IBNU HIBBAN
MASYAYIKH.
Di dalam mendalami ilmu, baliau banyak mangambil
dari syaikh-syaihk terkemuka di masanya. di antara syaikh-
syaikh yang beliau temui adalah Syaikh Alfadl bin Alhubaab,
Syaikh Zakariya Assaaji dari Bashrah, Syaikh Abu Abdurrahman
Annasa’i, Syaikh Ishaq bin Yunus, Syaikh Abi Ya’la dari
Mausul, Syaikh Alhasan bin Sofyan, Syaikh Umran bin Musa bin
Mujasi’ dari Jurjan, Syaikh Ahmad bin Alhasan dari Baghdad,
Syaikh Ja’far bin Ahmad, Syaikh Muhammad bin Khuraim dari
Damaskus, Syaikh Ibnu Khujaimah, Assarraj dari Naisaburi,
Syaikh Muhammad bin Alhasan bin Qutaibah dari ‘Asqalan,
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Salam dari Baitul Maqdis,
Syaikh Sa’id bin Hasyim dari Thabariah, Syaikh Muhammad bin
Abdurrahman Assaami, Alhusain bin Idris dari Haraah, Syaikh
Ahmad bin Yahya Zuhair dari Tustar, Syaikh Umar bin Sa’id
dari Manbaj, Syaikh Abi Ya’la Zuhair dari Ubulah, Syaikh Abi
‘Arubah dari Harran, Syaikh Almufadlal Aljanady dari Makkah,
Syaikh Ahmad bin ‘Ubaidillah Addaarimi dari Antakiya, Syaikh
Umar bin Muhammad bin Bujair dari Bukhara.[3]
MURID-MURID BELIAU
Di antara murid-murid beliau adalah Abu Abdillah
bin Manduh, Abu Abdillah Alhakim, Mansur bin Abdillah
Alkhalidi, Abu Mu’adz Abdurrahman bin Muhammad bin Razqillah
Assajastani, Abul Hasan Muhammad bin Ahmad bin Harun Azzauzy,
Muhammad bin Ahmad bin Mansur Annuqaty dan masih banyak lagi
yang menimba ilmu dari beliau.[4]
TENTANG BELIAU
Imam adzahabi berkata : “Ia pemilik bermacam
pengetahuan, pengarang kitab jarhu wa ta’dil, dan yang
lainnya, ia termasuk ulama’ terkemuka sezamannya, ia mencari
ilmu pada tahun tigaratusan hijriyah, ia bertemu dengan abu
khulaifah dan abu abdurrahman annasai, ia mengarang buku di
syam, hijjaz, mesir, irak, jazirah, dan khurasan. Ia menjadi
qadli di wilayah samarkhand dalam beberapa waktu, ia
mengetahui ilmu tentang kedokteran, perbintangan, ilmu kalam,
fiqih, dan pokok-pokok ilmu hadis”[5]
Abu sa’id alidris berkata : “Ia adalah seorang
qadi di wilayah samarkhand dalam beberapa masa, seorang yang
faqih dalam urusan agama, menghafal banyak dari atsar,
mengetahui ilmu kedokteran, perbintangan, dan macam-macam
ilmu seni. Ia membuat musnad shahih dengan nama “ALANWA’ WA
TAQAASIM”. Ia juga mengarang kitab At-taarikh, dan kitab Ad-
du’afa’. Dan ia mengajarkan fiqih di samarkhand.[6]
WAFAT
Ibnu Hibban wafat di daerah bust, pada syawal
tahun 354H. dan ia berumur 80th.[7]
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Abu Hatim at-
Tamimi al-Busti as-Sijistani lebih familiar dengan nama Imam Ibnu Hibban. “At-Tamimi”
dinisbatkan kepada Tamim, moyang kabilah Arab yang terkenal dan yang nasabnya
bersambung sampai kepada Adnan. Dengan demikian Ibnu Hibban seorang keturunan Arab
Asli yaitu Arumiyah, hanya saja ia di lahirkan di Afghanistan.
Ibnu Hibban di lahirkan di sebuah kota kuno yang saat itu dianggap sebagai salah satu
wilayah Sijistan dan posisinya saat ini masuk ke dalam wilayah Afghanistan. Kota tersebut
bernama Bust, salah satu kota di pegunungan tepatnya di Timur Sijistan. Imam Ibnu Hibban
di lahirkan pada tahun 280-an H. Tidak seorang pun menyebutkan tahun kelahirannya secara
pasti. Akan tetapi mereka sepakat bahwa ia meninggal pada tahun 354 H pada usia 80
tahunan.
Daftar Pembahasan: [tampilkan]
Perjalanan Menuntut Ilmu
Imam Adz-Dzahabi berkata; “Ia menuntut ilmu di atas tahun 300 H,” menunjukkan bahwa
ia menuntut ilmu sendirian dam ketika itu usianya 20-an tahun. Meskipun sedikit terlambat
dalam menuntut ilmu akan tetapi Imam Ibnu Hibban sangat sunggu-sungguh dan
memaksimalkan kemampuannya dalam belajar. Bekalnya dalam hal ini ialah tekad yang
kuat, yang dapat mempersingkat jarak-jarak yang jauh dan mendekatkan kepada negeri-
negeri yang terpencil. Ia datang menemui para masysyaikh pada masanya ke negeri-negeri
mereka dan juga mendatangi ulama-ulama senior pada zamannya di kota-kota dan desa-
desa mereka untuk mendapatkan sanad yang lebih tinggi.
Hal itu juga mengharuskannya untuk pergi ke empat puluh negeri di antara negeri-negeri
Islam, di atas bentangan luas yang ujung-ujungnya saling berjauhan. Perjalanannya
mencakup Sijistan, Harah, Marwa, Sinj, Suhghd, Syasy (Tasyiqand), Bukhara, Nasa,
Nisabur, Arghayan, Jurjan, Tehran, Karj, Askar, Mukram, Ahwaz, Bashrah, Bahgdad,
Kufah, Mosul, Nashibin, Raqqah, Anthakiyah, Tharthus, Hims, Damaskus, Beirut, Shaida,
Ramallah, Baitul Maqdis, Mesir, dan lainnya. Jumlah keseluruhan masysyaikhnya dalam
perjalan menuntut ilmu mencapai dua ribu lebih. Imam Ibnu Hibban berkata, “Barangkali
kita telah menulis dari dua ribu syeikh lebih, mulai dari negeri Syasy (Negeri islam paling
ujung ketika itu) sampai negeri Iskandariyah.”
Guru-gurunya
Guru-gurunya Ibnu Hibban disini adalah mereka yang darinya beliau meriwayatkan
hadits shahih di dalam kitabnya. Diantara dua ribu syaikh tersebut beliau telah
menyeleksi lebih dari 150 syeikh. Kemudian beliau bersandar kepada sekitar dua
puluh syaikh di antara mereka. Merekalah syeikh-syeikh yang paling tsiqah, dan
paling kuat hafalannya, serta sandnya yang paling tinggi.
Diantara ialah (dimulai dari berdasarkan jumlah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh masing-
masing, dari yang paling banyak dan seterusnya), antara lain:
Murid-muridnya
Murid-murid yang mengerumuninya sangat banyak untuk mengambil ilmu dan manfaat
darinya, serta untuk memperoleh sanad-sanad yang tinggi. Murid-murid mendatanginya dari
segala penjuru. Salah satu muridnya Al-Hakim berkata; “Perjalanan kepadanya adalah
untuk mendengarkan kitab-kitabnya.”
