Pada abad ke-4H/10 beberapa sarjana Muslim melakukan kajian khusus tentang fenomena
Mashãhif ini. Kajian paling terkenal adalah yang dilakukan Ibn al-Anbari (w. 940), mendahului
karya Ibn Mujahid (w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitãb al-Mashãhif yang disusun al-
Anbari itu lenyap ditelan masa, dan hanya ditemukan bekasnya dalam kutipan-kutipan yang
dibuat sarjana Muslim belakangan, seperti dalam karya al-Suyuthi. Satu satunya karya dari masa
ini yang sampai ke tangan kita adalah yang disusun Ibn Abi Dawud (w. 316H), Kitãb al-
Mashãhif. Sayangnya, kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya dibandingkan kitab-
kitab lainnya dari masa tersebut. Terutama berdasarkan kitab ini, dan berbagai kitab lainnya,
Arthur Jeffery (penyunting kitab itu bersumberkan sejumlah manuskrip) mengklasifikasikan
mushaf-mushaf lama ke dalam dua kategori utama: mushaf primer dan mushaf sekunder.
Sekalipun Jeffery tidak mengemukakan sesuatu pun tentang kategorisasinya, bisa dilacak bahwa
yang dimaksudkannya dengan mushaf primer (15 kodeks) adalah mushaf-mushaf independen
yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi. Sementara mushaf sekunder
(13 kodeks) adalah mushaf generasi selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada
mushaf primer serta mencerminkan tradisi bacaan kota-kota besar Islam.
A. Mushaf-mushaf Primer
1. Mushaf Salim ibn Ma‘qil
2. Mushaf Umar ibn Khaththab.
3. Mushaf Ubay ibn Ka‘b.
4. Mushaf Ibn Mas‘ud.
5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib.4
6. Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari.
7. Mushaf Hafshah bint Umar.
8. Mushaf Zayd ibn Tsabit.
9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakr.
10. Mushaf Ummu Salamah (w.59 H)
11. Mushaf Abd Allah ibn Amr (w. 65 H).
12. Mushaf Ibn Abbas.
13. Mushaf Ibn al-Zubayr.
14. Mushaf Ubayd ibn ‘Umair (w. 74 H).
15. Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H).
B. Mushaf-mushaf Sekunder
1. Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H.)
2. Mushaf al-Rabi‘ ibn Khutsaim (w. 64 H).
3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H).
4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H).
5. Mushaf Hiththan (w. 73 H).
6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)
7. Mushaf al-A‘masy (w. 148 H).
8. Mushaf Sa‘id ibn Jubayr (w. 94 H).
9. Mushaf Mujahid (w. 101 H).
10. Mushaf Ikrimah (w. 105 H).
11. Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H).
12. Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H).
13. Mushaf Ja‘far al-Shadiq.
Yang relevan dibahas di sini adalah mushaf-mushaf yang dikategorikan Jeffery dalam skema
di atas sebagai mushaf primer. Mushaf-mushaf ini, sebagaimana telah diungkapkan,
menunjukkan upaya yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk mengumpulkan al-Quran pada
masa Nabi dan sepeninggalnya, sebelum eksisnya mushaf utsmani. Sementara mushaf sekunder
lebih memperlihatkan pengaruh mushaf-mushaf primer dan merupakan cerminan dari tradisi
bacaan al-Quran di kota-kota metropolitan Islam. Di samping itu, sebagian mushaf kategori ini
muncul di kalangan generasi kedua Islam, setelah adanya upaya pengumpulan al-Quran yang
dilakukan di masa Khalifah Ketiga.
Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer, mayoritas nama yang dipandang memiliki
mushaf dalam skema di atas sejalan dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang
mengumpulkan al-Quran di masa Nabi atau setelah wafatnya, seperti telah disinggung dalam bab
lalu. Sekalipun demikian, hanya sejumlah kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang
berhasil menanamkan pengaruh luas di dalam masyarakat Islam. Dalam tenggang waktu sekitar
20-an tahun, mulai dari wafatnya Nabi sampai pengumpulan al-Quran di masa Utsman, hanya
sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya di kalangan masyarakat.
Asal-muasal pengaruh ini tentunya terpulang kepada individu-individu yang dengan namanya
mushaf mushaf itu dikenal.
Keempat sahabat Nabi yang dimaksud di sini adalah: (i) Ubay ibn Ka‘b, yang kumpulan al
Qurannya berpengaruh di sebagian besar daerah Siria; (ii) Abd Allah Ibn Mas‘ud, yang
mushafnya mendominasi daerah Kufah; (iii) Abu Musa al-Asy‘ari, yang mushafnya memperoleh
pengakuan masyarakat Bashrah; dan (iv) Miqdad ibn Aswad (w. 33H), yang mushafnya diikuti
penduduk kota Hims, tetapi tidak tercantum dalam skema di atas. Di samping itu, mushaf Ibn
Abbas, walaupun tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu mendapat perhatian mengingat
signifikansinya yang nyata dalam perkembangan kajian al-Quran belakangan.
Manuskrip mushaf kelima sahabat Nabi itu sayangnya tidak sampai ke tangan kita, sehingga
permasalah tentang bentuk lahiriah dan kandungan tekstualnya hanya bisa dijawab melalui
sumbersumber sekunder atau tidak langsung. Bahkan, Mushaf Miqdad ibn Aswad tidak dapat
ditelusuri jejaknya sama sekali dalam berbagai sumber yang awal, dan barangkali itulah
sebabnya mengapa Jeffery tidak memasukkannya ke dalam skema di atas.
Abu Musa hanya mengungkapkan suatu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan nama
besarnya.
1. Dalam 2:124, di mana kata ibrãhîma – demikian bacaan resmi utsmani – telah dibaca
ibrahãma oleh Abu Musa, dan bacaan ini dipertahankan dalam keseluruhan bagian al-Quran.
2. Ungkapan lã ya‘qilûna dalam 5:103, dibaca lã yafqahûna, yang tentunya merupakan
sinonim.
3. Kata shawãffa dalam 22:36, dibaca shawãfiya, yang tidak mempengaruhi makna umum.
4. ungkapan man qablahu dalam 69:9, dibaca man tilqã’ahu, yang juga merupakan sinonim.60
Jadi varian-varian ini memperlihatkan tidak ada perbedaan substansial antara mushaf Abu
Musa dan Kodeks Utsmani.