Anda di halaman 1dari 11

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah Swt yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah
memberikan limpahan rahmat dan anugrahnya sehingga makalah yang berjudul “Nasikh-
Mansukh” dapat tersusun hingga selesai.Tak lupa pula penulis haturkan sholawat serta salam
kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw. Semoga syafa’atnya mengalir pada kita di hari
akhir kelak.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Khalis Kohari selaku mata
kuliah Ulumul Qur’an yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahawa makalah ini masih jauh dari kesempurnaa baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis
mengharapkan umpan balik berupa kritik dan saran agar makalah ini semakin baik dan benar.

Penulis juga sangat mengharapkan pembaca dapat memahami isi makalah tersebut dan
pembuatan makalah ini juga memiliki tujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lafazh nasikh terdapat dalam Al qur’an. Konteks ayat yang mengandung ldiafadz
tersebut mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan,pembatalan) dalam Al-qur’an. Di
sisi lain, allah menegaskan bahwa, seandainya Al-Qur’an itu datang bukan dari Allah,
niscaya mereka akan menemukan di dalam kandungannya ikhtilaf (kontradiksi) yang
banyak (QS An-Nisa, 4:82). Konten ayat ini diyakini kebenaranya oleh setiap muslim,
dan memang demikian yang seharusnya. Namun, ulama berbeda pendapat tentang
menghadapi ayat-ayat sepintas lalu menunjukan kontradiksi. Persoalan inilah yang,
antara lain menjadi sebab-musabab timbulnya pembahasan tentang nasikh wa al-
mansukh.
Secara umum, nasakh dimaknai sebagai pembatalan pengamalan hukum syara’
oleh dalil yang datang belakangan yang menunjukan bahwa hukum syara’ terdahulu itu
dibatalkan secara tegas atu implisit, secara keseluruhan atau sebagian karena tuntutan
kemaslahtan.

Nasikh pada umumnya utnuk memberi keringanan (takhfif). Bacaan ayat yang isi
hukumnya sudah di nasakh dibiarkan tetap tertulis untuk mengingatkan akan nikmat
keringan itu. Ayat yang sudah di nasakh hukum umumnya berisi seruan pada akidah yang
benar, menuntut pada keutamaan, dan mendorong kepada kebaikan. Isi kandungan seperti
itu tentu tidak terhapus pesan-moralnya meski legal formal hukumnya sudah di nasakh.
Nasakh, seperti telah disinggung hanya berkaitan dengan masalah hukum, Adapun pesan-
moral yang berhubungan dengan masalah akidah, akhlak dan nilai-nilai kebaikan tidaklah
tersentuh nasakh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nasakh dan Mansukh secara etimologi dan terminologi ?
2. Apa saja ruang lingkup nasakh dan mansukh ?

C. Tujuan Masalah
1.Mengetahui pengertian nasakh dan mansukh secara etimologi dan terminologi.
2. Menjelaskan ruang lingkup tentang nasakh dan mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh Dan Mansukh Secara Etimologi Dan Terminologi


Secara etimologi nasakh artinya sama dengan izalah, yaitu menghilangkan. Ketika
dikatakan, “Matahari me-nasakh bayang-bayang,” maka artinya, “Matahari menghilangkan
bayang-bayang.” Nasakh juga kadang diartikan memindahkan sesutu dari satu tempat ke tempat
yang lain. Ketika dikatakan, “Aku me-nasakh kitab,” maka artinya, “Aku memindahkan
(menukil) isi kitab.” Dalam Al-Qur’an ada ayat, “Sesungguh kami telah menyuruh me-nasakh
apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Jatsiyah, 45:29). Maksudnya, memindahkan
(mencatatkan) amal ke buku catatan. Nasakh juga kadang berarti tabdil (mengganti). Seperti
dalam ayat, “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya” (QS. Al-Nahl, 16:101).
Dari sini definisi terminologi untuk nasakh, “Menghapus hukum syara’ dengan dalil
syara’ “ sebagaimana keterangan yang terdapat pada kitab syarah waroqot karangan ulama besar
Imam Jalaluddin al-Mahali.

(‫شرعا (الخطاب الدال على رفع الحكم الثابت باالخطاب المقدم على وجه لواله لكان ثابتا )وحده‬
)‫مع ترخيه عنه‬.
“Definisi nasakh secara syar'i adalah khithab Yang menunjukkan dihilangkannya hukum
yang ditetapkan khithab sebelumnya, dengan cara yang seandainya tidak ditemukan khitab
(kedua) tersebut maka hukum tetap berlaku, serta datangnya khithab (kedua) setelah ada selang
waktu dari khitab.
Definisi diatas dapat dianggap sebagai definisi yang paling detail (teliti), sejalan dengan
penggunaan orang Arab yang memaknainya dengan izalah (menghilangkan) dan
raf’(mengangkat, menghapus).
Seperti telah disinggung, nasakh adalah sebuah proses yang meniscayakan adanya dua
hal: nasikh (hukum baru yang menghapus hukum lama), dan mansukh (hukum lama yang
dihapus oleh hukum baru).

Ruang Lingkup Nasakh Dan Mansukh

1. Macam-macam nasakh dalam Al-Qur’na

Dalam Al-Qur’na terdapat tiga macam nasakh. Pertama, Diperbolehkan menasakh


rosm (tulisan) dan menetapkan hukumnya contoh :
‫الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة ِإَذ ا َزَنَيا َفاْر ُج ُم وُهَم ا اْلَبَّتَة‬
"Laki-laki tua dan Wanita tua ketika keduanya berzina, maka rajamlah keduanya
dengan pasti.”

Sayyidina Umar ra mengatakan “Aku sungguh telah membaca ayat tersebut”,


diriwayatkan oleh Imam As-Syafi’i dan lain-lain. Dan Rasulullah Saw telah
(memerintahkan) merajam dua orang pezina muhsan, riwayat Muttafaq alaih. Dua
orang inilah yang dimaksud ‫ الَّش ْيُخ‬dan ‫الَّش ْيَخ ُة‬

Kedua, diperbolehkan juga menasakh hukum dan menetapkan rosmnya (tulisan)


contoh :

ٍ‫ِإْخ َر اج‬ ‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َو ِص َّيًة َأِلْز َو اِجِهْم َم َتاًعا ِإَلى اْلَح ْو ِل َغْيَر‬

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya" (Q.S Al-Baqarah 2:240)

Dinasakh dengan ayat :

‫وَاَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا‬

“(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan


sepuluh hari.” (Q.S Al-Baqarah 2:234)

Ketiga, diperbolehkan juga menasakh keduanya hukum dan rosmnya (tulisan).


Contoh:

( ‫فُنِس ْخ َن (بَخمٍس َم علوماٍتُ َح ِّر ۡم َن ) )كاَن ِفيَم ا ُأۡن ِز َل َع ۡش ُر َرَض َع اٍت َم ۡع ُلوَم اٍت ُيَح ِّر ۡم َن‬
“Ada dalam perkara yang diturunkan, sepuluh susuan yang diketahui dapat
menjadikan mahram.” Kemudian dinasakh dengan lima susuan. hadis ‘Aisyah riwayat
Imam Muslim.

2. Perincian nasakh yang diperbolehkan diantara al-kitab dan as-sunnah


Pertama, diperbolehkan menasakh al-Kitab dengan al-Kitab, seperti contoh
terdahulu dalam dua ayat tentang 'iddah dan mushabarah (bertahan dalam
peperangan).
Kedua, diperbolehkan menasakh as-Sunnah dengan al-Kitab, seperti contoh
terdahulu tentang menghadap Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah
fi'liyyah (perbuatan). Dalam hadits shahih Bukhari-Muslim, dinasakh dengan firman
Allah Swt :
( ‫)َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم‬
"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”
Ketiga, diperbolehkan menasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah, seperti contoh
HR. Muslim :
(‫)ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِز َياَر ِة اْلُقُبْو ِر َفُز ْو ُرْو َها‬
"Aku telah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarailah kuburan!”

Keempat, diperbolehkan menasakh al-Kitab dengan as-Sunnah dan menurut


sebagian pendapat hal ini diperbolehkan seperti contoh firman Allah Swt :

( ‫)ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َح ضَر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخْيًرا ْالَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبْيَن‬

'Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya' Dinasakh dengan HR. At-Tirmidzi dan selainnya : "Tidak ada wasiat
(diperbolehkan) bagi ahli waris." Pendapat ini tidak disetujui dengan alasan hadits
yang digunakan berupa hadits Ahad dan nanti akan dijelaskan bahwa dalil mutawatir
tidak boleh dinasakh dengan dalil ahad. Dalam redaksi lain dikatakan, tidak
diperbolehkan menasakh al-Kitab dengan as-Sunnah. Berbeda halnya takhsish al-
Kitab dengan as-Sunnah, karena takhsish dinilai lebih ringan dibanding nasakh.

3. Syarat-syarat Nasakh

1. Dalil yang dinasakh berbentuk syar'i, bukan aqli (akal)


2. Dalil penasakh turun dengan selang waktu dan terpisah.
3. Dengan jalan syar'i, bukan jalan akal.
4. Dalil yang dinasakh tidak dibatasi waktu atau dibatasi dengan batas tertentu, seperti
keterangan di atas.
5. Dalil yang ada boleh dinasakh. Tidak boleh menasakh dasar tauhid dan hal-hal
yang diketahui secara dharuri (pasti).
6. Penasakh berupa dalil khash disyaratkan datang setelah dalil umum diamalkan.
7. Hal yang menuntut dalil yang dinasakh berbeda dengan yang menuntut dalil
penasakh.
8. Terjadi di masa Nabi saw. Setelah Beliau wafat tidak ada nasakh karena telah
sempurnanya syariat.
BAB III
KESIMPULAAN

Berikut ini beberapa poin yang dapat ditunjuk sebagai hikmah adanya nasakh
dalam Al-Qur’an.
1) Menunjukan sifat ilmu Allah, yaitu bahwa ia Maha Mengetahui seluruh keadaan
hamba-hambanya baik secara keseluruhan maupun secara detailnya. Jelasnya nasakh
menunjukan bahwa Allah Swt Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
2) Mengingatkan akan nikmat Allah Swt, terlebih dalam nasakh yang berbentuk
penghapusan hukum lama yang dianggap berat oleh hukum baru yang lebih ringan,
seperti yang terjadi dalam kasus ‘iddah bagi istri yang tinggal mati suami atau
lainnya.
3) Sebagai sarana ujian dan cobaan untuk menunjukan mana Mukmin sejati yang akan
memperoleh kemenangan dan mana Munafik yang akan mendapat kebinasaan, mana
kebaikan sungguhan dan mana kebaikan imitasi, dalam hal nasakh hukum lama
dengan hukum baru yang setara dalam kemudahan atau kesulitannya.
4) Ayat yang kandungan hukumnya sudah di-nasakh pun bacaanya tetap ditulis agar ia
tetap dibaca dan mendatangkan pahala.
5) Nasakh pada umumnya untuk memberi keringanan (takhfif). Bacaan ayat yang isi
hukumnya sudah di-nasakh dibiarkan tetap tertulis untuk mengigatkan akan nikmat
keringanan itu.
6) Ayat yang sudah di nasakh hukum umumnya berisi seruan pada akidah yang benar,
menuntut pada keutamaan, dan mendorong kepada kebaikan. Isi kandungan seperti
itu tentu tidak terhapus pesan-moralnya meski legal formal hukumnya sudah di
nasakh. Nasakh, seperti telah disinggung hanya berkaitan dengan masalah hukum,
Adapun pesan-moral yang berhubungan dengan masalah akidah, akhlak dan nilai-
nilai kebaikan tidaklah tersentuh nasakh.
7) Untuk kasus nasakh bacaan tapi hukumnya tetap berlaku, terdapat hikmah pada setiap
ayat yang relevan dengannya. Contoh : penghapusan bacaan ayat rajam, “Pria yang
sudah tua dan wanita yang sudah tua jika keduanya berzina maka rajamlah
keduanya.” Ayat ini, meski bacaannya sudah di-nasakh, hukumnya tetap berlaku
hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Badruzaman, Abad.(2018). Ulumul Qur’an. Indonesia: Madani Media
Hermawan, Acep.(2016). Ulumul Qur’an Untuk Memahami Wahyu. Bandung:
REMAJA ROSDAKARYA.
Kitab Syarah Waroqot karangan Imam Jalaluddin al-Mahali. Maktabah Darul Mujtaba.
Kediri.

Anda mungkin juga menyukai