Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Alquran adalah kitab suci umat Islam yang menjadi dasar segala segi
kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak.
Karena datang dari Allah swt. Maka dari itu umat Islam merasa perlu untuk
mempelajari Alquran secara menyeluruh untuk menjaga otentisitasnya. Upaya
itu telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah
sampai hijrah ke Madinah, bahkan usaha pemeliharaan Alquran masih
berlangsung sampai sekarang.
Meskipun Alquran itu adalah wahyu Ilahi yang bersifat qath’i, namun pada
prakteknya terdapat dua penilaian yang kontradikfif terhadap Alquran.
Penilaian pertama datangnya dari kaum muslim sendiri sedangkan penilaian
yang kedua datangnya dari kalangan non muslim (Orientalis).
Penilaian dari luar (orientalis) pada umumnya bersifat negatif. Menurut
mereka, Alquran itu bukanlah wahyu Allah, melainkan hasil karya Nabi
Muhammad yang sumbernya dari berbagai pihak.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai berbagai macam pendapat
orientalis tentang otentisitas Alquran. Dari aspek mana saja para kaum
orientalis mencari celah untuk menyerang Alquran, dan apa-apa saja argumen
mereka.

1
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Alquran
Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab, tidak ada kesepakatan
mengenai asal pengambilan dan arti kata Alquran. Menurut al-Syâfi’î, kata
Alquran adalah nama asli dan tidak pernah diambil dari kata lain. Kata
tersebut khusus dipakai untuk nama firman Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Asy’arî, kata Alquran berasal
dari kata qarana yang berarti menggabungkan, sebab surat-surat dan ayat-
ayat Alquran itu telah digabungkan antara yang satu dengan yang lain
sehinggga menjadi satu. Menurut al-Lihyânî, kata Alquran berasal dari kata
kerja  qara’a yang berarti membaca dengan padanan kata fu’lân namun
mengandung makna maqrû’ yang dalam bahasa Indonesia berarti yang dibaca
atau bacaan.
Menurut Shubhî Shâlih, dari semua pendapat di atas, hanya pendapat al-
Lihyânî yang dipandang paling kuat dan diterima oleh mayoritas ulama. Hal
ini disebabkan Alquran sendiri telah mempergunakan kata qur’an
tanpa al dengan arti bacaan. Misalnya yang terdapat dalam Q.S al-Qiyâmah
(75); 17-18:
      
  
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Dari kalangan orientalis, seperti  Schawally,  Welhausen  dan Horofitz


berpendapat bahwa Alquran itu berasal dari kata keryana. Keryana dalam
bahasa Ibrani atau Suryani yang berarti bacaan atau apa yang dibaca. Mereka
juga mengatakan bahwa kata qirâ’at dengan arti membaca tidak berasal dari
bahasa Arab asli. Pendapat para kaum orientalis ini ternyata di bantah oleh
Subhî Shâlih dalam karyanya Mabâhits Fî ‘Ulûm Alqurân yang menyatakan
bahwa kata qara’a dengan arti membaca memang belum dipakai oleh orang-
orang Arab pada masa jahiliyyah dahulu. Waktu itu, kata qara’adipakai

2
dengan arti bunting. Sedangkan kata qara’a dengan arti membaca dipungut
oleh orang-orang Arab dari bahasa Arami.1
Secara terminologi, menurut Dr. Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî Alquran
adalah:

‫كالم اهلل املنزل على خامت األنبياء واملرسلني بواسطة الألمني جربيل عليه السالم املكتوب يف‬
‫املصاحف املنقول الينا باالتواتر املبدوء بسورة الفاحته املختوم بالسورة الناس‬
“Kalamullah yang mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul
terakhir dengan perantara malaikat Jibril As yang ditulis dalam mushhaf,
disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan dimulai dengan surah al-
Fâtihah dan diakhiri dengan surah an-Nâs.”2

B.   Selayang Pandang Tentang Alquran


Alquran terdiri dari 114 bab yang disebut dengan surah atau shurah
(jamak:shuwar). Setiap surah Alquran, di samping menyandang nomor urut,
memiliki nama yang di ambil dari kandungannya. Masing-masing surah
terdiri dari sejumlah ayat  (ayah, jamak: ayat). Surah-surah AlQuran memiliki
panjang dan jumlah ayat yang berbeda. Jumlah ayat paling kecil dalam suatu
surah adalah 3 (QS 103, 108, dan 110), sementara jumlah ayat terbesar adalah
286 (QS 2). Seratus empat belas surah Alquran seacra keeluruhan
mengandung 6.236 ayat. Satu ayat Alquran mungkin terdiri dari hanya
beberapa huruf atau sepanjang puluhan kata.
Alquran diwahyukan dengan jumlah ayat bervariasi. Ayat-ayat dalam
satu surah terlapas dari surah-surah pendek biasanya membahas bebagai isu
yang berbeda. Karena itu, pokok pembicaraan ayat-ayat yang berurutan tidak
mesti terkait satu sama lain. Ayat-ayat dalam surah-surah panjang tidak selalu
di susun menurut urutan historis turunnya. Dalam surah tertentu, biasanya di
temukan sejumlah ayat yang turun lebih awal di tengah-tengah ayat-ayat yang
turun lebih belakangan, dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, sejumlah
surah yang di wahyukan sebelum hijrah Nabi saw. Dari Makkah ke Madinah
memuat ayat-ayat yang di wahyukan setelah hijrah. Surah-surah itu sendiri

1 A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran (Banjarmasin:


Antasari Press, 2007), 11-13.
2 A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 18.

3
tidak di susun dalam Kitab suci menurut urutan pewahyuannya. Misalnya
surah yang memuat ayat-ayat yang pertama di wahyukan memiliki nomor
urut 96 dalam Alquran dan, karenanya, surah pertama dalam Alquran
bukanlah surah yang pertama di wahyukan. Penyusunan dalam suarh-surah
dalam mushaf Alquran dan ayat-ayat dalam setiap surah yang khas ini di
pandang sebagai bagian dari kemurnian Alquran itu sendiri. Dengan kata lain,
ayat dan surah di susun seperti itu oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana
di ajarkan Allah Swt.
Alquran adalah kitab suci untuk menggenal Allah, Tuhan Yang Esa.
Kitab ini di wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. (570-632 M) selama
kurang lebih 22 tahun (610-632 M). kitab suci ini berisi kisah-kisah historis
para nabi yang hidup sebelum masa Nabi Muhammad Saw. Perlu
dikemukakan bahwa penyebutan peristiwa-peristiwa historis yang terbesar
dalam Alquran pada dasarnya dimaksudkan untuk menekankan pesan
keagamaan yang dikandumg peristiwa-peristiwa itu. Karenanya,
penekanannya bukan pada penuturan sejarah secara konvensional, seperti
halnya dalam Bibel. Dengan kata lain, penekanannya tidak terletk pada
sejarah saja, tetapi pada pelajaran di balik peristiwa historis. Oleh karena itu,
dalam hal dan gaya strukturnya, juga kandungannya, Alquran sangat berbeda
dengan Bibel.
Salah satu kekhasan kisah-kisah Alquran adalah keringkasannnya.
Beberapa detail historis yang biasanya sangat penting dalam dongeng
tradisional tidak disebutkan dalam Alquran. Misalnya nama-nama karakter
dan tempat-tempat utama sering tidak disebutkan dalam Alquran. Salah satu
contoh penting adalah nama istri Adam yang tidak pernah di sebutkan dalam
kitab suci ini, meskipun kisahnya sering dibicarakan di sejumlah bagian.
Contoh lainnya adalah tempat kelahiran Isa (Yesus). Yang menarik , nama
raja Mesir dalam kisah Musa juga tidak disebut dalam Alquran, dan hanya
disebut dengan gelarnya, Firaun. Ini mengisyaratkan bahwa Firaun juga tidak
disebutkan namanya dalam Taurat, kitab suci yang diwahyukan kepada Musa.

