Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS INDONESIA

PENYUSUNAN 6 KUMPULAN HADITS (KUTUB AL-SITTAH) &


KEISTIMEWAANNYA

TUGAS MATA KULIAH KAJIAN AL QUR’AN DAN HADITS


Dosen Pengampu: Dr. Zakky Mubarak., MA

Disusun oleh:
Rudy Haryono (1506708722)
Muhammad Lukman N(1506784523)
Taufan Darmawan (1506784624)

PROGRAM PASCASARJANA - KAJIAN WILAYAH TIMUR TENGAH ISLAM


PROGRAM STUDI EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH
JAKARTA

SEPTEMBER 201

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karena
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam penulisan makalah
ini, materi yang akan dibahas adalah Penyusunan 6 kumpulan Hadist (Kutub al-Sittah
Ditinjau Dari Jumlah Perawinya) dan keistimewaannya.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari “Ulumul Hadist” serta
dapat digunakan sebagaimana mestinya
.

ii
iii
Contents
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................................................3
2.1 Sejarah Singkat Perkembangan Pembukuan Hadits.....................................................3
2.2 Pembagian Hadits.........................................................................................................8
2.3 Model Penulisan Kitab Hadits.......................................................................................9
2.3.1 Model Jawami' atau Jami'...................................................................................10
2.3.2 Model Muwattha'at atau Muwattha'.................................................................10
2.3.3 Model Musnad...................................................................................................10
2.3.4 Model Sunan.......................................................................................................11
2.3.5 Model Shihah......................................................................................................11
2.4 Kutub al-Sittah............................................................................................................12
2.4.1 IMAM BUKHARI (194H/810M)...........................................................................12
2.4.2 IMAM MUSLIM (206H/820M).............................................................................14
2.4.3 IMAM ABU DAWUD (202H/817M).....................................................................15
2.4.4 IMAM TIRMDZI (200H/815)................................................................................16
2.4.5 IMAM NASA'I (215H/830M)...............................................................................17
2.4.6 IMAM IBNU MAJAH (209H/824M)......................................................................19
BAB 3 KESIMPULAN..............................................................................................................21

BAB 4 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………22

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadits merupakan sumber hukum ke dua umat Islam setelah Al-Qur'an, yang memiliki
peran sangat penting dalam ketetapan hukum Islam. Hadits merupakan segala sesuatu
yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau ketetapan1.
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan hadits,
sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah SAW. Mengambil kebijaksanaan yang
berbeda. Terhadap Al-Qur’an, beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat
supaya menulis, disamping menghapalnya. Sedangkan terhadap hadits, perintah resmi
itu hanya untuk menghapal dan menyampaikan kepada orang lain. Penulisan resmi
seperti halnya Al-Qur’an tidak diperkenankan Rasulullah SAW2.
Munculnya hadits-hadits palsu merupakan alasan utama untuk mengadakan kodifikasi
atau tadwin hadits. Selain itu, para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri,
dikawatirkan hadits akan menghilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi
penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian memelihara hadits.
Kondisi tersebut akhirnya mendorong munculnya rencana untuk melakukan kodifikasi
atau tadwin hadits sebagai upaya penyelematan hadits dari kemusnahan dan pemalsuan
hadits.
Untuk mengetahui penyusunan/kodifikasi hadits, maka dalam makalah ini akan dibahas
beberapa hal terkait penyusunan kitab-kitab hadits. Pembahasan akan dibatasi pada 6
kitab hadits yang paling banyak menjadi rujukan. Keenam kitab hadits tersebut terkenal
dengan nama Kutub al-Sittah.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang :

 Sejarah pembukuan hadits.


 Macam-macam metode penyusunan hadits
 6 kitab Hadits, metode dan keistimewaanya.

1M. Ma’shum Zein, M.A, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits&Mustholah Hadits, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2014, hlm. 3

2Sohari Sahrani, Ulumul Hadits untuk Mahasiswa UIN/IAIN/STAIN/PTAS, Ghalia Indonesia,Bogor,


2015, hlm. 54

1
2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat Perkembangan Pembukuan Hadits


Rasulullah SAW telah memberikan wasiat kepada kita umatnya berupa Al Qur’an dan
Assunnah sebagaimana telah beliau sampaikan “ Telah kutinggalkan dua hal Al Qur’an
dan Assunnah, dan jika engkau mengikutinya engkau tidak akan sesat” . Telah nyata
kepada kita Al Qur’an menjadi pedoman bagi kita dalam beragama. Al Qur’an adalah
dasar hukum bagi umat Islam. Sedangkan As sunnah pedoman pula bagi kita yang
memberikan tuntunan dalam beribadah. Assunah diambil dari setiap perkataan dan
perbuatan Rasulullah SAW. Perkataan rasulullah yang beliau sampaikan ataukah beliau
sampaikan sebagai penerus dari yang disampaikan oleh malaikat Jibril atau langsung
dari Allah SWT.
Perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW kita dapatkan informasinya melalui
para sahabat yang turun temurun sampai akhirnya dibukukan oleh para
perawi.Informasi inilah yang kita sebut dengan hadist. Hadist dalam bahasa arab berarti
“sepotong informasi yang disampaikan baik dalam jumlah yang sedikit maupun
banyak” . sedangkan untuk bentuk jamaknya ‫ أحاديث‬ʾ aḥādīṯ. Hadist bisa juga mengacu
pada ceramah seseorang. Jadi hadist ini berbentuk kata benda yaitu informasi.
Dalam agama Islam, hadist adalah informasi mengenai perkataan dan perbuatan Nabi
Muhammad SAW. Ibnu Hajar Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud hadist
adalah sesuatu yang dikaitkan dengan Muhammad yang tidak ditemukan dalam Al
Qur’an. Kata-kata lain yang terkadang dipergunakan adalah Khabar yaitu informasi
yang merujuk laporan tentang Muhammad dan terkadang tradisi tentang Muhammad.
Berbeda dengan Atahr yang mengacu pada tradisi sahabat dan penerus Rasulullah
SAW. Sedangkan Assunnah adalah informasi tentang kebiasaan normative Muhammad
SAWdan masyarakat muslim diawal-awal.
Pada awalnya kehidupan rasulullah SAW disampaikan dan disimpan dalam bentuk lisan
berupa ingatan dari para sahabat, Tabiin. Tabiut tabiin selama lebih dari seratus tahun
setelah wafatnya Rasulullah SAW pada tahun 632. Diawali oleh Khalifah ke 3 syaidina
Usman bin Affan, yang merupakan khalafaur rasyidin atau penerus ketiga Nabi
Muhammad SAW. Meminta untuk menuliskan hadist ini dari para sahabat-sahabatnya.
Walau pada awalnya hadist ini tidak boleh ditulis dan hanya AL Qur’an saja, mungkin
Rasulullah mengkhawatirkan bercampurnya antara hadist dan Al Qur’an bila pada saat
itu hadist juga dituliskan. Syaidina Usman meminta pengikutnya untuk mengumpulkan
dan menuliskan hadist ini. Namun sayang pekerjaan syaidina Uslam terpotong karena
pembunuhan kepadanya oleh orang-orang yang ingin merebut kekuasaannya sebagai
khalifah dan merasa tidak diperlakukan dengan adilnya. Kejadian ini terjadi pada tahun
656.

3
Pekerjaan Khalifah Usman yang terpotong ini kemudian diteruskan pada periode
abbasiyah. Pada Abad ke 9 ini, Hadist mulai tumbuh secara eksponen. Banyak dari
hadist bertentangan antara 1 dan yang lainnya. Sehingga para ulama saat itu mulai
berfikir untuk menyatukan hadist.

Bisa dikatakan hadits berkembang pesat pada akhir abad kedua sampai pertengahan
abad keempat Hijriyyah. Banyak muncul ulama hadits pada abad ketiga hijriyyah. Hal
itu bisa kita lihat pada hal berikut:

1. Banyak dikarang kitab-kitab hadits yang sampai sekarang diakui sebagai kitab hadits
yang jadi pegangan oleh umat islam; seperti

Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Shahih al-Imam al-Bukhari (w. 256 H),
Shahih al-Imam Muslim (w. 261 H), Sunan Abi Daud as-Sajistani (w. 275 H), Sunan at-
Tirmidizi Abu Isa (w. 279 H), Sunan an-Nasa’i Abu Abdirrahman (w. 303 H), Sunan
Ibn Majah (w. 275 H).

2. Banyak dikarang kitab-kitab tentang rawi hadits atau yang sering disebut dengan ilmu
ar-rijal

Kitab at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh al-Ausath, at-Tarikh as-Shaghir, kitab ad-Dhuafa’


karya Imam Bukhari (w. 256 H), Kitab Tarikh Yahya bin Ma’in (w. 234 H), Kitab at-
Thabaqat al-Kubra karya Muhammad bin Saad (w. 230 H), Kitab ad-Dhuafa’ karya
Imam an-Nasa’I (w. 303 H), Kitab al-Jarh wa at-Ta’dil karya Imam Ibn Abi Hatim (w.
327 H), Kitab as-Tsiqat karya Ibnu Hibban (w. 354 H).

3. Banyak dikarang kitab hadits yang berhubungan dengan satu tema saja.

Hal tersebut misalnya kitab hadits yang hanya mengumpulkan hadits-hadits shahih,
seperti kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Ada juga kitab yang hanya mengumpulkan
hadits-hadits mursal, seperti kitab al-Marasil karya Imam Abu Daud (w. 275 H). Ada
yang hanya mengumpulkan hadits-hadits nasikh mansukh, seperti kitab an-Nasikh wa
al-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), an-Nasikh wa al-Mansukh
karya Imam Abu Daud (w. 275 H).

Sebagian ulama ada yang menulis kitab hadits yang berkaitan tentang hadits-hadits yang
sepertinya bertentangan dalam pemahaman antara satu dengan yang lainnya, atau yang
lebih terkenal dengan Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil al-Hadits. Sebagaimana
kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam as-Syafi’i (w. 204 H), kitab Ta’wil Mukhtalaf al-
Hadits karya Ibnu Quthaibah ad-Dinawari (w. 276 H) dan lain sebagainya.

Jika kita perhatikan dengan seksama, pada masa ini para ulama terdahulu belum begitu
banyak berbicara pada konsep teori dan pengertian-pengertian atau definisi, sebagai
contoh Imam Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H) belum mendefinisikan
dengan jelas apa pengertian hadits shahih, bagaimana kriteria hadits shahih itu. Atau

4
Imam Abu Daud (w. 275 H) belum mejelaskan definisi jelas mengenai nasikh-mansukh,
dan bagaimana cara mengetahuinya.

4. Pada masa ini muncul benih penulisan tentang Ilmu Mushthalah al-Hadits.

Bisa dikatakan ulama yang pertama menulis ilmu mushtalah hadits dalam pengertian
saat ini adalah Imam Syafi’i (w. 204 H) ketika menulis kitab ar-Risalah. Meski kitab itu
berbicara mengenai ushul fiqih, tetapi di dalamnya terdapat kaedah-kaedah ilmu hadits;
seperti syarat-syarat hadits bisa dijadikan hujjah, kehujjahan hadits ahad, syarat-syarat
ketsiqahan seorang rawi, hukum meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, hukum
riwayat hadits rawi mudallis, hukum hadits mursal dan lain sebagainya.

Imam Syafi’i (w. 204 H) berbicara hal itu dalam kaitan hadits menjadi salah satu
sumber hujjah dalam pengambilan hukum.

Hal yang sama juga ditulis oleh Imam Muslim (w. 261 H) dalam muqaddimah kitab
shahihnya. Beliau menuliskan sedikit kaedah-kaedah ilmu mushthalah hadits. Imam at-
Tirmidzi (w. 279 H) juga menuliskan sedikit pengertian dan kaedah-kaedah Ilmu
Mushthalah hadits dalam kitabnya al-Ilal as-Shaghir yang beliau letakkan di bagian
akhir kitab as-Sunan beliau.

Tetapi kitab-kitab tersebut belum bisa disebut kitab Ilmu Musthalah Hadits dalam
pengertian secara istilah saat ini.

Awal Mula Penulisan Kitab Ilmu Musthalah Hadits

Para ulama mulai menuliskan ilmu musthalah hadits pada pertengahan abad keempat
hijriyyah, dimana masa pengumpulan hadits dalam satu kitab hampir sudah tidak ada
lagi.

Orang yang pertama menulis hal itu adalah al-Qadhi Abu Muhamad Hasan bin
Abdurrahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) dalam kitab al-Muhaddits al-
Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’i. beliau menuliskan tentang adab-adab seorang rawi
hadits, apa saja yang harus dikuasai oleh seorang muhaddits, cara-
cara tahammul dan ada’ suatu hadits. Hanya saja kitab beliau masih sederhana karena
hanya berbicara tentang apa saja yang berhubungan dengan rawi saja.

Ulama selanjutnya yang menulis ilmu mushtalah hadits adalah Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Abdurrahman al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H), beliau menulis kitab
yang berjudul Ma’rifat Ulum al-Hadits. Imam al-Hakim mengumpulkan paling tidak 52
bab ulum al-hadits. Kitab imam al-Hakim ini sudah cukup sempurna dibanding kitab-
kitab terdahulunya.

Adapun ulama yang cukup komplit menulis ilmu musthalah hadits adalah Imam al-
Khatib al-Baghdadi Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit as-Syafi’i (w. 463 H), beliau
menulis beberapa kitab tentang ilmu musthalah hadits. Diantara kitab itu adalah al-

5
Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’, ar-Rihlah fi
Thalab al-Hadits, Taqyid al-Ilmi, al-Mazid fi Muttashil al-Asanid.

Maka tak heran banyak ulama setelahnya mengambil banyak faedah dari kitab-kitab al-
Khatib al-Baghdadi as-Syafi’i (w. 463 H) tersebut. Imam Abu Bakr Muhammad bin
Nuqthah (w. 629 H) mengatakan :

‫وال شبهة عند كل لبيب أن المتأخرين من أصحاب الحديث عيال علي أبي بكر الخطيب‬

Tidak bisa dipungkiri, Ulama ahli hadits saat ini semuanya merujuk kepada Ali Abu
Bakar al-Khatib

Ulama selanjutnya yang menulis mushtalah hadits adalah al-Qadhi Iyadh bin Musa al-
Yahshabi al-Maliki (w. 544 H). beliau menulis kitabal-Ilma’ ila Ma’rifat Ushul ar-
Riwayah wa Taqyid as-Sama’. Di kitab ini beliau berbicara banyak tentang kaedah-
kaedah meriwayatkan hadits dan cara tahammul dan ada’ hadits.

Ibnu as-Shalah as-Syafi’i (w. 643 H) dan Kontribusinya terhadap Ilmu Musthalah
Hadits

Al-Hafidz Abu Umar Utsman bin Shalah as-Syahrazuri (w. 643 H) dan kitabnya Ulum
al-Hadits atau yang lebih terkenal dengan Muqaddimah Ibnu Shalah adalah nama yang
sudah cukup terkenal dalam ilmu musthalah hadits.

Ada beberapa keistimewaan kitab yang dikarang Ibnu Shalah ini sehingga bisa begitu
terkenal, diantaranya:

1. Ibnu Shalah menulis cukup komplit seluruh cabang ilmu musthalah hadits dalam satu
kitab. Ada sekitar 65 masalah ilmu msuthalah hadits yang beliau tulis.

2. Ibnu Shalah membuang sanad yang biasanya memenuhi kitab-kitab ulama


sebelumnya, sehingga para pembaca bisa dengan mudah menelaahnya.

3. Ibnu Shalah juga mempermudah istilah-istilah dan bahasa yang dipakai dalam
kitabnya.

4. Ibnu Shalah telah mengkategorikan dengan baik perbedaan ulama dalam satu
masalah, dengan meneliti perkataan-perkataan mereka, baik dari kitabnya langsung
maupun dari hasil aplikasi sebuah pendapat ulama. Ibnu Shalah juga berusaha
mendiskusikan perbedaan itu dan mengomentarinya.

5. Ibnu Shalah juga telah mendefiniskan istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama
terdahulu dengan bagus.

6
Dari beberapa point diatas, para ulama menganggap Ibnu Shalah (w. 643 H) sebagai
pembuka pintu baru dalam ilmu musthalah hadits [2]. Sehingga karya Ibnu Shalah ini
menginspirasi ulama-ulama setelahnya dalam menulis kitab ilmu musthalah hadits.

Meskipun dalam penataan babnya, Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menganggap
kitab Ibnu Shalah ini belum begitu baik [3]. Hal itu cukup beralasan, Ibnu Shalah (w.
643 H) mengarang kitabnya sebagai bahan ajar saat mengajar hadits di Madrasah
Asyrafiyyah Damaskus.

Muqaddimah Ibnu Shalah

Banyak kitab yang dikarang atas inspirasi dari Ibnu Shalah ini, baik yang meringkas
maupun mensyarahnya lagi. Diantara kitab itu adalah:

Diantara kitab-kitab itu adalah:

1. Irsyadu Thullabi al-Haqaiq ila Ma’rifat Sunani Khairi al-Khalaiq karya Imam an-
Nawawi as-Syafi’i (w. 676 H). Kitab ini diringkas lagi menjadi kitab at-
Taqrib. Kitab at-Taqrib ini akhirnya disyarah oleh al-Imam as-Suyuthi as-Syafi’i (w.
911 H) dalam kitab Tadrib ar-Rawi.

2. Al-Iqtirah fi Bayani al-Istilah, karya Ibnu Daqiq al-‘Id as-Syafi’i (w. 703 H).

3. Al-Manhal ar-Rawi fi al-Hadits an-Nabawi, karya al-Qadhi Badruddin bin Jama’ah


as-Syafi’i (w. 733 H)

4. Khulashah fi Ma’rifat al-Hadits, karya Abu Muhammad bin Husain in Abdullah at-
Thaibi (w. 743 H)

5. Al-Muqidzah, karya al-Hafidz ad-Dzhabi as-Syafi’i (w. 748 H)

6. Al-Iqna’, karya Izzudin bin Jama’ah (w. 767 H)

7. Mukhtahsar Ulum al-Hadits, karya al-Hafidz Ibnu Katsir as-Syafi’i (w. 774 H)

8. An-Nukat ala Kitab Ibn Shalah, karya al-Hafidz Badruddin az-Zarkasyi as-Syafi’i (w.
794 H)

9. Al-Muqni’, karya al-Hafidz Ibn al-Mulaqqin as-Syafi’i (w. 804 H), lalu beliau ringkas
lagi dalam kitab at-Tadzkirah.

10. Mahasin al-Ishtilah fi Tadhmin Kitab Ibn Shalah, karya Sirajuddin al-Bulqini as-
Syafi’I (w. 805 H)

11. At-Taqyid wa al-Idhah ala Kitab Ibn Shalah, karya Zainuddin al-Iraqi as-Syafi’i (w.
806 H), selanjutnya al-Hafidz al-Iraqi mengarang lagi dalam bentuk nadzam alfiyah.

7
Nadzam alfiyah al-Iraqi ini disyarah oleh Syeikhu al-Islam Zakariyya al-Anshari as-
Syafi’i (w. 925 H) dalam kitab Fathu al-Baqi.

12. An-Nukat ala Ibn Shalah, karya Ibnu Hajar al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H). Selain
itu Ibnu Hajar juga mengarang kitab berjudul Nukhtbat al-Fikar, disyarah sendiri dalam
kitabNuzhat an-Nadzar.

2.2 Pembagian Hadits


Para Ulama saat itu melakukan terminology hadist. Hadist dibagi menjadi 3 kategori
yaitu:
1. Hadist Shahih atau otentik
2. Hadist Da’if atau lemah
3. Hadist Mawdu atau palsu.

Klasifikasi lain meliputi hadist hasan atau baik, yang mengacu pada riwayat shahih
namun ada sedikit kelemahan atau lemahnya informasi dari penutur. Sedangkan munkar
adalah hadist yang ditolak karena kehadiran penutur yang diandalkan bertentangan
dengan penutur lain yang lebih dipercaya. Jadi hadist yang baik dipergunakan sebagai
dasar hukum Islam adalah hadist yang shahih dan hasan.
Klaisifikasi hadist ini didasarkan dengan Skala penutur yaitu laporan yang banyak
melewati para penutur yang diandalkan pada setiap titik dalam isnad sampai
pengumpulan dan transkripsi. Hal ini disebut dengan mutawatir. Lebih otoritatif ketika
hadist ini melewati beberapa jalur yang berbedan dan diyakini tidak ada penyimpangan
dari para penutur.
Informasi yang diberikan mengenai rute dimana matan telah tercapai disebut dengan
sanad. Sedangkan matan atau matn adalah kata-kata yang sebenarnya dari sebuah hadist
yang artinya didirikan atau menyatakan berbeda tujuan dimana sanad tercapai yang
terdiri dari logat.
Sederhananya Sanad adalah rantau penutur/rawi hadist. Rawi adalah orang-orang yang
menyampaikan hadist tersebut. Awal sanad adalah orang yang pertamakali menuliskan
hadist tersebut dalam bukunya. Orang tersebut disebut Mudawwin atau kuharrij. Atau
Sanad disebut pula rangkaian seluruh penutur dari mudawwin hingga mencapai
rasulullah SAW. Sebuah hadist bisa pula berbeda lapisan Sanadnya. Perbedaan tersebut
disebut dengan thabaqah. Jumlah sanad dan keseluruhan lapisan akan menentukan
kesahihan dari hadist tersebut
.
Rawi adalah orang yang menuturkan hadist. Ada beberapa criteria seorang rawi, yaitu:
1. Buka pendusta atau yang dutuduhkan
2. Teliti
3. Tidak fasik
4. Tidak peragu
5. Ingatan yang kuat

8
6. Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat.
7. Sekurang-kurangnya dikenal oleh 2 orang ahli hadist pada zamannya.

Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari masa-kemasa oleh para ahli hadist hingga masa
sekarang ini. Rawi yang tidak ada catatanya disebuh maj’hul dan hadist yang
diriwayatkannya tidak boleh diterima.
Matan adalah redaksional dari hadist. Contohnya adalah:
“Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga ia cinta Saudaranya apa yang
ia cinta untuk dirinya sendiri”.
Yang harus diperhatikan dari hadist diatas
- Ujung sanadnya harus Rasulullah SAW
- Matannya tidak bertentangan dengan AL Qur’an
- Hubungan matannya dengan hadist lain apakah menguatkan atau melemahkan.

Para Ulama pada abad ke 9 ini mengumpulkan hadist dan menuliskan dalam kitab
hadistnya. Ke 6 (enam) ulama sunni ini kredibilitasnya sudah diakui sampaikan
akhirnya kitab-kitab hadistnya menjadi rujukan hadist. Kita menyebutnya dengan enam
buah kitab induk hadist atau Kutubus Sittah atau Kutub Al-Sittah disebut jugta Al-
shihah al-Sittah yang terjemahannya adalah “enam Kitab” Kitab-kitab ini pertama kali
dikelompokkan dan didefinisikan oleh Ibn al-Qaisarani di abad ke-11. Sejak itu,
diterima secara universal sebagai bagian dari peraturan resmi agama Islam Sunni.

Muslim Sunni memandang enam koleksi hadis utama sebagai hadits yang paling
penting. Bila diurutkan atas dasar keotentikannya, sebagai berikut :

 Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.


 Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
 Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
 Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
 Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
 Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.

Shahih Bukhari dan Sahih Muslim disebut dua hadist shahih yang menunjukan
otentikasi dari hadist-hadistnya. Kitab 1 s.d. 5 tersebut di atas dinamakan “Al ushul ‘l-
Khamsah” atau “Al Kutubu ‘I-Khamsah”. Sebagian ulama Mutaakhkhirin, yaitu Abdul
Fadlli ibn Thahir, menggolongkan pula kedalamnya sebuah kitab pokok lagi, sehingga
terkenallah di dalam masyarakat “Al Kutubu ‘I-Sittah” (Kitab Enam). Beliau
memasukkan Sunan Ibnu Majah menjadi kitab pokok yang ke enam.

9
2.3 Model Penulisan Kitab Hadits
Terkait metode penulisan kitab, ada beberapa model. Diantaranya yang bisa kita temui:
2.3.1 Model Jawami' atau Jami'.
Karakteristik kitab model jami' adalah kitab hadits tersebut mengumpulkan semua bab
hadits; mulai dari aqidah, fiqih, sejarah, dan adab atau akhlaq.
Contohnya adalah kitab al-Jami' as-Shahih karya Imam Bukhari (w. 256 H), al-Jami' as-
Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H), Jami' at-Tirmidzikarya Imam at-Tirmidzi (w.
279 H).
2.3.2 Model Muwattha'at atau Muwattha'.
Muwattha' secara bahasa artinya yang dipermudah. Karakteristik kitab
model muwattha' ini adalah penataan babnya sesuai dengan bab fiqih, dan juga hadits
yang ditulis berupa hadits marfu', mauquf dan maqthu'. Artinya isi dari muwattha' ini
berupa Hadits Nabi, Atsar Shahabat dan Tabiin. Pengertian muwattha' ini sama persis
dengan pengertian mushannaf.
Contohnya adalah kitab Muwattha' karya Imam Muhammad bin Abdurrahman atau
terkenal dengan Ibnu Abi Dziab (w. 158 H), kitabMuwattha' karya Imam Malik bin
Anas (w. 179 H), kitab Muwattha' karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin
Muhammad al-Maruzi (w. 293 H).
Contoh mushannaf adalah Mushannaf Abu Salamah Hammad bin Salamah bin Dinar
(w. 167 H), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (w. 235 H), Mushannaf Abu Bakar
Abdurrazzaq (w. 211 H).
2.3.3 Model Musnad
Model musnad adalah model penulisan hadits yang pengumpulan haditsnya sesuai
dengan perawi dari shahabi. Artinya haditsnya dikumpulkan berdasarkan shahabat yang
meriwatkan hadits tersebut. 
Kitab model musnad ini sangat banyak. Urutannya pun beragam, ada yang urutan abjad
nama shahabat, ada yang sesuai urutan masuk islamnya, ada juga sesuai dengan
sukunya.
Contohnya: kitab Musad Imam Ahmad (w. 241 H), Musnad Abu Daud at-Thayalisi (w.
204 H), Musnad as-Syafi'i (w. 204 H), Musnad Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Musnad
Abu Ya'la al-Mushili (w. 307 H) dan lain sebagainya. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241
H) dalam Musnadnya diawali dengan shahabat yang telah dijamin masuk surga, dari
musnad Abu Bakar, musnad Umar, musnad Utsman, musnad Ali dan seterusnya.

2.3.4 Model Sunan

10
Sunan adalah bentuk plural dari kata sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan kitab
hadits model sunan adalah kitab hadits yang dalam penulisannya sesuai dengan bab-bab
fiqih, dan hanya hadits-hadits marfu' saja yang ditulis, berbeda dengan Muwattha' yang
didalamnya masih terdapat atsar shahabat dan tabiin.
Contohnya: Sunan Said bin Manshur (w. 227 H), Sunan ad-Darimi (w. 255 H), Sunan
Ibn Majah (w. 273 H), Sunan Abi Daud (w. 275 H), Sunan an-Nasai atau al-Mujtaba
(w. 303 H), Sunan ad-Daraquthni (w. 385 H), Sunan Baihaqi (w. 458 H) dan lainnya.

2.3.5 Model Shihah


Shihah adalah bentuk plural dari shahih. Dari namanya diketahui bahwa model kitab
shihah adalah kitab kumpulan hadits yang hanya menuliskan hadits-hadits shahih saja,
paling tidak shahih menurut yang mengumpulkannya.
Contohnya: Shahih al-Bukhari (w. 256 H), Shahih Muslim (w. 261 H), Shahih Ibn
Huzaimah (w. 311 H), Shahih Ibn Hibban (w. 354 H).
Selain itu, banyak juga kitab hadits yang disusun berdasar pada satu bab tertentu saja,
misal tentang bab adab dan akhlaq. Ada juga kitab hadits yang hanya mengumpulkan
hadits-hadits maudhu' saja, seperti kitab al-Maudhu'at karya Ibnu al-Jauzi (w. 597 H),
kitab al-Maudhu'at karya Radhiuddin Hasan bin Muhammad as-Shagha'i al-Hanafi (w.
650 H), al-La'ali al-Mashnu'ah fi al-Ahadits al-Maudhu'ah karya Imam as-Suyuthi (w.
911 H).
Ada dua istilah lain yang juga menjadi model penulisan ulama terhadap
hadits; mustadrak dan mustakhraj. 
Mustadrak adalah kitab hadits dimana seorang penulis menambahkan hadits-hadits yang
dianggap memenuhi syarat shahih kitab hadits tertentu. Misalnya Mustadrak al-
Hakim karya Imam al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H). Imam Hakim menambahkan
hadits-hadits lain yang tidak terdapat dalam dua kitab shahih; Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim. Hadits itu beliau anggap menetapi syarat shahih hadits Bukhari dan
Muslim.
Sedangkan Mustakhraj adalah kitab hadits dimana seorang penulis kitab hadits
menuliskan kembali hadits-hadits kitab lain tetapi dengan sanad penulis sendiri, bukan
sanad kitab lain. Misalnya: kitab al-Mustakhraj ala Shahih al-Imam Muslim karya Abu
Naim al-Ashbahani (w. 430 H). Imam Abu Naim al-Ashbahani menuliskan hadits-
hadits Shahih Muslim tetapi dengan sanad lain, bukan sanad Imam Muslim (w. 261 H).3

3 Hanif Luthfi, Lc, http://www.rumahfiqih.com/,

11
2.4 Kutub al-Sittah
2.4.1 IMAM BUKHARI (194H/810M)
Imam Bukhari disebut juga Amirul Mu’minin fil hadith (pemimpin orang mukim
dalam hadist). Suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkap beliau adalah Abu
Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu
Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di
Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama
Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian
putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja’fi, gubernur
Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan “al-
Mughirah al-Jafi.”
Ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad ibn
Zayd dan Imam Malik.Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat
wara’ (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan,
bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak
terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat.” Dengan demikian, jelaslah
bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat
beragama dan wara’. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari
ayahnya itu.

Metode pengumpulan hadist


Imam Bukhari melahirkan banyak sekali karya, namun yang paling masyhur ialah: al-
Jami’ al-Shahih, al-Adab al-Mufrad, at-Tarikh as-Shaghir, at-Tarikh al-Awsath, at-
Tarik al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Kitab al-’Ilal, Raf’u al-Yadain
fi as-Shalat, Birru al-Waalidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira`atu Khalfa al-Imam, Kitab
ad-Dhu’afa`, Usaamy as-Shahabah, dan Kitab al-Kunaa
Dalam menghimpun hadith-hadith shahih, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah
penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat
dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha meneliti dan menyelidiki keadaan para
perawi, untuk memperoleh secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya.
Imam Bukahri senantiasa membandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu
dengan yang lain, menyaringnya dan memilihnya, mana yang paling shahih. Imam
Bukahri telah mengumpulkan 600.000 hadist selama 16 tahun dan kemudian yang
kemudian menyaring dan dikumpulkannya dalam kitab Al-Jami. Beliau juga sangat
hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari
menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku
susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke
dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah
dengan melakukan salat dua rakaat dan sesudah aku meyakini betul bahwa hadith itu
benar-benar shahih.”

12
Imam Bukhari menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara
sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah
tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-
hadith dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di
Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.

Usahanya tersebut benar-benar meyakinkan bahwa beliau berupaya agar kitabnya


mencapai kebenaran yang akurat. Para ulama sangat mengaguminya kitabnya dan
menjadi rujukan sehingga tepatlah jika kitab beliau mendapat predikat “Buku Hadith
Nabi yang Paling Shahih.”
Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari berkata: “Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-
Jami’ as-Shahih ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith
shahih karena khawatir membosankan.”
Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat
terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu
berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari
tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang bukan merupakan materi pokok
dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid, dan hadith-hadith yang
diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.

Al-’Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith


Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya
berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh
Al-”Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab
syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadith shahih yang termuat dalam
Shahih Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadith.
Sedangkan matan hadith yang mu’alaq namun marfu’, yakni hadith shahih namun tidak
diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain
sebanyak 159 hadith. Semua hadith Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan
berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu’alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang
mutabi’ sebanyak 344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang
berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini diluar haits
yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi’in dan ulama-
ulama sesudahnya.

2.4.2 IMAM MUSLIM (206H/820M)


Imam Muslim adalah penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam
Bukhari. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim

13
bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Pengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan
Shahih Muslim). Dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H.
Belajar hadith mulai kecil, kemudian tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir
dan negara-negara lainnya untuk berguru pada para ulama mengenai hadith. Di waktu
Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru,
sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya.
Kitab Shahih Muslim
al-Jami’ al-Shahih; al-Musnad al-Kabir ‘ala al-Rijal; Kitab al-Asma` wa al-Kuna;
Kitab al-‘Ilal; Kitab al-Aqran; Kitab Su`alatuhu Ahmad bin Hanbal; Kitab al-Intifa’ bi
Uhub as-Sibaa’; Kitab al-Mukhadhrin; Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin;
Kitab Awlad al-Shahabah; Kitab Awham al-Muhadditsin. Dari kesemua karyanya, yang
paling punya reputasi tinggi, yang tak lekang dan tak lapuk oleh jaman ialah al-jami’
al-Shahih.
kitab di atas yang masih tetap beredar hingga saat ini ialah Al-Jami’ as-Shahih, terkenal
dengan Shahih Muslim. Imam Muslim telah meneliti dan mempelajari keadaan para
perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat
itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz,
dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Sehingga
lahirlah kita Sahihnya.
Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya yaitu
sekitar 300.000 hadist. Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku
menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab
itu berisi 12.000 buah hadith. Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy
al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadith. Kedua
pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan pertama
memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan
kedua hanya menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya: “Tidak setiap hadith yang shahih
menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan
hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang diriwayatkan dalam
Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah aku
mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada
aku menggugurkan sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alasan pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara
terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah
Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang
kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan
sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

14
2.4.3 IMAM ABU DAWUD (202H/817M)
Imam Abu Dawud juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya.Abu
Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad
bin ‘Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh
terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta
pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Semasa hidupnya, Imam Abu Dawud banyak melahirkan karya, diantaranya: Kitab as-
Sunan; Kitab al-Maraasiil; Kitab al-Qadr; an-Nasikh wa al-Mansukh; Fadha`il al-
A’maal; Kitab az-Zuhd; Dalaa`ilu an-Nubuwwah; Ibtidaa`u al-Wahyi; Ahbaaru al-
Khawaarij. Dari karya-karyanya ini, yang paling disebut-sebut sebagai karya terbesar
beliau ialah Kitab as-Sunan.

Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan
sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya
mencantumkan hadith-hadith shahih semata tetapi ia memasukkan pula kedalamnya
hadith shahih, hadith hasan, hadith dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak
disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia
jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan
kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka
mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
“Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari
jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab
Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang
mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang
telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung
kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak
shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka
hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith
yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui
sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat
buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap
orang. Hadith tersebut adalah:
Abu Dawud itu menjelaskan sebagai berikut:
Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama
bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.

15
Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu
melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadith ketiga mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam
pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri,
dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta
cara memperoleh atau mencapai sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil
yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, karena untuk
menganggap ringan untuk melakukan hal yang haram.Dengan hadith ini nyatalah bahwa
keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan
kebahagiaan.
Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud.
Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak
4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274
buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang
menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith,
namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan
hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi
pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab
yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.

2.4.4 IMAM TIRMDZI (200H/815)


Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam
Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal.
Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga
salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith
terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak
Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan
pengarang berbagai kitab yang masyhur wafat pada 279 H di kota Tirmiz.
Beberapa karya Imam Tirmidzi, diantaranya: Kitab al-Jami’, Kitab al-‘Ilal, yang
digabungkan di bagian akhir kitab al-jami’-nya, Kitab at-Tarikh, Kitab asy-Syaamaa`il
an-Nubuwwah, Kitab al-Asma wa al-Kuna, Kitab az-Zuhd. Dari karya-karyanya ini,
yang paling terkenal ialah Kitab al-Jami’, yang namanya sering disebut berdasarkan
pada penisbahan pengarangnya hingga lebih masyhur dikenal sebagai Jami’ at-
Tirmidziy.

16
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak
manfaatnya. Ia tergolong salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang
Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’
Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan
Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata,
tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan
menerangkan kelemahannya.
Ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau
dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat
yang longgar. Oleh karena, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai
demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia
selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini
adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya
(sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib
dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah
dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai
shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk
meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya
melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah
pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn
Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya
menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal
itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan
mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi
hadith-hadith tentang halal dan haram.

2.4.5 IMAM NASA'I (215H/830M)


Imam Nasa’i adalah tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Jami’ At-
Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith
pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.

17
Imam Nasa’i adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam pengarang kitab Sunan
dan kitab-kitab berharga lainnya. Dilahirkan di Nasa’ pada tahun 215 H. Ada yang
mengatakan pada tahun 214 H.
Fiqh Nasa'i
Imam Nasa’I ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan
hadith yang diriwayatkan juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Nasa’i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di
antaranya:

 As-Sunan ul-Kubra.
 As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
 Al-Khasa’is.
 Fada’ilus-Sahabah.
 Al-Manasik.

Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Nasa’i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Hadith-hadithnya
diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-
Tabarani, penulis tiga buah Mu’jam, Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-
Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin
Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa’i.
Ketika Imam Nasa’i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu
menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: “Apakah isi kitab ini
shahih seluruhnya?” “Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir
serupa dengan keduanya,” jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “Pisahkan
hadith-hadith yang shahih saja.” Atas permintaan Amir ini maka Nasa’i berusaha
menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu
kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika
fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Dalam Sunan
Nasa’i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha’if, hanya saja hadith yang dha’if
sedikit sekali jumlahnya. Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu
kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus
hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa’i dalam
penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh
ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa’i, misalnya dikatakan, “hadith
riwayat Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah “riwayat yang di dalam Sunan us-
Sughra, bukan Sunan ul-Kubra”, kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para
penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud
Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: “Ketahuilah, pekataan al-

18
Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini
diriwayatkan oleh Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan
ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti
India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari
Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-
hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, “diriwayatkan oleh Nasa’i” adalah
tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini,
sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-
Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa’i adalah
salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.

2.4.6 IMAM IBNU MAJAH (209H/824M)


Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang jujur, yang dapat argumentasi pendapat-
pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berpengetahuan luas dan penghafal
hadith.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang
kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau
adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai
oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sementara
orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad. Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin
pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H.
Karya-Karyanya.
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:

 Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith
yang Pokok).
 Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti
diterangkan Ibn Kasir.
 Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar
hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.Ia menyusun
sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab,
1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.Kitab sunan ini disusun
menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai
sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam
bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban
mengikuti dan mengamalkannya. Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn

19
Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadith Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih
rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada
enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:

 Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.


 Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
 Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
 Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
 Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
 Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-
Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya
Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi
(wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka
ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.

Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da’if (lemah), bahkan
hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab
Pokok). Karena kitabnya paling banyak memasukan hdist-hadist da’if . Kita mesti
mengkaji dan meneliti keadaan hadist-hadist tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu
shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Ibn Majah telah meriwayatkan
beberapa buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia
dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal
dengan sebutan Sulasiyyat.

20
BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat dari pembahasan Kutu Al-Sittah, menyatakan bahwa Shahih
Imam Bukhari dalam membukukan kitabnya selalu berpegang teguh pada tingkat
keshahihan yang paling tinggi.
Imam Muslim adalah penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam
Bukhari. Sementara kitab yang lain mempunyai kedudukan yang lebih rendah karena
dalam penyusunannya tidak hanya membahas hadith shahih semata, tapi juga hadith
hasan, da’if yang tidak terlalu lemah.
Kutubus sittah merupakan kitab yang sangat ilmiah dalam penulisannya, sehingga bisa
menjadi rujukan ilmiah dan rujukan kehidupan.

21
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Sunnah

Subhi Ibrahim Shalih (w. 1407 H), Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Bairut: Daar
al-Ilmi, 1984 M), hal. 107

 Imad Ali Jum'ah, al-Maktabah al-Islamiyyah, (Silsilat at-Turats al-Arabiy, 1424 H),


hal. 100

Abu Abdillah Muhammad al-Kattani, ar-Risalah al-Mustathrafah, (Daar al-Basyair,


1421 H), hal. 40

Mahmud at-Thahhan, Ushul at-Takhrij, (Riyadh: Maktabah al-Maarif, t.t), hal. 40

M. Ma’shum Zein, M.A, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Cara Praktis Menguasai
Ulumul Hadits&Mustholah Hadits, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2014, hlm. 3
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits untuk Mahasiswa UIN/IAIN/STAIN/PTAS, Ghalia
Indonesia,Bogor, 2015, hlm. 54

http://al-ghifaritomaros.blogspot.co.id/2012/05/analisis-kitab-shahih-bukhari.html
http://www.ikpmmadinah.com/2014/11/keunggulan-shahih-bukhari-dibandingkan.html
http://www.rumahfiqih.com/hadits/x.php?id=5&=model-penulisan-kitab-hadits.htm

22

Anda mungkin juga menyukai