Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“NASIKH MANSUKH”

Dosen Pengampu : Dr.Hj.Daharmi Astuti, Lc.,M.Ag

KELOMPOK 6

PENYUSUN :

FIRMAN SURYADI :232410047

LUTFIANA DWIYANTI :232410137

RATNA SULISTIANINGSIH:232410002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS AGAMA ISLAM

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menurunkan shari’at samawiyah kepadaRasul-Nya adalah untuk


memperbaiki umat di bidang ‘aqidah, ‘ibadah dan mu’amalah. Sesungguhnya
‘aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, maka
dakwah atau seruan para Rasul kepada ‘aqidah yang satu pun sama. Hal ini
sebagaimana firman Allah yang berarti:
Artinya: ‚Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan
kami wahyuhkan
kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian
akan Aku‛
(QS. al-Anbiya’:25)
Dalam bidang ‘ibadah dan mu’amalah, prinsip dasar umumnya adalah
sama yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara
keselamatanmasyarakat, serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan
persaudaraan. Akan tetapi tuntutan dan kebutuhan antara umat yang satu dengan
yang lainnya tidak sama, hal ini dikarenakan perjalanan dakawah dan taraf
pertumbuhan serta pembentukan yang tidak sama . begitu pula h}ikmah al-tashri’
pada suatu periode akan berbeda dengan periode yang lain. Tetapi tidak diragukan
lagi bahwa pembuat shari’at adalah Allah SWT yang rahmat dan ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu begitu pula terhadap otoritas perintah dan larangan-Nya.
Oleh karena itu sangatlah wajar jika kemudian Allah menghapuskan suatu shari’at
dengan shari’at yang lain demi menjaga kemaslahatan para hamba berdasarkan
pengetahuan-Nya yang ‘azali tentang yang pertama dan kemudian.

B. RUMUSAN MASALAH

1.Apa pengertian nashik mansukh ?


2.Apakah syarat-syarat nashik mansukh ?
3.Apa saja macam-macam nashik mansukh dalam quran ?
BAB II

A. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH

Kata nasikh dan mansukh merupakan perubahan dari kata “nashaf”masdar


dari kata nashakaha.kata nashak sendiri memiliki banyak makna ia bisa berarti
menghilangkan (al-izalah).
Sebagai terdapat dalam quran surah al-hajj ayat 52 yang artinya :
’’ dan kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum
engkau
(Muhammad), melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun
memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu. Dan Allah akan menguatkan ayat-
ayatnya. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana’’
Selanjutnya,Kata Na>sikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah yang
menghapus hukum itu. Seperti firmannya dalam surat al-baqarah : 106 yang
artinya :
“ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki
ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan :
“Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang
datang setelahnya”.
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh
dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil)
yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”.
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil
syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”
Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang
ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia
hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau
amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan
diri”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di
atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh
kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah:
menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan
terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, Mutlaq, zhahir, dan lainnya.
kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau
membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir
(penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan
istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu
menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh,
menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang
dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya.
Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu
apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya
kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada
istilah baru yang akhir”.
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah
yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh
(yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau
lafazhnya yang dihapuskan.

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus. Maka ayat
mawa>rith (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya misalnya adalah
penghapusan (Na>sikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat
sebagaimana akan dijelaskan. Mansukh juga memiliki pengertian secara
etimologi (bahasa) dan juga terminologi (istilah). Maka secara etimologi Mansukh
artinya “suatu hal yang diganti”. Sedang secara istilah/terminologi, Mansukh
diartikan sebagai “hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah
dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian”
Dari pengertian-pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata
Nasakh. Yang dimaksud Nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau
penghapusan pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru yang
bersumber dalil syara’ yang datang kemudian. Maka dalam menasakhkan
diperlukan dua unsur penting yaitu Nasikh dan Manshuk. Dimana Nasikh
merupakan hukum/dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu hukum atau
merupakan subjek penghapus, sedangkan Mansukh merupakan hukum/dalil syara’
yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan objek penghapusannya.

B. SYARAT NASIKH DAN MANSUKH

Menurut sistematisasi tafsir dalam ilmu hukum hubungan norma hukum


antara keduanya harus dicermati dengan seksama agar tidak terjadi pertentangan
diantara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Berdasarkan hal itu, maka dalam
“Nasikh wa al-Mansukh” ada sejumlah pilar yaitu rukun yang terdiri atas,
1. “Adat Nasikh”, ialah sebuah statement yang meyakinkan bahwa benar-benar
ada pembatalan suatu hukum yang sudah ada.
2. “Nasikh”, yang merupakan hukum/dalil atau ayat yang sifatnya “akan
menghapus” dalil atau hukum awal atau yang sudah ada.
3. “Mansukh”, ini merupakan suatu hukum atau dalil yang akan dihapus,
dibatalkan ataupun dipindahkan keberadaannya.
4. “Mansukh ‘anh”, yang berarti orang-orang yang harus mendapat beban
darihukum tersebut.
Serta syarat-syarat yang terdiri atas empat hal sebagai berikut,
1. Mansukh (dalil hukum yang dihapuskan atau dibatalkan) haruslah berupa
hukum syara’. Hukum syara’ merupakan aturan-aturan yang berasal dari Allah
SWT dan telah ditetapkan guna mengatur segala perbuatan ataupun tingkah laku
para mukallaf yang berupa wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah. Artinya
bahwa suatu mansukh bukan berasal dari hukum akal pikiran ataupun hukum
yang diciptakan manusia.
2. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) musti memiliki selang
waktu dari mansukh (dalil hukum yang lama). Nasikh ini juga wajib berwujud
dalil-dalil syara’ baik Al-Qur’anul Karim, Al Hadits, Qiyas ataupun Ijma’.
3. Dalil baru (Nasikh) dan dalil lama (Mansukh) tersebut haruslah memiliki
pertentangan yang bersifat nyata (kontradiktif).
4. Sifat dari Nasikh (dalil yang menghapuskan atau dalil yang mengganti) ialah
mutawattir. Sebab dalil yang sudah terbukti secara pasti ketetapan hukumnya,
maka tidak bisa digantikan (dinasakhan) melainkan oleh hukum yang juga secara
pasti sudah terbukti.

C. JENIS-JENIS NASIKH DAN MANSUKH


1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Misalnya ayat tentang ‘iddah empat bulan
sepuluh hari.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan as-Sunnah
a. Nasakh al-Qur’an dengan hadith ahad. akan tetapi Jumhur al-‘Ulama’ sepakat
bahwa ini
tidak berlaku karena al-Qur’an adalah mutawatirNasakh al-Qur’an dengan hadith
mutawatir,
nasakh semacam ini diperbolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
3. Nasakh al-Sunnah dengan Al-Qur’an, ini dibolehkan oleh jumhur sebagaimana
masalah menghadap ke
Bayt al-Maqdis yang ditetapkan dengan as-Sunnah dan didalam Al-Qur’an tidak
terdapat dalil yang
menunjukkannya.
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Shafi’i dalam salah satu riwayat.
Menurutnya apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu di dukung oleh al-Qur’an dan
apa saja yang ditetapkan oleh alQur’an tentu pula didukung oleh as-Sunnah. Hal
ini karena Al-Qur’an dan As-Sunnah harus senatiasa
sejalan dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam hal ini ada empat bentuk yaitu:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawatir
d. Nasakh mutawatir dengan ahad
tiga bentuk pertama diperbolehkan sedangkan yang ke empat terjadi silang
pendapat.

D. Macam-Macam NAsikh dan Mansukh dalam Al-qur’an


Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-
Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan
oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.

Dalil Naql

Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al
Baqarah: 106).

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana
penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas,
Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-
Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu
Katsir.

Mengenai penafsiran firman Allah “ayat” di atas sebagai “mukjizat” seperti dalam
Tafsir Al-Qur’an Al-Furqan karya A Hassan, kami khawatir itu adalah penafsiran
yang sesat. Meskipun secara bahasa diperbolehkan, hal ini bertentangan dengan
konsensus para komentator di atas.

Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang
lain." (QS An Nahl: 101).

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang
nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti
adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas,
sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan
kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab
ushul fiqih.

Dalil Aql

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut
akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal,
karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya,
karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia
berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-
Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan
kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"

Dalil Ijma’

Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh


syari’at menurut akal dan syara’.”

Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas


bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”

Menurut al-Zarkashi, ada tiga macam nasakh, khususnya dari segi tilawah
(bacaan) dan hukumnya.
1. Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus,
yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya
telah terhapus
dan diganti dengan hukum yang baru Misalnya penghapusan ayat tentang
keharaman
kawin dengan saudara satu susuan karena samasama menetek kepada seorang ibu
dengan sepuluh
kali susuan dengan lima kali susuan saja Nasakh hukumnya tanpa menasakh
bacaannya,15
yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca sedangkan isi hukumnya
sudah dihapus
atau tidak boleh diamalkan. Misalnya pada surat al Baqarah ayat 240 tentang istri-
istri yang dicerai
suaminya harus ber’iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal selama iddah setahun
Artinya: ‚dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana‛.(QS. al-Baqarah: 240)
Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah , sehingga
keharusan iddah satu tahun tidak berlaku lagi sebagaimana arti ayat berikut:
Artinya: ‚orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteriisteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah
habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat‛. (QS. al-Baqarah: 234)
2. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya.
Yaitu tulisan ayatnya sudah dihapus sedangkan hukumnya masih tetap berlaku.
3. Nasakh dengan pengganti dan tanpa pengganti:
Secara umum, bahwa adanya nasakh ini
menunjukkan bahwa shari’at Islam merupakan shari’at paling sempurna yang
menasakh shari’atshari’at yang datang sebelumnya. Karena shari’at Islam berlaku
untuk semua situasi dan kondisi, maka
adanya nasakh berfungsi untuk menjaga kemaslahatan umat.
4. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan hukum lain
sebagai
pennggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah. Misalnya
penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana
diperintahkan dalam firman Allah.
5. Nasakh dengan pengganti yang seimbang
Nasakh disamping menghapuskan suatu ketentuan juga menentukan hukum baru
sebagai penggantinya. Penggantinya itu sering seimbang atau sama dengan
ketentuan yang dihapusnya. Misalnya nasakh dari sholat menghadap ke Bayt
alMuqaddas yang beralih menghadap ke Bayt alHaram (Ka’bah).

Macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara


ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an

Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya
tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat
Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan
sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-
bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang
menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin)
karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika
kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)

2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.

Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir

Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau
menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang
datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan
Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah
Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir.
Dan banyak contoh lainnya.”

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad

Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman
Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—
karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain
Allah." (QS Al An’am: 145)

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini
diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai
jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan
hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan
daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang
merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan
ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah
itu di Khaibar.

3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an

Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini
berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)

4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah

Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur,
maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim).

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat
yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang
dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
BAB III
KESIMPULAN

Siapapun yang memperhatikan perkataannya akan melihat di dalamnya


sesuatu yang tidak dapat dihitung, dan dengan demikian menghilangkan kesulitan
dalam membawa kata-kata itu ke istilah yang baru dan final.” Nasikh artinya:
orang yang menghilangkan, yaitu dalil-dalil Al-Kitab atau Al - Kitab.As-Sunnah,
yang membatalkan usulan syariat atau lafazhnya.

Anda mungkin juga menyukai