Anda di halaman 1dari 17

NASAKH DAN MANSUKH

STUDY QURAN

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Filsafat Ilmu Prodi Pascasarjana Konsentrasi Pendidikan Agama Islam UIN Alauddin
Makassar

Oleh:

ANNISA FITRIANI

80200223026

Dosen Pengampu:

Dr. Hamka Ilyas, M.Th.I

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah swt. karena dengan izin-Nya kami

dapat menyelesaikan makalah yang telah diamanahkan kepada kami. Shalawat

serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah

membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam, Nabi yang sepantasnya kita

jadikan teladan dari setiap sisi kehidupannya bilamana kita ingin merasakan

nikmatnya hidup di dunia dan di akhirat.

Makalah ini menjelaskan tentang”Nasakh Dan Mansukh” Dalam makalah

ini kami tuliskan sesuai dengan hasil tinjauan pustaka yang dilakukan berdasarkan

referensi yang relevan dengan judul makalah kami.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen

pembimbing dalam mata kuliah Study Quran dan semua pihak yang telah

membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan kami memahami jika

makalah ini tentu memiliki kekurangan maka kritik dan saran konstruktif sangat

kami butuhkan guna memperbaiki tulisan kami pada karya tulis ilmiah selanjutnya.

Semoga bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 20 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al Qur’an diturunkan secara berangsur -angsur, dalam penjelasan Al


Qur’an ada yangdikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja,
Ada yang khusus, adayang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang
sepintas lalu menunjukkanadanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish
Shihab para ulama berbeda pendapattentang bagaimana menghadapi ayat-ayat
tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.

Islam merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT.
Islam berfungsi sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Ia mengajarkan
kebenaran dan tata nilai yang abadi dan universal. Islam juga menjamin
kebahagiaan pemeluknya di dunia dan akhirat. Al-Qur'an, sebagai acuan pokok
dalam Islam mengan dung kaidah-kaidah fundamental yang perlu dikaji terus-
menerus. Al-Qur'an menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Di
dalamnya terkandung semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat vertikal
(tata kehidupan manusia yang berhubungan dengan Allah SWT) maupun yang
bersifat horizontal (hubungan manusia dengan sesama makhluk-Nya). Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman Nya yang terdapat pada
surat Al-An'am ayat 38:

‫ما فرطنا في الكتب من شيء‬

" Tatkala kami alpakan sesuatu pun di dalam al-kitab”

Studi keilmuan telah menjelaskan bagaimana alasan masing-masing


golongan, baik yang menyatakan adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur'an,
maupun yang menolaknya. Setelah mempelajari dari masing-masing golongan,
penulis berkeinginan untuk mendalami lebih jauh tentang eksistensi masakh dan
manukh dalam Al Qur'an. Penulis menelusuri perbedaan nasakh dan mankh di
kalangan para mufasir melalui studi literature. Selanjutnya, dengan menyelami
perbedaan nasakh dan mannkh di kalangan para mufasir, maka diharapkan akan

iv
terpetakan faktor-faktor penyebab perbedaan pendapat di kalangan para mufasir.
Lebih jauh, penulis juga ingin menggali strategi yang harus dilakukan oleh umat
Islam dalam menghadapi perbedaan tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Nasakh wa Mansukh?


2. Bagaiamana konsep Nasakh wa Mansukh?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan teori Study Quran ?
2. Menjelaskan konsep Nasakh wa Mansukh?

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh wa Mansukh


An-naskh merupakan mashdar dari nasakha, yang secara harfiah berarti”
menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah”. Dari kata nasakha
terbentuk kata an-nâsikh dan al-mansukh. Yang pertama isim fa'il dan yang
terakhir isim maful dari nasakha. Secara etimologi, an-nasikh berarti yang
menghapus, yang mengganti atau yang mengubah. Sedangkan al-mansukh
berami yang dihapus, yang digantikan atau diubah1. Penggunaan an-naskh
dalam arti tersebut dapat dilihat dalam firman Allah Surah Al-Hajj (22) ayat 52:
‫نسخ ا ما يلقى الشيطن ثم تحكم ا واييه‬
Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu,
kemudian Dia menguatkan ayat-ayat-Nya. Kata dalam ayat ini menghapus
(yazilu) atau membatalkan (yabthilu) waswas dan wahm yang dimasukkan
setan. Penggunaan istilah at-tabdil (penggantian) dapat dilihat dalam firman
Allah, Surah An-Nahl (16) ayat 101:
‫لكن م ن ل ن‬ ‫ن ن ل ن لع ن ع ن‬ ‫ن ن ننكن نة ن ل ن ن ن لم ل ل‬
َ‫اّ َ عَْ مْ ََ نُا مُ َ َنُ مُ َاُوا َإْ نُا ََْ مُْ ر تُ نَ عْ َْ ر مُُ عْ َ نَ عَْ مُو‬ُ ٍ‫ُ ََِا ََُّا آٍَ َُاَ آَ ة‬

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat pada tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-
Nya. Secara terminologi (istilah), an-naskh menurut Subhi Ash-Shalih berarti *
mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara”. Qaththan mendefinisikannya
pula kepada” Mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain”.
Definisi yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas tidak memperlihatkan
perbedaan yang berarti. Maksudnya, suatu hukum yang telah ditetapkan bisa
saja dibatalkan kemudian digantikan oleh hukum lain. Atau suatu ayat yang
telah diturunkan secara makna dan lafal bisa saja dicabut kembali lafal, makna
(hukumnya) atau lafal sekaligus maknanya. Alquran berbicara tentang nasakh
dalam arti” penggantian”. Hal itu seperti yang terdapat dalam firman Allah:

1
Mustafa Muslim, Mabahith fit At-Tafsir Mawadhu’I, (Damaskus: Darul Qalam.1997) hal 57
‫ما ننسخ من ءاية أو تنسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن ا على كل شيء قدير‬

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu ? (QS. Al-Baqarah (2): 106) Jadi, Alquran
menyebutkan bahwa nasakh memang terjadi dalam hukum Islam, sesuai
dengan ketentuan Allah atas pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat pada
masa Alquran itu diturunkan. An-nasakh terjadi karena terdapat dua nash yang
saling bertentangan ta'rudh). Nasakh hukum tidak terjadi jika nash yang
mengandung hukum itu tidak bertentangan dengan nash yang lain. Kedua nash
itu muncul dalam waktu yang tidak bersamaan, maka nash yang munculnya
lebih awal digantikan. Hukumnya oleh nash yang muncul kemudian. Nash
yang munculnya lebih awal disebut dengan al-mansikh dan nash yang
munculnya kemudian disebut dengan an-násikh.

Berdasarkan analisis ini, maka nasakh secara terminologi dapat


didefinisikan kepada” mengangkat hukum syara’ yang datangnya lebih awal,
dan digantikan oleh hukum lain yang munculnya kemudian”. Jadi, ada hukum
yang digantikan dan ada pula hukum yang menggantikan, atau ada hukum yang
diangkat dan ada pula hukum yang mengangkat. Sebagai contoh dapat dilihat
dalam firman Allah Surah Al-Anfal (8) ayat 65-66: Hai Nabi, kobarkanlah
semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar
di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu
kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan
Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.

Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang

2
dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. Terlihat isi
kandungan kedua ayat ini saling bertentangan, ayat pertama mewajibkan satu
orang muslim melawan sepuluh orang kafir. Sedangkan ayat kedua
mewajibkan satu tentara muslim melawan dua tentara kafir. Maka ayat yang
pertama telah di-mansukh-kan hukumnya oleh ayat kedua. Artinya kewajiban
setiap individu tentara muslim memerangi sepuluh tentara kafir telah
dibatalkan, yang kemudian digantikan oleh kewajiban satu lawan dua.

B. Syarat Nasakh dan Mansukh


Syarat Terjadinya Nasakh Nasakh tidak bisa ditentukan oleh seseorang
sesuai dengan kehendaknya, seperti yang tergambar dalam definisi di atas. Ia
mempunyai syarat-syarat yaitu sebagai berikut:

1. Hukum yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’. Maksudnya, tidak


termasuk dalam kategori kajian ini pembatalan hukum ghayr asy-syar’
(yang bukan hukum syara’) atau yang tidak menyangkut dengan hukum
2. Hukum yang terkandung pada nash an-nasikh bertentangan dengan hukum
yang terkandung dalam nash al-mansûkh. Nasakh tidak pernah ada jika
makna-makna nash itu tidak bertentangan.
3. Dalil yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari dalil yang me
nasakh-kan, tidak boleh sebaliknya. Maka ayat al-makkiyah tidak bisa me-
nasakh-kan ayat al-madaniyah. Akan tetapi, ayat al-madaniyah dapat me-
nasakh-kan ayat al-makkiyah.
4. Hukum yang di-nasakh-kan itu haruslah hal-hal yang menyangkut dengan
perintah, larangan, dan hukuman. Nasakh tidak terjadi pada hal-hal yang
menyangkut berita.19 Sebab, jika nasakh terjadi pada ayat-ayat berita,
berarti telah terjadi kebohongan pada ayat yang di-nasakh-kan. Hal ini
jelas mustahil.
5. Hukum yang di-nasakh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi harus
berlaku di sepanjang waktu.

3
6. Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum
munculnya nash an-násikh. Status nash an-násikh harus sama dengan nash
al-mansukh. Maka nash yang zhanni al-wurud tidak bisa me-nasakhk-an
nash yang qath'i al-wurid. Jika ditemukan pertentangan antara keduanya
maka jelas yang dipegang adalah nash qath'i al-wurûd.

Terdapat beberapa kriteria ayat-ayat yang tidak mungkin terjadi padanya


nasakh. Hal itu dapat dilihat dari isi kandungan ayat tersebut, yaitu pertama iman,
ibadah, berbuat baik kepada orangtua, berlaku jujur, dan lain sebagainya. manusia
disebabkan oleh situasi dan kondisi mereka. Seperti ayat-ayat mengenai teks ayat
yang mengandung hukum prinsipil, yang tidak berbeda antarsemua Kedua, teks
ayat yang mengandung suatu hukum yang dinyatakan keberlakuan tetap, tidak
akan berubah. Hal ini dinyatakan dengan menggunakan kata abadan (selama-
lamanya), seperti yang terlihat dalam firman Allah

‫ول تقبلوا لهم شهدة أبدأ وأوليك هم الفسقون في‬3.

: Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka


itulah orang-orang yang fasiq,

Kata abadan dalam ayat ini menunjukkan tetapnya berlaku penolakan


kesaksian para penuduh perbuatan zina, ia tidak berubah dan tidak boleh d
nasakh-kan. Dan ciri ketiga adalah ayat-ayat yang mengandung berita, seperti
yang telah disinggung dalam syarat nasakh di atas.

C. Bentuk-Bentuk Nasakh

Nasakh Alquran itu mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

1) Ayat yang di-nasakh-kan bacaan dan hukumnya, sehingga ayat tersebut


tidak tertulis lagi dalam Alquran. Demikian pula hukumnya, ia tidak
diamalkan lagi. Contohnya ayat mengenai frekuensi menyusu bagi anak

4
yang membuat ia haram menikah dengan ibu yang menyusukannya, yaitu
sepuluh kali kemudian di-nasakh-kan oleh lima kali menyusu sehingga
yang diharamkan adalah lima kali menyusu. Aisyah ra. berkata:
‫كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي‬
‫رسول ا صلى ا عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القرآن‬Pernah diturunkan (kepada
Nabi) sepuluh kali menyusu yang dimaklumi yang (menyebabkan) haram
(menikahi), kemudian dinasakhkan dengan lima kali yang dimaklumi.
Selanjutnya Rasul wafat, ayat-ayat itu dibaca sebagai bagian dari Alquran.
21
2) Ayat yang di-nasakh-kan hukum, tetapi bacaannya masih ada. Hal itu
seperti firman Allah:
‫عليهن أربعة منكم فإن شهدوا فأمسكوهن في البيوت والتي يأتيت الفحشة من نسايكم فاستشهدوا يا‬
‫حتى يتوفلهن الموت‬
Dan (terhadap) wanita-wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah
ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberikan kesaksian maka kurunglah mereka
(wanita-wanita) itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS.
An-Nisâ’ (4): 15)
Ketentuan hukuman bagi pezina, yaitu ditahan di rumah sampai meninggal
yang terdapat dalam ayat, (‫ )الموت فأمسكوهن في البيوت حتى يتوفنهن‬ini telah di-
nasakh-kan. Akan tetapi, teksnya masih ada. Ayat yang me nasalkh-kannya
adalah
‫الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة ول تأخذكم بما رأفة في دين ا إن كنتم تؤمنون‬
‫بال واليوم الخر‬
Perempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap orang dari
keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhir. (QS. An-Nûr (24): 2)
Jadi, hukuman bagi pezina berubah dari kurungan menjadi cambuk s kali.

5
3) Ayat yang telah di-nasakh-kan bacaannya, tetapi hukumnya masih
diamalkan. Al-Muhasabi menyebut pembagian ini dengan” ayat yang di-
nasakh-kan tulisannya, tetapi ia masih terpelihara dalam hati”. Hal ini
banyak terdapat dalam Alquran, di antaranya:
 Aisyah berkata;” Dahulunya di zaman Nabi, Surah Al-Ahzâb dibaca
sebanyak 200 ayat. Tatkala Utsman menulis mushaf, ia hanya tinggal 73
ayat saja seperti yang terlihat sekarang. Di antara ayat yang tidak ditulis
karena telah di-nasakh-kan adalah ayat mengenai hukum rajam, yaitu

‫إنا زنا الشيخ و الشيخة فارجموهما البتة نكالل من ا وا عزيز حكيم‬


Apabila orangtua laki-laki dan orangtua perempuan berzina, maka
rajamiah keduanya, (hal itu) sebagai pelajaran dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui. Abu Musa Asy-Asy'ari juga mengatakan,”
Pernah turun suatu ayat yang termuat dalam Surah At-Taubah (9),
kemudian ayat itu diangkat.”

 Abu Musa telah menghafal ayat itu, ayat tersebut adalah


‫إلى ا سيؤيد هذا الدين بأقوام خخلقهم ولو أن لبن آدم وادين من مالي لمنى واديا كالقا ول يمل‬
‫جوف ابن آدم إل التراب ويثوب ا على من تاب‬
Sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan bangsa-bangsa
disebabkan karena akhlak mereka. Dan seandainya manusia itu memili dua
buah lembah harta, maka ia berkeinginan mendapat lembah ketiga Rongga
manusia tidak ada yang dapat memenuhinya kecuali tanah. Allah
menerima tobat orang-orang yang bertobat kepada-Nya.²

Pengkategorian bentuk nasakh di atas didasarkan atas keberadaan


teks ayat dan pengamalan hukum yang terkandung di dalamnya. Apabila
dilihat dari segi keluasan jangkauan nasakh terhadap hukum yang
terkandung dalam suatu ayat. maka nasakh itu dapat pula diklasifikasikan
kepada dua macam, yaitu nasakh kulli dan nasakh juz'i.

6
Nasakh kulli adalah suatu nasakh yang mencakupi seluruh hukum yang
terkandung dalam suatu ayat, seperti yang terlihat dalam nasakh hukum
wajibnya wasiat oleh hukum mawaris dan penghapusan iddah wafat
selama satu tahun yang digantikan oleh empat bulan sepuluh hari.
Sedangkan nasakh juz'i ialah suatu ketentuan hukum yang
disyariatkan secara umum dan universal yang mencakupi seluruh individu,
kemudian dihapuskan atau tidak diberlakukan atas individu yang
mempunyai kriteria tertentu. Atau dengan kata lain, suatu pe-nasakh-an
yang tidak mencakupi seluruh individu yang terkandung dalam suatu ayat,
tetapi sebagiannya saja. Seperti firman Allah Surah An-Nûr ayat 4:
‫والذين يرمون المحصنت ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمنيين جلدة‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Sebagian hukum yang terkandung dalam ayat ini telah di-nasakh-kan oleh
Surah An-Nur (24) ayat 6 sehingga ayat 4 hanya berlaku atas penuduh
yang bukan sebagai suami tertuduh;” ayat itu tidak berlaku atas tuduhan
suami terhadap istri”. Bagi yang terakhir ini mempunyai ketentuan
khusus, yaitu li'an.

Surah An-Nür (24) ayat 6 yang me-nasakh-kan sebagian kandungan ayat 4


itu adalah
‫والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إل أنفسهم فشهيدة أحدهم أربع شهيدات بال إنه لمن‬
‫الصدقين و‬
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah sesungguhnya ia adalah
termasuk orang yang benar.
Nasakh juz'i disyaratkan apabila muncul pada suatu ketika
ketentuan suatu hukum secara umum, kemudian muncul ketentuan baru
yang memberlakukan ketentuan umum itu pada hal-hal atau individu

7
tertentu saja. Atau dengan kata lain, munculnya ketentuan mengenai
pemberlakuan suatu hukum pada individu tertentu saja, setelah ditetapkan
beberapa lama pemberlakuannya secara umum. Inilah yang dimaksud
dengan nasakh juz'i. Jika pemberlakuan hukum pada individu atau hal-hal
tertentu itu muncul bersamaan dengan ketentuannya secara umum, maka
tidak disebut dengan nasakh juz'i, tetapi ia merupakan takhshish
(pengkhususan).
Nasakh itu dapat pula dibagi kepada dua macam; pertama, nasakh
sharih (jelas), yaitu pe-nasakh-an suatu hukum yang terkandung dalam
ayat disebutkan secara jelas, seperti Surah Al-Anfal (8) ayat 65 yang di-
nasakh. kan oleh ayat 66 surah yang sama. Awal ayat 66 itu secara jelas
menegaskan (sekarang Allah memberikan keringan kepadam)
‫الشن خفف ا عنكم وعلم‬
yang kemudian diikuti oleh ketentuan baru. Ungkapan itu
menunjukkan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat 65 tidak
diamalkan lagi, ia telah digantikan oleh ketentuan yang terdapat dalam
ayat 66. Dan kedua, nasakh dhimni (mengandungi), yaitu secara tegas teks
Alquran tidak menyebutkan terjadinya perubahan atau penggantian
ketentuan suatu hukum. Akan tetapi, suatu ketentuan hukum itu
bertentangan dengan ketentuan lain yang datang kemudian, di mana
pertentangan itu tidak mungkin dapat dikompromikan (al-jam'u). Nasakh
seperti ini banyak terdapat dalam Alquran, seperti nasakh
kewajiban mewasiatkan harta atas orang yang akan meninggal
dunia terhadap kedua orangtua dan kaum kerabat oleh ayat mawaris dan
perubahan iddah wafat bagi wanita dari satu tahun menjadi empat bulan
sepuluh hari.
Selain dari bentuk dan pembagian nasakh di atas, As-Sayuti meng
klasifikasikan pula bentuk-bentuk nasakh itu kepada tiga macam, yaitu pe
sakh-an suatu hukum sebelum diamalkan. Kedua, pe-nasakh-an hukum
yang diberlakukan terhadap umat terdahulu (syar'u man qablana) seperti
pe-nasakh-an bentuk hukum qisas dan diyat.27 Dan ketiga, pe-nasakh-an

8
suatu hukum yang diperintahkan karena suatu sebab atau illat, apabila
sebabnya sudah hilang maka hukum tidak berlaku lagi. Hal ini seperti
perintah bersabar menghadapi tindakan orang-orang kafir terhadap umat
Islam, yang di-nasakh-kan oleh perintah memerangi mereka. Sebab atau
illat diperintahkannya bersabar adalah belum kuatnya umat Islam
menghadapi mereka pada masa itu. Akan tetapi, ketika umat Islam sudah
kuat maka sebab atau illat itu tidak ada lagi. Oleh sebab itu, berperang pun
diperintahkan, jika kaum kafir mengganggu umat Islam.

D. Perubahan Hukum yang Terkandung dalam Ayat Al – Mansukh

Pe-nasakh-an suatu nash syara’ berarti terjadinya perubahan atau


pergantian dari suatu hukum menjadi hukum yang lain. Hukum pengganti itu
bisa lebih berat, atau lebih ringan, atau sama dengan yang digantikan. Hal ini
juga ditegaskan dalam Alquran, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Al-Jauzi membagi perubahan itu kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut.

a) Dari wajib menjadi terlarang (al-man'u), sunnah, atau mubah.


b) Dari sunnah berubah menjadi wajib, haram, atau mubah.
c) Dari mubah berubah menjadi haram atau wajib.

Perubahan yang terakhir ini tidak termasuk dalam nasakh, sebab


mewajibkan yang mubah berarti menetapkan beban, bukan nasakh. Perubahan
hukum dari larangan bisa menjadi salah satu dua hal, yaitu haram berubah
menjadi mubah atau makruh. Akan tetapi, yang terakhir ini hanya ada dalam teori,
tidak ada realitasnya.

E. Perbedaan Antara Nasakh dan Takhshish

Nasakh tidak sama dengan takhshish. Nasakh, sebagaimana yang telah


dijelaskan adalah mengangkat suatu hukum syara’ dengan sebab munculnya
hukum baru. Sedangkan takhshish adalah meringkaskan pemberlakuan hukum
secara umum, sehingga menjadi sebagiannya saja. Meringkaskan, pada

9
hakikatnya, bukanlah mengangkat hukum sebagian individu-individu; ia hanya
merupakan pengecualian ketentuan hukum terhadapnya.

Secara lebih terperinci, nasakh dapat dibedakan dari takhshish berdasarkan


beberapa hal, yaitu sebagai berikut.

a) Nasakh menghilangkan hukum nash yang di-nasakh-kan, sedangkan


takhshish meringkaskan hukum umum sehingga ia hanya berlaku pada
sebagian individu, tidak semuanya.
b) Nasakh bisa terjadi pada masalah umum dan khas, sedangkan takhshish
hanya terjadi pada hukum umum saja.
c) Ayat yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari ayat yang me-
nasakh kan. Sedangkan takhshish tidak harus terkemudian dari ayat umum;
ia boleh bersamaan, dahulu, atau kemudian.

Abu Qasim dalam bukunya An-Nâsikh wa Al-Mansukh tidak membedakan


antara nasakh dengan takhshish. Menurutnya, takhshish juga merupakan ruzuk
Maka oleh sebab itu, istisna’, qaid dan syarat juga menurutnya merupakan ayat
yang me-nasakh-kan sebagian hukum umum yang terkandung dalam suatu la
misalnya memasukkan dalam kategori nasakh Surah Al-Baqarah (2 ayat. ayat 229.

‫ول تحل لكم أن تأخذوا مما اتيتموهن شيئا إل أن تخافا أل يقيما حدود ا‬

Dan tidak dihalalkan bagimu mengambil apa-apa yang telah kamu berikan
kepada mereka (istri), kecuali keduanya (suami istri) takut tidak mendirikan
hukum-hukum Allah.

dalam ayat ini di ‫ول تحل لكم أن تأخذوا مما ءاتيتموهن شيئا إل أن تخافا أل يقيما حدود ا‬
nasakh-kan oleh ungkapan Ungkapan Hal ini tidak bisa disebut dengan nasakh,
sebab bertentangan dengan syarat nasakh itu sendiri, yaitu” ayat yang di-nasakh-
kan harus muncul lebih awal dari ayat yang me-nasakh-kan”. Sedangkan kedua
penggalan ayat ini berada dalam satu ayat, yang tentu saja turunnya bersamaan.
Al-Jauzi mengatakan pula;” pendapat tersebut merupakan berlebih-lebihan,

10
karena istisna itu hanya mengeluarkan sebagian hukum yang terkandung dalam
suatu ayat, bukan nasakh.”

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori kebenaran adalah teori kebenaran yang menggabungan
pengalaman dengan pengetahuan. Contohnya, pernyataan ibu adalah yang
melahirkan kita. Teori kebenaran koherensial adalah teori kebenaran yang
menggabungan pengalaman dengan pengetahuan melalui dua pembuktian
yakni pembuktian proposisi yang mengaitkan antara proposisi dahulu
dengan pernyataan suatu pengetahuan, yang kedua dengan pembuktian
sejarah. Contohnya, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita tahu
bahwa Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, yang
bertepatan dengan hari Jumat, 17 Ramadhan pada saat itu. Jika ingin
membuktikan hal tersebut, tidak mungkin bisa dilakukan secara
objektivitas, karena faktanya peristiwa bersejarah itu terjadi sekitar tujuh
puluh tahun yang lalu.

B. Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya
diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para
pembaca dalam memahami tentang hadis dan sunnah. Terkhusus bagi para
mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang hadis.

11
Dan lebih khusus lagi bagi para pendidik yang mengajarkan Ilmu Hadis,
sehingga bisa mengenalkan hadis secara menyeluruh lewat ilmu hadis.

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Team Redaksi Kamus Besar Bahasa. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Pustakan Phoenis, 2012.

Muhammad, Hasyim. Kezuhudan Isa al-Masih dalam Literatur Sufi Suni


Klasik. Semarang: Rasail Media Group, 2014.

Munawarmadina, Kebenaran Ilmiah, Kebenaran Agama, dan Kebenaran


Filsafat. munawarmadina.blogspot.com. (12 Oktober 2019)

Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:Rajawali Pers, 2013

12

Anda mungkin juga menyukai