Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH KODIFIKASI HADITS

I. PENDAHULUAN
Aalisis keotentikan hukum Islam mensyaratkan bahwa teks-teks yang dijadikan landasan
hendaknya merupakan teks yang dipercayai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
yang tetap. Dalam hal ini Hadits sebagai landasan pokok setelah Al-Quran senantiasa harus dijaga
kemurniannya. Demikian seorang mujtahid yang akan menetapkan hukum harus benar-benar
mengetahui originalitas dari nash yang dijadikan sandaran dan menghindari kepalsuan. Oleh karena
itu menjaga keotentikan Hadits dan terus melestarikannya agar tidak punah merupakan keniscayaan
yang tidak boleh ditinggalkan bagi kaum Muslimin.

Diketahui bahwa, sejak priode awal sepeninggal Rasulullah otentitas sumber kedua itu berada
pada ingatan dan hafalan para sahabat. Mereka yang tersebar ke berbagai penjuru wilayah bisaa
menukil dan menyampaikannya kepada kaum Muslimin dengan riwayat bissyafahi(mulut ke mulut).
Sebelum dibukukan, sejak masa Nabi hingga akhir abad pertama Hijriah Hadits belum ditulis secara
signifikan, mereka hanya mengandalkan kuatnya hafalan. Sedangkan yang mencatat hanyalah orang-
orang tertentu saja.

Waktu terus berjalan, sementara itu jumlah para sahabat terus berkurang, gejala kefasikan
telah tersebar di mana-mana, pemalsuan Hadits yang di nisbatkan kepada Nabi untuk kepentingan
dan membela kelompok tertentu telah bermunculan. Hal yang sedemikian itu mengundang
kekhawatiran dari para Ulama dan kaum Muslimin. Mereka terdorong untuk mencari dan
menghimpun mana yang termasuk Hadits Nabi serta mengklasifikasikannya sesuai kadar
keshahihannya dalam satu buku, demi menjaga sumber Syariat kedua ini dari kepunahan dan
menghindari masuknya musuh-musuh Islam yang ingin menrusak kemurnian ajaran agama dengan
memalsukan Hadits.
II. HADITS SEBELUM DIBUKUKAN

A. Hadits Pada Masa Nabi

Pada masa Nabi SAW Hadits belum ditulis sedemikian rupa sebagaimana Al-Quran. Hal itu
dikarenakan beberapa sebab, diantaranya ; 1) banyaknya masyarakat yang tidak mampu baca
tulis (ummy) dan minimnya peralatan tulis, 2) kuatnya hafalan serta ingatan para sahabat dan
kecemerlangan otak mereka, sehingga mereka lebih banyak berpegangan pada hafalan daripada
pada tulisan, 3) adanya larangan dari Nabi untuk menulis dari beliau selain Al-Quran. Seperti Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Said Al-Hudri dari Nabi SAW bersabda ;

)(
Janganlah kau tulis (apa yang kau terima) dariku, barang siapa yang menulis dariku selain Al-
Quran maka hendaknya dihapus. (HR. Muslim)

Dengan adanya larangan membuat para sahabat mengasah ketajaman ingatan dan
membangkitkan keinginan yang kuat untuk menghafalkan Hadits dan Sunnah. [1] Dan
menyampaikannya kepada yang lain dengan lafadz sekiranya mungkin, jika tidak maka dengan
maknanya yakni apa yang dikehendaki dalam matan Hadits. Lebih-lebih ketika Rasul memberikan
dorongan semangat kepada mereka akan hal itu, seperti riwayat Abu Muhammad Al-Roma Hurmuzy
dalam kitabnya menyebutkan ;

: :
" :

Dari Atho bin Yasar dari Ibnu Abbas RA ia berkata ; Aku telah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata:
Rasulullah SAW keluar bersama kami, lalu beliau berdoa : Ya Allah limpahkanlan belas kasihmu
kepada para khulafa ku.. lantas aku bertanya : Wahai Rasulullah, siapa yang menjadi Khulafa
engkau ? beliau menjawab, Mereka yang mau meriwayatkan Hadits-Haditsku dan mengajarkannya
kepada orang-orang..

Para sahabat mendengar penjelasan Rasulullah SAW itu, dan tidakalah seorang yang
mencurahkan sekian tenaganya untuk menghafalkan Hadits-hadist Nabi, melainkan ia pasti akan
memperoleh predikat Khilafah ini.

Namun demikian, Rasulullah mengizinkan kepada sebahagian Sahabat untuk menulisnya. Hal
ini menunjukkan bahwa larangan tersebut di atas tidak berlaku mutlak. Dalam riwayat Bukhari
Muslim disebutkan bahwa Abu Syah Al-Yamani meminta dari Nabi untuk dituliskan keterangan yang
didengar dari beliau pada tahun fathu Makkah kemudian Nabi SAW memerintahkan : Tulislah oleh
kalian untuk Abi Syah

Para Ulama salaf berbeda pendapat mengenai posisi larangan dan pemberian izin Nabi untuk
menulis Hadits dengan argument yang berbeda-beda ;

di antara mereka ada yang mengatakan bahwa izin tersebut baghi mereka yang khawatir akan
melupakannya sebagaimana Abu Syah di atas, dan larangan berlaku bagi orang yang kuat hafalannya
dan dimungkinkan aman dari kelupaan.

di antara mereka megatakan, bahwa adanya larangan itu karena dikhawatirkan akan
terjadi iltibas antara Hadits dengan Al-Quran sehingga merepotkan mereka, dan izin berlaku atas
para Qari dan penulis yang yakin bisa aman dari hal tersebut.

Sebagian mereka mengatakan bahwa, Hadits adanya izin tersebut menasakh Hadits-Hadits yang
melarang untuk menulis Hadits. Memang pada mulanya dilarang dikhawatirkan akan terjadi campur
antara A-Quran dengan Hadits dan setelah kekhawatiran itu hilang maka larangan ditiadakan.[2]

B. HADITS PADA MASA SAHABAT

Setelah Rasulullah SAW meninggal, ketika masa sahabat sudah berdekatan dengan masa
Tabiin, maka banyak diantara mereka yang menulis dari para Sahabat. Pada saat itu dianggap perlu
bagi mereka untuk menulisnya, karena alasan-alasan dari larangan sebagaimana kami kemukakan di
atas tidak lagi ada pada saat itu; Al-Quran seluruhnya telah di bukukan dan dihafal oleh sekelompok
besar sahabat, wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah, demikian pula para sahabat,
karena dakwah Islam yang menyerukan untuk memberantas buta huruf, mayoritas mereka telah
mampu baca tulis.
Umar bin Khathab adalah diantara para sahabat yang menaruh perhatian besar untuk
pengumpulan Hadits-Hadits Nabi dan mengikatnya dalam kitab-kitab. Dalam pada itu para sahabat
bermusaywarah, satu bulan lamanya telah berlalu namun belum ada kesepakatan, hingga suatu hari
Umar ber-azam, beliau berkata: Sungguh aku akan menulis Sunnah, dan aku ingat akan kaum
sebelum kalian mereka pada menulis kitab-kitab, mereka menulisnya dan tidak memperhatikan
Kitab Allah, dan demi Allah sekali-kali aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan
sesuatu yang lain untuk selamanya. orang-orang yang mempunyai keliahain menulis diantara
mereka pun menulisnya. [3]

Pada masa ini bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan lebih leluasa tersebar daripada masa
sebelumnya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ketika beliau mendengarkan sebuah Hadits dari
Itban bin Malik RA yang didengarnya dari Rasulullah SAW bahwa ;


(..
)
Hadits ini menarik perhatian Anas lantas beliau berkata pada anaknya : tulislah Hadits ini!
maka ia menulisnya. Demikianlah para sahabat sangat giat dalam meriwayatkan Hadits, mereka
sibuk oleh penggalian ilmu dan tidak banyak disibukkan oleh urusan dunia.

C. HADITS PADA MASA TABIIN

Pada masa Tabiin periwayatan Hadits menjadi perhatian yang krisial, lebih lebih ketika para
sahabat yang menghafal dan membawakan Hadits-Hadits dari Rasulullah SAW tersebar di Negara-
negra Islam, terbukalah peluang untuk menggali ilmu, periwayatan dan fatwa. Ditambah berdirinya
madrasah-madrasah di Hijaz dan selain Hijaz, dari sini kaum Muslimin banyak menimba ilmu, pada
saat itulah ilmu keislaman berkembang, termasuk di sana ilmu-ilmu Al-Quran. Dan periwayatan
terhadap Hadits masuk dalam katagori bagian yang besar.[4]

Mengenai penulisan Hadits, diriwayatkan dari Abdul Rahman bin Ziad dari bapaknya[5]berkata
; aku menulis tentang halal dan haram dan Ibnu Syihab menulis setiap yang ia dengar, dan ketika
berhujjah kulihat ia orang yang paling Alim.

Demikian secara terus menerus muncul Ulama terkemuka dari kalangan tabiin, seperti
diantaranya Ibnu Sirin, salah seorang Tabiin yang banyak meriwayatkan Hadits dari sahabat, seperti
dikatakannya ; sesungguhnya ilmu Hadits dan riwayat ini merupakan bagian dari agama, maka
lihatlah agama kalian pada diri orang yang menyampaikan riwayat itu pada kalian. Artinya kalau
yang menyampaikan itu orangnya fasik maka dengan menerima riwayatnya ia akan ikut menjadi
fasik pula.

Abu Zinad Abdullah bin Dakwan, seorang Alim fiqih Madinah. Abdul Rahman bin Mahdi, ia
berkata tidaklah seorang laki-laki menjadi Imam yang boleh dijadikan panutan (pada saat itu)
sehingga ia berpegangan pada riwayat yang benar-benar ia dengar. Ibnu Wahab, seorang Imam
yang tidak diragukan hafalan dan keyakinannya, ia berkata Malik Imam Darul Hijrah - telah
mengatakan kepada ku ; ketahuilah bahwa tidaklah diterima seorang yang menyampaikan Hadits
hanya bertumpu pada apa yang ia dengar, dan tidaklah ia pantas menjadi Imam sedangkan ia
berkata dengan apa yang ia dengar.

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya penulisan Hadits dan sanad yang
bisa dipertanggungjabwabkan kebenarannya, dimana ketika musuh-musuh Islam masuk untuk
merusakkan agama ini dengan meyebarkan apa yang dikatakan Hadits, padahal itu bukan Hadits
melainkan buatan mereka sendiri.

III. MASA PEMBUKUAN HADITS

Telah menjadi kesepakatan (ijma fili) diantar Ulama akan pentingnya menulis serta
membukukan Hadits dan Sunnah Rasulullah SAW.[6] Munculnya beberapa faktor - sebagaimana
tersebut dalam paembahasan sebelumnya menuntut kaum muslimin untuk menunjukkan
kesetiaannya pada Sunnah Rasul. Hal itu mereka wujudkan dengan upaya mereka mempertahankan,
menjagga, dan melestarikannya dengan penuh tanggung jawab. Mereka bergerak untuk
menghafalkan serta menulisnya dengan penuh kejelian. Sebuah tugas yang mulya yang telah dirintis
oleh generasi awal hingga masa Tabiin.

Para rawi Al-Sunnah memperhatikan atas wajibnya menghimpun Sunnah Rasulullah dalam
sebuah buku secara kolektif dan selektif. Pemikiran itu timbul dari seluruh Negara-negara Islam
dalam waktu yang berdekatan, sehingga tidak diketahui mana yang memperoleh keutamaan karena
lebih dahulu dalam pengumpulan itu.[7]

Umar bin Abdul Aziz RA - pada masa pemerintahannya (99-101 H) - memandang perlu untuk
membukukan Sunnah dan Hadits Nabi dalam sebuah suhuf atau kitab-kitab sehingga tidak
tercampur antara yang shahih dengan yang zaif (palsu) dan hadist tidak akan hilang sia-sia setelah
penghafalnya wafat. Beliau menentukan langkah dengan mengirimkan surat kepada para Gubernur
di berbagai daerah Islam dan juga para Ulama terkemuka di berbagai pejjuru daerah untuk
melakukan pengumpulan dan kodifikasi terhadap Hadits. Diantaranya kepada ; Imam Malik, hingga
beliau menuliskitabnya al- Muattha ; kepada Muahammad bin Hasan bin Amru bin Hazm (w.120 H)
; dan kepada Abu Bakar bin Hazm. Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada Ibnu Syihab
Azzuhri Al-Madany, sebagai tangan kanan beliau, seorang Ulama besar bagi penduduk Hijaz dan
Syam (w.204 H). Hal itu terjadi pada penghujung abad pertama Hujriah.
A. Kodifikasi Abad kedua ( 100 200 H)
Upaya pembukuan Hadits yang dilakukan Azzuhri dan Abu Bakar bin Hazm pada tahap awal
disusul oleh para Ulama Hadits di berbagai daerah. Termasuk mereka yang membukukan pada
tahap pertama dalam priode ini ialah ;

1. Imam Malik bin Anas di Madinah (w. 179 H)

2. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Azizi Juraij di Makkah (w. 150 H)

3. Sufyan bin Tsauri di Kufah (w. 161 H)

4. Hamad bin Salamah dan Said bi Arubah di Bashrah (w. 176 H)

5. Hisyam bi Basyir di Wasith (w. 188 H)


6. Abdul Rahman Al-AuzaI di Syam (w. 156 H)

7. Mamar bin Rasyid di Yaman (w. 153 H)

8. Abdullah bin Mubarak di Khurasan (w. 171 H)

9. Jarir bin Abdul Hamid di Ray (w.188 H)

Pada tahap awal ini Hadits ditulis masih bercampur dengan fatwa Sahabat dan Tabiin. sebagaiman
bisa kita lihat dalam Muwattha susunan Imam Malik RA.

Pada tahap kedua Hadits Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain. Yaitu pada
permulaan tahun 200 H. Selanjutnya mereka menyusun kitab yang dikenal dengan
Musnad[8].[9] Hal tersebut antara lain ;

1. Musnad Ubaidillah bin Musa Al-Abasy Al-Kufi (w. 213 H).

2. Musnad Musadad bin Masrahad Al-Bashri (w. 228 H)

3. Musnad Asad bin Musa Al-Al-Mishri ( w. 212 H)

4. Musnad Naim bin Hamad Al-KhazaI (w. 228 H)

5. Musnad Imam Ishak bin Ibrahim Al-Khandhali[10] (w.238 H)

6. Musnad Imam Al-Jalil Ahmad bin Hambal (w. 241).

7. Musnad Utsman bin Abi Syaibah (w.279 H).

8. Musnad Abu BAkar bin Abi Syaibah (w.230 H). beliau menyusun berdasarkan bab-bab sekaligus
berdasarkan sanad.
B. Kodifikasi Abad Ketiga (200 - 300 H)
Priode ini dibilang sebagai abad yang paling subur dan cemerlang bagi pembukuan Hadits.
Pada priode ini muncul tokoh-tokoh penulis Kutub al-Sittah kitab-kitab Hadits terpenting yang paling
lengkap mencakup Sunnah Rasul. Muncul pula Imam-Imam Hadits yang mumpuni dalam kuatnya
hafalan, periwayatan, ilmu jarh wa al-tadil, ilmu Tawarikh al-rawi, ilmu ilal al-Hadits, ditambah lagi
munculnya pemilahan-pemilahan terhadap Hadits, dan penghimpun secara khusus terhadap Hadits-
Hadits shahih.[11]

Diantaranya pada priode ini mereka ada yang menyusun kitab berdasarkan bab-bab fiqih,
mereka mulai dari bab thaharah kemudian shalat, zakat, puasa, haji, muamalat hudud, dan
seterusnya. Juga ada yang menyusun secara spesifik tentang masalah hukum. Ada pula yang
mengungkapkan tentang masalah wahyu, ilmu tafsir, peperanagan, bepergian dst. Sebagaimana
yang dilakukan oleh imamBukhari.

Diantara mereka yang secara khusus menghimpun Hadits-Hadits shahih dalam kitabnya ialah
seperti pemilik al-Shahihaini yaitu;

1. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Jafi Al-Bukhari (w. 256 H)
menyusun Shahih Al-Bukhari.

2. Imam Abu Al-Husein Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (w. 261 H). menyusun Shahih Al-Muslim.
Kedua kitab itu disusun dengan penuh kecermatan dalam periwayata dan memilahnya dengan
jeli, sehingga keduanya merupakan tonggak dan puncaknya pembukuan Hadits.[12]Jalan kedua
tokoh ini kemudian ditempuh oleh Ulama-Ulama lain.

Diantara mereka yang tidak menetapkan dalam kitabnya tertentu pada Hadits shahih saja, tetapi
dimuat di dalamnya Hadits shahih, hasan dan dlaif yang banyak ditulis dalam kitab-kitab yang
memiliki tingkatan sesuai kadar keilmuan dan pengetahuan yang dimiliki, mereka itu seperti para
Imam Hadits yang menyusun empat kitab Sunan, mereka adalah :

1. Imam Abu Daud Sulaiman bin Al-Asyat Al-Sijistani (w. 275 H)

2. Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzi (w. 279 H)

3. Imam Abu Abdi Al-Rahman Ahmad bin Syuaib An-NasaI (w. 315 H)

4. Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah bin Al-Qazwaini (w. 273 H)

Kitab-kitab mereka yakni Shahihaini dan Sunan dalam lisan Ahli Hadits terkenal dengan al-
Kutub al-Sittah (kitab Hadits yang enam). Di kalangan kaum Muslimin Kitab-kitab tersebut
memperoleh derajat yang tinnggi karena para perawinya sangat terpercaya. Sebenarnya banyak
yang menyusun kitab-kitab Hadits, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyhuran
yang tidak diperoleh oleh yang lain.[13]

C. Kodifikasi Abad keempat (300 400 H)


Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Abad ketiga merupakan masa yang paling cemerlang
bagi pengumpulan (kodifiksi) dan penyeleksian Hadits dan riwayat, dimana Imam-imam besar
terpercaya, ahli dalam ilmu al-Rijal dan ilmu al-ilal serta menguasai hal ikhwal periwayatan lahir
pada masa itu, sehingga setiap generasi yang dating kemudian merasa tercukupi oleh mereka.

Para tokoh-tokoh Abad keempat ini berupaya membahas tentang keadaan perawi Hadits dari
Tabiin dan orang orang sesudah mereka, masing-masing rawi disifati dengan sifat yang ada pada diri
mereka masing-masing,[14] seperti ; kuatnya hafalan, keadilannya, kejeliannya, kejujurannya dan
seterusnya dari yag baik atau yang tidak baik. Hal ini dilakukan guna memilah dan menentukan
derajat Hadits yang dibawakannya.

Dalam hal ini mereka berbeda-beda. Kita jumpai di antara para perawi itu ada yang disepakati
keadilannya, kuat ingatannya, dan kedlabitannya, ada yang tidak, ada pula yang diperselisihkan
diantara mereka. Demikian dalam sanad dan rawi ada yang derajatnya lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah dari yang lain. Adapun kitab-kitab yang disusun pada priode ini yang
terkenal[15] antarlain ialah ;

1. Al-Maajim Ats-Tsalatsah ; Al-Kabir, Al-Ausath dan As-Shaghir, karya Imam Sulaiman bin Ahmad Ath-
Thabrani (w. 360 H). Dalam Al-Kabir dimuat secara tertib para Sahabat berdasarkan urutan hurufnya,
tercaantum di dalamnya sekitar 520.000 Hadits; begitu pula dalam Al-Ausath dan As-Shaghir disusun
secara tertib riwayat dari guru-gurunya berdasarkan urutan huruf.

2. Shahih Al-Imam Al-Kabir Muhammad bin Ishak bin Huzaimah (w. 311 H).

3. Shahih Abi Awanah Yakub bin Ishak (w. 316 H)


4. Mushannaf Ath-Thahawi, seorang Ulama fiqih dan ahli Hadits Mazhab Hanafi (w. 321 H)

5. Al-Muntaqa, Karya Qasim bin Ashbagh, Ulama Hadis Andalusia (w. 340 H)

6. As-Shahih Al-Muntaqa, karya Ibnu Sakan Said bin Utsman Al-Bagdadi (w. 353 H)

7. Shahih Abi Khatim Muhammad bin Hibban Al-Basti (w.354 H)

8. Sunan Imam Abil Hasan Ad-Daruquthni (w. 385 H)

9. Mustadrak Imam Abi Abdillah Al-Hakim (w. 405 H).

Persoalan Sunnah berakhir pada pertengan priode ini dan As-Sunnah telah menjadi imu yang
berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh yang khusus membahasnya (al-Muhadditsin), meskipun merka
tidak meneruskan ke dalam fiqih dan tidak memiliki kekuatan untuk beristimbat.[16]

Mereka melestarikan peninggalan kitab-kitab yang sudah ada. Dan penyusunan kitab yang
mereka lakukan diantaranya ialah mengumpulkan tulisan sebagian ulama-ulama sebelumnya ke
dalam satu kitab, atau meringkas sanad-sanad dan matan, mengomentari sanad-sanad atau
matannya, mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hokum, atau tentang keutamaan-
keutamaan amal, dihimpun dalam kitab-kitab tersendiri.

VI. KONKLUSI

Telah menjadi kesepakatan (ijma fili) di antara para Ulama akan pentingnya menseleksi,
menulis dan membukukan Hadits serta Sunnah Rasulullah SAW. Sekiranya tidak ditulis atau
dibukukan maka dalam kurun waktu yang lama sepeninggal Rasulullah SAW akan terjadi perselisihan
besar mengenai Sunnah.

Adapun mengenai Hadits-Hadits tentang larangan menulis selain Al-Quran itu belaku pada masa
awal Islam (shadrul Islam) karena hal-hal sebagai berikut ;

1. khawatirkan dicampur adukkannya Al-Quran dengan Sunnah oleh mereka yang baru masuk Islam
atau yang tidak bisa membedakannya.

2. dikhawatirkan hanya berpegangan pada tulisan serta tidak menghafalkannya.

3. dibukukannya Hadits khawatir orang-orang awam hanya pasrah dan tidak mengkajinya lebih dalam.

4. masih minimnya bahan dan alat tulis. dan Al-Quran juga belum dibukukan.

Dalam setiap fase pembukuan terdapat karakteristik dan ciri tersendiri. Fase
pertama;pertama-tama pembukuan Hadits masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan Tabiin
serta fatwa-fatwa mereka. Fase Kedua; Hadits mulai dipisahkan dari kata-kata yang lain selanjutnya
disusun kitab yang dikenal dengan Musnad. Fase ketiga; fase yang paling cemerlang dalam kodifikasi
sunnah, muncul tokoh-tokoh penulis Kutub al-Sittah yang ditinggikan derajatnya atas yang lain
karena para perawinya sangat terpercaya dan memperoleh kemasyhuran yang tidak diperoleh oleh
yang lain. Fase keempat; ditandai dengan banyaknya Ulama yang sudah mencukupkan diri dengan
kitab-kitab sebelumnya, pengkajian tentang hal ihwal rawi dan sanad hadits mensifatinya untuk
menseleksi kualitas hadits yang dibawakannya, pada fase ini juga muncul susunan kitab-kitab hadits.
Dari semua kitab yang ada, ada yang disusun berdasarkan tertib sanad, ada yang berdasarkan
urutan bab-bab fiqih, ada yang berdasarkan urutan hukum-hukum fiqih, ada yang membatasi pada
masalah targhib wat Tarhib dan ada yang mencukupkan matannya saja dengan membuang sanad.

Daftar Pustaka

Bek, Muhammad Hudlari, Tarikh al-Tasyri al-Islami, edisi bahasa Indonesia, Semarang, Dar Al-Ihya,
1980

Syuhbah, Muhammad Abu, Al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalah al-Hadits, Kairo, Dar al-Fikr al-Araby,
1982

Al-Maliki, Alawi Abbas; An-Nuri, Sulaiman Hasan, Ibanat Al-Ahkam Sarh Bulugh Al-Maram,Jilid I,
Beirut, Darul Fikri, 2004
End Note

[1] Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalahul Hadits, (Kairo : Dar al-Fikr al-Araby, 1982)
hlm. 51
[2] Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 57
[3] Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 59-60
[4] Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 60-61
[5] Dia adalah Abdullah bin Dakwan Al-amawy, terkenal dengan Abu Zinad, seorang yang tsiqat, alim fiqih
wafat 130 H
[6] Alawi Abbas Al-Maliki, Hasan Sulaiman An-Nuri, Ibanat Al-Ahkam Sarh Bulugh Al-Maram, Jilid I
(Beirut : Darul Fikri, 2004) , hlm. 7 - 8
[7] Muhammad Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri al-Islami, edisi bahasa Indonesia, (Semarang : Darul Ihyak,
1980) hlm. 339
[8] Yaitu kitab Hadits yang disusun secara kolektif berdasarkan Sahabat, seperti disebutkannya Hadits-Hadits
yang diriwayatkan dari Abu Bakar, atau Hadits-Hadits riwayat Umar dst.
[9] Muhammad Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri al-Islami, hlm.339-340
[10] Terkenal dengan sebutan Ibnu Rahawaih.
[11] Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm.69
[12] Muhammad Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri al-Islami, hlm. 340
[13] Muhammad Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri al-Islami, hlm. 340-341
[14] Ibidem, hlm. 341
[15] Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith fi Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 71
[16] Muhammad Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri al-Islami, hlm. 341

2 Huk penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl


buku undang-undang yg baku; 3 Ling pencatatan norma yg telah dihasilkan oleh
pembakuan dl bentuk buku tata bahasa, spt pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman
pembentukan istilah, atau kamus; 4 Ek pemberian nomor atau lambang pd perkiraan
pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yg berfungsi sbg alat untuk membedakan pos yg
satu dng lainnya yg termasuk satu golongan;
mengodifikasikan v 1 menyusun (membukukan) peraturan sehingga menjadi
kitab perundang-undangan: para pemuka adat sedang bermusyawarah untuk ~
hukum adat; 2 mencatat dan membukukan hasil strandardisasi yg dapat berupa buku
tata bahasa atau kamus;
pengodifikasian n proses, cara, perbuatan mengodifikasikan

Anda mungkin juga menyukai