Dosen Pengampu :
Zakiyah, M.Ag
Disusun Oleh :
Mimi Aisah
Wulan Karuniawati
2023 M / 1444 H
1
Kata Pengantar
Segala puji kehadirat Allah Subhanahu Wa ta'ala dengan Rahmat dan Magfirah-Nya,
shalawat dan salam teruntuk kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam. Yang telah
membawa kita dari alam jahiliah menuju alam yang terang benderang. Atas Ridha-Nya dan
doa yang disertai dengan usaha alhamdulillah kami telah menyelesaikan makalah yang
berjudul “Corak Penafsiran: Adab Ijtima’i, Ilmi, Tarbawi, dan Falsafi”.
Kami sebagai penyusun makalah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam pembuatan
makalah mohon kritiknya sehingga pada pembuatan makalah selanjutnya kami akan berusaha
menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan menambah wawasan mengenai bagaimana bedanya agama Kriten
dengan agama Islam.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………...…………..…………………………………………..4
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………….4
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan……………………………………………………………………16
B. Saran…………………………………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………17
3
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana corak penafsiran Adabi Ijtima’i?
2. Bagimana corak pefasiran Ilmi?
3. Bagaimana corak penafsiran Tarbawi?
4. Bagaimana corak penafsiran Falsafi?
4
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Adabiy merupakan bentuk mashdar dan kata kerja dari aduba berarti tatakrama dan
sopan santun. Sementara kata al-Ijtima’iy berarti menyatukan sesuatu dan juga dapat
diterjemahkan kemasyarakatan. Maka, secara etimologial-adabi al-ijtima’iy adalah penafsiran
yang lebih menekankan kepada sastera budaya dan kemasyarakatan. Sedangkan secara
terminologi corak tafsir adabiy ijtima’iy adalah memahami ayat-ayat Alquran dengan cara
menyebutkan ungkapan-ungkapan Alquran secara teliti lalu menjelaskan makna-makna yang
dimaksud oleh Alquran tersebut dengan menggunakan keindahan gaya bahasa sehingga
menjadi menarik ketika membacanya. Kemudian para mufasir menghubungkan nash-nash
Alquran yang sedang dikaji sesuai dengan kondisi sosial dan sistem budaya yang ada pada
masyarakat.
Corak penafsiran ini muncul karena ketidakpuasannya para mufasir yang menganggap
bahwa penafsiran Alquran selama ini hanya didominasi oleh tafsir yang menitikberatkan pada
nahwu, bahasa dan perbedaan mazhab, baik dalam bidang ilmu kalam, ushul fiqh, sufi, fiqh,
dan lain sebagainya.
Benih-benih tafsir adabi sebenarnya telah ditemukan sejak zaman Nabi. Beliau
menafsirkan hal-hal mengenai disiplin ilmu sastra Arab yang berkembang kemudian. Dalam
beberapa kesempatan beliau menafsirkan majas. Misalnya, mengenai QS. Al-Baqarah (2) ayat
187: Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang
hitam, yaitu fajar. Nabi ditanya oleh Adi bin Hatim, "Apa yang dimaksud dengan benang hitam
5
dan putih?" Nabi menjawab, "Benang hitam adalah gelapnya malam dan benang putih adalah
terangnya siang."1
Menyadari hal tersebut, warisan ini dikembangkan oleh Amin Al-Khulli dengan
mengedepankan dua hal. Pertama, penafsiran yang mengungkap latar belakang Alquran, asal-
usul kata, dan kondisi masyarakat. Kedua, penafsiran yang mengungkap hidayah di dalam
Alquran.2
Berbicara tentang tafsir adabi, seseorang tidak boleh lepas dari konsep i'jaz Alquran.
Sementara itu, ijaz Alquran melekat pada tiga hal. Pertama, tantangan untuk menciptakan
ujaran yang sama seperti Alquran. Kedua, keselarasan mukjizat Alquran dengan kemampuan
lawan bicara. Ketiga, sasaran mukjizat yang tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu. Dalam
tafsir adabi, kata-kata majemuk dianalisis berdasarkan nahwu dan balaghah. Namun,
penggunaan ilmu tersebut tidak boleh melewati batas, yaitu hanya untuk mengungkapkan
keindahan sastra pada teks.
Pendekatan sastra menitik beratkan pada konsep bayan dengan bantuan perangkat
linguistik-semantik serta konteks dari teks Alquran itu sendiri. Hal itu mengingat bahwa konsep
bayan digunakan untuk menyingkap keunggulan bahasa Alquran. Di sisi lain, pendekatan
dengan ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah dibutuhkan untuk mengkaji keindahan bahasa yang
dipakai oleh Alquran. Dengan kata lain, analisis sastra terhadap Alquran merupakan
pengembangan dari pendekatan filologis.
Tujuan corak ini adalah mendapatkan pesan Alquran secara menyeluruh dan
diharapkan terhindar dari tarikan individual-ideologis. Untuk mencapai tujuan tersebut, corak
ini memiliki titik fokus pada sejarah dan budaya masyarakat Arab ketika Alquran diturunkan.
Tafsir adabi melibatkan pendekatan tematik. Hal itu karena Alquran memiliki tata urutan surah
tersendiri dan informasi-informasi yang disajikan bertebaran di sejumlah surah.
Sementara itu, ruang lingkup tafsir adabi adalah persepsi adanya keindahan atau
keburukan. Oleh sebab itu, tafsir ini membutuhkan pendekatan balaghah untuk menilai
keserasian pemilihan kata dalam Alquran. Keserasian tersebut dapat dirasakan ketika
mendengarkan bacaan ayat Alquran.
1
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2014), h. 201-202
2 Ibid.
6
Kemudian kitab tafsir yang menggunakan corak penafsiran al-Adabiy al-Ijtima’i
adalah:3
B. Corak Ilmi
Tafsir ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Alquran dengan melakukan pendekatan ilmiah
atau mengkaji ayat-ayat Alquran berorientasi pada teori-teori ilmu pengetahuan. Ayat-ayat
Alquran yang ditafsirkan dalam corak ini adalah ayat-ayat kauniyah (tentang kealaman). Corak
tafsir seperti ini memberi peluang yang luas bagi mufasir dalam mengembangkan ilmu
pengetahuannya ataupun berbagai potensi keilmuan yang ada dan akan di bentuk dalam
Alquran.
Perlu diketahui ketika menggunakan corak penafsiran ini adalah berpegang pada
hakikat ilmiah yang dapat dijadikan sebagai rujukan maupun sandaran, tidak memaksakan diri
dalam memahami nash dan tidak sembarangan dalam menakil nash dengan suatu makna yang
diinginkan kesimpulannya. Tetapi hanya mengambilmakna sesuatu dengan pertolongan bahasa
dan terkandung dalam ungkapan tanpa ada paksaan dan sesuai dengan hubungan kalimatnya.
Prinsip dasar tafsir ilmiah adalah menjelaskan isyarat-isyarat Alquran mengenai gejala
alam yang bersentuhan dengan wujud Tuhan yang Mahahidup dan Mahakuasa. Namun
3 Ummi Kalsum Hasibuan dkk, Tipologi Kajian Tafsir: Metode, Pendekatan dan Corak dalam Mitra
Penafsiran Alquran, Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Vol. 2 No. 2, 2020. h. 245-246
7
demikian, maksud dari Alquran adalah untuk menunjukkan bahwa Alquran yang dibawa Nabi
benar-benar kitab suci yang datang dari sisi Allah. Oleh sebab itu, nilai keilmiahan Alquran
tidak dilihat dari banyaknya cabang ilmu pengetahuan yang tersimpan di dalamnya, tetapi
dilihat dari sikap Alquran terhadap ilmu pengetahuan. Alquran tidak pernah menghalangi
manusia mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak pula mencegah seseorang
mengadakan penelitian ilmiah.
Tafsir ilmi pada awalnya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Alquran mengandung
berbagai macam ilmu baik yang sudah maupun yang belum ditemukan. Secara historis
munculnya penafsiran model ini banyak dikaitkan dengan masa kepemimpinan Dinasti
Abbasiyah, khususnya masa pemerintahan Harūn ar-Rasyīd (169-194 H/785-809 M) dan al-
Ma’mūn (198-215 H/813-830 M). Di mana pada saat itu terjadi perkembangan berbagai ilmu
pengetahuan, termasuk penerjemahan buku-buku ilmiah seiring dengan adanya interaksi antara
Islam dengan dunia luar (Yunani). Awalnya hanya berupa usaha untuk memadukan hasil
penelitian ilmiah dengan apa yang ada dalam Alquran, kemudian menjadi gagasan yang mulai
mengkristal pada karya al-Ghazali, Ibnu Arabi, al-Mursi, al-Suyuti, baru kemudian muncul
dalam tataran praktek pada karya tafsirnya al-Ra’zi, dan akhirnya mejadi sebuah kajian khusus
yang diambil dari Alquran berupa karya yang memuat beberapa ayat Alquran mengenai
beberapa disiplin ilmu pengetahuan.4
Para sarjana muslim berbeda pendapat mengenai tafsir ilmiah, ada yang setuju dan ada
yang tidak. Mereka yang setuju, antara lain Abu Hamid Al-Ghazali, Fahruddin Ar-Razi,
Muhammad bin Ahmad Al-Iskandarani, Abdullah Fikri, dan Abdul Aziz Ismail. Sementara itu,
mereka yang menolak, antara lain Abu Ishaq, Asy-Syathibi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
dan Amin Al-Khulli.5
4
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir Alquran”, Jurnal Al Furqonia, Vol. 1, No. 1, 2015, h. 92
5 Samsurrohman, Op. Cit., h. 191
8
Sementara itu, ulama yang menolak tafsir ilmiah dengan argumentasi yang sistematis
adalah Amin Al-Khulli. Menurutnya, ketidak beresan tafsir ilmiah terletak pada tiga aspek.
Pertama, dari aspek bahasa; tafsir ilmiah dianggap tidak sesuai dengan makna kosakata
Alquran. Kedua, dari segi filologi, ilmu bahasa, serta sastra; Alquran yang diturunkan pada
abad VII tidak berisi informasi tentang ilmu pengetahuan alam. Ketiga, dari sisi teologi;
Alquran mengandung pesan-pesan moral-keagamaan yang tidak bersentuhan dengan teori-
teori kosmologis. Dengan demikian, Alquran merupakan kitab hidayah yang tidak boleh
dipaksakan untuk senantiasa selaras dengan penemuan- penemuan di bidang keilmuan, seperti
fisika, kimia, astronomi, serta biologi yang semuanya bersifat relatif dan temporer. 6
Namun begitu, jika melihat pendapat yang kuat bahwa menafsirkan Alquran dengan
tujuan menjelaskan makna hakiki, hal itu dibolehkan. Dengan kata lain, selama penempatan
teks Alquran dibarengi dengan pertimbangan konteks ayat serta relasinya dengan ayat-ayat
yang lain, tentu cara tafsir ilmiah tersebut tidak akan menjauhkan umat Islam dari Alquran.
Oleh karena itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diterima atau
tidaknya tafsir corak ilmi ini. Tujuan ditentukannya batasan tafsir ilmiah adalah agar dalam
menerjemahkan pesan Allah tidak terjadi pemaksaan. Jika mufasir berpegang kepada batasan
itu, ia akan terlindung dari kesalahan. Berikut ini syarat-syarat diterimanya tafsir ilmiah:
a. Tafsir ilmiah tidak boleh bertentangan dengan makna runtutan zhahir teks
Alquran.
b. Tidak diyakini sebagai satu-satunya pemahaman dari teks Alquran.
c. Tidak bertentangan dengan makna syar'i dan masuk akal.
d. Hendaknya dikuatkan oleh bukti yang syar'i.
e. Menyesuaikan ayat kauniah dengan makna yang dibawa oleh redaksi Alquran.
6 Ibid.
9
f. Tidak hanya berdasarkan pandangan ilmiah.
g. Menyeleksi pandangan ilmiah ayat Alquran yang membahas tentang alam.
h. Tidak memaksakan ayat-ayat Alquran agar sesuai dengan pandangan ilmiah.
i. Menjadikan muatan yang terkandung di dalam ayat-ayat Alquran sebagai pokok
makna yang memagari penjelasan tafsir.
j. Berpegang kepada makna-makna leksikal bahasa Arab dalam menjelaskan
isyarat ilmiah yang terdapat di dalam ayat.
k. Tidak bertentangan dengan syariat.
l. Menyesuaikan dengan bidang keilmuan mufasir.
m. Menjaga rangkaian dan korelasi antarayat sehingga terbentuk topik yang
sempurna.
Setelah dijelaskan sejumlah hal mengenai tafsir ilmiah, berikut ini beberapa contoh di
antaranya:7
C. Corak Tarbawi
Terkait dengan pengertian, secara umum ada dua pengertian atau pemahaman tafsir
tarbawi. Pertama, tafsir tarbawi adalah tafsir yang bertemakan pendidikan yaitu menafsirkan
ayat-ayat Alquran yang isinya berbicara tentang pendidikan. Kedua, tafsir tarbawi adalah tafsir
bercorak pendidikan yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif pendidikan, sehingga
apapun tema ayat yang dibicarakan selalu dilihat dan dijelaskan dari sudut pandang pendidikan.
