Anda di halaman 1dari 21

NASAKH DAN MANSUKH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Ulumul Qur’an


Dosen Pengampu : Drs. KH. Mustafidin Ahmad

Disusun oleh :

Dani Aziz P. : PAI


M. Rijal : PAI
Qurrotulaini : PAI
Ujang Mustofa : HES

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MAS’UDIAH


SUKABUMI

1444 H/2023 M
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................4
A.    Latar Belakang...........................................................................................4
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................5
PEMBAHASAN.....................................................................................................5
A. Pengertian Nasakh dan Mansukh..............................................................5
1. Dalil Nasikh Mansukh........................................................................6
2. Pandangan Ulama’ Tentang Ayat Nasikh dan Mansukh...................7
3. Macam-macam nasikh mansukh dari segi yang boleh menasikh.....8
4. Bentuk-bentuk naskh dalam al-Qur’an.............................................9
B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh............................................................11
1. Klasifikasi Nasikh..................................................................................11
2. Ciri-ciri nas yang tidak dapat di-naskh...............................................12
3. Cara Mengetahui Nasakh dan Macam-Macamnya..............................13
C. Perbedaan antara Nasikh dan Takhshis...................................................13
D. Pebedaan pendapat tentang ayat-ayat mansukh.....................................14
E. Syarat nas yang dapat di-naskh.................................................................19
F. Hikmah adanya nasikh Mansukh...............................................................19
BAB III..................................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................................20
A. Kesimpulan..................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa
menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang
telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah


yang menjadi tugas ‘Ulumul Qur’an dengan judul ‘Nasakh Mansukh’.
Di samping itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah
ini.

Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna
memperbaiki karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.

Sukabumi, 16 Februari
2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menurunkan syari’at di dalam Alquran kepada Nabi
Muhammad untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan
muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’āmalah memilki prinsip
yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara
keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan
manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap
beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai
dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasakh mansukh
terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai
dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk
mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh
mansukh dalam Al-qur’an.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Nasakh dan Mansukh?
2. Apa saja klasifikasi Nasakh dan Mansukh?
3. Apa perbedaan antara Nasakh dan Takhshish?
4. Bagaimana perbedaan Pendapat antara Ayat-ayat Mansukh?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Nasikh dan Mansukh
2. Mengetahui Klasifikasi Nasikh dan Mansukh
3. Mengetahui Perbedaan Nasikh dan Takhshish
4. Mengetahui Perbedaan pendapat Ayat-ayat Mansukh
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh dan Mansukh


Nasakh adalah isim fa’il (bentuk subjek) dari kata kerja
‘nasakha’ dan masdarnya adalah ‘naskhun’ atau ‘naskh’.Secara lughuwi,
nasakh mansukh terdiri dua kata yaitu nasaknh dan mansukh. Kata ini
berasal dari bahasa arab, nasakh memiliki makna menghapus, sedangkan
mansukh bermakna ayat yang dihapus. Terdapat beberapa arti naskh,
diantaranya adalah ‘al-Izalah’ artinya “menghapus”. Dalam al-Qur’an
disebutkan :
“Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan syaitan itu,
dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Hajj : 52)

Diartikan juga ‘at-Tabdil’ artinya “menukar”. Sebagaimna


disebutkan dalam al-Qur’an Q.S an-Nahl : 101 yang artinya :
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padalah Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-
ngadakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

Selain itu, naskh juga dapat berarti ‘at-Takwil’ artinya


“mengubah”, selain itu juga dapat diartikan ‘an-Naql’ artinya
“memindahkan”.

Secara terminology, naskh adalah mengangkat (menghapus)


dalil hukum syar’i dengan dalil hukum syar’i yang lain. Naskh adalah
dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan Mansukh adalah hukum
syara’ yang telah dihapus.
Imam al-Zarqani berpendapat mengenai definisi naskh :

a) Imam al-Zarqani dalam Manahilul al-‘Irfan memberikan definisi


yang secara etimologis, nasikh itu bermakna dua:
Pertama, naskh bermakna izâlah al-syayi wa i‘damuhu
(menghapuskan sesuatu dan menghilangkannya).
Kedua, naskh bermakna naql al-syai’i wa tahwîluhû ma‘a
baqâ’ihi fî nafsihi (menyalin sesuatu dan memindahkannya, dan
aslinya masih tetap ada).