Imam Ibnu Hibban mencurahkan perhatiannya kepada murid yang dia perhatikan memiliki
kepandaian dan melihat tanda-tanda prestasinya padanya, maka sebagian dari murid-
muridnya menjadi ulama besar dan para tokoh huffazh. Di antara mereka ialah:
Pencapaian Keilmuannya
Di antara yang membangkitkan ketakjubann terhadap Imam Ibnu Hibban ialah apa yang
menjadi keistimewaannya sepanjang perjalanan dan pencariannya, berupa tekad yang tak
pernah tertimpa kemunduran dan keinginan untuk mendapatkan faedah yang tak
terdandingi. Penanya tidak pernah beristirahat dari menulis apa yang didengarkan oleh
kedua telinganya dari para masysyaikh-nya. Sampai-sampai kadang dia melampaui batas
dalam hal itu.
Ilmu yang sangat mantap dan dikuasainya serta paling mahir, dan menjadi salah satu dari
tokohnya adalah ilmu hadits. Beliau menjadi Imam, al-hafizh, Allamah yang tsiqah dan
kokoh, serta menjadi peneliti hadis.
Apabila karya-karya seorang tokoh adalah cermin ilmunya, maka karya-karya Imam Ibnu
Hibban membuktikan kekokohan kakinya dan keluasan pengetahuannya, serta
menunjukkkan keluhuran derajatnya dan ketinggian kedudukannya.
Imam Ibnu Hibban juga seorang fuqaha (ahli fiqih) dalam mazdhab Syafii dan menjadi
qadhi (hakim) dalam waktu yang lama lebih dari satu negeri, di antaranya Nasa, Samarkand,
dan lainnya. Selain itu pula ia ahli dalam bahasa Arab, ilmu kalam (teologi).
Karena beliau mendalami teologi, ia terpengaruh pada nalarnya dan memberi warna dalam
pemikirannya dan tampak jelas dalam pembagian-pembagian bab-bab, serta metode
penataan kitabnya ini berdasarkan qism-qism dan nau’-nau’ (jenis-jenis) yang merupakan
salah satu buah dari keterpengaruhannya dengan ilmu kalam.
Selain itu pula ia juga seorang ilmuwan kedokteran dan astronomi. Sampai-sampai Imam
Ibnu Hajar berkata; “Dia adalah pemilik berbagai macam ilmu, kepandaian yang
melampaui batas, dan hapalan yang luas sampai ke puncak. Semoga Allah merahmatinya.”
1. At-Taqasim wa Al-Anwa`
2. Al-Hidayah ila ‘Ilm As-Sunan
3. ‘Ilal Auham At-Tawarikh, dalam sepuluh jilid
4. ‘Ilal Hadits Az-Zuhri, dua puluh jilid
5. ‘Ilal Hadits Malik, sepuluh jilid
6. Ma Khalafa Fihi Ats-Tsauri Syu’bah, tiga jilid
7. Ma Infarada Fihi Ahlu Al-Madinah min A-Sunan, dalam sepuluh jilid
8. Ma Infarada Fihi Ahlu Makkah min As-Sunan, sepuluh jilid
9. Ma ‘Inda Syu’bah ‘an Qatadah wa Laisa ‘inda Sa’id ‘an Qatadah, dua jilid
10. Ghara’ib Ak-Akhbar, dua puluh jilid
11. Ma Aghraba al-Kufiyun ‘an Al-Bashriyin, sepuluh jilid
12. Asami Man Yu’raf bi Al-Kuna, tiga jiilid
13. Kuna Man Yu’raf bi Al-Asami, tiga jilid
14. Al-Fashl wa Al-Washl dalam sepuluh jilid
15. At-Tamyiz baina Hadits Nadhar Al-Huddani wa Nadhar Al-Khazzaz, dua jilid
16. Al-Jam’u baina Al-Akhbar al-Mutadhaddah, dua jilid
17. Washf Al-Ulum wa Anna’iha, tiga puluh jilid
18. Al-Fashl baina An-Naqalah, sepuluh jilid.
19. Ats-Tsiqât,
20. Ma’rifah Al-Majruhin min Al-Muhadditsin wa Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin
21. Masyahir Ulama Al-Amshar
22. Raudhah Al-‘Uqala` wa Nuzhah Al-Fudhala’
Ibnu Hibban menghasilkan karya yang fenomenal yaitu Kitab Shahihnya. Sebelum menjadi
kitab yang berjudul Shahih Ibnu Hibban yang dikenal saat ini, judul asli dari kitab ini ialah
At-Taqasim wa Al-Anwa. Nama lengkap kitab ini sesuai yang diberi oleh penulisnya ialah
Al-Musnad Ash-Shahih ‘Ala At-Taqasim wa Al-Anwa min Gairi Wujud Qath’in fi Sanadiha
wa La Tsubut Jarhin fi Naqiliha (Musnad yang shahih berdasarkan pembagian-pembagian
dan jenis-jenis tanpa ada keterputusan dalam sanadnya dan tanpa tetapnya cacat pada orang-
orang yang meriwayatkannya). Judul kitab ini terdapat pada naskah yang ada di Dar Al-
Kutub Al-Mishriyah.
Abu Muhammad Abdullah Bin Abdur Rahman Al-Darimi
ابومحمد عبدهللا بن عبدالرحمن الدارمي Al-Darimi (181 H - 255 H / 869 M)
adalah seorang sarjana Muslim dan
Imam
Pribadi asal Persia atau Arab [2] . Karyanya
yang paling terkenal adalah Sunan al-
Darimi , koleksi buku hadis .
Lahir 181 H (797 M) Isi
Samarkand , Uzbekistan
Biografi
Referensi
Sejarah hadis
Sejarah hadis, sejak pembentukan hingga saat ini dapat
dijelaskan menurut pembagian masa sebagai berikut.
Daftar isi
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak
menimbulkan masalah mengenai hadis karena sahabat besar masih cukup
jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya
saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai hadis ataupun
Alquran, dan di antara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khattab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah
dakwah Islamiah dan daulat Islamiah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka
mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru
sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan
pemecahannya. Meskipun para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan
jumlahnya mulai berkurang, tetapi kebutuhan untuk memecahkan berbagai
masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu
bertukar hadis.
Kemudian, para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian hadis dari
sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu
menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabiin. Meskipun
memerlukan perjalanan jauh, tidak segan-segan para tabiin ini berusaha menemui
seorang sahabat yang memiliki al hadis yang sangat diperlukannya. Maka, para
tabiin mulai banyak memiliki hadis yang diterima atau digalinya dari sumbernya
yaitu para sahabat. Meskipun begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu
adalah hadis belum ditulis apalagi dibukukan.
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang
meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu
semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser
kepada bidang syariat dan akidah dengan membuat al-hadist maudlu (palsu) yang
jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau
membenarkan dan menguatkan keinginan atau perjuangan mereka yang saling
bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Alquran, karena
selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja
mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Alquran belaka untuk
memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain
bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang
masih hidup dan terutama para tabiin mengingat kondisi demikian itu lantas
mengambil sikap tidak mau lagi menerima hadis baru, yaitu yang sebelumnya tidak
mereka miliki. Kalaupun menerima, para sahabat kecil dan tabiin ini sangat berhati-
hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi
sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab, mereka ini tahu benar siapa-
siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan
masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber atau pemberita hadis.
Misalnya, apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah
uzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu hadis dan sebagainya.
Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para
tabiut tabiin.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101
H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabiin yang memiliki jasa yang besar dalam
penghimpunan hadis. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun
hadis dari para tabiin yang terkenal memiliki banyak hadis. Seorang tabiin yang
terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin
Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk
melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan semboyannya
yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa
syaa-a (artinya: sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka
berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az-Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya,
ditentukannya mana yang makbul dan mana yang mardud. Para ahli hadis
menyatakan bahwa Az-Zuhri telah menyelamatkan 90 hadis yang tidak sempat
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun hadis yang antara lain: