Anda di halaman 1dari 20

TAFSIR TAHLILI, IJMALI,

MAUDHU'I, DAN MUQARAN

MAKALAH

Diselesaikan untuk memenuhi tugas


matakuliah Studi Qur'an

Disusun:
Abdul Hamid Nasution
21491106358

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA (S.2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1437 H / 2016 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah, kami ucapkan kepada Allah karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas matakuliah
Studi Qur'an.
Shalawat dan salam penulis doa’kan kepada Allah agar tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
kebodohan kepada zaman yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan.
Semoga makalah ini bisa memberikan pengetahuan kepada pembaca
terutama kepada penulis sendiri, namun demikian penulis juga menyadari jika
ada kesalahan atau pun kekurangan dari tugas ini penulis mohon maaf dan mohon
bantuan kritik dan sarannya.

Pekanbaru, Januari 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... i


DAFTAR ISI...................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Corak Penafsiran al Qur’an ................................................... 2
B. Perkembangan Metode Tafsir ................................................ 3
C. Pembagian Metode Tafsir ...................................................... 5

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................... 16
B. Saran .... ................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... ... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir asal Mesir mengungkapkan
bahwa al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj thaqafi), fenomena sejarah
(Ahirah tarkhiyyah), teks linguistik (al-nash al-lughaw ) dan teks manusiawi
(al-nash al-insan). Untuk itu pembacaan teks-teks keagamaan (al-Qur'an dan
al-Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan epistemologi tafsiran
yang bersifat ilmiah objektif, bahkan masih terpasung dengan mitos, khurafat
dan bercorak harfiyah (literal) yang mengatasnamakan dogmatisme agama.
Oleh karenanya perlu mewujudkan interpretasi yang hidup dan selaras dengan
perkembangan saintifik terhadap teks-teks keagamaan, dengan penafsiran
lebih rasionalistik ilmiah. Disinilah posisi pentingnya kesadaran ilmiah dalam
berinteraksi dengan teks-teks keagamaan.
Keterpasungan interpretasi yang dimaksudkan adalah interpretasi yang
tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks. Corak interpretasi (tafsir)
yang ada selama ini lebih menonjolkan unsur ideologis daripada unsur
keilmiahan. Biasanya interpretasi yang demikian dimonopoli oleh kalangan
fundamentalis yang kadang mengandung indikasi peranan kriminalisasi teks oleh
sejumlah pihak, baik dalam isu-isu keadilan sosial, ekonomi maupun politik.
Kegiatan penafsiran Al-Qur’an ini sangat diperlukan karena adanya tiga
alasan, yaitu; Pertama, Al-Qur’an diturunkan dalam keadaan yang diasumsikan
sangat sempurna, akan tetapi sangat ringkas dan padat, mengandung semua ilmu
pengetahuan baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Kedua
Adanya kata atau kalimat yang dibuang, karena Al-Qur’an diturunkan dengan
kalam yang baligh dan mujmal. Dan Ketiga Adanya kata atau kalimat yang
mengandung majaz, isytirok dan dilalatu li al-tizam. Untuk itu proses interpretasi
teks qur’an akan terus dilakukan oleh setiap generasi dengan berbagai bentuk dan
coraknya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Corak Penafsiran al Qur’an

Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan


maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup
bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari.
Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama
membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun
bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode
ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik
penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya;
fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)1.
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama,
komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah
al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2)
kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain).
Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat
langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan
yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab,2 mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal
selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c]
corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f]
bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut
mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya
kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk.,
1
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2010) 12
2
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.

2
menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para
mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat
penemuan ilmiah.
Penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4(empat)
macam metode,3 dengan sudut pandang tertentu : 4
Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi
menjadi tiga macam, yakni metode bi al-ma’thur, bi al-riwayah, bi al-manqul,
tafsir bi-ra’y/bi al-dirayah/ bi al ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).
Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya.
Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-
bayani) dan Metode tafsir perbandingan (comparatif, al maqarin).
Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi
menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-
ithnaby).
Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat
yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode
analisis (al-tahlily) dan metode tematik (al-mawhu’y).
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan,
interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman
[capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta
perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan
berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-
macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.

