang masa iddah seorang
isteri selama satu tahun..

D. Pedoman untuk mengetahui Naskh


Adapun ayat-ayat yang masyur naskhnya dapat kita lihat di bawah ini, diantara
ayat yang masyur naskhnya terdapat dalam surah al-baqarah ayat 180 dinaskhan dengan
hadits; “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepda setiap orang yang mempunyai
hak akan haknya maka tidak ada wasiat bagi waris”. Ayat 240 dalam surah al-baqarah
dinaskhan dengan ayat 234 terdapat dalam surah yang sama. Dan ayat 224 dalam surah
al-baqarah dinaskhan dengan ayat 286 dalam surah yang sama.
Setelah sedikit membahas seluk beluk tentang naskh tentu terjadi naskh dalam
syariat tidak terlepas dari hikmah, karena jika tanpa hikmahnya bisa saja dikatakan
Allah bermain-main dengan hukum yang diturunkannya. Adapun hikmah adanya naskh
adalah untuk menjaga kemaslahatan hamba, perkembangan tasyri menuju tingkat
sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi manusia,
cobaan dan ujian bagi mukalaf, apakah ia mengikuti atau tidak dan menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih kepada yang lebih
berat maka terdapat tambahan pahala, jika beralih ke yang lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan bagi hambanya.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita bisa mendapatkan beberapa point penting
mengenai nasikh yang didefinisikan dengan ungkapan mengangkat (mencabut /
mengganti) hukum memiliki maksud bahwa Naskh tidak mungkin ada tanpa adanya
dua faktor. Faktor pertama adalah dalil syariat muncul lebih akhir daripada dalil syariat
sebelumnya atas hukum yang kemudian diangkat (dicabut / diganti). Sedangkan faktor
kedua, dalil syariat harus bertentangan secara Hakiki (asli) sehingga tidak bisa
dipertemukan dan/atau dilaksanakan bersamaan sekaligus. Adapun Mansukh menurut
bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah atau disalin/dinukil.
Sedangkan menurut istilah, Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum
dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Menurut pendapat ulama terbagi menjadi empat golongann dimana terdiri dari
Orang Syi’ah Rafidah, Abu Muslim al-Asfahani, Pendapat Jumhur Ulama, Menurut
pendapat segolongan Ulama’ bahwa Allah berbuat secara mutlak, artinya bahwa Allah
SWT. dapat berbuat sesuatu dalam waktu tertentu dan dapat melarangnya dalam waktu
tertentu pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari kamudharatan). Sedangkan
pembagian Naskh dibagi atas, Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an, Naskh al-Qur’an
dengan al-Sunnah, Naskh al-Sunnah dengan Al-Qur’an, dan Naskh al-Sunnah dengan
al-Sunnah.

7
DAFTAR PUSTAKA

Akmal. (2018). Jurnal Al-Mubarok. Naskh dalam Al-Qur'an, 3, 1.


Badrudin. (2020). Ulumul Qur'an. Serang.
Muzzaki, A. (2020). AL-WASITOH: Jurnal Ilmu-ilmu Agama. Teori Nasikh Mansukh dalam
Al-Qur'an, 205-226.

Anda mungkin juga menyukai