Anda di halaman 1dari 20

1

KAJIAN KITAB HADIS: SHAHIH IBNU HIBBAN

Makalah ini diajukan sebagai bahan diskusi matakuliah Kajian Kitab


Hadis

Dosen Pembimbing:

Dr. H.Ahmad Fudhaili, M.A.

Disususn oleh:
Ayu Rostiana

PRODI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 1435 H/2015 M


2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kodifikasi hadis telah dimulai pada akhir abad pertama hijrah yang dilakukan
oleh Ibnu syihab al-Zhuhri (124 H/742 M), namun usaha kodifikasi hadis baru
sangat gencar dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah. Pada
abad, kedua kitab hadis paling populer adalah kitab al-Muwaththa` susunan Imam
Malik bin Anas (179 H/795 M). Kemudian pada abad ke-3 H, kodifikasi hadis
mengalami masa puncaknya. Pada masa ini bermunculan sejumlah ulama hadis
terkenal sebagai penyusun kitab hadis, walaupun abad ke-3 ini merupakan puncak
penyusunan kitab hadis sehingga yang dapat kita kenal dengan sebutan kutub al-
sittah, namun ternyata kitab-kitab hadis itu terutama kutub al-sittah belum dapat
menampung, merangkum, dan menampilkan semua hadis Nabi baik kuantitas
maupun kualitasnya.

Salah seorang pakar hadis pada abad ke-3 H adalah Ibnu Hibban dengan
karya monumentalnya At-Taqasim wa Al-Anwa` yang merupakan buah karyanya
dari menuntut ilmu kepada ahli hadis di masanya.

Dalam makalah kali ini, penulis berkesempatan untuk mengkaji kitab


Shahih Ibnu Hibban, bagaimana biografi pengarangnya, dan kajian yang berkaitan
dengan kitab Shahih Ibnu Hibban.

B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana biografi Ibnu Hibban?
2) Apa saja yang berkaitan dengan kajian kitab Shahih Ibnu Hibban?

C. TUJUAN PENULISAN
1) Mengenal lebih dalam tentang Ibnu Hibban
2) Mengetahui kajian-kajian kitab Shahih Ibnu Hibban
3

3) Serta memenuhi tugas kuliah.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun makalah ini, penulis membagi


pembahasan ke dalam tiga bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam
beberapa sub bab. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Bab I PENDAHULUAN

Bab ini mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah,


tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II PEMBAHASAN

Bab ini mencakup biografi Ibnu Hibban dan kajian kitab


shahihnya.

Bab III PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan.


4

BAB II

PEMBAHASAN

I. Biografi Ibnu Hibban


a) Nama dan kelahirannya

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Abu
Hatim at-Tamimi al-Busti as-Sijistani. “At-Tamimi” adalah nisbat kepada Tamim,
moyang kabilah Arab yang terkenal dan yang bersambung nasabnya sampai
kepada Adnan. Dengan demikian Ibnu Hibban seorang keturunan Arab Asli yaitu
Arumiyah, hanya saja ia di lahirkan di Afghanistan.1

Ibnu Hibban di lahirkan di sebuah kota kuno yang saat itu dianggap
sebagai salah satu wilayah Sijistan dan posisinya saat ini masuk ke dalam wilayah
Afghanistan. Kota tersebut bernama Bust, salah satu kota di pegunungan tepatnya
di Timur Sijistan. Juga, kota yang terletak di tepi kiri sungai Hilmand, ke arah
selatan dari tempat yang bersambung dengan sungai Arghandab. Dengan
demikian, kota ini memiliki posisi yang sangat bagus karena dia terletak di sudut
antara dua sungai, di wilayah yang sungainya dapat digunakan untuk pelayaran
dan perdagangan. Karena letaknya menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan
menuju India.2

Ibnu Hibban di lahirkan pada tahun 280-an hijriyah. Tidak seorang pun
menyebutkan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi mereka sepakat bahwa
ia meninggal pada tahun 354 H pada usia 80 tahunan.3

b) Perjalanan Menuntut Ilmu

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ia menuntut ilmu di atas tahun 300 H,”
menunjukkan bahwa ia menuntut ilmu sendirian dam ketika itu usianya 20-an

1
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, (Beirut:
Lebanon, 1997), hlm. 7
2
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 7-8
3
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 10
5

tahun. Meskipun sedikit terlambat dalam menuntut ilmu akan tetapi ia sangat
sunggu-sungguh dan memaksimalkan kemampuannya dalam belajar. Bekalnya
dalam hal ini ialah tekad yang tinggi (kuat), yang dapat mempersingkat jarak-
jarak yang jauh dan mendekatkan kepada negeri-negeri yang terpencil.4

Ia datang menemui para masysyaikh pada masanya ke negeri-negeri


mereka dan juga mendatangi ulama-ulama senior pada zamannya di kota-kota dan
desa-desa mereka untuk mendapatkan sanad yang lebih tinggi.5

Hal itu juga mengharuskannya untuk pergi ke empat puluh negeri di antara
negeri-negeri Islam, di atas bentangan luas yang ujung-ujungnya saling berjauhan.
Perjalanannya mencakup Sijistan, Harah, Marwa, Sinj, Suhghd, Syasy
(Tasyiqand), Bukhara, Nasa, Nisabur, Arghayan, Jurjan, Tehran, Karj, Askar,
Mukram, Ahwaz, Bashrah, Bahgdad, Kufah, Mosul, Nashibin, Raqqah,
Anthakiyah, Tharthus, Hims, Damaskus, Beirut, Shaida, Ramallah, Baitul Maqdis,
Mesir, dan lainnya. Jumlah keseluruhan masysyaikhnya dalam perjalan menuntut
ilmu mencapai dua ribu lebih. Ia berkata (Ibnu Hibban), “Barangkali kita telah
menulis dari dua ribu syaikh lebih, mulai dari Syasy6 sampai Iskandariyah7.”8

c) Guru-gurunya

Guru-gurunya Ibnu Hibban disini adalah mereka yang darinya ia mmeriwayatkan


hadis shahih di dalam kitabnya. Diantara dua ribu syaikh tersebut ia telah
menyeleksi lebih dari 150 syaikh. Kemudian ia bersandar kepada sekitar dua
puluh syaikh di antara mereka. Merekalah syaikh-syaikh yang paling tsiqah,
paling kuat hafalannya, dan paling tinggi sanadnya.

Diantara syaikh-syaikhnya ialah (dimulai dari berdasarkan jumlah hadis-


hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing, dari yang paling banyak dan
seterusnya), antara lain:

4
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 10
5
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 10
6
Negeri Islam yang paling ujung ketika itu.
7
Negeri paling akhir yang mungkin dicapai oleh seorang ahli hadis yang sedang mencari
sunnah-sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wasallamketika itu. Sebab setelah Dinasti Fathimiyah
tidak ada perturan ilmiah dengan Dinasti ini.
8
’Ali bin Balban al-Fâri, Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 10
6

1) Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin Mutsanna al-Maushul9


2) Hasan bin Sufyan Asy-Syaibani10
3) Abu Khalifah Fadhl bin Hubab Al-Jumahi Al-Bashri11
4) Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Azdi12
5) Abu Abbas Muhammad bin Hasan Al-Asqalani13
6) Abu Hafs Umar bin Muhammad Al-Hamdani14
7) Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Salm Al-Maqdisi Al-
Firyabi15
8) Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah An-Naisaburi16
9) Abu bakar Umar bin Sa’ad bin Ahmad bin Sa’ad Ath-Tha’i17
10) Abu Ishaq Imran bin Musa bin Mujasyi’ al-Jurjani18
11) Muhammad bin Ishaq Abu Abbas As-Sarraj Al-Khurasani19
12) Abu Arubah Husain bin Muhammad Al-Hawwani20
13) Husain bin Idris bin Mubarak Abu Ali Al-Anshari21

9
Seorang imam, hafizh, dan syaikh Islam. Serta ahli hadis al-maushul dan seorang yang
tsiqah (kredibel) serta kokoh. K’epadanya berakhir ketinggian sanad (sanad ‘ali). Bahkan ia lebih
tinggi sanadnya daipada An-Nasa`i. Para ahli hadis memperebutkannya serta menyepakati ke-
tsiqah-an dan agamanya. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban adalah 1174
hadis.
10
Seorang Imam dan hafizh yang kokoh. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu
Hibban adalah 815 hadis.
11
Imam, ‘Allamah, ahli hadis, sastrawan, sejarawan, dan syaikh pada masanya. Jumlah hadis
yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban adalah 732 hadis.
12
Imam, Hafizh, dan Faqih. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban adalah
463 hadis.
13
Imm yang tsiqah dan ahli hadis yang agung. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh
Ibnu Hibban adalah 464 hadis.
14
Imam, Hafizh, dan pengembara. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban
adalah 357 hadis.
15
Imam, ahli hadis, dan ahli ibadah yang tsiqah. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh
Ibnu Hibban adalah 313 hadis.
16
Imamnya para imam, hafizh, hujjah, faqih syaikh Islam. Jumlah hadis yang diriwayatkan
darinya oleh Ibnu Hibban adalah 301 hadis.
17
Imam, ahli hadis, panutan, ‘abid (ahli ibadah). Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya
oleh Ibnu Hibban adalah 281 hadis.
18
Imam, ahli hadis, hujjah, dan hafizh. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu
Hibban adalah 232 hadis.
19
Imam dan hafizh yang tsiqah. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban
adalah 173 hadis.
20
Imam dan hafizh yang panjang umurnya dan jujur. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya
oleh Ibnu Hibban adalah 167 hadis.
21
Imam, ahli hadis yang tsiqah, dan petualang. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh
Ibnu Hibban adalah 136 hadis.
7

14) Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrahman Al-Harawi22


15) Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad An-Nasawi Ar-Rayani23
16) Abu Ali Husain bin Abdullah bin Yazid al-Qaththan Ar-Raqqi24
17) Husain Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin Abdullah bin Junaidi
ar-Razi25
18) Abdan Abdullah bin Ahmad bin Musa bin Ziyad al-Jawaliqi Al-
Ahwazi26
19) Abu Ja’far Ahmad bin Yahya bin Zuhair At-Tusturi27
20) Abu Abdillah Ahmad bin Husain bin Abdul Jabbar bin Rasyid Al-
Baghdadi28
21) Ishaq bin Ibrahim bin Ismail Al-Busti29

Mereka inilah yang paling banyak hadis-hadisnya yang diriwayatkan oleh


Ibnu Hibban dalam kitabnya (Shahih Ibnu Hibban).30

d) Murid-muridnya

Murid-murid yang mengerumuninya sangat banyak untuk mengambil ilmu dan


manfaat darinya, serta untuk memperoleh sanad-sanad yang tinggi. Murid-murid
mendatanginya dari segala penjuru. Al-Hakim salah satu muridnya berkata,
“Perjalanan kepadanya adalah untuk mendengarkan kitab-kitabnya.”

22
Imam, ahli hadis yang tsiqah, dan al-hafizh. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh
Ibnu Hibban adalah 112 hadis.
23
Hafizh dan ahli hadis yang tsiqah. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu
Hibban adalah 99 hadis.
24
Hafizh dan ahli sanad yang tsiqah. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu
Hibban adalah 90 hadis.
25
Imam, ahli hadis, dan Hafizh yang banyak memberikan faedah. Jumlah hadis yang
diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban adalah 91 hadis.
26
Hafizh, hujjah, dan Allamah. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban
adalah 73 hadis.
27
Imam, Hujjah, ahli hadis yang pandai, tokoh para hfizh, dan syaikh Islam. Jumlah hadis
yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban adalah 75 hadis.
28
Syaikh dan ahli hadis yang tsiqah serta panjang umurnya. Jumlah hadis yang diriwayatkan
darinya oleh Ibnu Hibban adalah 70 hadis.
29
Seorang ahli hadis. Jumlah hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hibban adalah 69
hadis.
30
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 9-
15
8

Kecintaannya untuk menyebarkan ilmu dan usaha kerasnya untuk


menyiarkan dan mendermakannya di barengi dengan firasat yang benar dan
matahati yang tajam. Sehingga ia dapat menerawangi siapa saja yang
berkompeten untuk mempelajari ilmu, lalu ia mengkhususkannya dengan
perhatian yang lebih. Karena Ibnu Hibban mencurahkan perhatiannya kepada
murid yang dia perhatikan memiliki kepandaian dan melihat tanda-tanda
prestasinya padanya, maka sebagian dari murid-muridnya menjadi ulama besar
dan para tokoh huffazh. Di antara mereka ialah:

1) Imam dan Al-Hafizh Abu Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi


Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdawaihi Adh-
Dhabbi, penulis kitab Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain.
2) Abu Abdullah Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq bin Muhammad bin
Yahya bin Mandah Al-Abdi Al-Ashfahani. Pemilik kitab Ma’rifah
Ash-shahabah, At-Tauhid, Al-Kuna, dan lainnya.
3) Abu Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi Ad-Daruquthni, salah
satu lautan ilmu dan imaam dunia dalam hapalan, pemahaman, dan
kewara’an. Ia adalah penyusun kitab As-Sunan, Al-‘Illal, dan lainnya.
4) Abu Ali Manshur bin Abdullah bin Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhali
Al-Khalidi Al-Harawi.
5) Abu Umar Muhammad bin Ahmad bin Sulaiman bin Ghaitsah An-
Nuqati.
6) Abu Hasan Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Harus Al-
Zauzani.31
e) Pencapaian Keilmuannya
Di antara yang membangkitkan ketakjubann terhadap Ibnu Hibban adalah apa
yang menjadi keistimewaannya sepanjang perjalanan dan pencariannya, berupa
tekad yang tak pernah tertimpa kemunduran dan keinginan untuk mendapatkan
faedah yang tak terdandingi. Penanya tidak pernah beristirahat dari menulis apa

Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm.
31

127-28
9

yang didengarkan oleh kedua telinganya dari para masysyaikh-nya. Sampai-


sampai kadang dia melampaui batas dalam hal itu.32
Ilmu yang sangat mantap dan dikuasainya serta paling mahir, dan menjadi
salah satu dari tokohnya adalah ilmu hadis. Dia menjadi imam, al-hafizh,Allamah
yang tsiqah dan kokoh, serta menjadi peneliti hadis.33
Apabila karya-karya seorang tokoh adalah cermin ilmunya, maka karya-
karya Ibnu Hibban membuktikan kekokohan kakinya dan keluasan
pengetahuannya, serta menunjukkkan keluhuran derajatnya dan ketinggian
kedudukannya.34
Ibnu Hibban juga seorang fuqaha(ahli fikih) dalam mazhab Syafi’i dan
menjadi qadhi (hakim) dalam waktu yang lama lebih dari satu negeri, di antaranya
Nasa, Samarkand, dan lainnya. Selain itu pula ia ahli dalam bahasa Arab, ilmu
kalam (teologi). Karena ia mendalami teologi, ia terpengaruh pada nalarnya dan
memberi warna dalam pemikirannya dan tampak jelas dalam pembagian-
pembagian bab-bab, serta metode penataan kitabnya ini berdasarkan qism-qism
dan nau’-nau’35 yang merupakan salah satu buah dari keterpengaruhannya dengan
ilmu kalam.36
Selain itu pula ia juga seorang ilmuwan kedokteran dan astronomi.
Sampai-sampai Ibnu Hajar berkata, “Dia adalah pemilik berbagai macam ilmu,
kepandaian yang melampaui batas, dan hapalan yang luas sampai ke puncak.
Semoga Allah merahmatinya.”37
f) Wafatnya

Setelah mengarungi perjalanan hidup yang penuh jihad berkesinambungan dalam


perjalanan hidupnya, ketika dia sedang berada di tengah keluarga, para sahabat,
dan para muridnya ajal datang menjemputnya terjadi pada malam Jum’at, delapan
hari tersisa bulan syawal, pada tahun 354 H pada usia 80 tahunan. Dia

32
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 15
33
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 16
34
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 16
35
Artinya jenis atau genus. Penggunaan istilah ini tidak biasa digunakan oleh para ahli hadis
dan fuqaha.
36
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 18
37
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 19
10

dimakamkan setelah shalat Jum’at di serambi yang telah ia bangun di samping


rumahnya di daerah Bust. Makamnya terkenal dan diziarahi banyak orang.38

g) Karya-karyanya
1. At-Taqasim wa Al-Anwa`
2. Al-Hidayah ila ‘Ilm As-Sunan
3. ‘Ilal Auham At-Tawarikh, dalam sepuluh jilid
4. ‘Ilal Hadits Az-Zuhri, dua puluh jilid
5. ‘Ilal Hadits Malik, sepuluh jilid
6. Ma Khalafa Fihi Ats-Tsauri Syu’bah, tiga jilid
7. Ma Infarada Fihi Ahlu Al-Madinah min A-Sunan, dalam sepuluh jilid
8. Ma Infarada Fihi Ahlu Makkah min As-Sunan, sepuluh jilid
9. Ma ‘Inda Syu’bah ‘an Qatadah wa Laisa ‘inda Sa’id ‘an Qatadah, dua
jilid
10. Ghara’ib Ak-Akhbar, dua puluh jilid
11. Ma Aghraba al-Kufiyun ‘an Al-Bashriyin, sepuluh jilid
12. Asami Man Yu’raf bi Al-Kuna, tiga jiilid
13. Kuna Man Yu’raf bi Al-Asami, tiga jilid
14. Al-Fashl wa Al-Washl dalam sepuluh jilid
15. At-Tamyiz baina Hadits Nadhar Al-Huddani wa Nadhar Al-Khazzaz, dua
jilid
16. Al-Jam’u baina Al-Akhbar al-Mutadhaddah, dua jilid
17. Washf Al-Ulum wa Anna’iha, tiga puluh jilid
18. Al-Fashl baina An-Naqalah, sepuluh jilid.
19. Ats-Tsiqât,
20. Ma’rifah Al-Majruhin min Al-Muhadditsin wa Adh-Dhu’afa wa Al-
Matrukin
21. Masyahir Ulama Al-Amshar
22. Raudhah Al-‘Uqala` wa Nuzhah Al-Fudhala`.39
II. Kajian Kitab Shahih Ibnu Hibban

Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 30
38

Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 30
39
11

1) Pengenalan Kitab
Sebelum menjadi kitab yang berjudul Shahih Ibnu Hibban yang dikenal saat ini,
judul asli dari kitab ini ialah At-Taqasim wa Al-Anwa`. Nama lengkap kitab ini
sesuai yang diberi oleh penulisnya ialah Al-Musnad Ash-Shahih ‘Ala At-Taqasim
wa Al-Anwa` min Gairi Wujud Qath’in fi Sanadiha wa La Tsubut Jarhin fi
Naqiliha (Musnad yang shahih berdasarkan pembagian-pembagian dan jenis-jenis
tanpa ada keterputusan dalam sanadnya dan tanpa tetapnya cacat pada orang-
orang yang meriwayatkannya). Judul kitab ini terdapat pada naskah yang ada di
Dar Al-Kutub Al-Mishriyah.40
Nama inilah disebutkan oleh ‘Ala`uddin41 yang menata dan membagi bab-
bab kitab ini, akan tetapi dia hanya membatasi pada lafazh At-Taqasim wa Al-
Anwa`. Dalam penamaan kitab ini, Ibnu Hibban mengikuti gurunya, Ibnu
Khuzaimah, yaitu Al-Musnad bi Naql Al-‘Adl an Al-‘Adl min Ghairi Qat’ih fi As-
Sanad wa La Jarhin fi Naqalah(Musnad yang shahih dan bersambung dengan
penukilan orang yang adil dari orang yang adil, tanpa ada keterputusan pada sanad
dan tanpa aib orang-orang yang meriwayatkannya).42 Dan juga lebih di kenal
dengan judul Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban yang di beri judul oleh
penatanya, amir ‘Ala`uddin. Namun, kitab Shahih Ibnu Hibban saat ini telah
tercetak dengan judul Shahih Ibnu Hibban bi at-Tartib Ibni Balban (Shahih Ibnu
Hibban dengan penataan Ibnu Balban), sebagaimana perincian dibawah ini;
Nama kitab: Shahih Ibnu Hibban bi at-Tartib Ibni Balban ( ‫صحيح ابن حبّان‬
‫)بترتب ابن بلبان‬
Jumlah jilid:18Jilid
Tahun terbit: 1997
Penerbit: Muasasah ar-Risalah, Beirut, Lebanon

40
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 38
41
Dia adalah ‘Ala`uddin Abu Hasan Ali bin Balban bin Abdullah Al-Farisi al-Mishri seorang
ahli hadis, ahli fikih dari madzhab Hanafi, dan ahli nahwu. Lahir pada tahun 675 H. Dia adalah
penata ulang kitab At-Taqasim wa Al-Anwa`karya Ibnu Hibban. Banyak kitab yang telah ia urai.
Diantara motivasinya ialah untuk memudahkan kitab-kitab dan mendekatkannya kepada para
penuntut ilmu baik dengan menata ulang, menjelaskan, atau meringkasnya.
42
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 38
12

Dengan demikian perlu diketahui bahwa dahulu kitab atau naskah ini
pertama terbit pada akhir abad kedelapan. Penertbitan kitab tersebut dari Dar Al-
Kutub Al-Mishriyah. Pada naskah tersebut, tidak terdapat nama dan tanggal
penyalinan. Kitab tersebut berjumlah sembilan jilid.
2) Motivasi Penulisan Kitab

Ibnu Hibban menyebutkan bahwa yang mendorongnya untuk menulis kitab ini
dengan menghimpun sanad-sanad yang shahih ialah dia melihat jalur-jalur riwayat
khabar yang sangat banyak, sedikitnya pengetahuan orang-orang tentang yang
shahih di antaranya, dan kesibukkan mereka dengan khabar-khabar yang palsu
dan menghapal khabar-khabar yang salah serta terbolak-balik. Disamping itu,
mereka hanya bersandar pada apa yang ada di dalam kitab-kitab tanpa
menghapalnya dan menyimpannya dalam dada mereka.43

3) Mengapa Dinamakan Kitab Shahih?

Kitab ini ditahqiq oleh Amir Ala’uddin al-Farisi dengan diberi judul al-Ihsan
Taqrib Shahih Ibnu Hibban. Karena penilaian shahih pada hadis-hadis tersebut ini
berdasarkan kepada pendapatnya dalam menilai tsiqah orang yang tertutup, sesuai
dengan metode yang ditetapkan dan disyaratkan dalam penilaian hadis itu.

Oleh karena penahqiq juga melakukan kajian terhadap sanad dengan


tujuan mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dengan syarat hadis shahih
menurut jumhur ulama, salah satunya yaitu syarat yang ditetapkan oleh Imam al-
Bukhari dan imam Muslim. Dan penahqiq juga memberikan keterangan pada
kitabnya, seperti ungkapan, ‘Sanadnya shahih menurut syarat al-Bukhari dan
Muslim, ‘Berdasarkan syarat al-Bukhhari’, atau ‘berdasarkan syarat Muslim’.

Karena juga pengerjaannya yang unik dan kekuatan penyusunannya lalu


menjadi sulit, sehingga orang yang menjauhinya menjadi banyak dan ceceran-
cecerannya sulit ditangkap. Untuk itulah, kitab yang ditahqiq oleh amir Ala’uddin
al-Farisi inilah yang menjadi landasan penerbit dalam menerbitkan kitab ini dan
lebih dikenal dengan judul Shahih Ibnu Hibban yang diambil dari judul yang

Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 39
43
13

diberi oleh penahqiq sendiri, sebagaimana yang sudah penulis paparkan dalam
menata kitab ini agar teratur dan mudah dibaca.44

4) Syarat-syaratnya Dalam Menentukan Status Perawi Hadis

Ibnu Hibban telah merangkum syaratnya dalam judul kitabnya, “Tanpa ada
keterputusan dalam sanadnya dan tanpa tetapnya aib pada orang-orang yang
meriwayatkannya. Serta, ia tidak mengambil hujjah padanya kecuali dengan hadis
yang terhimpun lima sifat pada setiap syaikh yang terdapat dalam mata rantai
riwayatnya. Lima sifat tersebut ialah,

a. ‘Adallah (agama dengan kondisi yang bagus atau sifat asli perawi)
b. Kejujuran dalam hadis dengan kemasyhuran dalam hal itu
c. Pemahaman terhadap hadis yang diriwayatkan
d. Pengetahuan tentang apa yang dapat mengalihkan makna-makna hadis
yang ia riwayatkan.
e. Khabarnya terlepas dari tadlis.

Ia berkata, “Setiap orang yang padanya terkumpul lima sifat ini, maka
dapat berhujjah dengan hadisnya dan mengutip riwayatnya. Dan setiap orang yang
terlepas dari salah satu sifat yang lima ini, maka tidak dapat di ambil hujjah
darinya.”45

Namun, banyak kritikan ulama kepada Ibnu Hibban tentang penentuan


tsiqah atau tidak tsiqahnya periwayat. Mereka menganggap bahwa Ibnu Hibban
terlalu berlebihan dan keterlaluan dalam menilai ketsiqahan periwayat
sebagaimana dia juga ditentang dalam menyatakan suatu cacat ‘aib’. Dia juga
dianggap sebagai salah seorang yang keras dan ketat dalam menetapkan
kesimpulan terhadap tokoh riwayat yaitu kalangan yang menyatakan cacat
periwayat hanya karena aib yang sangat kecil. 46Misalnya Adz-Dzahabi membagi

44
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban,
hlm. 57
45
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban,
hlm. 40
46
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban,
hlm. 40
14

orang-orang yang berbicara tentang para periwayat ke dalam beberapa bagian,


yakni; kelompok yang ketat dalam penilaian aib; kukuh dalam penetapan ‘adalah
(kapabilitas dalam ketakwaan dan menjauhi kefasikan serta tindakan bid’ah;
mencela periwayat dengan dua tiga kesalahan; dan ringan pembicaraannya tentang
hal itu.47

Sebagian yang lain juga menganggap Ibnu Hibban terlalu longgar dalam
menilai ketsiqahan periwayat. Dia menilai tsiqahbanyak orang yang pantas
dinyatakan cacat. Namun, pandangan ini dibantah oleh Al-Laknawi yang
mengatakan bahwa Ibnu Hibban termasuk ke dalam orang-orang yang ketat dan
berlebihan dalam menilai aib para periwayat dan tidak mungkin melakukan
kelonggaran dalam menyatakan adil para periwayat. Hanya saja banyak terjadi
benturan antara penilaian tsiqah dan penilaian aib, karena baginya cukupnya
sesuatu dalam menyatakan tsiqah baginya yang tidak cukup bagi selainnya.48

Selain itu, As-Sakhawi juga menentang pendapat di atas terkait dengan


kelonggaran Ibnu Hibban. Dia mengatakan bahwa penisbatan kepada kelonggaran
itu berdasarkan keberadaan hadis hasan dalam kitabnya, maka itu hanyalah
pertentangan dalam terminologi, karena dia menamakannya sebagai hadis shahih.
Dan menurut Ibnu Hibban yang dikutip As-Sakhawi, apabila itu berdasarkan
kelemahan syarat-syaratnya, maka dalam shahihnya dia mengeluarkan hadis yang
periwayatnya tsiqah bukan mudallis; mendengar dari periwayat di atasnya
(mengambil riwayat darinya) dan benar-benar mendengar darinya tanpa
keterputusan atau kemursalan. Apabila pada periwayat yang tidak diketahui
kondisinya tidak terdapat penilaian aib dan tidak pula penilaian ‘adil, dan tidak
pernah mendatangkan hadis munkar, maka masing-masing syaikhnya dan
periwayat yang meriwayatkan darinya adalah tsiqah.49

Maka, kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa Ibnu Hibban menilai
tsiqah orang yang kondisinya tertutup. Yaitu selama tidak ada penilaian aib dan
penilaian ‘adil(‘adalah) terhadapnya, setiap syaikh dan periwayat yang

47
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 42
48
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 42
49
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 43
15

meriwayatkan darinya adalah orang yang tsiqah, dan dia tidak pernah
mendatangkan hadis yang munkar.

5) Sistematika Penyusunan Kitab

Dalam menata kitabnya, Ibnu Hibban menganut sebuah metode asing yang
dihasilkan oleh nalarnya yang diwarnai dengan kemampuan untuk menyusun dan
berkreasi, dan diprogram dengan ilmu ushul dan ilmu kalam. Sesuatu yang
mendorongnya tidak lain ialah ingin membawa manusia untuk menghapal
Sunnah. Dia tidak mendapatkan strategi dalam hal itu kecuali dengan membagi
sunnah ke dalam qism-qism (bagian-bagian).

Setiap qism mencakup nau’ (jenis-jenis) dan setiap nau’ mencakup hadis-
hadis. Maksudnya dalam hal ini ialah adalah mengikuti penataan Al-Qur`an.
sebab, setiap Al-Qur`an terdiri dari juz-juz. Setiap juz mencakup surah-surah. Dan
setiap surah mencakup ayat-ayat. Sebagaimana sulit bagi seseorang untuk
mengetahui tempat ayat tertentu dalam Al-Qur`an kecuali dengan menghapalnya,
sehingga seluruh ayat akan berada di depan kedua matanya, maka demikian pula
sulit baginya untuk mengetahui hadis tertentu di dalam kitabnya apabila dia tidak
pernah bermaksud untuk menghapalnya.50

Dia membagi qism tersebut ke dalam lima qismyang sama, dengan


pembagian yang serasi dan tidak saling bertentangan, yaitu;

a) Pertama, perintah-perintah; yang diperintahkan oleh Allah kepada


hamba-Nya memuat 110 bab.
b) Kedua, larangan-larangan; yang dilarang oleh Allah bagi hamba-Nya
memuat 110.
c) Ketiga, pemberitahuan Allah tentang apa-apa yang perlu diketahui
memuat 80 bab.
d) Keempat, sunnah adalah sesuatu yang boleh dikerjakan memuat 50 bab.

Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 55
50
16

e) Kelima, perbuatan-perbuatan Nabi yang hanya dikerjakan oleh beliau


memuat 50 bab.51

Amir ‘Ala`uddin al-Farisi menanggapi bahwa keunikan pengerjaannya dan


kekuatan penyusunannya menjadi sulit, sehingga banyak orang yang
menjauhinya.

Oleh karena itu, kebutuhan hadis shahih dalam kitabnya sangat


dibutuhkan, para imam (ahli hadis) membuat berbagai strategi untuk mendekatkan
dan memudahkan jalan-jalannya, dan membuka pintu-pintunya agar mudah di
pahami. Mereka menempuh dua cara itu, yakni;

a) Pertama, membuat indeks berdasarkan penyebutan ujung-ujung hadisnya.


b) Kedua, menata kembali berdasarkan bab-bab fikih, sehingga bentuknya
menjadi bentuk kitab-kitab sunnah lainnya, yang mudah untuk
menemukan hadis apa saja di dalamnya.52

Dengan kesimpulan bahwa kitab Shahih Ibnu Hibban pada awalnya belum
disusun berdasarkan sistematika bab dan musnad, sehingga mempersulit dalam
penelitian terhadap hadis-hadis yang ada di dalam kitab tersebut.

6) Kedudukannya di antara Kitab-kitab Shahih

Sebagimana pendapat para imam mengatakan bahwa kitab Shahih Ibnu Hibban
lebih tinggi daripada Mustadrak Al-Hakim dan lebih baik darinya. Ammad bin
Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits mengatakan bahwa Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban telah mematuhi keshahihannya. Dan keduanya jauh lebih baik
daripada al-Mustadrakdan lebih bersih dari segi sanad dan matan.

As-Suyuthi berkata bahwa Ibnu Hibban sempurna dalam mematuhi syarat-


syaratnya, sementara al-Hakim tidak sempurna. Perkataannya senada dengan
ucapan para ahli hadis lainnya. Selain itu pula, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,
“Hukum hadis-hadis yang ada dalam kitab Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban

51
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 92
dan 93
52
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 56
dan 57
17

adalah layak dijadikan hujjah kerena berkisar antara shahih dan hasan, selagi pada
salah satu darinya tidak tampak illat yang mencelakan.”53