7 Ibid., h. 193
10
Adapun mengenai metode yang digunakan dalam tafsir tarbawi ini ada dua versi.
Pertama, menggunakan metode tafsir maudhu’, dengan langkah-langkah yaitu:8
1) Menetapkan tema yang akan dikaji. Hal ini penting dilakukan untuk
mengerucutkan wilayah kajian agar lebih fokus.
2) Mengelompokkan ayat sesuai tema. Dalam menghimpun ayat-ayat dengan
topik kajian, disarankan untuk memanfaatkan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras
li Alfazh Al-Qur’an Al-Karim karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.
3) Menyusun ayat berdasarkan asbab nuzul. Seluruh ulama mengakui peranan
asbabun nuzul dalam memahami kandungan ayat atau memperjelasnya,
bahkan ada ayat yang tidak dapat dipahami dengan benar tanpa mengatahui
asbabun nuzulnya.
4) Mengetahui korelasi ayat dengan ayat lain. Mengetahui korelasi antar ayat
dapat membantu seseorang memperoleh pentakwilan yang lebih baik dan
pemahaman yang lebih mendalam.
5) Menyusun tema bahasan secara sistematis. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan identifikasi masalah yang terdapat dalam topik bahasan.
6) Melegkapi pembahasan dengan hadis yang relevan.
7) Dan terakhir mempelajari ayat secara tematik dan menyeluruh melalui analisis
lughawi, analisis tahili dan analisis tarbawi.
1) Menetapkan objek penelitian (ayat yang akan diteliti) hal ini bisa dilakukan
dengan dua cara yaitu langsung menetapkan ayat al-Qur’an atau dengan cara
menetapkan masalah atau tema yang akan digali.
2) Memahami kandungan umum ayat, hal ini dapat dilakukan dengan cara
memahami teks ayat, memahami terjemahan terjemahan ayat, memahami
konteks ayat dan memahami tafsiran ayat.
8 Raja Muhammad Kadri, “Tafsri Tarbawi Sebagai Salah Satu Corak Varian Tafsir”, Jurnal Syahadah,
9 Ibid, h. 29-30
11
3) Merinci kandungan ayat, maksudnya adalah mengeluarkan pokok-pokok
pikiran, ide-ide, dan seluruh ragam pembicaraan yang dikandung oleh ayat-ayat
yang dikaji.
4) Mengkonversi kandungan ayat, maksudnya yaitu semua rincian kandungan
yang telah dihasilkan pada langkah-langkah sebelumnya harus dikonversi ke
dalam wacana dan ranah pendidikan. Isu atau tema utama dari satu atau
sekelompok ayat yang awalnya bersifat umum, misalnya term Allah, Nabi dapat
diganti dengan istilah pendidik sesuai dengan indicator yang ditemukan.
5) Menetapkan judul dan outline, keduanya merupakan tiang utama dan petunjuk
arah dalam kelanjutan pengkajian dan penafsiran yang akan dilakukan. Judul
dan outline penafsiran merupakan turunan dari hasil konversi kandungan ayat
ke dalam wacana pendidikan.
6) Menafsirkan ayat, setelah judul dan outline disusun dengan baik, maka satu atau
sekelompok ayat yang telah ditetapkan sebagai objek penelitian dikaji secara
lebih mendalam dan dijelaskan maksudnya.
7) Dan membuat kesimpulan.
Dibandingkan dengan corak-corak tafsir yang lain, terutama tafsir ahkam yang akan
disinggung nanti, kitab tafsir yang khusus tarbawi relatif masih amat sedikit. Di antara contoh
kitab tafsir tarbawi ialah:10
10 Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 398-399
12
Ketiga buku di atas sesungguhnya tidak tepat digolongkan ke dalam kelompok buku-buku
tafsir, mengingat orientasinya bukan pada penafsiran ayat-ayat tarbawi, melainkan lebih
mengarah pada penggalian metode pendidikan dalam Alquran. Namun sungguh pun demikian,
ketiga buku ini dan lain-lain yang sejenis memberikan sumbangsih yang berharga bagi
perumusan model tafsir tarbawi dan pengembangannya di masa-masa yang akan akan datang.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatkikan dalam corak tafsir ini adalah, apakah ini
dianggap sebagai disiplin ilmu secara mandiri atau hanya merupakan sebuah metode
pendekatan atau lebih spesifik lagi merupakan corak atau model penafsiran yang dikondisikan
dengan kebutuhan. Sesuai dengan latar belakang munculnya, terminologi tafsir pendidikan
hanya untuk memenuhi kebutuhan akademik dalam rangka pengayaan kurikulum lokal atau
kurikulum Nasional di PTAI. Dengan harapan bahwa jurusan tarbiyah mampu mempersiapkan
calon pendidik dalam wilayah pendidikan Islam. Oleh karena itu, agar pendidikan Islam
mampu mewarnai profesi yang disandang oleh pendidik secara profesional yaitu menuju
pendidikan yang Islami yang mampu mengembalikan paradigma pendidikan kepada sumber
dasar ajaran Islam yaitu Alquran dan al-Hadis, maka lahirlah disiplin tafsir sebagai alternatif
kajian yang mempunyai relasi dengan pendidikan yang kemudian disebut tafsir tarbawi.11
Hemat penulis, kami tidak menemukan apakah corak ini sudah sesuai untuk diposisikan
sebagai bagian dari kajian tafsir yang sudah dianggap mapan, apalagi jika dibandingkan dengan
corak tafsir lain. Hal ini karena tafsir pendidikan belum mempunyai perangkat, metode dan
pendekatan yang proporsional sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu tafsir. Istilah tafsir
pendidikan baru sebagai wacana dan manivestasi ijtihad para akademisi yang peduli dengan
pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan akademik dalam rangka penyempurnaan
kurikulum pada perguruan tinggi, oleh karena itu belum ada kitab tafsir yang sepenuhnya
menggunakan corak ini bahkan sampai saat ini.
D. Corak Falsafi
11 Badruzzaman M. Yunus, “Pengantar Tafsir Tarbawy”, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol.
1, No. 1, 2016, h. 4-5
13
Secara definisi, tafsir falsafi adalah upaya penafsiran Alquran yang dikaitkan dengan
persoalan-persoalan filsafat, atau bisa juga diartikan dengan penafsiran ayat-ayat Alquran
dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsir falsafi didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai para-digmanya. Ada juga yang
mendefinisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Alquran dengan menggunakan teori-
teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Alquran dapat ditafsirkan dengan meng-gunakan
filsafat. Karena ayat Alquran bisa berkaitan dengan perso-alan-persoalan filsafat atau
ditafisirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsir falsafi, yakni menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan pemikiran atau pandangan
falsafi, seperti tafsir bi al-ra’y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran
yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ikhwan al-Shafa. Menurut Dza-habi, tafsir mereka ini ditolak dan dianggap
merusak agama dari dalam. 12
Kaitannya dengan tafsir yang bercorak tafsir falsafi ini ulama terbagi menjadi dua
golongan:13
Pertama, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para
ahli filsafat, mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama adalah
dua bidang ilmu yang saling bertentangan, sehingga tidak mungkin disatukan.
Kedua, mereka yang mengagumi filsafat, mereka menekuni dan menerima filsafat selama
tidak bertentangan dengan norma-norma Islam, mereka berusaha memadukan filsafat dan
agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.
Sejarah munculnya corak tafsir ini adalah pada saat ilmu-ilmu agama dan sains mengalami
kemajuan, ke-budayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan
gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah
Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan
12 U. Abdurrahman, “Metodelogi Tafsir Falsafi dan Tafsir Sufi”, Jurnal ‘Adliya, Vol. 9 No. 1, 2015, h. 248
13
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 169-170
14
para filosofi seperti Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi
kepada dua golongan, sebagai berikut:14
Pertama, golongan ini menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para
filosofi tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada di
antara yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan menolak buku-
buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan
argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum
muslimin. Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah
Hujjah al-Islam al-Imam, Abu Hamid al-Ghazaly. Oleh karena itu, ia mengarang kitab al-
Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, demikian
pula Imam al-Fakhr al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan
kemudian membatalkan teori-teori filsafat mere-ka, karena bernilai bertentangan dengan
agama dan Alquran.
