Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH PENULISAN HADITS

Makalah
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ MKH / SKH “

Oleh
Umar Abdul Hasib : E03206041

Dosen Pembimbing :
Dakhrotul Ilmiyah, S.Ag, MHI

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN AMPEL
SURABAYA
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an.
Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai
pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam
risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits pada hakikatnya adalah
sebagai penjelas dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Meski demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya
sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian
secara khusus baik dari Rasulullah SAW maupun para sahabat berkaitan
dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan
sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan
Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa
Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian, hal
itu karena adanya larangan Nabi terhadap penulisan selain al-Qur’an.
Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz salah satu dari khalifah Bani
Umayyah yang memerintah antara tahun 99-101 H, waktu yang relatif
jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai
spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Kodifikasi al-Hadits


Proses kodifikasi hadits tidak seperti al-Qur’an dalam arti semua
telah ditulis pada masa Nabi masih hidup, hal ini diantaranya karena
adanya larangan Nabi untuk menulis selain al-Qur’an karena
dikhawatirkan hadits tercampur dengan al-Qur’an, juga karena sebagian
besar sahabat mempelajari hadits dari Nabi dengan cara mendengarkan
langsung, disamping itu pada waktu itu para sahabat kurang mempunyai
kompetensi dalam hal tulis-menulis 1.
Tidak segera munculnya inisiatif pendokumentasian hadits oleh para
Khalifah menunjukan betapa efektifnya hadits yang melarang penulisan
apa saja selain al-Qur’an, meskipun larangan itu bukanlah harga mati, hal
ini dibuktikan dengan adanya hadits yang memperbolehkan penulisan
hadits meskipun terhadap orang-orang tertentu, seperti Abu Syah2 dan
Abdullah bin Amr bi Ash.
Banyak dari generasi sahabat atau orang sesudahnya yang
menggandalkan daya ingatan dalam meriwayatkan hadits, tetapi ada juga
banyak sahabat yang secara perseorangan mempunyai catatan hadits,
maka dokumen yang ada hanyalah catatan hadits milik perseorangan, yang
tentunya hal tersebut disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Hal
ini juga menunjukan bahwa izin penulisan hadits kepada sahabat tertentu
juga efektif.
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi
dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam
menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal
ini terdapat beberapa pendapat yaitu3:

1
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al Wasith fi Ulum wa Mushtalah al Hadits, Darl
Fikr al Araby, Beirut, tt, hal 51
Beliau adalah sahabat yang buta, beliau mendapat ijin penulisan hadits ketika fathu makkah 2
Ibid hal : 57-58 3
a. Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah,
hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah
khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah terjadinya
peristiwa Fathu al-Makkah.
b. Larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus,
yaitu berlaku bagi para sahabat yang yang mempunyai
kompetensi dalam hal tulis-menulis, hal ini lebih disebabkan
karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu
dalam hal tulis-menulis sehingga dikhawatirkan terjadi
kesalahan penulisan.
c. Larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama
dengan al-Quran, karena hal ini lambat laun akan berpotensi
menimbulkan kerancuan.
Sebenarnya inisiatif penulisan hadits pernah muncul pada masa
kekhalifahan Umar bi Khattab, akan tetapi inisiatif atu gagasan tersebut
diurungkan bukan karena takut hadits bercampur dengan al-Qur’an, tetapi
lebih dikarenakan suatu kekhawatiran yaitu jikalau terlalu berkonsentrasi
pada hadits lambat laun perhatian pada al-Qur’an akan menurun atau
bahkan terabaikan.4
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada tujuh periode
yaitu :
a. Masa Nabi.
b. Masa Sahabat.
c. Masa Tabi’in
d. Masa pembukuan hadits (Abad II H ).
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat (Abad III H ) sampai
selesai.
f. Periode Penyempurnaan (Abad-IV H).
g. Masa Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab
Hadits (Abad-V H).
4
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Op.Cit hal 59. Ajjaj Al Khotib, Ushul al Hadits
ulumuhu wa mushtalahuhu, Darl Fikr, Beirut, 1989 M, hal 154
a. Hadits pada masa Rasul
Pada masa Rasulullah al-Hadits belum ditulis, akan tetapi
dihapalkan oleh para sahabat. Para sahabat yang tidak langsung
mendengar hadits langsung dari Nabi dikarenakan kesibukan
mereka, maka masing-masing dari mereka belajar kepada
sahabat yang mendengar langsung, sehingga pada masa ini
transmisi hadits hanya melalui media pendengaran dan
dihafalkan untuk selanjutnya, hal ini dikarenakan beberapa
sebab, yaitu5 :
1. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi
sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau dan
itupun hanya untuk sebatas sebagai catatan pribadi.
2. Rasulullah masih berada di tengah-tengah ummat
Islam sehingga penulisan diwaktu itu dirasa tidak
diperlukan.
3. sangat sedikit dari kalangan sahabat yang mempunyai
kompetensi dalam bidang tulis-menulis.
4. Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-
Qur'an.
5. Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa
dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat
penting.
b. Hadits pada masa Sahabat
Pada masa ini penulisan al-Qur’an telah selesai begitu juga
sudah banyaknya sahabat yang menguasai tulis-menulis,
sehingga pada masa ini sudah ada sebagian sahabat yang
menghimpun hadits meskipun dalam hal ini masih ada
perdebatan diantara mereka, sebagian ada yang
memperbolehkan seperti Umar, Ali dan Ibnu Abbas, sedangkan
sebagian yang lain memilih untuk tetap menjaga hadits dengan
5
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 51-52. Khauly, Muhammad Abdul Aziz.
Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt, hal : 16
cara menghafalkan seperti Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin
Tsabit dan Abu Hurairah.6
Diantara yang menulis hadits pada masa ini adalah
khalifah Abu Bakar yang mengumpulkan hadits-hadits yang
menjelaskan tentang zakat dan shadaqah yang diberikan kepada
para penguasa daerah untuk dijadikan pedoman. Juga Abdullah
bin Amr bin Ash yang mengumpulkan hadits yang dikemudian
hari kumpulan hadist tersebut dikenal denag sebutan Shahifah
as- Shadiqah.7
c. Hadits pada masa Tabi’in.
Pada periode ini penulisan hadits belum menunjukkan
perkembangan yang signifikan karena para tabi’in masih
berbeda pendapat mengenai kebolehan menulis hadits
sebagaimana perbedaan pendapat yang terjadi pada masa
sahabat, hal ini dapat dimaklumi karena para tabi’in belajar
kepada sahabat, dan tentunya dalam perbedaan pendapat
mereka cenderung sama dan mengekor.
diantara para Tabi’in yang melarang penulisan hadits
adalah :
a. Ubaidah bin Amr as-Salmani (W 72 H)
b. Ibrahim bin Yazid at-Taimi (W 92 H)
c. Jabir bin Zaid (W 93 H)
d. Ibrahim an Nakha’i (W 96 H)
d. Masa pembukuan hadits (akhir abad ke I - abad ke-II)
Proses pembukuan hadits secara resmi atau yang lebih
populer dengan istilah Tadwin baru dilakukan atas instruksi
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H).
Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak

Ibid hal : 56 . Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 153-164. Suyuthi, Jalaluddin Abdurrohman, Tadrib al 6
Rawi. Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1423, Vol I hal 41
Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 160, 194. Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 55- 7
58
untuk memelihara perbendaraan Hadits. Untuk itulah beliau
mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya
agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan
membukukannya tanpa adanya seleksi supaya tidak ada Hadits
yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Ulama besar yang diperintah melakukan tugas adalah Abu
Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk
mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd
al-Rahman bin Saad bin Zahrah al- Anshariyah (21- 98 H) dan
al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq (37- 107 H).8
Abu Naim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan
bahwa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan
kepada Ibnu Hazm “perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz
mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm
sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-
hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan
terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan
janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw”.9
Usaha pengumpulan al-Hadits, khususnya yang terjadi di
Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu
Bakar bin Muhammad bin Hazm, dan akhirnya usaha ini
diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-
Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-
Zuhri. Beliaulah ahli Hadits yang paling menonjol di zamannya.
Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada
anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa
Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits
(penulisan al-Hadits).

.Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Op.Cit hal : 16 8


9
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, Op.Cit hal 56-66
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang
mengikuti mereka seperti Ibnu Juraij (150-H) di makkah; Imam
Malik (93-179H), Ibnu Ishaq (151-H) dan Muhammad bin
Abdurrohman bin Abi Di’bu (pengarang Muwatha’ tandingan)
di Madinah, Khalid bi Jamil al-Abd dan Ma'mar (95-153 H) di
Yaman, Al-Auza'i (88-156-H) di Syam, Abu Arubah (156-H) dan
Hammad bin Salamah (176-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97-
161-H) di Kufah, Abdullah bin Mubarak (118-181H) di
Khurasan, Husyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Jarir bin
abdul Hamid (110-188H) di Ray serta Abdullah bin Wahab (125-
197 H) di Mesir. Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits nabi
SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in10.
Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah :
a. Mushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H)
b. Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H)
c. Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani,
Imam Darul Hijrah (179-H).
d. Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
e. Al-Musnad oleh asy-Syafi'i (204-H)
f. Jami al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-
Shan'ani (211-H)
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum
tersistematika sebagaimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini
tetapi tidak lebih hanya sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-
kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum
terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya.
Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang
disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang
memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode-periode

10
Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 181-182. Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 67-
68
akhir ini pengembangan ilmu jarh wa tadil telah semakin
mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat (abad III H ) sampai selesai.
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan
antara yang sahih dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa
para sahabat atau tabi’in, kemudian pada pertengahan abad-III
ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits
shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang
shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari)
dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya
Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi
(Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era keemasan
bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan
disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat
hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu
adalah11 :
a. Mushannaf Said bin Manshur (227-H)
b. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (156-239H)
c. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H)
d. Shahih al-Bukhari (194-256-H)
e. Shahih Muslim (204-261-H)
f. Sunan Abu Daud (202-275-H)
g. Sunan Ibnu Majah (207-273-H)
h. Sunan At-Tirmidzi (215-H)
i. Sunan An-Nasa'i (215-303-H)
j. Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H)
k. Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H)
11
Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi, Op.Cit. Vol I hal 40. Turmusy, Muhammad Mahfud i, Manhaj
dzawin Nadhar, Haramain, Surabaya, 1394 H, hal 18. Ajjaj Al Khotib, Op.Cit hal 183-184.
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Op.Cit hal 69-70
f. Periode Penyempurnaan (Abad-IV H)
Pada periode ini para ulama berusaha menyempurnakan
apa yang tidak terdapat pada masa sebelumnya dan berusaha
menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan
ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut), karena pada masa
sebelumnya seolah-olah kajian tentang hadits telah final.
Kitab-kitab hadits yang populer pada abad ini diantaranya
adalah :
a. Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H)
b. Shahih Abu Awwanah (316-H)
c. Shahih Ibnu Hibban (354-H)
d. Al-Muntaqa tulisan dari Qasim bin Ashbag salah
satu ahli hadits berkebangsaan Andalusia (Spanyol)
(340-H)
e. Sunan Daraquthni (385-H)
f. Mustadrak Imam Abi Abdillah al Hakim (405-H).
g. Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab
Hadits (Abad-V dan seterusnya ).
Penulisan hadits pada periode ini mengacu kepada
klasifikasi hadits, mengumpulkan kandungan-kandungan dan
tema-tema hadits yang sama. Disamping itu juga men-syarahi
(memberi semacam komentar atau ulasan) kepada hal-hal yang
gharib dan musykil, men-takhrij hadits-hadits yang berada pada
kitab-kitab fiqih atau tafsir dan meringkas kitab-kitab hadits
sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits
yang membahas hukum, seperti12:
a. Sunan al-Kubra, al-Baihaqi (384-458 H).
b. Muntaqal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652-H).
c. Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, Ibnu
Hajar al-Asqalani (852-H).
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.,Op.Cit hal 72-76. Khauly, Muhammad Abdul Aziz. 12
Op.Cit hal : 30-32
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi
berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan
mengancam bagi yang lalai), seperti :
a. At-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H).
b. Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).
B. Sistematika penyusunan kitab-kitab hadits
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-
cara antara lain13 :
a. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah14, mengumpulkan
hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya
dalam bab salat, hadits-hadits yang berhubungan dengan
masalah wudhu dalam bab wudhu dan sebagainyaa artinya
penulisan hadist lebih bersifat tematik (maudhu’i). Cara ini
terbagi menjadi dua macam :
a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih
saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan
Muslim.
b. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang
shahih (asal tidak munkar), seperti yang ditempuh
oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan sebagainya.
b. Penyusunan berdasarkan nama sahabat-sahabat yang
meriwayatkannya. Cara ini terbagi empat macam, yaitu:
a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan
abjad.
b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan
nama qabilah. Mereka lebih mendahulukan Banu
Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan
Rasulullah.
c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan
kronologi masuknya Islam. Mereka mendahulukan
13
Ibid, hal 69
14
Ini terjadi pada abad ke III
sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal
awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul
Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan
seterusnya.
d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-
bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat,
dan af'alun Nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu
Hibban dalam shahih-nya.
c. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan
hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam
Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
C. Tingkatan Kitab Hadits
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar
tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
a. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah
diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-
hadits yang shahih.
b. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai
kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga
hadits-hadits yang dha'if (yang tidak sampai kepada munkar).
Dan sebagian mereka menjelaskan ke-dha'ifan-nya.
c. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya
sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-
hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh
karena itu didalamnya bercampur-aduk antara hadits-hadits yang
shahih, yang dha'if dan yang lebih rendah lagi tingkatannya.
Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad
ini.
d. Kitab yang ditulis tidak dengan sungguh-sungguh pada abad-
abad terakhir, yaitu dari sumber-sumber yang tidak bisa
dipertanggung jawabkan, para sufi dan sejarawan yang kurng
diakui kredibilitasnya.
Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab
hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan
kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti 
kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat
dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits,
kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits
yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada
apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan
Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan
penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil
(bersambung) saja15.
D. Tipologi Kitab-kitab Hadits
Tipologi penulisan hadits berawal pada bentuk sahifah (lembaran-
lembaran) seperti sahifah Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash
dan lain sebagainya yang kemudian seiring dengan perkembangan
penulisan hadits sehingga bentuk penulisan hadits menjadi berbagai
macam, yaitu16 :
1. Al Jami’ yaitu kitab koleksi hadits yang memuat materi
pokok hadits meliputi aqidah, hukum, akhlak, tafsir sejarah
dan lain sebagainya, seperti Karya al Bukhori.
2. Musnad yaitu kitab hadits yang penulisannya berdasarkan
urutan nasab, nama periwayat dan senioritas keislaman
perawi, seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-
241H), Musnad Imam Syafi’I dan lain sebagainya.
3. Sunan yaitu kitab susnannya fokus kepada hadits Marfu’
(hadits yang disandarkan kepada Nabi) seperti ashabus sunan
15
Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi, Op.Cit. Vol I hal 42-44. Shalih, Subhi. Ulum al Hadits wa
Musthalahuhu, Dar al Ilm lil Malayin, Beirut, 1977. hal : 118-119
16
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.,Op.Cit hal 72, Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi,
Op.Cit. Vol I hal 55-56. Hasyim Abbas, Kodifikasi Hadits dalam Kitab Mu’tabar, IAIN
Press,Surabaya,2003, Hal : 8-12. Shalih, Subhi Op.Cit hal : 119-123
yaitu Abu Dawud, Nasai, Turmudzi, Ibnu Majah dan lain
sebagainya.
4. Mustadrak yaitu kitab yang memuat hadits-hadits shahih
yang tidak ditulis pada kitab standart sebelumnya. Seperti
Mustadrak Imam Hakim an Naisaburi yang mengacu pada
standarisasi shahih versi Imam Bukhori dan Abu Dzar Al
Anshari yang mengacu pada Imam Muslim.
5. Mustakhraj yaitu kitab yang mengeluarkan hadits berdasrkan
sanad untuk dirinya sendiri, yang memungkinkan bergabung
bersama seorang guru atau orang lain yang lebih senior
seperti Mustakhraj Abu Bakar Isma’il terhadap al Bukhori.
6. Takhrij yaitu kitab yang meneliti terhadap derajat suatu
hadits, yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh, tafsir dan lain
sebagainya, serta memberikan komentar, kritik dari para
Ahli Tarjih, seperti karya Ibnu Hajar yang mentahrij hadits
kitab fiqih al Minhaj.
7. Mu’jam yaitu Kitab yang berisi Hadits-hadits yang
menyebutkan nama-nama guru, negeri atau kabilah seperti
Mu’jam At Thabarani.
E. Thabaqah Perawi
Thabaqah adalah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan
dalam menemukan seorang guru. Para perawi dibagi menjadi beberapa
thabaqah, yakan tetapi dalam pembagiannya terdapat perbedaan
pendapat17.
Thabaqah versi Ibnu Hajar, yaitu :18
1. Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
2. Tabi’in pertama seperti Said bin Musaiyyab.
3. Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Sirin.

17
Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat dalam menghitung satu kurun, ada yang berpendapat
.satu kurun adalah masa 100 tahun ada yang mengatakan hanya 40 tahun
.Shalih, Subhi Op.Cit hal : 323-325 18
4. Tabi’in akhir yaitu yang tidak bisa dipastikan mereka
mendengar hadits langsung dari sahabat seperti Al A’masi.
5. orang yang satu masa dengan thabaqah keempat akan tetapi
tidak pernah bertemu dengan sahabat, seperti Ibnu Juraij.
6. Thabaqah Atba’ut Tabi’in yang pertama seperti Imam Malik
dan Sufyan ats Tsauri.
7. Thabaqah Atba’ut Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyainah.
8. Thabaqah Atba’ut Tabi’in akhir seperti Abu dawud dan
Syafi’i.
9. orang-orang pertama yang mengutip dari Atba’ut Tabi’in
seperti Ahmad bin Hambal.
10. orang-orang pertengahan yang mengutip dari Atba’ut Tabi’in
seperti Bukhori
11. orang-orang terakhir yang mengutip dari Atba’ut Tabi’in
seperti Turmudzi.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Proses penulisan hadits tidak seperti al-Qur’an dalam arti semua
telah ditulis pada masa Nabi masih hidup, hal ini karena adanya beberapa
sebab diantaranya karena adanya larangan Nabi untuk menulis selain al-
Qur’an.
Perkembangan hadits terbagi menjadi tujuh periode yaitu :
a. Masa Nabi.
b. Masa Sahabat.
c. Masa Tabi’in
d. Masa pembukuan hadits (Abad II H ).
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat (Abad III H ) sampai
selesai.
f. Periode Penyempurnaan (Abad-IV H).
g. Masa Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab
Hadits (Abad-V H).
Daftar Pustaka

Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad , Al Wasith fi Ulum wa Mushtalah al


Hadits, Darl Fikr al Araby, Beirut,tt.
Ajjaj Al Khotib, Ushul al Hadits ulumuhu wa mushtalahuhu, Darl Fikr, Beirut,
1989 M.
Hasyim Abbas, Kodifikasi Hadits dalam Kitab Mu’tabar, IAIN
Press,Surabaya,2003.
Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits,
Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt.
Shalih, Subhi. Ulum al Hadits wa Musthalahuhu, Dar al Ilm lil Malayin, Beirut,
1977.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrohman, Tadrib al Rawi. Dar al Kutub al Ilmiyah,
Beirut, 1423 H.
Turmusy, Muhammad Mahfud i, Manhaj dzawin Nadhar, Haramain, Surabaya,
1394 H.

Anda mungkin juga menyukai