Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi
pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga
menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk memperbaiki umat di bidang
akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki prinsip yang
sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan
kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu
kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu,
perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya
sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’
(pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode
yang lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan ilmuNya
meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain
untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang
yang pertama dan yang terkemudian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-syaratnya?
2. Bagaimana sejarah Nasikh dan Mansukh?
3. Apa saja klasifikasi Nasikh dan Mansukh?
4. Apa perbedaan antara Nasikh dan Mansukh?
5. Apa fungsi memahami Nasikh Mansukh?
6. Bagaimana pendapat tentang Nasikh dan Mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
َ ان فَ َم ْن
َش ِهد ِ َت ِمنَ ْال ُهدَى َو ْالفُ ْرق ٍ اس َو َب ِينَا ِ َّآن ُهدًى ِللن ُ ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْر
َ ش ْه ُر َر َم َ
َّ ُ سفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر ي ُِريد
َّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َو ََل َ علَى َ ضا أ َ ْو
ً ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِري ُ َش ْه َر فَ ْلي
َّ ِم ْن ُك ُم ال
َعلَى َما َهدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون َّ يُ ِريدُ ِب ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْك ِملُوا ْال ِعدَّة َ َو ِلت ُ َك ِب ُروا
َ ََّللا
Artinya: “Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS.
Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang
mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi,
sehingga ada orang yang berpuasa dan ada yang tidak.
d. Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya,
maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.[2]
4. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya
Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang
menghapusnya.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan
Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
5. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang
mengandung kemudahan dan keringanan.[3]
Pengetaguan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping
dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga
dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun
kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan
kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan
sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat
diintervensi oleh kekuatan apapun.[4]
6. Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya
Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:
a. Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh
mengandung konsep al-bada’, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang
dimaksud mereka ialah, Naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan
adakalanya Karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh
dan Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah
tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke
hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu,
sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at
sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian
binatang atas Bani Israil yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
علَى نَ ْف ِس ِه ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن تُن ََّز َل الت َّ ْو َراة ُ قُ ْل فَأْتُوا ِبالت َّ ْو َراةِ ف َّ ُك ُّل
َ الط َع ِام َكانَ ِح اًّل ِلبَ ِني ِإس َْرائِي َل ِإ ََّل َما َح َّر َم ِإس َْرائِي ُل
َ ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم
صا ِدقِي
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan
oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)[5]
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi
kemudian Allah mengharamkan pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa
memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah
patung anak sapi namun kemudian perintah in idicabut kembali.
b. Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan Naskh dan
meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi
bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi.
Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan
yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain.
Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum
asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh
terdapat empat macam bagian, diantaranya:
1. Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an
2. Naskh Al-qur’an dengan As-sunnah
3. Naskh As-sunnah dengan Al-qur’an
4. Naskh As-sunnah dengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara kepentingan hamba
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang
kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal
dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena
hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman
Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl
[16]:101)
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling
paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun
meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan
sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)
DAFTAR PUSTAKA
http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-185.html.
http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-
mengharamkan-makanan/
Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:
2001.
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.