Anda di halaman 1dari 7

Pertemuan Keempat

A. Cara Sahabat menerima hadis pada masa Rasul

1. Secara Langsung dari Nabi

Maksudnya bahwa para sahabat merupakan saksi primer terhadap segala sesuatu yang
terkait dengan Nabi. Selain melalui majelis-majelis Nabi. Pada cara ini juga
mempunyai bentuk-bentuk lain diantaranya:

a. Melaluli peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Nabi, kemudian beliau


menjelaskan hukumnya hingga tersebar dikalangan kaum muslimin melalui saksi
primer. Adakalanya sahabat yang merupakan saksi primer jumlahnya banyak
sehingga berita tentang hukum itu tersebar dengan cepat, dan adakalanya sedikit
sehingga beliau perlu mengutus sahabat yang lain untuk menyampaikan hal tersebut
kepada kaum muslimin. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-
Khattab. bahwa Rasululullah melihat seorang berwudhu untuk melakukan shalat.
Namun ia tidak membasuh bagian kuku kakinya. Lalu beliau bersabda, (‫ارجع فأحسن‬
‫“ )وضوئك‬Ulangilah, dan sempurnakanlah wudhumu.”

b. Penjelasan Nabi terhadap persoalan yang dialami oleh sahabat.

Tidak ada batas dan penghalang antara mereka dan beliau. Sehingga dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ali r.a. bahwa pernah seorang A’raby datang dari
tempat yang jauh hanya untuk meminta penjelasan mengenai ruwaihah (kentut kecil),
kemudian Rasulullah bersabda:

‫ان هللا ال يستحيي من الحق اذا فعل احدكم فاليتوضأ وال تأتوا النساء في اعجازهن‬

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak merasa malu (menjelaskan) kebenaran jika
salah seorang diantara kamu kentut maka hendaklah ia berwudhu dan janganlah kamu
mendatangi istri melalui dubur mereka.

c. Melalui kejadian dan peristiwa yang dialami para sahabat dan mereka menyaksikan
tindakan Rasulullah.

Hal ini banyak terjadi pada diri beliau. Misalnya, menyangkut masalah shalat, puasa,
haji. Saat dalam perjalanan, dan saat berdiam di rumah. Misalnya hadis yang
diriwayatkan oleh Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya Abdullah bin ‘Umar bahwa ia
melihat Rasulullah saw., Abu Bakar, serta ‘Umar berjalan di depan jenazah.

2. Secara Tidak langsung Dari Nabi

Pada bagian ini, sahabat menerima hadis secara tidak langsung dari Nabi. Baik itu
mendengar, melihat atau menyaksikan langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan
Nabi saw. Akan tetapi terkadang mereka hanya sebagai saksi sekunder.[5] Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Kondisi tempat tinggal yang berjauhan dari tempat tinggal Nabi.[6] Hal ini
memungkinkan sahabat tidak dapat menerima hadis langsung dari Nabi akan tetapi
menanyakannya kepada para sahabat yang lain.

b. Kesibukan para sahabat dalam mengurus kebutuhan hidup dan keperluan sehingga
mereka terkadang tidak sempat datang ke majelis Nabi, akan tetapi meskipun tidak
hadir mereka tetap bisa menerima hadis Nabi dengan bertanya kepada sahabat yang
menghadiri majelis tersebut.

c. Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang
ditanyakan kepada Nabi, menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat yang
memiliki masalah demikian, biasanya minta tolong kepada sahabat lainnya untuk
menanyakan kepada Nabi. Sebagaimana riwayat Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Saya
adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Saya malu menanyakan hal itu
kepada Rasulullah karena status putrinya (sebagai istriku). Maka saya meminta al-
Miqdad bin al-Aswad menanyakan hal itu kepada beliau. Beliau menjawab, Ia harus
membasuh kemaluannya lalu berwudhu.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa terdapat tiga unsure yang
berperan dalam pemeliharaan Sunnah yaitu: [1] kepribadian Rasulullah; [2] Sunnah
dilihat dari sisi materinya; [3] Para sahabat.

B. Penulisan Hadis pada masa Rasul: larangan dan perintah (kebolehan


menuliskan hadis)

Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian
menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya
penulisan hadits.

a. Riwayat yang melarang penulisan hadits


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab,
‘hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian
menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan
karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’” (Diriwayatkan dari Al-
Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)

b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits


Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali
Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR.
Bukhari)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam
Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan
hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits,
sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk
menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit,
Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan
tabi’in. Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali, Hasan bin Ali,
Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash.

Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang
melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:

1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga


dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-
Qur’an. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an
telah banyak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis
hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).
2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an
dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena
dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya
bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya dan tidak diragukan lagi
bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’
kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata,
“Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya.
Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-
masa berikutnya.”

C. Faktor-faktor kesinambungan hadis


Ada beberapa faktor yang mendukung terpeliharanya kesinambungan Hadits sejak
masa Nabi SAW, yaitu: Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat
Sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung Hadits-Hadits dari Nabi SAW,
dan ketika mereka meriwayatkan Hadits-Hadits yang sudah menjadi hafalan mereka
tersebut kepada Sahabat lain ataupun generasi berikutnya, mereka menyampaikannya
persis seperti yang mereka hafal dari Nabi SAW.
1. Kehati-hatian para Sahabat dalam meriwayatkan Hadits Rasulullah SAW. 
Hal ini mereka lakukan adalah karena takut salah atau tercampurkan sesuatu
yang bukan Hadits ke dalam Hadits. Karena kehati-hatian tersebutlah, maka
sebagian Sahabat ada yang sedikit sekali meriwayatkan Hadits, seperti Umar ibn
Khaththab. Selain itu, para Sahabat hanya akan meriwayatkan Hadits manakala
diperlukan saja, dan ketika meriwayatkannya mereka berusaha secermat mungkin
dalam pengucapannya (Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.84).

2. Kehati-hatian mereka dalam menerima hadits


yaitu bahwa mereka tidak tergesa-gesa dalam menerima hadits dari seseorang,
kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang ikut mendengarnya dari Nabi
SAW atau dari perawi lain di atasnya. Menurut Al-Hafidz al-Dzahabi, Abu Bakar
adalah orang pertama yang sangat berhati-hati dalam menerima Hadits.
Diriwayatkan Ibn Syihab dari Qubaishah ibn Dzu'aib bahwa seorang nenek datang
kepada Abu Bakar meminta bagian warisan. Abu Bakar berkata kepadanya,
"Tidak kudapatkan dalam Al-Qur'an bagian untukmu, dan tidak kuketahui pula
bahwa Rasulullah menyebutkan bagian untukmu." Kemudian Abu Bakar bertanya
kepada para Sahabat, maka Al-Mughirah berdiri dan berkata, "Kudengar
Rasulullah SAW memberinya seperenam bagian." Abu Bakar selanjutnya
bertanya, "Adakah bersamamu orang lain (yang mendengarnya) ?" Maka berdiri
Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian tentang hal itu. Abu Bakar
kemudian, berdasarkan kabar tersebut, melaksanakan pemberian bagian tersebut.

D. Hadis pada masa sahabat dan Tabi’in


1. Hadist pada Masa Sahabat

            Periode kedua sejarah perkembangan hadits  adalah masa sahabat, khususnya adalah


Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.[5] Periode ini juga
dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi
hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini
lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya
periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap
hati - hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadits. Kehati - hatian dan usaha membatasi
periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka
khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah
sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[6] Keberadaan hadits  yang demikian harus dijaga
keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.  Oleh karena itu, para sahabat
khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu
Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan
periwayatan hadis pada masa sahabat.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
      Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara
Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis
dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang
nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh
putra anak laki-laki saya .”  kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik
dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang
mendengar ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai
saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta
peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.
      Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati -
hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M),  sahabat
Nabi yang pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits
adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga
ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits
yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu
Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar
tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam
meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya
juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan
sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke
Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya
ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits,
yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan
akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya
dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya
aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum
menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa
kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat
membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya  Rasulullah SAW baik yang
datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap
dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
b.       Umar ibn al-Khathab
      Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu
Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula
dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi  untuk
menghimpun hadis dalam suatu kitab seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak
memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an.
Alasan kedua, para sahabat banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar
keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina
masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka
secara lengkap.
Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan para sahabat sendiri
terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan
kesahihannya.[8] Abu Hurairah seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadis, pernah
ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu
menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan hadis dimasa umar bin khattab seperti aku
meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.
Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat
Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati
di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila
tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa
khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas
jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga
dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara
Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga
dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang
bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa
Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam
periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
c.       Utsman Ibn Affan
      Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama
dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan
ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Utsman  melalui
khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan
hadits.  Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih
banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah
sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para
periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena
selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah
bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat.
d.       Ali bin Abi Thalib
      Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para
khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam
meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak
menerima hadits  sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.[10] Hanya saja, kepada
orang-orang yang benar-benar dipercayainya,  Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat
mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
      Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang
berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang
Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap
orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib
merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah
pendahulunya.
2.      Hadist pada Masa Tabi’in
            Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai
guru – guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi
para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain,
usah yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya
masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli hadiast menyebar keberapa wilayah kekuasaan
Islam. Kepeda merekalah para tabi’in mempelajari hadits.
a.       Pusat – pusat Pembinaan Hadits
      Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai
tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota tersebut ialah Madinah al-
Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas,
Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota - kota tersebut,
ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak, antara lain: Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin
Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.[12]
      Tokoh – tokoh dalam Perkembangan Hadits Sahabat Kecil Pada masa awal
perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-
Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits,
Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau
2236 hadits, Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits, Abdullah ibn Abbas meriwayatkan
1660 hadits, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits, Abu Sa’id al-Khudzri
meriwayatkan 1170 hadits.
      Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat banyak
sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
1.      Madinah, Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn
Umar dan Sulaiman ibn Yassar
2.      Makkah, Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair
3.      Kufah, Ibrahim an-Nakha’I, Alqamah
4.      Basrah, Muhammad ibn Sirin, Qatadah
5.      Syam, Umar ibn Abdul Aziz
6.      Mesir, YAzid ibn Habib
7.      Yaman, Thaus ibn Kaisan al-Yamani.

b.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits


       Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya
cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa
kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam
ketiga kelompok tersebut).
        Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat negatif,
ialah dengan munculnya hadits – hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan
politiknya masing – masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan – lawannya.
Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong
diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan
dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai