Anda di halaman 1dari 17

RESEPSI ATAS AL-QUR’AN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Living Qur’an

Disusun Oleh:

Diana Karimah 19211166

Diana Novita Sari 19211167

Gustina Fauzia 19211190

Ita Alfarikhah 19211209

Dosen Pengampu:

Mohammad Hosen, M.Ag.

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

TAHUN 2022 M/1444 H


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. WB

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat
hidayah serta kesehatan jasmani dan rohani sehingga dengan izin dan pertolongan-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat beserta salam senantiasa dihaturkan kepada
teladan kita yakni Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam yang telah mengajarkan kita
jalan menuju kebaikan sehingga kita dapat mengenal agama Islam yang sempurna serta
menjadi rahmat bagi seluruh alam ini. Tak lupa pula, ungkapan terima kasih kepada Dosen
pengampu mata kuliah Living Qur’an dan juga kepada berbagai pihak yang sudah membantu
sampai makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis sangat bersyukur karena telah dapat menyusun makalah yang menjadi tugas
dalam mata kuliah Living Qur’an dengan pokok pembahasan tentang Resepsi Atas Al-Qur’an.
Pengetahuan dan penelitian yang bertujuan untuk dapat memaparkan sedikit pengetahuan kami
agar dapat dipelajari dan bermanfaat bagi banyak orang. Akhir kata, penulis sangat memahami
apabila makalah ini tentu jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami butuh kritik dan sarannya
yang bertujuan untuk memperbaiki karya-karya kami selanjutnya di waktu yang akan datang.

Ciputat, 26 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Resepsi .............................................................................................. 2


B. Pengertian Resepsi ......................................................................................... 2
C. Konsep Dasar Teori Resepsi .......................................................................... 4
D. Metode dan Penerapan dalam Teori Resepsi ................................................. 5
E. Pengertian Living Qur’an .............................................................................. 5
F. Objek Kajian Living Qur’an .......................................................................... 6
G. Living Qur’an dan Bidang Ilmu Lain ............................................................ 8
H. Penerapan Teori Resepsi pada Living Qur’an ............................................... 10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 12
B. Saran .............................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam adalah salah satu bacaan masyarakat
Muslim yang ditransmisikan melalui bahasa Arab, dimana banyak ditemukan unsur-unsur
diatas. Unsur estetika rima dan irama dapat ditemukan misalnya pada surah mu’awwidzatain.
Keindahan unsur tersebut secara tidak langsung berdampak pada pembaca dan pendengarnya.
Sementara dalam ranah defamiliarisasi, pembaca dikejutkan oleh Al-Qur’an atau ayat-ayat
yang tersebar dalam Al-Qur’an. Meminjam istilah Sayyid Qutb, “Mashurun bi Al-Qur’an”,
orang-orang tersihir oleh keindahan Al-Qur’an baik secara redaksi maupun isi dan makna. Hal
itu juga pernah dialami oleh sahabat Umar bin Khattab ketika mendengar saudaranya
membacakan salah satu surah dalam Al-Qur’an.1

Kajian tentang resepsi Al-Qur’an atau istilah respon terhadap penerimaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an, kemudian direspon untuk memberikan nilai dan makna. Makna ini, sebagaimana
adanya, merupakan dasar dan pedoman hidup untuk menciptakan nilai dan makna. Pemaknaan
apa adanya inilah yang menjadi dasar dan pedoman hidup kehidupan masyarakat yang
memahaminya. Dalam bahasa lain, cara masyarakat memahami, memaknai, menafsirkan,
melantunkan dan menyajikan dalam bentuk perilaku sehari-hari merupakan bentuk interaksi
dan dialog tentang perjuangan masyarakat dengan Al-Qur’an.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan pengertian teori resepsi dan living qur’an?
2. Bagaiman metode dan penerapan teori resepsi pada living qur’an?
3. Apa saja objek-objek kajian living qur’an?
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pengertian teori resepsi dan living qur’an.
2. Menjelaskan metode dan penerapan teori resepsi pada living qur’an.
3. Menjelaskan objek-objek kajian living qur’an.

1
Al-Baihaqi, Dalail Al-Nubuwwah, II (Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), h. 199
2
Riyadi, “Resepsi Umat Atas Alquran: Membaca Pemikiran Navid Kermani Tentang Teori Resepsi
Alquran, 43”

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Resepsi

Teori resepsi telah ada sejak tahun 1960, namun konsep-konsep yang sesuai baru
dijumpai pada tahun 1970-an. Adapun tokoh yang terkenal sebagai pelopor teori resepsi ialah
Mukarovsky, akan tetapi yang mengutarakan teori-teori resepsi ialah Wolfgang Iser dan Hans
Robert Jauss.3

Awal mula kemunculan teori resepsi adalah tanggapan pembaca terhadap karya sastra.
Maksudnya ialah untuk mendapat penilaian dari para penikmat dan konsumen karya sastra,
dalam praktiknya pembaca memilih makna dan nilai sehingga karya tersebut benar-benar
mempunyai arti dari tanggapan pembaca atau penikmat karya sastra. Dengan demikian, teori
resepsi ini merupakan teori yang membahas mengenai kontribusi atau feedback pembaca dalam
menerima suatu karya sastra.4

Hans Robert Jauss (1921-1997) adalah salah satu pemikir yang mempunyai andil besar
terhadap munculnya teori resepsi sastra. Pada saat itu, pemikirannya dianggap sebagai
pemikiran yang menggemparkan ilmu sastra tradisional di Jerman Barat.

B. Pengertian Resepsi

Perihal definisi teori resepsi, dalam hal ini terdapat beberapa pendapat di antara
beberapa tokoh. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Nur Kholis Setiawan, bahwa resepsi
dalam masalah ini dimaknai bagaimana umat Islam menerima Al-Qur’an sebagai teks.
Pendapat lain, adapun Nyoman Kutha Ratna lebih jauh memaparkan bahwa resepsi berasal dari
bahasa latin, Recipere yang artinya penerimaan (pembaca). Menurutnya, pembaca adalah orang
yang berperan penting dalam memberi makna terhadap sebuah teks, bukan pengarang.5

Menurut Umar Junus, resepsi diartikan bagaimana pembaca memaknai karya yang
telah dibacanya, sehingga dapat memberikan respon atau tanggapan terhadap karya tersebut.
Responnya mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya
itu, atau dapat melihat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin bersifat aktif, yaitu

3
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq, 2008), h. 68
4
Wolfgang Iser, The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (Baltimore: John Hopkins
University Press, 1979), h. 20
5
Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra Dan Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 277

2
bagaimana pembaca merealisasikannya.6 Namun, menurut pendekatan resepsi sastra, sebuah
teks hanya memiliki makna jika sudah memiliki hubungan dengan pembaca. Teks menuntut
kesan yang tidak mungkin ada tanpa pembaca.

Resepsi Al-Qur’an menurut Ahmad Rafiq ialah suatu bentuk penerimaan dan respon
atau reaksi yang muncul dari pihak pembaca atau pendengar ketika menerima, mereaksi,
menggunakan, baik memanfaatkannya sebagai teks dengan susunan sintaksis maupun sebagai
sebuah mushaf (kitab) atau bahkan sebagai bagian dari kata yang lepas dan memiliki makna
sendiri.7

Ahmad Baidowi menyebut dalam artikelnya bahwa resepsi Al-Qur’an oleh umat Islam
secara umum dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: resepsi hermeneutis (dalam bentuk tafsir dan
terjemahan), resepsi sosial-budaya (fungsi Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat berupa
budaya dan adat istiadat masyarakat setempat), dan resepsi estetis (resepsi yang
mengungkapkan atau mengekspresikan karya secara estetis).8

Pada awalnya teori resepsi ini masuk dalam teori sastra, namun kemudian digunakan
pula untuk menggambarkan tentang sikap penerimaan umat Islam dalam memperlakukan Al-
Qur’an. Maka resepsi Al-Qur’an ini menekankan pada pembaca dalam membentuk makna dari
suatu karya sastra yakni Al-Qur’an.9 Al-Qur’an sendiri dikatakan karya sastra karena dilihat
dari banyaknya sisi keindahan, seperti keindahan huruf, lantunan suara, aspek bahasa,
kedalaman makna dan lain sebagainya.10

Teori resepsi dalam konteks Al-Qur’an dipahami sebagai suatu kajian yang merupakan
reaksi, respon atau tanggapan pembaca terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ragam respon dan
tanggapan tersebut bisa berupa cara masyarakat Muslim menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, cara
masyarakat Muslim membaca dan melantunkan Al-Qur’an, dan cara masyarakat Muslim
mengimplementasikan nilai-nilai dan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an. Oleh karena
itu, terdapat dialektika, interaksi, dan resepsi Al-Qur’an dalam sebuah penelitian. Pada

6
Umar Junus, Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h. 1
7
Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah Pencarian Awal
Metodologis)” Dalam Islam, Tradisi, Dan Peradaban (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012), h. 73.
8
Dara Humaira, “Resepsi Estetis Terhadap Al-Qur’an (Studi Atas Penggunaan Nazam (Nalam) Dalam
Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemahan Bebas Bersajak Dalam Bahasa Aceh Karya Tgk. Mahjiddin Jusuf)”
(Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018), h. 2-3
9
Subkhani Kusuma Dewi, “Fungsi Performatif Dan Informatif Living Hadis Dalam Perspektif Sosiologi
Reflektif,” Jurnal Living Hadis 2, no. 2 (2017), h. 197
10
M Ulil Abshor, “Resepsi Al-Qur’an Masyarakat Gemawang Mlati Yogyakarta,” Dalam Jurnal QAF 3,
no. 1 (2019),h. 44

3
akhirnya, penelitian nantinya akan membantu untuk mendeskripsikan tipologi masyarakat yang
berinteraksi dengan Al-Qur’an.

C. Konsep Dasar Teori Resepsi

Suatu karya dapat dianggap sebagai sebuah karya sastra sekurang-kurangnya harus
memiliki tiga unsur, yaitu sebagai berikut:

a. Estetika rima dan irama


b. Defamiliarisasi, yakni keheranan atau kekaguman psikologis yang pembaca
rasakan setelah mengkonsumsi karya tersebut.
c. Reinterpretasi, yakni kuriositas atau keingintahuan pembaca untuk menafsirkan
kembali karya sastra yang dibacanya.

Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra
dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu.
Resepsi sastra dapat menghasilkan reaksi, respon atau tanggapan yang berbeda terhadap suatu
karya sastra, antara pembaca yang satu dengan yang lain, sejak dulu hingga sekarang. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of
expectation). Cakrawala harapan inilah yang diharapkan pembaca dari suatu karya sastra.11

Teori resepsi merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca, terutama
berkembang di Jerman ketika Hans Robert Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory
as a Challenge ti Literary Theory. Dimana fokus perhatiannya pada penerimaan sebuah teks.
Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu
melainkan pada perubahanperubahan tanggapan, interpretasi, dan evaluasi pembaca umum
terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda.12

Dalam tulisannya yang dimuat dalam Cultural Transformation: The Politics of


Resistence, Morley mengemukakan tiga posisi hipotesis di dalam makna pembaca teks
(program acara) kemungkinan mengadopsi:

1. Dominant (‘hegemonic’ reading). Pembaca sejalan dengan kodekode program


(yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan asumsi) dan secara

11
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), 207.
12
Aisy Al Ayyubi, “Penerimaan Mahasiswa Tentang Iklan Mars Perindo Di Televisi (Studi Resepsi Pada
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2014 Universitas Muhammadiyah Malang)” (Universitas
Muhammadiyah Malang, 2017),h. 7

4
penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat
program.
2. Negotiated reading. Pembaca menjadi terikat dengan kode-kode program dalam
beberapa cara, pada dasarnya menerima makna yang ditawarkan oleh si pembuat
program, tetapi memodifikasinya supaya sesuai dengan posisi dan kepentingan
pribadinya.
3. Oppositional (‘Counter hegemonic’) reading. Pembaca tidak sejalan dengan kode-
kode program dan menolak makna atau bacaan yang ditawarkan, dan kemudian
menentukan kerangka alternatifnya sendiri ketika menafsirkan pesan/program.
D. Metode dan Penerapan dalam Teori Resepsi

Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya
selalu mendapat tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss, apresiasi pembaca pertama
terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan
yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.

Konsep terpenting yang dikemukakan oleh Jauss ialah horison ekspektasi (horizon of
expectation).13 Horison ekspektasi disebut sebagai horison harapan,14 yang berarti bahwa
reaksi yang berbeda dari seorang pembaca terhadap suatu karya sastra dihasilkan dari horison
harapan pada masing-masing pembaca. Menurut Pradopo yang dikutip oleh Satinem
mengatakan bahwa horison harapan adalah harapan-harapan pembaca sebelum membaca
sebuah karya sastra. Horison harapan sebagian besar ditentukan oleh latar belakang tingkat
pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan bereaksi terhadap suatu karya sastra.

E. Pengetian Living Qur’an

Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua kata yang berbeda,
yaitu living, yang berarti ‘hidup’ dan Qur’an, yaitu kitab suci umat Islam. Secara sederhana,
istilah Living Qur’an bisa diartikan dengan “(Teks) Al-Qur’an yang hidup di masyarakat. 15

Secara terminologi (istilah), living quran dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu yang
mempelajari/mengkaji tentang praktik Al-Qur’an. Dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang

13
Ahmad Fawaid, Survei Bibliografi Kajian Tafsir Dan Fiqih Di Pondok Pesantren (Kajian Atas Materi
Radikalisme Dalam Literatur Pesantren Dan Respon Kiai Terhadapnya), 2018, 162.
14
Burhan Nurgiantoro, Transformasi Unsur Pewayangan Dalam Fiksi Indonesia (Yogyakarta: UGM
Press, 2018), 11.
15
Hilda Nurfuadah, “Living Quran: Resepsi Komunitas Muslim Pada Alquran (Studi Kasus di Pondok
Pesantren at-Tarbiyyatul Wathoniyyah Desa Mertapada Kulon, Kec. Astatana Japura, Kab. Cirebon)”, Diya al-
Afkar Vol. 5, No. 1, Juni 2017, h.128

5
Al-Qur’an dari sebuah realita, bukan dari ide yang muncul dari penafsiran teks Al-Qur’an. Pada
saat yang sama, ilmu ini juga dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu Al-Qur’an yang
mengkaji gejala-gejala Al-Qur’an di masyarakat. Gejala tersebut dapat berupa benda, perilaku,
nilai, budaya, tradisi, dan rasa

M. Mansur berpendapat bahwa pengertian The Living Qur’an sebenarnya bermula dari
fenomena Qur’an in Everyday Life, yang tidak lain adalah “makna dan fungsi al-Qur’an yang
riil dipahami dan dialami masyarakat Muslim.” Dengan demikian, dapat difahami bahwa living
al-Qur’an adalah “praktik memfungsikan al-Qur’an dalam kehidupan praksis, di luar kondisi
tekstualnya”. Pemfungsian al-Qur’an seperti itu muncul karena adanya “praktek pemaknaan
al-Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan tekstualnya, tetapi berlandaskan
anggapan adanya “fadhilah” dari unit-unit tertentu teks al-Qur’an, bagi kepentingan praksis
kehidupan keseharian umat.16

Heddy Shri Ahimsa-Putra mengklasifikasikan pemaknaan terhadap Living Qur’an


menjadi tiga kategori. Pertama, Living Qur’an adalah sosok Nabi Muhammad Saw. yang
sesungguhnya. Hal ini didasarkan pada keterangan dari Siti Aisyah ketika ditanya tentang
akhlak Nabi Muhammad Saw., maka beliau menjawab bahwa akhlaq Nabi Saw. adalah al-
Qur’an. Dengan demikian Nabi Muhammad Saw. adalah “al-Qur’an yang hidup,” atau Living
Qur’an. Kedua, ungkapan Living Qur’an juga bisa mengacu kepada suatu masyarakat yang
kehidupan sehari-harinya menggunakan al-Qur’an sebagai kitab acuannya. Mereka hidup
dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan al-Qur’an dan menjauhi hal-hal yang dilarang
di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut seperti “al-Qur’an yang hidup”, al-Qur’an yang
mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketiga, ungkapan tersebut juga dapat berarti
bahwa al-Qur’an bukanlah hanya sebuah kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup”, yaitu yang
perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa dan nyata, serta beraneka ragam,
tergantung pada bidang kehidupannya.17

F. Objek kajian Living Qur’an

Salah satu topik paling pentimg untuk menetapkan suatu ilmu yakni permasalahan objek
kajian. Suatu bidang ilmu tidak akan bisa memiliki wujud bila tidak terdapat objek kajian.

16
Ahmad Farhan, “Living Al-Qur’an Sebagai Metode Alternatif Dalam Studi Al-Qur’an”, El-Afkar Vol.
6 Nomor II, Juli- Desember2017, h.90
17
Didi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi Kasus di
Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, Journal of Qur’an and
Hadith Studies – Vol. 4, No. 2, (2015), h.172-173

6
Dibawah merupakan penjelasan terkait objek kajian Living Qur’an, yang dikelompokkan
kedalam 2 kelompok, yakni objek material serta formal.

1. Objek Material Ilmu Living Qur’an

Secara filosofis, masing-masing disiplin ilmu harus mempunyai objek yang


menjadi sasaran kajian serta ilmuwan. Terdapat objek material, serta terdapat juga
objek bukan formal/material. Dalam ilmu filsafat, objek material yakni baik terlihat,
ataupun yang tidak terlihat. Objek material yang terlihat yakni objek yang empiris,
sementara objek material yang tidak terlihat yakni objek metafisi yang keberadaanya di
alam pikiran serta alam kemungkinan. Alam empiris merupakan objek yang bisa diukur
serta umumnya ada dengan berulang. Sementara objek metafisi yang meliputi alam
pemikiran serta kemungkinan. adalah objek yang rasional.

Untuk mendapatkan deskripsi yang lebih mendalam lagi terkait objek material,
kita dapat mengetahuinya melalui sejumlah contoh objek material keilmuan, seperti
ilmu sosiologi memiliki objek material seperti masyarakat, objek material ilmu
psikologi adalah gejala-gejala kejiwaan, objek material ilmu bahasa yaitu bunyi,
simbol, serta kata. Disini dapat dipaparkan jika objek material ilmu living Qur’an yakni
perwujudan alQur’an pada bentuk bukan teks. Dapat seperti multimedia, gambar,
ataupun karya budaya, ataupun memiliki bnetuk pemikiran selanjutnya memiliki wujud
perilaku manusia.

2. Objek Formal Ilmu Living Qur’an

Dalam filsafat, yang dimaksud dengan objek formal adalah sudut pandang
secara menyeluruh. Objek formal dapat pula disebut sebagai metode, paradigma,
ataupun cara untuk menarik sebuah kesimpulan dari objek material. Adapun objek
formal Living Qur’an adalah sudut pandang menyeluruh tentang perwujudan ayat al-
Qur’an dalam bentuknya yang non-teks. Ketika sebuah ayat dibaca dari sudut pandang
sosiologi untuk mengkaji perilaku masyarakat dalam menggunakan atau merespon ayat
al-Qur’an, maka hal itu dapat disebut sebagai Living Qur’an. Jadi, objek ilmu Living
Qur’an dapat berupa sosiologi, seni, budaya, sains teknologi, psikologi, dan
sebagainya. Sehingga dapat dikatakan objek formal Living Qur’an bukan yang bersifat
pernaskahan atau tekstual melainkan kebendaan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan.

7
Misalnya, dalam kasus Living Qur’an yang berjudul, “perilaku masyarakat desa
suka ngaji dalam membawa mushaf al-Qur’an”, dalam hal ini yang menjadi objek
material adalah al-Qur’an, mushaf, atau nilai-nilai didalamnya. Lalu untuk
mengkajinya dapat digunakan sudut pandang psikologi atau psikologi sosial atau
sosiologi. Untuk mengungkapkan makna atau nilai dibalik mushaf al-Qur’an di mata
masyarakat tersebut. Psikologi dan sosiologi dalam kasus tersebut merupakan objek
formal Living Qur’an. Sedangkan nilai atau makna mushaf al-Qur’an yang terungkap
adalah adalah hasil keilmuannya.

G. Living Quran dalam Bidang Ilmu Lain

Tema living quran pada dasarnya sangat identik dengan tema realitas sosial. Dalam hal
ini, realitas sosial dapat dibedakan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah realitas
sosial alami, yang terbagi menjadi kodrati dan hayati. Suprayogo menyebut realitas sosial
kodrati sebagai realitas sosial dalam alam anorganik, berupa fisika dan ilmu-ilmu kealaman.
Sedangkan realitas alami-hayati disebut juga sebagai realitas organik, yang berupa biologi.
Realitas sosial ini bersifat empiris, kuantitatif, materialistik, dan rasionalistik.

Kategori kedua adalah realitas sosial dalam gejala-gejala sosial budaya. Suprayogo
menyebut gejala tersebut sebagai gejala supra-organik, karena bersifat abstrak dan tidak dapat
diindera. Gejala-gejala adikodrati ini biasanya berupa budaya manusia dalam bertuhan, kohesi
kelompok dalam organisasi keagamaan, perilaku manusia, dan sebagainya.18 Berdasarkan dua
kategori realitas tersebut, kajian living quran dapat dilakukan dalam sedikitnya tiga rumpun
ilmu, yaitu ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.19

1. Living Quran dalam Ilmu Sains (Natural Sciences)


Salah satu model living Qur’an yang sedang banyak dikembangkan adalah
teknologi Qur’an atau yang lazim juga dikenal dengan istilah digitalisasi Al-
Qur’an. Jika mushaf atau kaligrafi dapat dikategorikan sebagai bagian dari objek
Living Qur’an,20 maka digitalisasi atau programming Qur’an pun seharusnya
dapat dikategorikan sebagai Living Qur’an. Programming Qur’an bahkan menjadi
trend di dunia teknologi yang banyak dilakukan setelah tahun 2000.

18
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, 24.
19
Ahmad ’Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi, 170-
171.
20
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, 108

8
Programming Quran yang dimaksud di sini bukan penggunaan program-
program atau aplikasi Al-Qur’an. Melainkan adalah kegiatan mengalihrupakan
ayat Al-Qur’an dari yang semula berupa teks menjadi kode-kode sistem informasi
yang kemudian tampil di layar digital. Ketertarikan para pelaku programming dan
ahli teknologi untuk merambah pada Al-Qur’an adalah wujud dari kegiatan Living
Qur’an.
Fenomena saintis lain yang mungkin untuk dikaji dari perspektif Living
Qur’an misalnya Kedokteran Qur’ani dan Kedokteran Nabawi. Ketika Al-Qur’an
menyebut bahwa madu adalah obat, atau Al-Qur’an adalah obat, maka para
peneliti mencoba meneliti kandungan obat dalam air yang dibacakan Al-Qur’an.
Fenomena alamiah berupa reaksi kimiawi, efektifitas medis, kadar bacaan, dan
kadar air adalah objek kajiannya.

2. Living Quran dalam Ilmu-ilmu Sosial (Social Studies)


Objek penelitian agama dapat dipetakan menjadi dua, yakni agama sebagai
norma, agama sebagai fenomena sosial yang bersifat historis. Kajian agama
sebagai norma biasanya cenderung bersifat teologis dan etis. Kajiannya
didominasi oleh perspektif tentang baik dan buruk, benar dan salah, atau etis dan
tidak etis. Sedangkan kajian agama sebagai fenomena sosial dapat dikategorikan
menjadi dua macam, yaitu studi pemikiran yang bersifat filosofis dan studi
kawasan yang bersifat sosio historis.21
Studi Living Qur’an dalam ilmu-ilmu sosial merupakan jenis kajian model
kedua, yaitu menempatkan agama sebagai fenomena sosial. Lebih spesifik, yang
dikaji pun bukan pemikiran tokoh an sich, melainkan studi kawasan. Dalam studi
ini Al-Qur’an tidak dikaji secara tekstual, filologis, juga tidak dikaji untuk
merespon isu-isu modern kontemporer dengan menggunakan pendekatan ilmu
lain seperti hermeneutika, semiotika, gender, dan isu-isu kontemporer lainnya.
Akan tetapi, Al-Qur’an dikaji dari sisi praktiknya.
3. Living Quran dalam Ilmu-ilmu Humaniora
Ilmu humaniora merupakan rumpun ilmu yang objek studinya adalah
manusia sebagai manusia itu sendiri. Termasuk diantaranya adalah kajian manusia
dengan Tuhannya, karena hal itu juga sebenarnya merupakan kajian antara

21
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, 23.

9
manusia dengan keyakinan hatinya. Oleh karena itu, ilmu agama (ilmu-ilmu
teologis) yang membahas tentang manusia sebagai makhluk Tuhan juga
merupakan bagian dari rumpun humaniora.
Ilmu ini memiliki tujuan untuk membuat manusia menjadi lebih manusiawi,
berbudi, dan berbudaya. Ilmu-ilmu seni, sejarah peradaban, dan ilmu bahasa, juga
termasuk rumpun ketiga ini. Meski demikian, sebagian ilmuwan mengkategorikan
rumpun ketiga ini sebagai cabang ilmu-ilmu sosial. Living Qur’an dalam bidang
bahasa misalnya, terdapat dalam budaya nama, baik itu nama orang, lembaga,
benda, ataupun nama aktifitas. Budaya menggunakan panggilan dengan kuniyah
seperti menamai anak laki-laki dengan Muhammad dan Abdul yang kemudian
dirangkai dengan Al-Asma Al-Husna adalah bagian dari living Qur’an jenis ini.22

H. Penerapan Teori Resepsi Pada Living Quran

Living quran merupakan bagian dari penerimaan atau resepsi teks Al-Qur’an yang
menawarkan dua usulan dan mengkaji Al-Qur’an dalam tatanan realitas, yaitu untuk
menekankan pemahaman teks Nabi Muhammad SAW, sehingga kitab suci Al-Qur’an dapat
dipahami dan ditafsirkan oleh umat Islam, baik secara menyeluruh maupun hanya bagian-
bagian tertentu dari Al-Qur’an, baik secara mushafi maupun secara tematik, juga untuk
mengambil atau melihat respon masyarakat/kelompok atas pemahaman dan penafsiran
terhadap Al-Qur’an. 23

Living quran adalah bagian dari resepsi atau penerimaan masyarakat terhadap Al-
Qur’an dan ajaran Islam. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim, mempunyai
perhatian yang lebih terhadap kitab sucinya. Fenomena yang terlihat jelas mencerminkan
everyday life-quran.

Resepsi bukan sekedar proses menerima dan respon terhadap sesuatu, akan tetapi
resepsi juga merupakan proses dinamis pembentukan makna antara interaksi pembaca dengan
teks. Proses resepsi adalah proses perwujudan kesadaran intelektual. Kesadaran ini muncul dari
perenungan, interaksi, dan proses penerjemahan dan pemahaman oleh pembaca. Apa yang
diterima pembaca direstrukturisasi dan dikonkritkan di kepala. Asumsi yang dibentuk ini

22
Ahmad ’Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi, 183-
184.
Moh. Nurun Alan Nurin, “Tipologi Resepsi Al Qur’an: Kajian Living Qur’an Di Kelurahan Dinoyo,
23

Kecamatan Lowokwaru, Kabupaten Malang” (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2020),
17

10
kemudian membentuk semacam ruang penangkapan, dimana materi-materi yang diperoleh
menjadi semacam kontur bagi dunia individu.24

Dalam penelitian model living quran ini, yang dicari bukan kebenaran agama lewat Al-
Qur’an atau menghakimi (judgment) kelompok keagamaan tertentu dalam Islam, tetapi lebih
mengedepankan penelitian tentang tradisi yang menggejala (fenomena) dilihat dari persepsi
kualitatif. Meskipun terkadang Al-Qur’an dijadikan sebagai simbol keyakinan (symbolic faith)
yang dihayati, kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku keagamaan.25

24
Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah Pencarian Awal
Metodologis)” Dalam Islam, Tradisi, Dan Peradaban, 73.
25
M. Mansyur, Muhammad Chirzin, Metodologi Penelitian Living Qur’an Dan Hadis, Cet I, 50.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Resepsi Al-Qur’an menurut Ahmad Rafiq ialah suatu bentuk penerimaan dan respon
atau reaksi yang muncul dari pihak pembaca atau pendengar ketika menerima, mereaksi,
menggunakan, baik memanfaatkannya sebagai teks dengan susunan sintaksis maupun sebagai
sebuah mushaf (kitab) atau bahkan sebagai bagian dari kata yang lepas dan memiliki makna
sendiri. Pada awalnya teori resepsi ini masuk dalam teori sastra, namun kemudian digunakan
pula untuk menggambarkan tentang sikap penerimaan umat Islam dalam memperlakukan Al-
Qur’an. Maka resepsi Al-Qur’an ini menekankan pada pembaca dalam membentuk makna dari
suatu karya sastra yakni Al-Qur’an.

Living quran adalah bagian dari resepsi atau penerimaan masyarakat terhadap Al-
Qur’an dan ajaran Islam. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim, mempunyai
perhatian yang lebih terhadap kitab sucinya. Fenomena yang terlihat jelas mencerminkan
everyday life-quran.

B. Saran

Demikianlah makalah kami dari mata kuliah Living Qur’an ini. Semoga bermanfaat
bagi kita semua yang membacanya. Dan saran untuk kita semua bahwasannya mempelajari
ilmu Living Qur’an ini sangatlah penting, karena dengan kita mempelajarinya,akan semakin
banyak ilmu-ilmu kita tentang Al-Qur’an yang mulia dan mendekatkan kita kepada yang
menciptakan Al-Qur’an ini yakni Allah SWT

12
DAFTAR PUSTAKA

Abshor, M. U. (2019). , “Resepsi Al-Qur’an Masyarakat Gemawang Mlati Yogyakarta,” .


Jurnal QAF 3, no. 1, 44.

Ahmad Farhan. ( Juli- Desember2017, ). “Living Al-Qur’an Sebagai Metode Alternatif Dalam
Studi Al-Qur’an”,. El-Afkar Vol. 6 Nomor II.

Ahmad Fawaid. (2018). Survei Bibliografi Kajian Tafsir Dan Fiqih Di Pondok Pesantren
(Kajian Atas Materi Radikalisme Dalam Literatur Pesantren Dan Respon Kiai
Terhadapnya).

Al-Baihaqi. (1986). Dalail Al-Nubuwwah,. Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ayyubi, A. A. (2017). , “Penerimaan Mahasiswa Tentang Iklan Mars Perindo Di Televisi


(Studi Resepsi Pada Mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2014 Universitas
Muhammadiyah Malang)”. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Chirzin, M. M. (n.d.). Metodologi Penelitian Living Qur’an Dan Hadis, Cet I,.

Hasbillah, A. ’. (n.d.). Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi,.

Humaira, D. (2018). , “Resepsi Estetis Terhadap Al-Qur’an (Studi Atas Penggunaan Nazam
(Nalam) Dalam Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemahan Bebas Bersajak Dalam Bahasa
Aceh Karya Tgk. Mahjiddin Jusuf)” . Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

Junaedi, D. (2015). , “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab.
Cirebon)”,. Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 4, No. 2, 172-173.

Junus, U. (1985). , Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar . Jakarta: PT. Gramedia.

M. Alfatih Suryadilaga. (n.d.). Metodologi Ilmu Tafsir, .

Nurfuadah, H. (Juni 2017,). , “Living Quran: Resepsi Komunitas Muslim Pada Alquran (Studi
Kasus di Pondok Pesantren at-Tarbiyyatul Wathoniyyah Desa Mertapada Kulon, Kec.
Astatana Japura, Kab. Cirebon)”, . Diya al-Afkar Vol. 5, No. 1, , 128.

Nurgiantoro, B. (2018). , Transformasi Unsur Pewayangan Dalam Fiksi Indonesia .


Yogyakarta: UGM Press.

13
Nurin, M. N. (2020). , “Tipologi Resepsi Al Qur’an: Kajian Living Qur’an Di Kelurahan
Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kabupaten Malang” . Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Rachmat Djoko Pradopo. (2003). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rafiq, A. (n.d.). , “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah Pencarian Awal
Metodologis)” Dalam Islam, Tradisi, Dan Peradaban,.

Rafiq, A. (2012). , “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah Pencarian Awal
Metodologis)” Dalam Islam, Tradisi, Dan Peradaban . Yogyakarta: Bina Mulia Press,.

Ratna, N. K. (2007). , Estetika Sastra Dan Budaya . Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.

Riyadi. (n.d.). , “Resepsi Umat Atas Alquran: Membaca Pemikiran Navid Kermani Tentang
Teori Resepsi Alquran, 43”.

Setiawan, M. N. (2008). , Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar . Yogyakarta: Elsaq.

Subkhani Kusuma Dewi. (2017). “Fungsi Performatif Dan Informatif Living Hadis Dalam
Perspektif Sosiologi Reflektif,”, . Jurnal Living Hadis 2, no. 2, 197.

Suprayogo, I. (n.d.). Metodologi Penelitian Sosial-Agama,.

Wolfgang Iser. (1979). The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore: John
Hopkins University Press.

14

Anda mungkin juga menyukai