4
Hal ini menjelaskan fakta yang mengganggu sebagian sarjana (misalnya
Dever, 1997:68) bahwa Firaun tidak disebutkan namanya dalam kisah Musa
dalam Bibel. Harus diingat bahwa Bibel sebagian berasal dari Taurat.
Demikian pula, Alquran tidak menyebut secara khusus durasi peristiwa-
peristiwa.
Detail kisah Alquran mungkin ditemukan terpencar pencar diseluruh
kitab suci ini dalam sejumlah ayat yang berbeda, karena ayat-ayat yang
berurutan dalam satu surah tidak mesti saling terkait secara langsung,
sebagaimana telah disebutkan. Beberapa rinciannya mungkin di ulang dalam
lebih dari satu surat. Karena gaya Alquran dalam menarasikan sejarahlah
sehingga penyebutan berulang-ulang terhadap pristiwa tertentu mungkin
mengambil bentuk yang berbeda dalam surah-surah yang berbeda. Misalnya,
suatu perkataan seorang tokoh historis mungkin muncul dalam sejumlah
ungkapan yang bereda dengan maksud menunjukkan makna perkataan
tersebut. Dalam banyak kasus, perkataan tersebut aslinya tidak diucapkan
dalam bahasa Arab Alquran, kadang-kadang sama sekali tidak dalam bahasa
Arab, seperti dialog antara Musa dan Fir’aun (yang tentulah berlangsung
dalam bahasa Mesir kuno. Penyebutan detail historis tertentu dalam surah
yang berbeda dapat menunjukan perbedaan tekanan terhadap aspek-aspek
kisah tersebut. Oleh karena itu, untuk menyusun suatu gambaran yang
lengkap dan utuh dari suatu kisah dalam Alquran, kita harus menyatukan
seluruh penggalan kisah tersebut yang tersebar disepanjang Alquran.3

C.   Kritik Orientalis Tentang Otentisitas Alquran


Alquran menurut pandangan dan keyakinan umat Islam adalah kalam
(firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pandangan
yang demikian tentu tidak selalu diterima oleh orang-orang non muslim.
Sebagian mereka berusaha menampik pandangan tersebut. Bahkan sebagian
orientalis mengemukakan pandangannya tentang sisi kepalsuan dari Alquran

3 Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan
Alquran:Sebuah Penelitian Islamic Archaeology, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), 82-84.

5
dengan sangat berlebihan. Orientalis menyerang Alquran dalam berbagai
dimensi untuk dapat menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan Barat
dalam mencemarkan kemurnian teks Alquran menggunakan sumber-sumber
tidak etik dan penipuan. Berikut beberapa pandangan mereka terhadap
Alquran.
a.     Alquran Bukan Kalam Allah
Seorang orientalis yang bernama Dr. Hendreck Kreamer  mengemukakan
pandangan tentang Alquran dalam bukunya yang berjudul Agama
Islam sebagai berikut:
“Kitab Alquran itu berasal dari tiga pihak. Pertama, semacam buah
pikiran dan perolehan Nabi Muhammad sendiri yang timbul oleh pergaulan
Nabi dengan orang lain. Dari itu terbitlah khutbahnya tentang Allah ta’ala
yang Esa, hari kiamat, hukuman, dan syari’at agamanya. Kedua, Nabi
mendapatkannya dari orang-orang Yahudi dan Masehi pada masa itu.
Misalnya tentang puasa, zakat, shalat, hikayat-hikayat Nabi dan lain
sebagainya. Ketiga, berbagai macam rupa yang timbul dalam ingatannya atau
yang didengarnya kemudian diperkenalkannya sebagai firman Allah”.4
Dan menurutnya lagi,  sebagian isi Alquran diperoleh dari kitab
Perjanjian Lama, sedangkan ajaran tentang hari kiamat yang pada dasarnya
tidak diketahui oleh orang-orang Arab berasal dari agama Masehi. Kreamer
berpendapat seperti ini setelah ia melihat adanya beberapa persamaan antara
sebagian dari isi Alquran dengan kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.5
Selain Dr. Hendreck Kreamer, tokoh orientalis lainnya
seperti Goldziher,Margelot mengatakan bahwa Alquran adalah perkataan
Nabi Muhammad SAW sendiri yang sering diganti dan dirubah sesuai dengan
situasi dakwah, kondisi lingkungan dan lain sebagainya. 6 Tokoh orientalis
lainnya yang sependapat dengan mereka adalahGeorge Sale. Dalam

4 A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 39.


5 A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 86
6 Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan
Islam (Bandung: CV. Diponegoro,1991), 80.

6
pembukaan terjemahan Alquran bahasa Inggris yang terbit di London pada
tahun 1736, ia menulis:
 “Muhammad adalah penulis Alquran dan pencetus utamanya, hal ini
tidak perlu diperdebatkan lagi. Meskipun kerjasama Muhammad dengan
orang lain untuk menulisakan Alquran itu dicapai, tetapi perlu diyakini
bahwa kerjasama seperti itu bukanlah suatu hal yang mudah, karena
pengikutnya tidak pernah membantahnya.”
George Sale adalah seorang tokoh orientalis yang menekuni Islam
sampai pada tahap seakan-akan dia adalah soerang muslim yang sebenarnya.
Argumen George Sale ini pada tahun 1841 dijadikan pembukaan kembali
pada terjemahan Alquran dalam bahasa Prancis yang dilakukan tokoh
orientalis lainnya yang bernama Kasmirski. Pembukaan tersebut telah
menjadi rujukan ilmiah dan andalan bagi kaum orientalis dalam kurun waktu
yang lama. Menurut mereka isinya mencakup ajaran Islam secara utuh.
Ricard bell, penulis buku “Introduaction to  The Quran” berpendapat
bahwa ketika Nabi Muhammad menulis Alquran berpegang teguh kepada
kitab suci, khususnya kepada hal-hal yang berkaitan dengan kurun lampau (di
bagian kisah-kisah). Sebagian kisah siksaan (misalnya tentang kaum ‘Ad dan
Tsamud) bersumber dari Arab, tetapi porsi terbanyak yang dipakai
Muhammad dalam menafsirkan dan menopang pengajarannya bersumber dari
Yahudi dan Nasrani. Kesempatannya tinggal di Madinah digunakan untuk
mengenal zaman kuno, karena di Madinahlah ia berkenalan dengan generasi
Yahudi. Dengan cara seperti ini Muhammad banyak menimba pengetahuan
dari kitab-kitab Mûsa.
 John Pitt, seoarang orientalis kelahiran Exeter dalam bukuya “A True
and faithful Account of Religion and Manner of Muhammadens” mengatakan
bahwa Alquran bukan merupakan wahyu Allah, lebih lanjut ia mengatakan
bahwa Alquran adalah suatu kitab yang tidak diperlukan karena Alquran
merupakan kumpulan dongeng dan legenda kepalsuan yang penuh dengan
pertentangan dan membingungkan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Oleh
karena itu John Pitt sangat menentang jika Alquran disamakan dan
disejajarkan dengan kitab suci lainnya.

7
Pada abad pertengahan, sejumlah orientalis di Eropa telah meneliti
konsep-konsep Muhammad dan mereka sepakat mengatakan bahwa Nabi
Muhammad bukanlah Nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Karena
itu, Gustav Weil berani mengambil kesimpualan dengan mengatakan bahwa
Nabi Muhammad adalah seorang penderita penyakit epilepsi (ayan). Aloys
Spreanger menambahkan pendapat Gustav Weil dengan mengatakan bahwa
Nabi Muhammad itu mengalami hysteria7 yang berat. Bahkan dalam
menggugat keabsahan Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, tokoh
orientalis lainnya yang bernama Thomas Patrick Huges mengatakan dalam
bukunya The Dictionary of Islam bahwa Nabi Muhammad itu berpura-pura
sajatidak pandai menulis dan membaca agar karangan Alquran itu dapat
dijadikan sebagai mukjizat yang membuktikan bahwa Muhammad adalah
seorang Rasul Allah.8
Pandangan diatas adalah pandangan kaum orientalis yang negatif
terhadap Alquran. Frithjof Schoun, tokoh orientalis yang objektif mengatakan
bahwa Alquran adalah kitab yang penting untuk dipelajari sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa teks-teks Alquran itu mengandung
makna spritual yang tercakup dan terangkum dalam keindahan bahasa
Alquran. Alquran bukanlah merupakan sebuah legenda kepalsuan, atau bukan
hanya merupakan kalam Allah, kumpulan suara, bahasa, dan huruf-huruf,
tetapi juga merupakan keunggulan dan kesempurnaan bahasa yang teramat
indah. Alquran merupakan syair sempurna dan sangat tinggi nilainya.
Meskipun begitu Alquran bukanlah kitab syair.9
Tidak dapat dipungkiri lagi sebab utama kaum orientalis menuduh bahwa
Alquran adalah buatan Nabi Muhammad dikarenakan dendam terhadap Islam.
Selain itu, Alquran dengan tegas mengatakan bahwa para pemuka agama

7 Hysteria adalah penyakit gila, abnormal. Seseorang yang tidak dapat mengontrol
emosinya sehingga dalam dunia terdapat keraguan-keraguan yang seolah ia bisa berbicara
dengan makhluk lain, makhluk gaib, atau bahkan ia merasa dapat berbicara dengan malaikat.
8 A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 94.
9 Akhmad Zuhdi, Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam: Antara yang menghujat dan
Memuji (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya, 2004), 63-68.