1. Dalil Nasikh Mansukh


Dalil nasikh mansukh ini bermula dari ayat al-Quran berikut ini:

‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا اَوْ ِم ْثلِهَا ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌ@ر‬
ِ ‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَا نَْأ‬

Artinya: “Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan


(manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang
lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau
tidak mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu?” (QS. Al-Baqoroh: 106)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nasakh Mansukh


terjadi karena al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai
dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu, untuk
mengetahui al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasakh
mansukh dalam al-Qur’an.

2. Pandangan Ulama’ Tentang Ayat Nasikh dan Mansukh


Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa sebagian ulama
(menurutnya qâla ba‘duhum) surat-surat Al-Qur’an menurut nâsikh–
mansûk terbagi kepada empat kelompok, yaitu :
a) Pertama, kelompok yang tidak terdapat di dalamnya nâsikh–
mansûkh, jumlahnya 43 surat: al-Fâtihah, Yûsuf, Yâsîn, al-
Hujurât, al-Rahmân, al-Hadîd, al- Shaff, al-Jumu‘ah, al-Tahrîm,
al-Mulk, al-Hâqqah, Nûh, al-Jinn, al- Mursalât, ‘Amma, al-
Nâzi‘ât, al-Infithâr dan tiga surat setelahnya37, al-Fajr,
dan setelahnya sampai akhir Al-Qur’an, kecuali surat al-Tîn,
al-‘Ashr dan al-Kâfirûn.

b) Kedua, kelompok yang di dalamnya terdapat nâsikh–mansûkh,


jumlahnya 25 surat: al-Baqarah dan tiga surat sesudahnya, al-
Hâjj, al-Nûr dan surat berikutnya Al-Furqân, al-Ahzâb,
Saba’, al- Mu’min, al-Syûrâ, al-Dzâriyât, al-Thûr, al-Wâqi‘ah,
al-Mujâdilah, al- Muzammil, al-Muddatsir, Kuwwirat, dan
al-‘Ashr.

c) Ketiga, kelompok yang hanya mengandung nâsikh saja,


jumlahnya 6 surat: al-Fath, al- Hasyr, al-Munâfiqûn, al-
Taghâbun, al-Thalâq, dan al-A‘lâ. Dan keempat, kelompok
yang hanya mengandung mansûkh saja, yakni empat puluh
surat dari sisa yang tidak disebutkan.

d) Dan keempat, kelompok yang hanya mengandung mansûkh


saja, yakni empat puluh surat dari sisa yang tidak disebutkan.

3. Macam-macam nasikh mansukh dari segi yang boleh menasikh


a) Pertama, Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ada beberapa pendapat para ulama tentang naskh al-Qur'an
dengan al-Qur'an ada yang mengakatan tidak ada naskh dan
mansukh dalam ayat-ayat al-Qur'an karena tidak ada yang bathil
dari al-Qur'an, diantaranya adalah Abu Muslim al-Isfahani
berdasarkan Firman Allah
“Yang tidak dating kepadanya (al-qur’an) kebathilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Fussilat : 42)

Pendapat kedua mengatakan bahwa ada naskh dan


Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur’an tetapi bukan menghapus
atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau
mengganti dan keduanya masih berlaku. Contoh Q.S. al-Anfal :
65 yang menjelaskan satu orang muslim harus bisa menghadapi
10 orang kafir, di-naskh dengan al-Qur’an Q.S. al-Anfal : 66
yang menjelaskan bahwa satu orang muslim harus dapat
menghadapi 2 orang kafir. Ayat 66 men-naskh ayat
sebelumnya, akan tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65.
Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan kondisi dan
situasi. Demikian menurut beberapa ulama.

b) Kedua, Nasakh hadis dengan al-Qur’an


Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah
kemudian di-naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur’an, seperti
ayat tentang shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis
diganti dengan menghadap ke Kiblat setelah turun al-Qur’an
Surah al-Baqarah : 144

ْ @‫@ولِّ َوجْ هَ@@كَ َش‬


‫ط َر ْال َم ْس@ ِج ِد‬ َ َّ‫الس@ َما ِء فَلَنُ َولِّيَن‬
َ ْ‫ك قِ ْبلَ@ةً تَر‬
َ @َ‫ض@اهَا@ ف‬ َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬
َّ ‫ك فِي‬
‫ْال َح َر ِام‬

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke"


langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram” (Q.S. al-Baqarah : 144)

c) Ketiga, Nasakh hadis dengan hadis


Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di-naskh
dengan dalil syara’ dari sunnah juga.
Contohnya larangan ziarah kubur yang dinaskh menjadi
boleh, seperti pada hadis di bawah ini :

@‫ار ِة ْالقُبُوْ ِر َأالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬ ُ ‫ُك ْن‬


َ َ‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْ@م ع َْن ِزي‬

“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka


sekarang berziarahlah”

Hukum syara’ larangan ziarah kubur kini telah Mansukh (telah


dihapus) dengan kebolehan berziarah kubur.

4. Bentuk-bentuk naskh dalam al-Qur’an


a) Naskhul hukmi wat tilaawah (Penghapusan terhadap hukum
dan bacaan secara bersamaan)
yaitu menasikh bacaannya al-Quran sekaligus hukum yang di
kandung dalam ayat yang di naskh. Contoh: ayat yang
menjelaskan 10 kali menyusu kepada seseorang dapat menjadikan
mahram dalam hidupnya. Tetapi yang menjelaskan hukum tersebut
sudah di naskh hukum sekaligus tilawah (bacaannya) sehingga
sekarang hukumnya sudah tidak ada, begitu juga teks ayatnya di
dalam al-Quran juga sudah di hapus.
Hal ini berdasar hadis riwayat sayyidah ‘Aisyah:

ٍ ‫س َم ْعلُو َما‬
‫ت‬ ٍ ‫ت ي َُحرِّ ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِخَ ْم‬
ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ ِ ْ‫ َكانَ فِي َما ُأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُر‬.
َ ‫آن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬

Artinya: “Permasalahan orang yang menyusui anak orang lain,


adalah Sepuluh kali susuan yang dpat menjadikan mahroh,
kemudian itu dinaskh dengan lima kali penyusuan”. (HR. Muslim)

b) Naskhul hukmi lat tilaawah (Penghapusan terhadap hukumnya


saja sedangkan bacannya tetap ada)
yaitu penaskhan yang di lakukan hanya hukumnya saja. Sedangkan
teks ayat ayat al-Qurannya masih ada dalam al-Quran. Contoh nasikh
mansukh ini yaitu ayat di bawah ini:
‫صبِرُوْ نَ يَ ْغلِبُوْ ا ِماَئتَ ْي ۚ ِن َواِ ْن‬ ٰ َ‫ض ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َعلَى ْالقِتَا ۗ ِل اِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِع ْشرُوْ ن‬ ٓ
ِ ِّ‫ٰياَيُّهَا النَّبِ ُّي َحر‬
َ‫يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِّماَئةٌ يَّ ْغلِب ُْٓوا اَ ْلفًا ِّمنَ الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا بِاَنَّهُ ْم قَوْ ٌم اَّل يَ ْفقَهُوْ ن‬

Artinya: “Wahai Nabi (Muhammad), kobarkanlah semangat


orang-orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang
yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus (orang musuh); dan jika ada seratus orang (yang sabar)
di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang
kafir karena mereka (orang-orang kafir itu) adalah kaum yang
tidak memahami” (QS. Al-Anfal: 65)

Kemudian ayat tersebut di naskh dengan berikut ayat berikut ini:

‫هّٰللا‬
‫ص@ابِ َرةٌ يَّ ْغلِبُ@@وْ ا ِم@@اَئتَي ۚ ِْن َواِ ْن‬َ ٌ‫ض@ ْعفً ۗا فَ@اِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِّماَئة‬ َ ‫اَ ْلٰٔـنَ َخفَّفَ ُ َع ْن ُك ْم َو َعلِ َم اَ َّن فِ ْي ُك ْم‬
ّ ٰ ‫ف يَّ ْغلِب ُْٓوا اَ ْلفَي ِْن بِاِ ْذ ِن هّٰللا ِ َۗوهّٰللا ُ َم َع ال‬
َ‫صبِ ِر ْين‬ ٌ ‫يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم اَ ْل‬

Artinya: “Sekarang (saat turunnya ayat ini) Allah telah


meringankan kamu karena Dia mengetahui sesungguhnya ada
kelemahan padamu. Jika di antara kamu ada seratus orang yang
sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang
musuh) dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar),
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin
Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 66)

c) Naskhut tilawah la hukmi (penghapusan terhadap bacaannya


saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku)
Contohnya nasikh mansukh ini yaitu ayat berikut ini:

ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
Artinya: “Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka
rajamlah keduanya. Dan Allah itu maha tinggi lagi Maha
Bijaksana”
Ayat ini dahulu pada masa awal islam sempat tertera dalam al-
Quran, namun ayat tersebut di naskh dengan Al-quran surah An-
Nur ayat 2.
Karena yang di naskh dalam ayat ini adalah tilawahnya
makanya, teks ayat ini pun juga di hapus di dalam al-Quran.
Sedangkan yang menaskh ayat ini adalah ayat berikut:

‫@ذ ُك ْم بِ ِه َم@@ا َرْأفَ@ةٌ فِ ْي ِد ْي ِن هّٰللا ِ اِ ْن‬


ْ @‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل@ َد ٍة ۖ َّواَل تَْأ ُخ‬
َ‫ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۚ ِر َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما طَ ۤا ِٕىفَةٌ ِّمنَ ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬

Artinya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-


masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan)
agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari
Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka
disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin”

B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh


1. Klasifikasi Nasikh
Para ahli ushul yang mengakui keberadaan nasakh itu, membagi
nasakh menjadi beberapa bagian, yaitu:

1) Nasakh yang gantinva tidak ada, seperti nasakh terhadap


keharusan orang yang akan berbicara dengan Nabi SAW untuk
bersedekah kepada orang miskin.
2) Nasakh yang gantinya ada, seperfi kewajiban shalat yang asalya
sebanyak 50 kali sehari semalam, menjadi hanya 5 kali sehari-
semalam.
3) Nasakh bacaannya, tetapi hukumnva tetap berlaku, seperti
hukum ranjam bagi laki-laki dan wanita tua yang telah menikah
dan ini di-nasakh dengan ayat lain.
4) Nasakh hukumnya, tetapi bacaannva masih ada. seperti nasakh
terhadap kewajiban sedekah kepada orang miskin.
5) Nasakh hukumnya dan bacaannya sekaligus, seperti hukurn
haramnya menikahi saudara sesusuan dengan batasan 10 kali
menjadi hanya 5 (Hadis riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Aisvah)
6) Penambahan hukum dari hukum yang pertama. Dalam masalah
ini yang dipersoalkan adalah

2. Ciri-ciri nas yang tidak dapat di-naskh


Tidak semua nas (dalil) dalam al-Qur’an maupun hadis dapat
dinaskh, diantara yang tidak dapat dinaskh antara lain, yaitu :

a. Nas yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh


perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi
apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah, Rasul, Malaikat,
kitab suci, hari akhir, dan yang menyangkut pada pokok-pokok
aqidah dan ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok
keutamaan, seperti menghormati orang tua, jujur, adil, dll.
Demikian pula dengan naskh pokok-pokok keburukan atau
dosa, seperti syirik, membunuh orang tanpa dasar, durhaka
kepada orang tua, dll.

b. Nas yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang di


kuatkan atau di tentukan berlaku selamanya. Seperti tidak di
terimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) umtk
selamanya (Q.S. An-Nur : 4)

c. Nas yang menunjukan kejadian atau berita yang telah terjadi


pada masa lampau. Seperti kisah kaum ‘ad, kaum samud, dll.
Menasakhkan yang demikian yang berarti mendutakan berita
tersebut.

3. Cara Mengetahui Nasakh dan Macam-Macamnya


Manna’ al-Qatthan menetapkan 3 cara untuk mengetahui bahwa
suatu dapat dikatakan nasakh, dan ayat lain dikatakan mansükh,
yaitu:
a. Keterangan tegas dan Nabi.
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasakh dan
mansukh.
c. Melalui study sejarah.

Adapun pembagian nasikh ada 4 bagian yaitu:


1. Nasikh Al-Qur’an dengan-Al-Qur’an
2. Nasikh Al-Qur’an dengan Sunah
Dalam hal ini dibagi menjadi 2 macam:
a. Nasakh Qur’an dengan hadis ahad
b. Nasakh Qur’an dengan hadis mutawatir
3. Nasakh Sunah dengan Qur’an
4. Naskh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir.
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawattir dengan ahad

C. Perbedaan antara Nasikh dan Takhshis


Takhshîsh dan Nashkh memiiki titik kesamaan, yaitu bahwa
keduanya mengeluarkan makna sebagian dari apa yang dicakup
oleh lafazh. Hanya saja, keduanya memiliki beberapa perbedaan,
yaitu :

1. Takhshish menunjukkan bahwa makna yang keluar dari lafazh


‘âm bukan merupakan makna yang dimaksudkan sejak awal.
Sementara nashkh menunjukkan bahwa mansûkh merupakan
makna yang dimaksudkan sejak awal.
2. Takhshîsh disertai dengan indikator (qarînah) dan tarâkhiy
(datang setelah nash ‘âm).
3. Takhshîsh tidak akan terjadi pada kata perintah (amr),
sementara orang yang diperintah untuk mengerjakan sesuatu
hanya satu, karena takhshîsh hanya berlaku pada sesuatu yang
sifatnya kelompok. Takhshîsh boleh dengan dalil naqliy, seperti
al-Qur’an dan al-Sunnah, boleh dengan logika, seperti qiyas dan
boleh juga dengan indikator (qara’in) yang ada. Sementara
nashkh tidak dapat berlaku selain dari nash syariat saja,
maksudnya dari al-Qur’an atau al-Hadits.
4. Menurut sebagian besar para ulama, bahwa takhshish tidak
mengeluarkan lafazh ‘am untuk dijadikan sebagai argumentasi
ijtihad (hujjah). Dengan kata lain bahwa lafazh ‘âm tetap dapat
dijadikan sebagai argumentasi selain pada sesuatu yang sudah
ditakhshîsh Sementara nashkh menggugurkan seluruh hukum
dari nash yang mansûkh.
5. Takhshîsh hanya berlaku bagi sebagian dari golongan atau
kelompok, sementara naskh terkadang mengangkat ketetapan
hukum pada semua bagian atau semua kelompok tadi, atau
hanya berlaku pada sebagian kelompok saja.
6. Tidak diperbolehkan mentaskhshîsh ketetapan hukum dengan
ketetapan hukum yang lain, sementara dibolehkan menaskh
ketetapan hukum dengan ketetapan hukum lain.
7. Takhshîsh tidak akan berlaku selain pada lafazh ‘âm, sementara
naskh berlaku pada lafazh ‘âm dan khâsh

D. Pebedaan pendapat tentang ayat-ayat mansukh


 Surah-surah yang ada mansukhnya saja, ada 40 Surah
 Surah-surah yang ada nasikh-mansukhnya, ada 25 Surah
 Surah-surah yang ada nasikhnya saja, ada 6 Surah

Bertitik tolak dari ayat 106 Al Baqarah dan ayat 101 An Nahl
sebagai subyek timbulnya faham tentang naskhul Qur’an, sekaligus
menjadi sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan
Musfasirin, yang kemudian menjadi dua kelompok antara yang
mengakui dan yang menolak.

Kedua ayat tersebut adalah :


ْ‫@ر ِّم ْنهَ@@ٓا اَوْ ِم ْثلِهَ@@ا ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُك@@لِّ َش@ ْي ٍء قَ@ ِدي‬ ِ ‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَا نَ@ْأ‬
ٍ @‫ت بِ َخ ْي‬
“Apa-apa saja ayat yang kami nasakhkan kami jadikan manusia
lupa kepadanya, atau kami gantikan dengan yang lebih baik dari
padanya, atau yang sebanding dengannya.
Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu

Ayat kedua :

َ‫َواِ َذا بَ َّد ْلنَٓا ٰايَةً َّم َكانَ ٰايَ ٍة ۙ َّوهّٰللا ُ اَ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ْٓوا اِنَّ َمٓا اَ ْنتَ ُم ْفت ۗ ٍَر بَلْ اَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُموْ ن‬
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain,
dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-
ada saja.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui”.

Kedua ayat diatas ini telah menimbulkan dualisme penafsiran


dikalangan Ulama pentafsir Al-Qur’an. Segolongan yang mansukh.
Dengan kedua ayat ini pula Mufassir yang lain menolak adanya
nasakh beberapa qarinah. Sebab kata nasakh itu sendiri beberapa arti.
Pertama yaitu nasakh bisa menghapus atau menghilangkan, Kedua
yaitu nasakh bisa bermakna menyalin atau memindahkan.

Sebagian ulama ada yang menggunakan alasan dengan bahasa


karena dihapus, dihilangkan, diganti, dan sebagainya, yang pada
intinya memiliki makna yang sama, yaitu tidak diberlakukannya suatu
hukum karena dianggap telah diganti oleh hukum yang lain,
dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada
umat, sesuai dengan kebutuhan.

Maka dari itu, pergantian hukum dalam Al-Qur’an (mansukh)


sangat memungkinkan terjadi, untuk menyesuaikan makna teks
dengan situasi dan kondisi seiring dengan perjalanan waktu dan
perkembangan umat dari berbagai aspek.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Thabathaba’i, bahwa setiap
teks Al-Qur’an yang diturunkan memiliki kemaslahatan masing-
masing. Ayat-ayat yang dinasakh (mansukh) memiliki kemaslahatan
(kesesuaian) pada masanya, sedangkan ayat-ayat yang menasakh juga
memiliki kemaslahatan tersendiri pada masa setelahnya.
Akan tetapi, menetapkan nasikh dari yang mansukh dalam ayat-
ayat Al-Qur’an pada dasarnya di dasarkan pada pengetahuan yang
cermat tentang sejarah azbabun nuzul dan kronologi turunnya ayat,
dan ini bukan masalah mudah, sebagaimana yang dikatakan Ikrimah
ketika ditanya oleh Muhammad bin Sirrin, tentang mengapa para
sahabat tidak menyusun Al-Qur’an berdsarkan kronologi turunya, Ia
menjawab: “Andaikata manusia dan jin berkumpul untuk
bersamasama menyusunya dengan cara itu, mereka tidak akan
mampu.”

Faktor inilah yang menjadikan upaya menetapkan mana yang


nasikh dan mana yang mansukh tidak selalu gampang. Barangkali
faktor inilah yang menjadi sebab mengapa ulama Al-Qur’an belebih-
lebihan dalam memberikan contoh-contoh yang mereka bicarakan
dalam masalah ini. Mereka menjadikan setiap perbedaan sebagai satu
jenis naskh. Dan dalam hal ini mereka mencampur adukkan antara
sarana-sarana takhshih kebahasaan dalam satu ayat dengan perubahan
hukum karena perubahan situasi dan kondisi.

“Yang tidak dating kepadanya (al-Quran) kebathilan baik dari depan


maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (QS. Fussilat: 42)

Secara ringkas, pendapat ulama mengenai adanya nasikh dalam al-


Quran dapat dikelompokkan yaitu :

a. Pendapat orang yahudi mereka tidak mengakui adanya nasakh,


karena menurutnya, nasakh mengandung konsep bada‟ yakni
nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka
adalah nasakh itu ada kalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi
Allah. Dan ada kalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya
tidak tampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang di dahului
oleh ketidak jelasan.

b. Pendapat Syi‟ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam


menetapkan nasakh dan meluaskannya. Mereka memandang
konsep al-bada‟ sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi
Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi
dengan orang yahudi. Mereka mengajukan argumentasi untuk
memperkuat pendapatnya dengan ucapanucapan yang dinisbatkan
kepada Ali ra. Secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
(Al-Baqarah: 269).
c. Pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, menurutnya, secara logika
nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut
syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi
nasakh dalam Al-Qur’an berdasarkjan firman-Nya: (Fussilat: 42).
d. Pendapat Jumhur Ulama, mereka berpendapat bahwa nasakh
adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi
dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
e. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan
tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan
melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang
mengetahui kepentingan hamba-hambanya.
f. Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan
terjadinya, antara lain: surat An-Nahl: 101 dan Al-Baqarah: 106.
Kemudian dalam hadis shahih, dari Ibnu Abbas ra, berkata:
“yang paling paham dan paling menguasai al-Quran diantara
kami adalah Ubai, namun demikian, kami meninggalkan sebagian
kata-katanya karena ia mengatakan: aku tidak akan meninggalkan
sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah
Saw.”
g. Menurut jumhur yang lebih baik dari padanya, maksudnya
adalah kebaikan diantara hukum-hukum. Yaitu hukum pada An
Nasakh itu lebih baik dari pada hukum yang ada pada Al Mansukh,
sesuai dengan waktu dan kepentingannya, dan bukanlah yang di
maksud itu bahwa lafadz sesuatu ayat lebih baik dari pada lafadz
yang lain.
Kalau masalahnya terletak dalam hal ini, maka hukum yang ada
pada An Nasikh akan selalu lebih baik dari pada yang ada pada Al
Mansukh, baik An Nasikh itu Al Q ur’an maupun As Sunnah,
karena semuanya merupakan bentuk dari dzat Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Ash Shabuni : 62 ).

Dengan demikian, pemikiran nasakh jelas berpotensi


melahirkan kontroversi di kalangan ulama, karena ayat-ayat yang di-
mansukh, sangat paradoksal dengan eksistensi Al-Qur’an sendiri
sebagai kitab yang selalu sesuai di setiap ruang dan waktu (shalihu
likulli zaman wa makan), terbukti, adanya ayat mansukh tersebut
secara hukum tidak diberlakukan lagi karena telah diganti dengan
hukum dalam ayat yang lain. Di samping itu, dasar hukum (ayat) yang
menegaskan adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an
mengandung pemahaman yang multi tafsir, karena kata ”ayat” yang
menjadi dasar tersebut berbentuk isim Nakirah yang berpotensi
melahirkan penafsiran yang variatif. Akibatnya, pemaknaan terhadap
ayat tersebut tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, melainkan
juga kontekstual. Kedua cara pemaknaan itu pada akhirnya berimbas
pada perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan ulama tafsir.

E. Syarat nas yang dapat di-naskh


Jika dilihat dari segi syarat-syarat nas-nas yang dapat di-naskh
menurut Abu Zahrat seperti yang dikutip oleh Nasiruddin Baidan,
ada beberapa kriteria, yaitu :
a. Hukum yang Mansukh (dihapus) tidak menunjukkan abadi
b. Hukum yang Mansukh bukan suatu hukum yang disepakati oleh
akal sehat tentang baik dan buruknya
c. Ayat nasikh (yang menghapus) dating setelah yang di-mansukh
(dihapus) dan keadaan kedua nas tersebut sangat bertetntangan
dan tidak dapat dikompromikan.
F. Hikmah adanya nasikh Mansukh
1. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga
jalan fikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT.
Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal
tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa
kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita.
Sehingga diharapkan dari keberadaan naskh dan Mansukh ini akan
mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa
Dial ah yang Maha Menentukan.
2. Kita semakin yakin bahwa Allah SWT Maha Bijak, Maha Kasih,
Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum
naskh dan Mansukh tersebut semuanya demi untuk kemashlahatan
dan kebaikan manusia.
3. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam
dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul hukmi (alas an
ditetapkannya suatu hukum)
4. Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai
dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.
5. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau
tidak

6. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika


naskh itu beralih ke hal yang lebih berat makan di dalamnya
terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan
makai a mengandung kemudahan dan keringanan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa nasakh adalah menghapus, sedangkan mansukh
adalah yang dihapus. Dengan demikian ada dua hal yang terkait
yakni Nasikh dan Mansukh. Sedangkan menurut istilah yang
dimksud dengan Nasaikh adalah meñghapuskan suatu ketentuan
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian. Atau
Iebih jelasnya Nasikh adalah menghapus/ membatalkan berlakunya
sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang
kemudian. Sedangkan Mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum
syara yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu. Jadi
Nasikh berarti menghapus sedangkan Mansukh berarti dihapus.

Nasikh memang ada dan terjadi dalam syariat islam, khususnya


selama dalam proses pembentukannya. Tentang ayat-ayat Al-Qur’an
dalam mushaf yang seperti keadaanya yang sekarang ini yakin telah
disepakati tidak ada yang mansukh. Bahwa didalam Al-Qur’an yang
ada itu juga terdapat nasikh dan mansukh, hanya saja kejadiannya
adalah di zaman Rasulullah Saw. Lalu apa yang ada di dalam Al-
Qur’an sekarang ini tidak ada lagi nasikh-mansukh, dan tidak akan
ada atau terjadi penasakhan di dalamnya hingga hari kiamat.

B. Saran
Demikianlah makalah tentang Nasikh dan Mansukh yang telah
kelompok kami buat, saya meminta maaf jika ada kesalahan atau
kekurangan pada makalah ini, semoga bisa bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

http://afifulikhwan.blogspot.com/2010/01/nasakh-mansukh.html?m=1
https://iqipedia.com/2022/04/03/nasikh-mansukh-pengertian-macam-
macam-dan-contohnya/4/
http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-
nasikh-dan-mansukh.html?m=1
ILMU TAFSIR

Anda mungkin juga menyukai