1. Dalil Al-Qur’an
Dalil Al-qur’an banyaknya terdapat ayat yang menegakan tentang kewajiban
mengikuti Allah yang di inggin kan dengan ketaatan mngikuti Rasul nya, seperti
firma allah berikut ini yang artinya ; Katakanlah ,”Taatilah Allah dan Rasulnya , jika
kamu berpaling sesungguhnya Allah tidak menyukai orang kafir.”(Q.S>Ali ‘Imran
[3]:32).
Dalam Q.S.An-Nisa [4]:59,Allah berfirman,yang artinya; Hai orang-orang
yang beriman , taatiilah allah dan taatilah rasul nya ,dan ulil amri kamu berlainan
pendapatan tentang sesuatu ,kemudian ,jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu ,
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan rasul (stomahnya). Jika kamu benar-
benar beriam kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagiamu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisa[4]:59).
Dalam Q.S.Al-Hasyr ayat 7, allah juga berfirman,artinya; “apa yang diberikan rasul
kepadamu maka terimalah ia dan bertawakallah kepada allah.sesungguhnya allah
sanga keras hukumannya.(Q.S.Hasyr ayat 7) Disamping itu,banyak juga ayat yang
mewajibkan ketaatan kepada rasul secara khusus dan terpisah karena pada dasarnya
ketaatan kepada rasul beraarti ketaatan kepada allah yaitu :
a. Q.S An-nisa[4]ayat 65 dan 80
b. Q.S Ali imran [3] ayat 31
c. Q.S an-nur[24]ayat 56,62 dan 63
d. Q.S Al a’raf [7] ayat 158
3. Ijma’
Seluruh umat islam telah sepakat untuk mengamalkan hadist, bahkan hal itu
mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan allah swt dan rasulnya yang
terpecaya.kaum muslimin menerima hadist seperti menerima al-quran al-karim karena
berdasarkan pengesahan dari allah swt bahwa hadist merupakan salah satu sumber
ajaran islam.Allah juga memberikan kesaksian bagi rasulullah saw. Bahwa beliau
hanya mengikuti apa yang diwahyukan allah swt.Allah swt berfirman yang artinya:
Katakanlah “aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan allahb ada
padaku,dan tidak (pula)aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku
tidak mengikuti,kecuali apa yang di wahyukan kepadaku, katakanlah,apakah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat maka apa kamu tidak memikirkannya”.
(Qs.al-an’am[6]50)
3. Bayan At-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum
atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Bayan ini juga disebut
dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan
hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana
dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits
Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan
hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam. Suatu contoh
dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi : إن
رسول هللا صلي هللا عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا من شــعيرعلي
كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين
Artinya: “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada
bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan.” Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan
sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya.
4. Bayan An-Nasakh
Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah
(menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah). Para Ulama’
baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan
bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan di antara mereka dalam
mendefinisikan kata naskh dari segi kebahasaan.
Menurut Ulama’ mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-nasakh
adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dan pengertian tersebut menurut
ulama’ yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat dipahami bahwa hadis
sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau
isi Al-Qur’an yang datang kemudian.
Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil
syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya
kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits
Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits :ال وصية
لوارث
Artinya :“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Hadits ini menurut mereka me-
nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya : “Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-
Baqarah:180)
2. Perbedaannya
Meskipun Hadits dan Al-Quran adalah sama-sama sumber ajaran Islam dan
dipandang sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT, keduanya tidaklah persis
sama, melainkan terdapat beberapa perbedaan al Quran dan Hadits itu sendiri. Untuk
mengetahui perbedaannya, perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian dan
karakteristik dari Al-Quran, sebagaimana halnya dengan Hadits. Kata Al-Quran
dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata qara'a, yang berarti "bacaan"
(al-qira'ah). Di dalam QS Al-Qiyamah [75]: 17 disebutkan:
Shubhi al-Shalih memilih definisi yang lebih ringkas, yang menurutnya telah
disepakati oleh para ahli Ushul Fiqh, para Fuqaha, dan Ulama bahasa Arab yaitu sebagai
berikut :
“Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
terdapat di dalam mushhaf, yang diriwayatkan dari Nabi SAW secara mutawatir, serta
membacanya merupakan ibadah”.
Dari definisi di atas jelas terlihat kekhususan dan perbandingan antara Al-Quran dengan
Hadits, yaitu: