Anda di halaman 1dari 5

Mushaf Primer dan Sekunder

Telah dikemukakan eksistensi sejumlah kodifikasi tertulis al-Quran yang


pengumpulannya diupayakan secara sadar oleh sejumlah sahabat Nabi. Kumpulan-kumpulan
tertulis ini telah mempengaruhi kumpulan-kumpulan al-Quran yang diupayakan generasi
berikutnya, sebelum Utsman ibn Affan melakukan penyeragaman teks al-Quran pada masa
kekhalifahannya.
Ketika Utsman melakukan unifikasi teks, capaian-capaian para sahabat Nabi dan generasi
berikutnya ini tetap eksis melalui transmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi serta
direkam dalam sumber-sumber awal sebagai varian di luar tradisi teks utsmani, atau sebagai
mushaf-mushaf pra utsmani.
Dalam karya-karya yang ditulis para mufassir dan filolog yang awal, sering dijumpai
pengungkapan atau perujukan kepada varianvarian pra-utsmani. Terkadang, rujukan hanya
dikemukakan dalam bentuk ungkapan “mushaf sahabat” atau “sejumlah mushaf lama” atau
“dalam beberapa mushaf lama” (fî ba‘dl al-Mashãhif) atau “dalam bacaan yang awal.” Selain itu,
rujukan dibuat kepada mushaf yang eksis di kota-kota tertentu, seperti “mushaf kota Bashrah”
atau “mushaf kota Hims” atau “mushaf ahl al-Aliyah.” Perujukan kepada mushaf yang berada
dalam pemilikan orang-orang tertentu juga sering ditemukan, seperti “mushaf milik al-Hajjaj”
atau “mushaf milik kakek dari Malik ibn Anas,” atau “mushaf yang digunakan oleh Abu
Hanifah.” Namun, yang paling sering ditemukan adalah perujukan kepada mushaf-mushaf pra-
utsmani yang populer, seperti mushaf Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b, dan lainnya.

Pada abad ke-4H/10 beberapa sarjana Muslim melakukan kajian khusus tentang fenomena
Mashãhif ini. Kajian paling terkenal adalah yang dilakukan Ibn al-Anbari (w. 940), mendahului
karya Ibn Mujahid (w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitãb al-Mashãhif yang disusun al-
Anbari itu lenyap ditelan masa, dan hanya ditemukan bekasnya dalam kutipan-kutipan yang
dibuat sarjana Muslim belakangan, seperti dalam karya al-Suyuthi. Satu satunya karya dari masa
ini yang sampai ke tangan kita adalah yang disusun Ibn Abi Dawud (w. 316H), Kitãb al-
Mashãhif. Sayangnya, kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya dibandingkan kitab-
kitab lainnya dari masa tersebut. Terutama berdasarkan kitab ini, dan berbagai kitab lainnya,
Arthur Jeffery (penyunting kitab itu bersumberkan sejumlah manuskrip) mengklasifikasikan
mushaf-mushaf lama ke dalam dua kategori utama: mushaf primer dan mushaf sekunder.
Sekalipun Jeffery tidak mengemukakan sesuatu pun tentang kategorisasinya, bisa dilacak bahwa
yang dimaksudkannya dengan mushaf primer (15 kodeks) adalah mushaf-mushaf independen
yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi. Sementara mushaf sekunder
(13 kodeks) adalah mushaf generasi selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada
mushaf primer serta mencerminkan tradisi bacaan kota-kota besar Islam.

A. Mushaf-mushaf Primer
1. Mushaf Salim ibn Ma‘qil
2. Mushaf Umar ibn Khaththab.
3. Mushaf Ubay ibn Ka‘b.
4. Mushaf Ibn Mas‘ud.
5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib.4
6. Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari.
7. Mushaf Hafshah bint Umar.
8. Mushaf Zayd ibn Tsabit.
9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakr.
10. Mushaf Ummu Salamah (w.59 H)
11. Mushaf Abd Allah ibn Amr (w. 65 H).
12. Mushaf Ibn Abbas.
13. Mushaf Ibn al-Zubayr.
14. Mushaf Ubayd ibn ‘Umair (w. 74 H).
15. Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H).

B. Mushaf-mushaf Sekunder
1. Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H.)
2. Mushaf al-Rabi‘ ibn Khutsaim (w. 64 H).
3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H).
4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H).
5. Mushaf Hiththan (w. 73 H).
6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)
7. Mushaf al-A‘masy (w. 148 H).
8. Mushaf Sa‘id ibn Jubayr (w. 94 H).
9. Mushaf Mujahid (w. 101 H).
10. Mushaf Ikrimah (w. 105 H).
11. Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H).
12. Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H).
13. Mushaf Ja‘far al-Shadiq.

Yang relevan dibahas di sini adalah mushaf-mushaf yang dikategorikan Jeffery dalam skema
di atas sebagai mushaf primer. Mushaf-mushaf ini, sebagaimana telah diungkapkan,
menunjukkan upaya yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk mengumpulkan al-Quran pada
masa Nabi dan sepeninggalnya, sebelum eksisnya mushaf utsmani. Sementara mushaf sekunder
lebih memperlihatkan pengaruh mushaf-mushaf primer dan merupakan cerminan dari tradisi
bacaan al-Quran di kota-kota metropolitan Islam. Di samping itu, sebagian mushaf kategori ini
muncul di kalangan generasi kedua Islam, setelah adanya upaya pengumpulan al-Quran yang
dilakukan di masa Khalifah Ketiga.
Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer, mayoritas nama yang dipandang memiliki
mushaf dalam skema di atas sejalan dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang
mengumpulkan al-Quran di masa Nabi atau setelah wafatnya, seperti telah disinggung dalam bab
lalu. Sekalipun demikian, hanya sejumlah kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang
berhasil menanamkan pengaruh luas di dalam masyarakat Islam. Dalam tenggang waktu sekitar
20-an tahun, mulai dari wafatnya Nabi sampai pengumpulan al-Quran di masa Utsman, hanya
sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya di kalangan masyarakat.
Asal-muasal pengaruh ini tentunya terpulang kepada individu-individu yang dengan namanya
mushaf mushaf itu dikenal.
Keempat sahabat Nabi yang dimaksud di sini adalah: (i) Ubay ibn Ka‘b, yang kumpulan al
Qurannya berpengaruh di sebagian besar daerah Siria; (ii) Abd Allah Ibn Mas‘ud, yang
mushafnya mendominasi daerah Kufah; (iii) Abu Musa al-Asy‘ari, yang mushafnya memperoleh
pengakuan masyarakat Bashrah; dan (iv) Miqdad ibn Aswad (w. 33H), yang mushafnya diikuti
penduduk kota Hims, tetapi tidak tercantum dalam skema di atas. Di samping itu, mushaf Ibn
Abbas, walaupun tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu mendapat perhatian mengingat
signifikansinya yang nyata dalam perkembangan kajian al-Quran belakangan.
Manuskrip mushaf kelima sahabat Nabi itu sayangnya tidak sampai ke tangan kita, sehingga
permasalah tentang bentuk lahiriah dan kandungan tekstualnya hanya bisa dijawab melalui
sumbersumber sekunder atau tidak langsung. Bahkan, Mushaf Miqdad ibn Aswad tidak dapat
ditelusuri jejaknya sama sekali dalam berbagai sumber yang awal, dan barangkali itulah
sebabnya mengapa Jeffery tidak memasukkannya ke dalam skema di atas.

Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari


Abu Musa al-Asy‘ari, yang bernama asli Abdullah bin Qais bin Sulaim al-Asy'ari. berasal
dari Yaman, tergolong ke dalam kelompok orang yang masuk Islam pada masa awal. Dikabarkan
bahwa ia juga turut berhijrah ke Abisinia dan baru kembali pada masa penaklukan Khaibar.
Setelah itu, ia diberi posisi sebagai gubernur suatu distrik oleh Nabi. Pada 17H, Khalifah Umar
mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah. Pada masa pemerintahan Utsman ia dicopot dari
jabatan tersebut dan akhirnya diangkat kembali dalam jabatan yang sama di kota Kufah. Ketika
Utsman terbunuh, penduduk kota Kufah menentang Ali ibn Abi Thalib, yang memaksa Abu
Musa melarikan diri dari kota itu. Ia juga terlihat terlibat dalam Perang Shiffin pada 37H antara
Ali dan Mu‘awiyah, sebagai arbitrator untuk Khalifah Ali, tetapi gagal memainkan perannya. Di
sinilah akhir aktivitas Abu Musa dalam percaturan politik. Dikabarkan ia kembali ke Makkah,
lalu ke Kufah dan meninggal di sana pada 42 atau 52H.
Abu Musa sejak awalnya telah tertarik kepada pembacaan alQuran. Dikabarkan bahwa
suara bacaan al-Qurannya sangat terkenal di masa Nabi. Mushaf al-Qurannya barangkali mulai
dikumpulkan pada masa Nabi, lalu diselesaikannya setelah itu. Ketika menjabat sebagai
gubernur Bashrah, mushafnya ( biasa disebut dan dirujuk dengan nama “Lubãb al-Qulûb” )
mulai diterima dan akhirnya dijadikan sebagai teks otoritatif penduduk kota tersebut. Beberapa
pernyataan menarik dikemukakan dalam karya Ibn Abi Dawud, Kitãb al-Mashãhif, yang
memperkuat dugaan tentang independensi mushaf Abu Musa.
Pertama, Yazid ibn Mu‘awiyah mengisahkan bahwa pada suatu ketika di masa al-Walid
ibn Uqbah ia berada di mesjid dan bergabung dalam suatu halaqah, yang juga dihadiri
Hudzayfah ibn al-Yaman (w. 36H); kemudian terdengar seruan bahwa orang orang yang
mengikuti bacaan Abu Musa agar berkumpul di gerbang Kindah, dan yang membaca menurut
bacaan Ibn Mas‘ud agar datang ke dekat rumah Abd Allah. Ketika mendengar kedua kelompok
itu berbeda dalam pembacaan surat 2:196,50Khudzayfah naik pitam dan bersumpah bahwa
seseorang harus membuat Khalifah Utsman mengambil tindakan terhadap hal tersebut.51
Yang kedua, adalah pernyataan Abu al-Sya‘tsa’ tentang bagaimana Khudzayfah
memprotes kedua bacaan di atas dan bermaksud mendatangi Khalifah Utsman untuk
memintanya menyatukan bacaan-bacaan yang berbeda itu, tetapi ia dimarahi oleh Abd Allah
hingga terdiam.52 Pernyataan lainnya adalah yang diberitakan dari Abd al-A‘la ibn al-Hakam al-
Kilabi bahwa ketika dia masuk ke rumah Abu Musa, datang seorang utusan ke Bashrah
membawa salinan mushaf standar utsmani yang harus mereka ikuti. Abu Musa kemudian berkata
bahwa bagian apapun dalam mushafnya yang bersifat tambahan bagi mushaf utsmani agar
jangan dihilangkan, tetapi apabila ada sesuatu dalam mushaf utsmani yang tidak terdapat di
dalam mushafnya agar ditambahkan.53
Dalam perjalanan selanjutnya, mushaf Abu Musa terlihat tenggelam dan memudar
pengaruhnya dengan diterimanya mushaf utsmani sebagai mushaf otoritatif. Hal ini bisa dilihat
pada kenyataan bahwa hanya sejumlah kecil varian bacaannya yang sampai ke tangan kita.
Berbeda dari mushaf Ubay dan Ibn Mas‘ud, tidak ada riwayat yang menuturkan tentang susunan
surat di dalam mushafnya, selain riwayat bahwa dua surat ekstra yang ada dalam mushaf Ubay –
yakni sûrat al-khal‘ dan sûrat al-hafd – terdapat dalam mushafnya.54 Demikian pula,
diriwayatkan bahwa ayat sisipan dalam mushaf Ubay – yakni di antara ayat 24 dan 25 dalam
surat 10, seperti telah disinggung di atas55 – biasa dibaca Abu Musa dalam suatu surat yang
panjangnya menyerupai surat 9, tetapi yang diingatnya tinggal ayat itu,56 dan juga suatu surat
lainnya yang semisal musabbihãt,57 namun yang bisa ia ingat dari surat tersebut hanyalah ayat
yang mirip dengan 61:2.58 “Ayat-ayat” ini diriwayatkan di dalam hadits-hadits sebagai bagian
al-Quran yang terhapus; dan hadits-hadits tentang penghapusan ini tidak dapat dipercaya sama
sekali. Tampaknya kedua ayat yang dipermasalahkan di sini tidak terdapat di dalam kodeks Abu
Musa; sebab kalau tercantum di dalamnya, maka tentu tidak mudah baginya melupakan surat-
surat yang di dalamnya terdapat kedua ayat tersebut.

Abu Musa hanya mengungkapkan suatu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan nama
besarnya.
1. Dalam 2:124, di mana kata ibrãhîma – demikian bacaan resmi utsmani – telah dibaca
ibrahãma oleh Abu Musa, dan bacaan ini dipertahankan dalam keseluruhan bagian al-Quran.
2. Ungkapan lã ya‘qilûna dalam 5:103, dibaca lã yafqahûna, yang tentunya merupakan
sinonim.
3. Kata shawãffa dalam 22:36, dibaca shawãfiya, yang tidak mempengaruhi makna umum.
4. ungkapan man qablahu dalam 69:9, dibaca man tilqã’ahu, yang juga merupakan sinonim.60
Jadi varian-varian ini memperlihatkan tidak ada perbedaan substansial antara mushaf Abu
Musa dan Kodeks Utsmani.

Otentisitas Mushaf-mushaf Pra-Utsmani


Di kalangan sarjana Muslim masalah kesejatian bacaan dalam mushaf-mushaf pra-
utsmani didekati dan dinilai dari segi tingkat kepercayaan transmisinya (isnãd). Cacat tidaknya
isnad menentukan apakah suatu bacaan sebagai qurani atau tidak. Secara garis besar, bacaan-
bacaan al-Quran diklasifikasikan ke dalam dua kategori berdasarkan isnadnya.
Pertama adalah bacaan yang ditransmisikan dalam cara yang meyakinkan dan selaras
dengan kaidah kebahasaan serta tidak menyalahi tradisi teks utsmani. Yang masuk ke dalam
kategori ini adalah bacaan mutawãtir dan masyhûr, seperti kiraah tujuh dan kiraah sepuluh, yang
seluruhnya merupakan varian dalam tradisi teks utsmani. Bacaan mutawãtir dan masyhûr
merupakan bacaan sejati al-Quran serta dibaca di luar atau di dalam shalat.
Kedua adalah bacaan yang ditransmisikan secara tidak memadai, atau menyalahi tradisi
teks utsmani, atau bertentangan dengan kaidah kebahasaan. Termasuk ke dalam kategori ini
adalah kiraah ãhad,71 syãdzdz,72 mawdlû‘,73 dan lainnya yang tidak memenuhi kriteria.74
Kiraah-kiraah tersebut bukan bacaan sejati al-Quran.
Bacaan dalam mushaf-mushaf pra-utsmani tidak mencapai derajat mutawãtir dan
mayshûr, dan karena itu dalam gagasan ortodoksi Islam bukan merupakan bacaan al-Quran yang
otentik. Bacaan semacam ini, menurut mayoritas ortodoksi Islam, kecuali Mazhab Hanafiyah,
juga tidak diperkenankan penggunaannya dalam shalat. Bahkan sejumlah otoritas di kalangan
ortodoksi Islam mempermasalahkan perannya dalam penyimpulan hukum. Pandangan umum
dalam mazhab Syafi‘iyah, misalnya, tidak membolehkan derivasi ketentuan hukum darinya.75
Sementara sebagian ulama lain membolehkannya berdasarkan analogi peran hadits yang
terisolasi dalam kasus senada. Jalan pemikiran ini disetujui ulama Syafi‘iyah lainnya, Ibn al-
Subki (w. 771H), dalam Jam‘ al-Jawãmi‘. Ia mengungkapkan sebagai bukti tentang keabsahan
mendasarkan suatu ketentuan hukum pada suatu varian kiraah adalah praktik pemotongan tangan
kanan pencuri yang dipijakkan pada bacaan Ibn Mas‘ud, sebagaimana dikemukakan juga oleh
Abu Hanifah (w. 767). Lebih jauh, Subki mengemukakan bacaan Ibn Mas‘ud untuk
membuktikan bahwa puasa dalam kasus pelanggaran sumpah mesti dilakukan secara berturut-
turut.76
Kesimpulan yang kurang lebih senada tentang bacaan dalam mushaf pra-utsmani sebagai
bukan bagian otentik al-Quran juga dikemukakan Ignaz Goldziher. Ia mendekati mushaf-mushaf
tersebut dari sudut pandang perbedaannya dengan teks otentik alQuran. Dengan mengedepankan
motif motif pengelakan kemungkinan adanya kendala dalam pemahaman kandungan alQuran,
provisi yang berhubungan dengan penjelasannya, klarifikasi linguistik terhadap teks-teksnya
yang kabur, penghindaran ekspresi ekspresi yang tidak lazim atau keliru dan kejanggalan-
kejanggalan stilistik di dalamya, serta kecenderungan untuk memperhalus dan menyederhanakan
pengungkapannya, seperti terlihat dalam bacaanbacaan pra-utsmani, Goldziher sampai kepada
kesimpulan bahwa varian-varian atau kodeks-kodeks pra-utsmani hanya sekedar varian dari
tradisi teks utsmani. Karena itu, menurutnya, mushaf-mushaf tersebut bukan merupakan tradisi
teks independen atau primer. Ia juga mengungkapkan bahwa keberadaan sejumlah besar varian
yang ada dalam mushaf-mushaf pra-utsmani lebih disebabkan oleh karakteristik tulisan Arab
ketika itu, di mana kerangka grafis atau kerangka konsonantal yang sama telah diberi i‘jãm dan
syakl yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai