Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DEFINISI, SEJARAH KEMUNCULAN


DAN PANDANGAN TOKOH TENTANG TAFSIR KONTEMPORER
Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Pemikiran Tafsir Modern dan Kontemporer
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Majid, S.Ag., MA

Oleh:
Ramdhan Badrus Sholeh 2142115059
Muhibbillah 2142115086

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 3
A. Definisi Tafsir Kontemporer ................................................................................ 3
B. Sejarah Kemunculan Tafsir Kontemporer ............................................................ 4
C. Pandangan Tokoh Tentang Tafsir Kontemporer .................................................. 8
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

i
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penafsiran awalnya lebih fokus pada aspek teknis, mulai dari metode membaca
Alquran, analisis gramatikalnya, hingga pemahaman konteks Alquran. Namun, Muhammad
Ali Salamah, Husein Al-Dzahabi, dan Khalid ibn Usman kemudian menyempitkan definisi
tafsir sebagai studi yang mengeksplorasi kompleksitas Alquran untuk memahami pesan Allah
sesuai dengan kapasitas manusia. Dengan demikian, fokus utama tafsir adalah untuk
mengartikan dan memproduksi makna dari firman Allah. Penafsir bertugas untuk mencari
pemahaman yang sesuai dengan pengetahuan dan latar belakangnya, tanpa mengklaim
kebenaran mutlak. Oleh karena itu, tafsir bukanlah produk akhir, melainkan harus dipahami
dalam konteks ilmiah dan kehidupan saat penafsirannya dibuat. Syahrur menegaskan bahwa
idealnya, tafsir harus menjadi studi ilmiah yang objektif terhadap teks suci, tanpa dipengaruhi
oleh agenda tendensius yang dapat mengurangi objektivitas penafsiran.1
Pada pandangan awalnya, tidak terlihat perbedaan signifikan antara tafsir kontemporer
dan tafsir klasik karena keduanya bertujuan untuk menghubungkan pesan Alquran dengan
konteks zaman mereka masing-masing. Namun, di era kontemporer, kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi faktor utama yang mempengaruhi perubahan tuntutan.
Selain itu, adanya dasar-dasar pemikiran modern yang telah ada sebelumnya juga
memengaruhi tafsir kontemporer, sehingga terdapat asumsi dan paradigma yang berbeda dalam
tafsir pada zaman tersebut dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Dalam tradisi penafsiran klasik, prinsip bahwa Alquran shahih likulli zaman wal makan,
diinterpretasikan secara kaku di dalam setiap konteks Alquran. Dampaknya, interpretasi yang
muncul cenderung bersifat teksual dan literal. Namun, dalam tafsir kontemporer, prinsip
tersebut dipahami dengan lebih kontekstual. Oleh karena itu, hasil interpretasinya tidak hanya
berfokus pada makna kata-kata, melainkan lebih pada penemuan nilai-nilai moral yang ideal
dari setiap ayat Alquran, yang dihasilkan melalui kolaborasi analisis makna kata, analisis
sosial, dan analisis historis.
Tafsir sebagai ilmu dan proses menemukan petunjuk Alquran perlu selalu mengikuti
perkembangan zaman dan masalah yang dihadapi, sehingga tafsir sebagai hasil dan Alquran
sebagai objek tafsir dapat digali dan diterapkan dalam kehidupan beragama. Dalam sejarah,
upaya mufassir dalam menafsirkan Alquran telah dilakukan baik oleh individu maupun

1
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur,an; Qiraah Mu’ashiroh (Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-awzi, 1992), h. 30
2

kelompok keagamaan. Proses penafsiran ini telah melalui fase yang panjang dan kontroversial.
Dinamika penafsiran Alquran dipengaruhi oleh kontroversi dan kompleksitas. Pada awalnya,
penafsiran masih terikat pada teks kitab suci dan menjaga keutuhan teks sangat penting.
Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan munculnya tantangan modernitas dan
masalah kehidupan keagamaan, penafsiran aplikatif Alquran terus dicoba, terutama oleh
mufasir kontemporer. Untuk mengatasi persoalan ini maka lahirlah metode penafsiran modern-
kontemporer.2
Berangkat dari latar belakang di atas, tulisan sederhana ini mencoba untuk membahas
mengenai definisi, sejarah kemunculan, serta tanggapan tokoh terkait dengan tafsir
kontemporer

B. Rumusan masalah
1. Apa definisi tafsir kontemporer?
2. Bagaimana sejarah kemunculan tafsir kontemporer?
3. Bagaimana pandangan tokoh tentang tafsir kontemporer?

C. Tujuan
1. Menjelaskan definisi tafsir kontemporer.
2. Menjelaskan sejarah kemunculan tafsir kontemporer.
3. Menjelaskan pandangan tokoh tentang tafsir kontemporer.

2
Faisal Abdul Aziz Arbi, “Dinamika Metode Tafsir Kontemporer”, Jurnal STIU Darul Hikmah, h. 101.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tafsir Kontemporer


Secara etimologi Tafsir berasal dari kata bahasa arab ‫ فسر يفسر تفسيرا‬yang artinya
memeriksa-memperlihatkan, atau bisa juga bermakna ‫ الشرح‬yang artinya penjelasan.3
Sedangkan secara terminologi tafsir dapat diartikan sebagai penjelasan terhadap kalamullah
atau menjelaskan lafal Alquran dan pemahamannya.4 Al-Qathan berpendapat bahwa tafsir
adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
menjelaskan makna-maknanya, serta menjelaskan hukum dan hikmahnya.5 Abu Hayyan dalam
al-Bahrul Muhith, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuthi, menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang cara menjelaskan lafal-lafal Alquran, maksud-maksudnya, berbagai
hukumnya dan makna yang terkandung di dalamnya.6
Dalam KBBI kata kontemporer memiliki makna pada waktu yang sama, sewaktu,
semasa, pada masa ini atau dewasa ini.7 Pada dasarnya belum ada kesepakatan khusus tentang
makna kontemporer. Sebagai contoh, apakah itu mencakup abad ke-19 atau hanya merujuk
pada abad ke-20 hingga 21. Menurut Ahmad Syirbasyi, periode kontemporer dimulai sejak
abad ke-13 Hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi hingga saat ini.8 Beberapa ahli meyakini
bahwa kontemporer dan modern seringkali dianggap sama dan digunakan secara bergantian.
Dalam konteks peradaban Islam, keduanya muncul saat terjadi pertukaran intelektual awal
antara dunia Islam dan Barat. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika istilah "kontemporer" di
sini mengacu pada era yang sesuai dengan kebutuhan hidup modern.9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer merujuk pada
penafsiran atau penjelasan ayat Alquran yang relevan dengan situasi saat ini. Definisi ini
sejalan dengan konsep tajdiid, yang merupakan upaya untuk mengaitkan ajaran agama dengan
kehidupan modern dengan cara menafsirkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
kondisi sosial masyarakat.10

3
A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap (Surabaya: Pustaka Progresip, 1997).
4
Abdul Hamid Al-Bilali, Al-Mukhtashar Al-Mashun Min Kitab Al-Tafsir Wa Al-Mufashirun (Kuwait: Dar
al-Dakwah, 1405).
5
Manna' Khalil Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Alquran (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008).
6
Al-Hafizh al-Imam Jalaluddin Suyuthi, Al-Itqan (Kairo: Dar At-Turath, n.d.),h. 92
7
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia,
2003).
8
Ahmad Syirbasi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’anul Karim (Jakarta: Kalam Mulia,
1999).
9
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jambi:
Sulton Thaha Press, 2007).
10
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998).
4

B. Sejarah Kemunculan Tafsir Kontemporer


Munculnya tafsir kontemporer dalam sejarah penafsiran Alquran melewati proses yang
panjang. Sebagaimana diketahui bersama bahwa terdapat banyak karya tafsir Alquran yang
begitu banyak dan beragam. Diketahui juga bahwasannya para ulama telah menyusun
pemetaan periodesasi tafsir. Pada makalah ini mengambil periodesasi menurut Abdul
Mustaqim dengan menggunakan kerangka the Histori of Idea of Qur’anic Interpretation yang
disusun dari Ignaz Goldziher, Jurgen Habermas, dan Kuntoowijoyo yang menghasilkan tiga
pembagian masa tafsir diantaranya, 1) era formatif, 2) tafsir era afirmatif, 3) tafsir era
reformatif.11
1. Era Formatif dengan Nalar Quasi-Kritis
Tafsir era formatif dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw., sampai masa ahli
tafsir Imam al-Thabari12. Pada masa ini nabi Muhammad merupakan tokoh utama yang
dijadikan rujukan dalam setiap persoalan. Nabi Muhammad membacakan ayat yang turun
dan memberikan penjelasan kepada para sahabat, terutama yang berkaitan dengan ayat-
ayat musykil. Pada masa ini, penafsiran nabi masih bersifat global karena peradaban Arab
masa itu ialah peradaban oral dan periwayatan, bukan peradaban tulis dan penalaran.13 Pada
masa ini problem penafsiran belum banyak muncul, hal ini dikarenakan Bahasa Arab
merupakan bahasa mereka sehari-hari. Apabila ada makna yang belum diketahui dapat
langsung ditanyakan kepada Nabi saw., sehingga persoalan tersebut dapat teratasi.14
Penafsiran era sahabat juga masih sama yaitu bersifat oral dengan menggunakan
metode periwayatan. Hasil dari pengajaran tafsir dari nabi itu kemudian ditransfer ke
generasi selanjutnya. Metode lain yang digunakan para sahabat ketika menafsirkan Alquran
ketika riwayat tidak ditemukan ialah dengan menafsirkan ayat dengan ayat karena ada
keyakinan bahwa ayat-ayat Alquran itu saling menafsirkan. Setelah masa sahabat berakhir,
tradisi penafsiran dilanjutkan oleh para tabi’in dengan pola yang sama dengan masa
sahabat. Adapun hal yang membedakan ialah adanya persoalan sektarianisme yang pada
masa sahabat belum muncul sektarianisme aliran-aliran tafsir secara tajam.15
Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa nalar quasi-kritis merupakan model atau cara
berpikir yang kurang memksimalkan rasio dalam penafsiran Alquran dan belum muncul
budaya kritisisme. Adapun ciri-cirinya yaitu: pertama, penggunaan simbol-simbol tokoh

11
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 23-24.
12
Niila Khoiru Amaliya, “Arah Metodologi Tafsir”, Qalamuna, edisi vol. 10, no. 1, 2018, h. 77.
13
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 36.
14
Niila Khoiru Amaliya, “Arah Metodologi Tafsir”, h. 77
15
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 41.
5

yang digunakan sebagai rujukan dalam mengatasi persoalan. Dalam konteks penafsiran
Alquran, tokoh yang dimaksud disini ialah Nabi, sahabat, dan tabi’in. Kedua, tidak terlalu
mengkritisi suatu produk penafsiran dan cenderung langsung menerima penafsiran
tersebut.16
2. Era Afirmatif Nalar Ideologis
Era afirmatif yang berbasis nalar ideologis merupakan kelanjutan dari era sebelumnya.
Era ini terjadi pada abad pertengahan yang mana tradisi penafsiran Alquran telah banyak
melahirkan corak-corak yang semakin beragam. Ditinjau secara historis, era ini merupakan
masa akhir Daulah Bani Umayyah dan awal Daulah Abbasiyah hingga masa keemasan
Islam yang dipimpin oleh Harun al-Rasyid dan dilanjutkan putranya al-Makmun. Ilmu
tafsir mendapat perhatian khusus sehingga pada masa ini banyak lahir karya-karya tafsir
seperti: Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Alquran karya al-Thabari, Tafsir Mafaatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razy, Tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Alquran karya Abu al-
Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari. Pada era ini juga melahirkan corak tafsir
dengan corak ideologi tertentu, seperti tafsir-tafsir bercorak syi’i, sufi, dan falsafi.17
Tradisi penafsiran Alquran sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, madzhab,
atau ideologi keilmuan tertentu. Hal ini menyebabkan Alquran sering kali hanya digunakan
sebagai legitimasi untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Pada masa ini, muncul
fanatisme yang berlebihan terhadap kelompok sendiri, yang mengarah pada sikap taklid
buta dan kurangnya toleransi terhadap yang lain serta kurangnya kritis terhadap kelompok
sendiri. Generasi ini sering kali menganggap pendapat para imam dan tokoh mereka
sebagai acuan tunggal dalam menafsirkan teks Alquran, bahkan meletakkannya setara
dengan teks itu sendiri.18
Sikap sektarianisme ini menjadi pendorong lahirnya kritik dari pemikir dan mufassir
modern yang berupaya mendekonstruksi dan merekonstruksi model penafsiran yang
dianggap terlalu menyimpang dari tujuan Alquran. Akibatnya, tradisi penafsiran pada masa
afirmatif ini dapat dikatakan terkontaminasi oleh fanatisme madzhab dan kepentingan
politik tertentu sehingga terlihat sangat ideologis, subjektif, dan tendensius.

16
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,…, h. 44.
17
Niila Khoiru Amaliya, “Arah Metodologi Tafsir”, h. 80.
18
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,…, h. 54.
6

3. Era Reformatif
Pada saat ini, bidang tafsir telah mengalami perkembangan dengan munculnya tafsir
kontemporer yang berhubungan dengan istilah “pembaharuan”. Beberapa ulama telah
gencar mempopulerkan konsep ini dengan harapan agar Islam dapat menjadi agama yang
relevan dan masih berlaku pada era modern ini, meskipun telah berusia 14 abad.
Pemahaman tradisional terhadap Alquran yang terkesan stagnan dan tidak berubah ini
sebenarnya mereduksi esensi Alquran sebagai kitab yang sangat lengkap dan komprehensif
yang dapat memberikan solusi untuk semua permasalahan, baik yang bersifat klasik
maupun modern.19
Kemudian muncullah para tokoh-tokoh pembaharu seperti Sayyid Ahmad Khan dengan
Tafhim Alquran, serta Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dengan al-Manar. Tokoh-
tokoh ini memperhatikan dan mengkritisi karya-karya tafsir yang telah dilakukan oleh para
pendahulunya, yang dianggap kurang relevan dan tidak mampu menjawab persoalan dan
tantangan zaman pada saat itu. Menurut pendapat Abduh, tafsir harus bertujuan
menganggap Alquran sebagai sumber panduan (mashdar al-hidâyah) yang tidak dalam
rangka membela ideologi tertentu. Ini mendorong Abduh dan Rasyid Ridha untuk menulis
kitab tafsir dengan gaya yang berbeda dari tafsir-tafsir klasik sebelumnya, yaitu tafsir Al-
Manar yang lebih mengutamakan aspek sastra dan sosial. Penulisan kitab tafsir tersebut
bertujuan untuk memberikan solusi atas masalah konkret yang dihadapi umat Islam pada
saat itu.
Tokoh-tokoh pionir ini kemudian diikuti oleh pemikir kontemporer seperti Fazlur
Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed Arkoun, dan Hassan Hanafi. Mereka berusaha
untuk melupakan model berpikir yang lama dan merumuskan epistemologi tafsir baru yang
dapat merespons perubahan waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada era ini,
posisi Alquran, realitas, dan penafsir bergerak secara sirkular, triadik, dan dinamis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tafsir kontemporer adalah penafsiran atau
penjelasan ayat-ayat Alquran yang disesuaikan dengan kondisi terkini atau zaman sekarang.
Konsep seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid, yaitu upaya untuk mengadaptasi ajaran
agama dengan kehidupan kontemporer dengan cara menafsirkan atau menginterpretasikan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat.20

19
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 6.
20
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 93.
7

Ada beberapa karakteristik yang menonjol dari tafsir kontemporer menurut Abdul
Mustaqim sebagai berikut: pertama, tafsir kontemporer ingin mengembalikan Alquran sebagai
kitab petunjuk. Kedua, berbeda dengan tafsir klasik yang berkonsentrasi pada kajian makna
kata dari segi i’rab dan penjelasan segi teknis kebahasan yang di kandung oleh redaksi ayat,
maka paradigma tafsir kontemporer lebih menitik beratkan pada kajian epistemologis-
metodologis. Ketiga, paradigma tafsir kontemporer bernuansa hermeneutik. Keempat,
paradigma tafsir yang terahir ini adalah konsekuensi logis dari tiga paradigma di atas, karena
tafsir kontemporer itu didasarkan pada semangat membuktikan Alquran sebagai hidayah,
rahmat untuk semua penghuni alam, menggunakan hermeuneutika, sehingga terbebas dari
pandangan sektarianisme, maka paradigma tafsir kontemporer itu kritis dan ilmiah.21
Paradigma tafsir kontemporer saat ini cenderung lebih kontekstual dan bahkan liberal.
Ini berarti bahwa para mufassir selalu berusaha untuk menghubungkan makna ayat tertentu
dengan prinsip-prinsip dan ide-ide universal. Ketika ada ayat-ayat yang dianggap tidak relevan
dengan perkembangan zaman karena bersifat khusus dan kasuistik, para mufassir kontemporer
berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan semangat zaman tersebut. Para mufasir
pada zaman kontemporer yang menggunakan paradigma fungsional menganggap tafsir sebagai
ilmu yang digunakan untuk memahami Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Tafsir tersebut bertujuan untuk menjelaskan makna-makna Alquran, menggali hukum-hukum
dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, sehingga Alquran dapat benar-benar
berfungsi sebagai panduan bagi manusia. Tafsir ini didasarkan pada pemahaman bahwa ilmu
bahasa adalah dasar yang harus dipahami terlebih dahulu.22
Berdasarkan pandangan ontologis seperti yang dijelaskan di atas, para penafsir
kontemporer memiliki asumsi bahwa 1) Alquran sebagai kitab petunjuk harus memberikan
rahmat bagi seluruh dunia, 2) tafsir Alquran merupakan sesuatu yang berbeda dengan Alquran
itu sendiri, sehingga tafsir tersebut bersifat relatif dan tentatif, 3) menafsirkan Alquran adalah
upaya memahami maksud Allah, meniscayakan penggunaan kerangka kerja hermeneutika, 4)
tafsir Alquran tidak boleh memihak pada kepentingan mazhab tertentu. Artinya, tafsir harus
terbuka, kritis, dan didasarkan pada pendekatan ilmiah. Berdasarkan pada asumsi tersebut,
kemudian para mufasir kontemporer memiliki paradigma bahwa 1) tafsir itu harus bersifat
kontekstual dengan mengacu pada prinsip keuniversalan Alquran yakni: al-Huriyyah, al-
Adalah, al-musawah, al-Insaniyah, 2) tafsir harus mengacu pada spirit Alquran 3) tafsir

21
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,…, h. 55-66.
22
Eni Zulaiha, “Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma, dan Standar Validitasnya”, Wawasan: Jurnal
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, edisi no. 2 vol. 1, 2016.
8

Alquran harus bersifat terbuka untuk dikritisi agar tidak jadi teks suci, 4) menafsir Alquran
berarti menggunakan pendekatan historis, sosiologis, hermeneutis dan lain-lain.23
Bagi para mufasir kontemporer yang menggunakan paradigma fungsional, mereka
melihat bahwa tafsir bukan hanya tentang lafal-lafal, hukum lafal, makna lafal, dan isi dari lafal
itu sendiri. Bagi mereka, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk mengungkapkan maksud
Allah, menjelaskan makna kata-kata, menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya, dan
yang paling penting, tafsir harus berfungsi sebagai alat yang menunjukkan bahwa Alquran
adalah petunjuk bagi manusia. Ilmu bahasa menjadi dasar yang mendasari pemahaman ini.
Selain itu, para mufasir kontemporer juga memiliki asumsi-asumsi paradigmatik yang
mempengaruhi penentuan kebenaran tafsir pada zaman kontemporer ini. 1) Tafsir haruslah
solutif dan responsif terhadap persoalan dan kepentingan transformasi masyarakat. 2) Tafsir
harus merujuk pada semangat Alquran dan prinsip nilai universal yang terkandung dalam
Alquran. 3) Tafsir dipahami sebagai pemikiran manusia yang relatif dan tentatif, sehingga
harus ada kesesuaian antara tafsir tersebut dengan fakta-fakta empiris. 4) Tafsir dianggap
sebagai produk ilmiah, sehingga harus ada kesesuaian antara hasil tafsir dengan proposisi-
proposisi yang telah dibangun sebelumnya.24

C. Pandangan Tokoh Tentang Tafsir Kontemporer


1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh merupakan tokoh yang sangat kritis dalam melihat produk-produk
penafsiran Alquran. Pada kesempatan studi bersama gurunya di Mesir, Sayyid Jamaluddin al-
Afghani mengemukakan ide untuk melakukan reformasi terhadap metode klasik dan
mengadopsi metode modern. Muhammad Abduh kemudian mencetuskan dua poin penting
mengenai penafsiran modern, yaitu pembebasan manusia dari keterbelengguan taqlid dan
reformasi susunan bahasa Arab dalam penulisan.25
Muhammad Abduh juga mengungkapkan bahwa metode klasik telah menimbulkan
perpecahan antara para ulama, baik yang mendukung metode klasik (kaum salaf) maupun yang
mendukung metode modern (kaum khalaf). Oleh karena itu, perlu adanya reformasi dalam ilmu
pengetahuan. Kuntowijoyo mendukung gagasan ini dengan mengajak untuk mengislamkan
pengetahuan secara menyeluruh dan abstrak, tanpa dibatasi oleh kekakuan yang membatasi
ruang lingkup pemikiran umat muslim.26

23
Eni Zulaiha, “Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma, dan Standar Validitasnya”, h. 92.
24
Eni Zulaiha, “Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma, dan Standar Validitasnya”,…, h. 93.
25
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 252.
26
Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat”, Jurnal
Substantia, edisi Vol. 15, no. 1, 2013, h. 3.
9

Kemudian Rasyid Ridha yang kita kenal sebagai reformis dalam bidang keilmuan
agama dan sosial juga sebagai murid dari Muhammad Abduh juga menyerukan, serta
mendukung aktivitas gurunya sebagai reformer. Semenjak tahun 1326 H, Rasyid Ridha
melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk menyumbangkan ide-ide cemerlangnya tentang
keislaman dan permasalahan penting27
2. Fazlur Rahman
Fazlur Rahman, seorang sarjana dan ilmuwan dari Pakistan yang telah menuntut ilmu
Islam di Amerika, mengkritik penafsiran klasik terhadap metodologi dan pemahaman Alquran
yang menurutnya masih belum memadai dan tidak mampu mengatasi masalah-masalah modern
pada saat ini. Beliau kemudian mengusulkan pengembangan metode hermeneutika yang lebih
kokoh. Kontribusinya yang sangat berharga dalam proses ini adalah pengenalan "gerakan
ganda" yang kini menjadi dasar bagi penafsiran kontekstual dan dinamis yang baru. Gerakan
ganda tersebut merujuk pada langkah-langkah untuk memahami situasi saat ini dan kemudian
melacak kembali ke masa lalu, sehingga dapat mencapai pemahaman yang utuh.28

27
Mani’ Abdul Halim Mahmud, “Metodologi Tafsir” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 272.
28
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1982), h. 2-3.
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir kontemporer adalah penafsiran Al-Quran yang muncul dan berkembang sejak
akhir abad ke-19 hingga saat ini. Munculnya tafsir kontemporer ini dipicu oleh gerakan
pembaharuan dalam Islam. Beberapa ulama terkenal yang berperan dalam memulai tafsir
kontemporer antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha,
Muhammad Amin al-Khuli, Fathuimah binti Syathi', dan lain-lain.
Ciri khas dari tafsir kontemporer ini adalah: tidak mengandung cerita-cerita Israilliyat
dan Nashraniyat, tidak menggunakan hadis palsu, menyoroti keindahan bahasa, menyatukan
teori ilmiah yang sedang berkembang dengan Alquran, menggunakan sumber interpretasi yang
merupakan perpaduan antara pendapat pribadi dan riwayat teladan (izdiwaj), menggunakan
metode ijmali, tahlili, muqarran, maudhu'i, dan kontekstual. Ada beberapa corak yang
berkembang dalam tafsir ini, yaitu al-Laun al-'Ilmi (warna ilmiah), al-Madzhabi (warna
madzhab), al-Ilhadi (warna inovatif), adabi al-Ijtima'i (warna estetika sosial), dan Falsafi
(warna filsafat).
Tafsir kontemporer telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam
mengatasi berbagai persoalan umat dalam era modern. Metode baru dalam penafsiran Alquran
telah dihasilkan, sehingga membawa konstruksi pemikiran baru dalam bidang aqidah, fiqh
(muamalah), dan akhlak. Para mufasir kontemporer juga berusaha menghadirkan gagasan-
gagasan baru dalam politik, ekonomi, militer, dan sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Al-Bilali, Abdul Hamid, Al-Mukhtashar Al-Mashun Min Kitab Al-Tafsir Wa Al-Mufashirun
Kuwait: Dar al-Dakwah, 1405.
Amaliya, Niila Khoiru, “Arah Metodologi Tafsir”, Qalamuna, edisi vol. 10, no. 1, 2018.
Amin, Muhammad, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat”,
Jurnal Substantia, edisi Vol. 15, no. 1, 2013.
Arbi, Faisal Abdul Aziz, “Dinamika Metode Tafsir Kontemporer”, Jurnal STIU Darul Hikmah,
t.th.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Mahmud, Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006.Syahrur, al-Kitab wa al-Qur,an; Qiraah Mu’ashiroh, Damaskus: Ahali li al-
Nasyr wa al-awzi, 1992.
Munawir, A.W., Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya: Pustaka Progresip,
1997.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 2003.
Qaththan, Manna' Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Chicago dan London: University of Chicago Press,
1982.
Suyuthi, Al-Hafizh al-Imam Jalaluddin, Al-Itqan, Kairo: Dar At-Turath, n.d.
Syirbasi, Ahmad, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’anul Karim, Jakarta:
Kalam Mulia, 1999.
Syukri, Ahmad, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur
Rahman, Jambi: Sulton Thaha Press, 2007.
Shihab, M. Quraisy, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.
Zulaiha, Eni, “Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma, dan Standar Validitasnya”,
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, edisi no. 2 vol. 1, 2016.

Anda mungkin juga menyukai