8
Yahudi dan Nasrani telah mengadakan perubahan terhadap kitab suci mereka.
Bahkan Alquran dengan tegas megingkari konsep trinitas agama kristen.10
b.  Kritikan Orientalis terhadap Kompilasi Alquran
Pintu gerbang selanjutnya yang digunakan orientalis sebagai alat
penyerang terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah menghujat tentang
penulisan serta kompilasinya. Pihak Orientalis mempertanyakan mengapa
jika Alquran sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, `Umar merasa
khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah dan
memberi tahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini
lantaran kematian mereka. Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan yang telah
ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika
demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan
dalam menyiapkan Suhuf  itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-
Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap
dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan
penulisannya dianggap palsu.
Menurut Athur Jeffery, Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa
susunan teks Alquran yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa
yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad. Di sini apa yang dimaksud
Jeffery adalah susunan surah dan ayat-ayatnya.
Katakanlah terdapat satu naskah Alquran milik Nabi Muhammad.
mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan
dimanfaatkan? Besar kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh,
munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan
tecermin dalam naskah di kemudian hari. Dalam masa[ah ini, beliau akan
membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang merugikan umatnya;
kerugian yang ada dirasa lebih besar dari manfaatnya. Jika naskah itu
terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai sumber utama
di zaman pemerintahan Abu Bakar? Sebelumnya, telah saya kemukakan

10 Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan


Islam (Bandung: CV. Diponegoro,1991), 63.

9
bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid mesli
bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru
pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang
ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan
kehilangan nilai teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin
Tsabit dalam mendikte ayat-ayat Alquran kepada para Sahabat. Nabi
Muhammad melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang lebih
tepercaya didasarkan pada hubungan antara guru dengan murid; sebaliknya,
karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada
unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan
sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun
orang lain.
Tetapi jika keseluruhan Alquran telah direkam melalui tulisan semasa
kehidupan Nabi Muhammad dan disimpan baik dalam pengawasan beliau
maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur' an
karena syahidnya para huffaz? Hal ini sekali lagi, menyangkut tentang hukum
persaksian.
Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh ilmu pengetahuan
Alquran melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini
yang akhirnya sampai pada Nabi Muhammad Setelah beliau wafat, mereka
(para sahabat) menjadi sumber otoritas yang juga saling beruntun. Kematian
mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir
pada Nabi Muhammad yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi
otoritas kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat
ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali,
karena pemiliknya sudah masuk ke liang lahat dan tidak dapat memberi
pengesahan tentang kebenarannya. Kendati mungkin terdapat secercah bahan
tulisan yang secara tak sengaja persis sama dengan Alquran seperti yang
dihafal oleh yang lain, selama masih terdapat saksi utama yang sesuai, ia akan
menjadi paling tinggi, menempati urutan ke tiga dari dokumen yang sah.
Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakar bertahan pada

10
pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja mesti membawa ayat, melainkan
juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu
datang langsung dari Nabi Muhammmad (kita temukan hukum kesaksian ini
juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Utsman). Ayat-ayat yang
telah ditulis tetap terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah
Yamamah itu mengisap darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas
saksi yang merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai
sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.
c. Merubah Alquran 
Pada tahun 1847, Gustav Flugel mencetak sejenis indeks Alquran. la juga
menguras tenaga ingin mengubah teks-teks Alquran yang berbahasa Arab dan
pada akhirnya menghasilkan suatu karya yang tidak dapat diterima oleh
pembaca Alquran. Sudah jadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, untuk
membaca Alquran harus menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar
bacaan yang terkenal yang semuanya mengikuti kerangka tulisan `Utsmani
dan sunnah dalam bacaannya (qira'ah), perbedaan-perbedaan yang ada,
kebanyakan berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal yang tidak
berpengaruh sama sekali terhadap isi kandungan ayat-ayat itu. Setiap Mushaf
yang dicetak berpijak pada salah satu dari Tujuh Qira'at yang diikuti secara
seragam sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh
sistem bacaan dan memilih satuqira'ah di sana sini dengan tidak menentu
(tanpa alasan yang benar) yang hanya membuahkan ramuan cocktail tak
berharga. Bahkan Jeffery (yang dikenal tidak begitu bersahabat dengan tradisi
keislaman) malah bersikap sinis dengan menyebut, “Edisi Flugel yang
penggunaannya begitu meluas dan berulang kali dicetak, tak ubahnya sebuah
teks yang sangat amburadul, karena tidak mewakili dari tradisi teks ketimuran
yang murni mau pun teks dari berbagai sumber yang ia cetak, serta tidak
memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.11

11 M.M Al-‘Azami, Sejarah Teks Alquran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, Versi


Ebook, th.

11
d.        Pemutarbalikan Makna Alquran
Robert of Keton, menerbitkan Alquran yang diproduksi Barat dengan
sistem terjemahan “sensor penerbitan”. Pembela-pembela Kristen berpegang
pada Alquran produksi Barat tersebut dan terjemahan-terjemahan lain yang
kacaudan mereka tafsirkan sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Peter
The Venerable, Pedro Paskal, dan Ricardo memahami Alquran dengan cara
mereka sendiri, yaitu mengutamakan tafsir mereka sendiri daripada tafsir
Alquran yang disusun oleh umat Islam. Bhakan mereka menolak tafsir
Alquran yang dimiliki umat Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Daniel.
Kaum orientalis mempelajari Alquran dengan berbagai terjemahan untuk
memutarbalikkannya secara sengaja atau karena kejahilan serta tidak
bertujuan untuk memahami Alquran sebagai kitab Ilahi. Tujuan mereka
adalah memutarbalikan kebenaran dan mencari-cari sandaran atau sarana
penegsahan Injil. Alquran memerintahkan agar umat Islam mempercayai Isa
dan wahyu yang diturunkan kepadanya. Sehingga mereka beranggapan bahwa
Injil yang mereka pegang adalah kitab Ilahi. Mereka bergembira atas
kepercayaan yang diberikan Alquran kepada mereka, akan tetapi mereka
tidak mau mempercayai Alquran.12
e.        Alquran Berasal dari Yahudi
Orientalis kontemporer seperti Andrew Rippin pun mengakui
bahwa Abraham Geiger yang pertama kali menggunakan pendekatan baru,
yaitu dengan menggunakan aspirasi modern dalam memahami Alquran.
Geiger menulis karyanya dalam bahasa Latin, kemudian dipublikasikan pada
tahun 1833 dalam bahasa Jerman dengan judul Was Hat Muhammed aus dem
Judenthum aufgenommen? (What did Muhammed Borrow from
Judaism?. Karya tersebut ditulis untuk mengikuti kompetisis masuk ke
Universitas Bonn tahun 1832.
Dalam karyanya Geiger berpendapat bahwa kata-kata yang terdapat
dalam Alquran seperti Tabut, Taurat, Jannatu’Adn, Jahannam, Ahbar,

12 Qosim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongon Orientalis (Jakarta: Gema Insani Press,


1996), 83-89.

12
Darasa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqan, Ma’un, Masani, dan Malakut berasal
dari bahasa Ibrani. Selain kata-kata diatas Geiger kemudian berpendapat
bahwa Alquran juga terpengaruh dengan agama Yahudi ketika
mengemukakan hal-hal berikut. Pertama, hal-hal yang menyangkut keimanan
dan doktrin. Kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral, dan ketiga
pandangan tentang kehidupan.
Bukan hanya itu, cerita-cerita yang ada di dalam Alquran juga tidak
terlepas dari pengaruh agama Yahudi, Geiger juga membahas ayat-ayat dalam
Alquran yang mengecam Yahudi, namun menurut penafsiran Geiger kecaman
tersebut dilakukan karena Muhammad saw telah menyimpang dan salah
paham terhadap doktrin-doktrin Yahudi.13
f.         Gugatan terhadap keotentikan Alquran di Indonesia
Ketika Nurcholis Madjid meluncurkan gagasan sekularasi pada bulan
Januari 1970, mungkin belum terlintas dalam pikiran kaum muslimin di
Indonesia baahwa sekularasi dan liberalisasi Islam juga akan menyentuh hal-
hal yang sangat mendasar, yaitu seputar autensitas Alquran atau Mushaf
Utsmani. Agenda untuk meragukan keabsahan atau autensitas Alquran
sebagai wahyu Allah memang telah lama digarap secara serius oleh kalangan
orientalis dan misionaris Kristen. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam
bukuIslam: A Challenge to Faith karya Samuel M. Zwemer.
Di Indonesia sendiri upaya untuk meragukan Alquran telah dilakukan
oleh kalangan misionaris Kristen seperti Pendeta Suradi dari kelompok
Nehemia, dalam wawancara dengan majalah Gatra, Suradi menyatakan
bahwa Alquran bukanlah wahyu dari Allah swt.
Ironisnya upaya untuk meragukan Alquran juga muncul dikalangan
aktivis jaringan Islam liberal, meskipun dalam kadar dan cara yang lebih
halus dari yang dilakukan Zwemer, Suradi, dan lain-lain. Namun dampak
yang ditimbulkan sama saja, yaitu tidak meyakini bahwa Alquran bukan

13 Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog interaktif


dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 62-63.

13
wahyu Allah, hal ini dapat dapat disimak dalam dialog penulis dengan aktivis
jaringan Islam liberal berikutnya.
Sebutlah gagasan tentang Alquran edisi kritis oleh Islam liberal yang
sebenarnya tidak mengakar dalam tradisi pemikiran Islam, bahkan dengan
mudah dapat ditelusuri bahwa gagasan seperti ini sebenarnya meneruskan
jejak kalangan orientalis dan misionaris kristen.14

14 Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog interaktif


dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, 6

14
KESIMPULAN

Alquran adalah satu-satunya kitab suci yang menyatakan dirinya, bersih


dari keraguan, dijamin keseluruhan isinya terjaga, dan tiada mungkin dibuat
tandingannya. Barangkali sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-
muslim, khususnya orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen merasa gerah.
Tetapi tidaklah mengherankan, karena sejak Alquran diturunkan, sudah
disinyalir bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai umat
Islam mengikuti keinginan dan keagamaan mereka. Selain itu, mereka ingin
agar umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan seperti menggugat, dan
mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan sehingga timbul keraguan
terhadap yang benar dan sahih.
Dalam rangka memberi kesan seolah-olah obyektif dan otoritatif,
orientalis-missionaris biasa berkedok sebagai pakar (expert scholar) mengenai
bahasa, sejarah, agama. Dari buku-buku yang ditulis orientalis-missionaris,
secara sembunyi maupun secara terbuka, mereka memang benci terhadap
Alquran..
Alquran memang menjadi kajian utama dalam pembahasan orientalis.
Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa Alquran bukan kitab Ilahi.
Alquran hanyalah buatan Muhammad. Dengan berbagai argumennya, kaum
orientalis mencoba menyudutkan Alquran. Serangan dengan berbagai cara
telah mereka tempuh, namun usaha mereka ternyata terbukti tidak terlalu
efektif untuk meggungat keotentikan Alquran itu sendiri.
Alquran dipelihara secara langsung oleh Allah. Diantaranya melalui
hafalan-hafalan yang dilakukan oleh kalangan muslim sendiri dan dari
kalangan cendikiawan muslim.

15
DAFTAR PUSTAKA

Athaillah, A. Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas


Alquran. Banjarmasin: Antasari Press, 2007.
Fatoohi, Louay & al-Dargazelli, Shetha. Sejarah Bangsa Israel dalam
Bibel dan Alquran:Sebuah Penelitian Islamic Archaeology. Bandung: Mizan
Pustaka, 2008.
Jamal, Ahmad Muhammad. Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam
Memalsukan Islam.Bandung: CV. Diponegoro,1991.
Zuhdi, Akhmad. Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam: Antara yang
menghujat dan Memuji. Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya, 2004.
Al-‘Azami, M.M. Sejarah Teks Alquran: Dari Wahyu Sampai
Kompilasinya. Versi Ebook. th.
Assamurai, Qosim. Bukti-bukti Kebohongon Orientalis. Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal:
Dialog interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal.J akarta: Gema Insani,
2003.

16

Anda mungkin juga menyukai