“NASIKH MANSUKH”
KELOMPOK 6
PENYUSUN :
RATNA SULISTIANINGSIH:232410002
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. RUMUSAN MASALAH
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus. Maka ayat
mawa>rith (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya misalnya adalah
penghapusan (Na>sikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat
sebagaimana akan dijelaskan. Mansukh juga memiliki pengertian secara
etimologi (bahasa) dan juga terminologi (istilah). Maka secara etimologi Mansukh
artinya “suatu hal yang diganti”. Sedang secara istilah/terminologi, Mansukh
diartikan sebagai “hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah
dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian”
Dari pengertian-pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata
Nasakh. Yang dimaksud Nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau
penghapusan pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru yang
bersumber dalil syara’ yang datang kemudian. Maka dalam menasakhkan
diperlukan dua unsur penting yaitu Nasikh dan Manshuk. Dimana Nasikh
merupakan hukum/dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu hukum atau
merupakan subjek penghapus, sedangkan Mansukh merupakan hukum/dalil syara’
yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan objek penghapusannya.
Dalil Naql
Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al
Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana
penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas,
Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-
Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu
Katsir.
Mengenai penafsiran firman Allah “ayat” di atas sebagai “mukjizat” seperti dalam
Tafsir Al-Qur’an Al-Furqan karya A Hassan, kami khawatir itu adalah penafsiran
yang sesat. Meskipun secara bahasa diperbolehkan, hal ini bertentangan dengan
konsensus para komentator di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang
lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang
nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti
adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas,
sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan
kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab
ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut
akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal,
karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya,
karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia
berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-
Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan
kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut al-Zarkashi, ada tiga macam nasakh, khususnya dari segi tilawah
(bacaan) dan hukumnya.
1. Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus,
yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya
telah terhapus
dan diganti dengan hukum yang baru Misalnya penghapusan ayat tentang
keharaman
kawin dengan saudara satu susuan karena samasama menetek kepada seorang ibu
dengan sepuluh
kali susuan dengan lima kali susuan saja Nasakh hukumnya tanpa menasakh
bacaannya,15
yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca sedangkan isi hukumnya
sudah dihapus
atau tidak boleh diamalkan. Misalnya pada surat al Baqarah ayat 240 tentang istri-
istri yang dicerai
suaminya harus ber’iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal selama iddah setahun
Artinya: ‚dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana‛.(QS. al-Baqarah: 240)
Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah , sehingga
keharusan iddah satu tahun tidak berlaku lagi sebagaimana arti ayat berikut:
Artinya: ‚orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteriisteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah
habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat‛. (QS. al-Baqarah: 234)
2. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya.
Yaitu tulisan ayatnya sudah dihapus sedangkan hukumnya masih tetap berlaku.
3. Nasakh dengan pengganti dan tanpa pengganti:
Secara umum, bahwa adanya nasakh ini
menunjukkan bahwa shari’at Islam merupakan shari’at paling sempurna yang
menasakh shari’atshari’at yang datang sebelumnya. Karena shari’at Islam berlaku
untuk semua situasi dan kondisi, maka
adanya nasakh berfungsi untuk menjaga kemaslahatan umat.
4. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan hukum lain
sebagai
pennggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah. Misalnya
penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana
diperintahkan dalam firman Allah.
5. Nasakh dengan pengganti yang seimbang
Nasakh disamping menghapuskan suatu ketentuan juga menentukan hukum baru
sebagai penggantinya. Penggantinya itu sering seimbang atau sama dengan
ketentuan yang dihapusnya. Misalnya nasakh dari sholat menghadap ke Bayt
alMuqaddas yang beralih menghadap ke Bayt alHaram (Ka’bah).
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya
tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat
Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan
sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-
bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang
menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin)
karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika
kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau
menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang
datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan
Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah
Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir.
Dan banyak contoh lainnya.”
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman
Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—
karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain
Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini
diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai
jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan
hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan
daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang
merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan
ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah
itu di Khaibar.
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini
berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur,
maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim).
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat
yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang
dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
BAB III
KESIMPULAN