Kedua, sebagian ulama Islam yang lain justru mengagumi filsa-fat. Mereka menekuni dan
dapat menerima sepanjang tidak berten-tangan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha
memadukan antara filsafat dan agama, kemudian menghilangkan pertentangan yang terjadi di
antara mereka keduanya. Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasar-kan
teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena itu mungkin nash
Alquran mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya. Muhammad
Husain al-Dzahabi menanggapi sikap golongan ini, ia berkata: “Kami tidak pernah mendengar
ada seseorang dari pa-ra filosof yang mengagung-agungkan filsafat, yang mengarang satu kitab
tafsir Alquran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari
pemahaman-pemahaman mereka ter-hadap Alquran yang berpencar-pencar dikemukakan
dalam buku-buku filsafat karangan mereka”. 15
Dengan perbedaan golongan para ulama tentang corak tafsir falsafi ini, ada harapan yang
tidak terlalu berlebihan untuk ada nantina kitab tafsir yang sempurna menggunakan corak ini.
Karena di samping memang belum ditemukan tafsir yang secara utuh menggunakan
15
Ali Hasal al-Aridl, Sejarah dan Metodologis Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1994), h. 62
15
pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan
dalam buku-buku mereka. Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk
membuka khazanah ke-Islaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud
dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan
filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil
penafsiran yang lebih valid walaupun kebenarannya masih tetap relatif. Kombinasi hasil
penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan
eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir
lain.
Kitab tafsir yang menggunakan corak falsafi antara lain: ! Op. Cit., h. 251-252
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak Adabi ijtima’i adalah penafsiran ayat-ayat Alquran dengan memahami ayat-ayat
dengan cara menyebutkan ungkapan-ungkapan Alquran secara teliti lalu menjelaskan makna-
makna yang dimaksud oleh Alquran tersebut dengan menggunakan keindahan gaya bahasa
16
sehingga menjadi menarik ketika membacanya. Kemudian para mufasir menghubungkan nash-
nash Alquran yang sedang dikaji sesuai dengan kondisi sosial dan sistem budaya yang ada pada
masyarakat.
Corak Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Alquran dengan melakukan pendekatan ilmiah
atau mengkaji ayat-ayat Alquran berorientasi pada teori-teori ilmu pengetahuan. Ayat-ayat
Alquran yang ditafsirkan dalam corak ini adalah ayat-ayat kauniyah (tentang kealaman). Corak
tafsir seperti ini memberi peluang yang luas bagi mufasir dalam mengembangkan ilmu
pengetahuannya ataupun berbagai potensi keilmuan yang ada dan akan di bentuk dalam
Alquran.
Tafsir Tarbawi adalah penafsiran ayat-ayat Alquran yang bercorak pendidikan yaitu
dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif pendidikan, sehingga apapun tema ayat
yang dibicarakan selalu dilihat dan dijelaskan dari sudut pandang pendidikan.
Tafsir Falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Alquran yang dikaitkan dengan persoalan-
persoalan filsafat, atau bisa juga diartikan dengan penafsiran ayat-ayat Alquran dengan
menggunakan teori-teori filsafat.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa terdapat banyak kekurangan
mungkin kesalahan padanya. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran untuk kami
memperbaiki kinerja di masa depan nanti.
Terlepas dari itu, kami tetap berharap bahwa sedikit banyaknya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah wawasan mengenai bagaimana bedanya
agama Kriten dengan agama Islam terhadap kerukunan antar umat beragama, juga tentu saja
kami mengharapkan nilai terbaik dari dosen pengampu terhadap hasil tugas kami ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasal. Sejarah dan Metodologis Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1994.
17
Kadri, Raja Muhammad. “Tafsri Tarbawi Sebagai Salah Satu Corak Varian Tafsir”. Jurnal
Syahadah. Vol. 8. No. 1. 2020.
Syukur, Abdul. “Mengenal Corak Tafsir Alquran”. Jurnal Al Furqonia. Vol. 1. No. 1. 2015.
U. Abdurrahman. “Metodelogi Tafsir Falsafi dan Tafsir Sufi”. Jurnal ‘Adliya. Vol. 9 No. 1.
2015.
Ummi Kalsum Hasibuan dkk. “Tipologi Kajian Tafsir: Metode, Pendekatan dan Corak dalam
Mitra Penafsiran Alquran”. Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin Adab dan Dakwah. Vol. 2 No. 2.
2020.
Yunus, Badruzzaman M.. “Pengantar Tafsir Tarbawy”. Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan
Tafsir. Vol. 1. No. 1. 2016.
18