7) Perhatian Para Ulama Terhadap Shahih Ibnu Hibban

Para ulama sangat antusias dalam memanfaatkan dan mengambil ilmu dari kitas
tersebut. Perhatian mereka yang luar biasa terhadap kitab tersebut tampak jelas
dari kenyataan bahwa mereka tidak menyisakan satu usaha pun dalam rangka
memanfaatkannya dari semua sisi dan bentuknya. Sebab, kitab ini dipenuhi
dengan faedah-faedah yang unik dan mutiara-mutiara yang langka, serta sangat
kaya dengan apa yang disimpan oleh penulisnya di dalamnya dari perasaan
pemikiran dan fikihnya, serta orisinalitas istinbathdan pemahamannya. Perhatian
mereka mencakup sisi-sisi, antara lain;

a. Mengkaji dan mempelajarinya dari para syaikh


b. Menulis biografi para periwayatnya
c. Mentakhrij tambahan-tambahannya
d. Mengutip darinya dan merujuk kepadanya
e. Mengambil manfaat dari pemahaman dan komentar-komentarnya terhadap
nash-nash.54
8) Kekurangan dan Kelebihan Kitab Shahih Ibnu Hibban

Kekurangan yang terdapat pada kitab ini, yakni;

a. Penyusunanyang dilakukan oleh Ibnu Hibban aneh dan asing yang


tidaak pernah dipakai ulama ahli hadis lainnya sehingga untuk mencari
hadis di dalamnya menjadi susah.
b. Dalam melakukan istinbath, Ibnu Hibban kadang-kadang melakukan
hal yang aneh dan asing mengenai apa yang dia simpulkan dan dan
dipandangnya, sehingga dia mendapatkan dalam nash sesuatu yang
tidak terlintas dalam hati seorang pun.

53
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 46
dan 47.
54
Ala`uddin ’Ali bin Balban al-Fâri, Terj. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban, hlm. 49,
50, 51, 52, 53, dan 54.
18

Adapun kelebihannya ialah terlihat pada jalur riwayatnya (dalam hadis)


tidak terjadi keterputusan sanad dan tanpa tetapnya aib pada orang-orang yang
meriwayatkannya dan mengandung faedah-faedah yang langka.55

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

55
Lihat, terj, Shahih Ibnu Hibban pada bagian biografi Ibnu Hibban dalam kajian kitabnya.
19

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Abu
Hatim at-Tamimi al-Busti as-Sijistani. “At-Tamimi” adalah nisbat kepada Tamim,
moyang kabilah Arab yang terkenal dan yang bersambung nasabnya sampai
kepada Adnan. Dengan demikian Ibnu Hibban seorang keturunan Arab Asli yaitu
Arumiyah, hanya saja ia di lahirkan di Afghanistan.

Ibnu Hibban menghasilkan karya yang fenomenal yaitu Kitab Shahihnya.


Sebelum menjadi kitab yang berjudul Shahih Ibnu Hibban yang dikenal saat ini,
judul asli dari kitab ini ialah At-Taqasim wa Al-Anwa`. Nama lengkap kitab ini
sesuai yang diberi oleh penulisnya ialah Al-Musnad Ash-Shahih ‘Ala At-Taqasim
wa Al-Anwa` min Gairi Wujud Qath’in fi Sanadiha wa La Tsubut Jarhin fi
Naqiliha (Musnad yang shahih berdasarkan pembagian-pembagian dan jenis-jenis
tanpa ada keterputusan dalam sanadnya dan tanpa tetapnya cacat pada orang-
orang yang meriwayatkannya). Judul kitab ini terdapat pada naskah yang ada di
Dar Al-Kutub Al-Mishriyah.

Nama inilah disebutkan oleh ‘Ala`uddin yang menata dan membagi bab-
bab kitab ini, akan tetapi dia hanya membatasi pada lafazh At-Taqasim wa Al-
Anwa`.

Syarat-syarat Ibnu Hibban dalam menentukan status periwayat hadis yaitu


menilai tsiqah orang yang kondisinya tertutup. Yaitu selama tidak ada penilaian
aib dan penilaian ‘adil(‘adalah) terhadapnya, setiap syaikh dan periwayat yang
meriwayatkan darinya adalah orang yang tsiqah, dan dia tidak pernah
mendatangkan hadis yang munkar.

Adapun sistem penyusunan kitabnya, Ibnu Hibban menerapkan gaya qism-


qism dan nau’-nau’. Selanjutnya menurut ulama kedudukan kitab ini lebih baik
daripada al-Mustadrak karya Al-Baihaqi. Wallahua’lam

DAFTAR PUSTAKA
20

’Ali bin Balban al-Fâri, Ala`uddin. Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn Balban.
Beirut: Lebanon. 1997.

’Ali bin Balban al-Fâri, Ala`uddin. Terj.Shahih Ibnu Hibban bit Tartib Ibn
Balban. Tahqiq. Syu’aib Al-Arnauth. Pustaka Azzam: Jakarta. 2007.

Anda mungkin juga menyukai