B. Perkembangan Metode Tafsir


Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat.
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak
memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya tidak

3
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.
4
M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman
Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel

3
diperlukan uraian yang detail, karena itu penjelasannya hanya bersifat global
(ijmali) saja sudah dirasa memadai pada waktu itu. Atas dasar itulah maka
dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama
kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an.
Kemudian pada periode selanjutnya diikuti oleh metode tahlili dengan
mengambil bentuk al-Ma’stur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil
bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat
sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih,
tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa
inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i [metode
tematik]. Lahir pula metode muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai
dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi
mirip.
Lahirnya metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan
perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan Sahabat,
pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar
belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi
dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif
dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada
kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi
cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmali]. Itulah sebabnya Nabi
tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian
suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an.
Setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab,
dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis
terhadap perkembangan pemikiran Islam. Maka, konsekuensi dari
perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat
yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi ini, merupakan pendorong
lahirnya tafsir dengan metode analitis [tahlili], sebagaimana tertuang di dalam
kitab-kitab tafsir tahlili. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di

4
kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci
terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Akhirnya berkembang dengan sangat
pesat dalam dua bentuk penafsiran yang lain yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan
berbagai model yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawwuf, falsafi, ilmi, adabi
ijtima’i dan lain-lain.
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran (ijmali dan tahlili) dan
didukung kondisi ummat ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang
kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda. ini, mendorong para
ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode
perbandingan [muqarin] Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk
menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh
lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir
menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan
masyarakat. Untuk itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir
al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik [maudhu’i].

C. Pembagian Metode Tafsir


1. Metode Ijmali
Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat
dan global tanpa uraian panjang lebar. Metode Ijmali [global] menjelaskan
ayat-ayat Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang lebih
umum dikenal lebih luas, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika
penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya,
tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan
ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili.
Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya
diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir

5
tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan
aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri umum metode ijmali adalah (1) cara seorang mufassir melakukan
penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari
awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak
banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak
memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada
beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak
pada wilayah analitis.
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5
ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan
global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai.
Penafsiran tentang ‫( )الم‬misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu
maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaaba ( ‫ ) الكتاب‬penafsiran hanya
dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada
rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris
saja.
Berbeda dengan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk
menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman. Hal ini
disebabkan uraiannya bersifat analitis terperinci dengan mengemukakan
berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik
berasal dari al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan
tokoh ulama, juga tidak ketinggalan argumen semantik.
Adapun contoh kitab tafsir ijmali adalah di antaranya yaitu tafsir al-
Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-
Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li
Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir
al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan
Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-
Mirghani, dan sebagainya.

6
2. Metode Tahlili
Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu –
tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang
dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha
menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan
apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an5.
Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat
yang tersusun di dalam al-Qur’an. Tafsir yang memakai pendekatan ini
mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi
sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang diyakini efektif
(seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang
mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang
dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna
bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah
tersebut.
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an
dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam
mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-
ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang
berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan
mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya
Ciri-ciri metode tahlili adalah penafsiran yang mengikuti metode ini
dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]:
Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-
Thabari [w.310H], Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir
5
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,
Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlm

7
al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir
[w.774H], al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi
[w.911H], dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab
tafsir di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan
menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y. Untuk lebih
mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan beberapa
corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir
al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash,
baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan
pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin
masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam
memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat
yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran
mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya
adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh
Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah
tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah
tafsir ayat dengan aqwal tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama
dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya
(penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang
sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau
seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara
penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada
tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat
yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga
ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri
sebagai disiplin ilmu yang terpisah.

8
3. Metode Muqarin [Komparatif]
Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang
berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode
komporatif ialah: [a] membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan
ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan [c]
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan
yang teramat luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu
berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya
dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. .
Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” [komparatif]. Di sinilah letak
salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang
lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan
ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada
lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian
tafsir, yaitu :
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain; Mufasir
membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki

9
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau
ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga)
sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-
Qur’an,sebagai berikut :
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
‫ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼاﷲﻫﻮالﻬﺪﯼ‬
“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya)
petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
‫ﻗﻞﺇﻥالﻬﺪﯼﻫﺪﯼاﷲ‬
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk
Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :


‫ﺳﻮاﺀﻋﻠﻴﻬمﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬمﺃﻡلمﺗﻨﺬﺭﻫمﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ‬
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
‫ﻭﺳﻮاﺀﻋﻠﻴﻬمﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬمﺃﻡلمﺗﻨﺬﺭﻫمﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ‬
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman” (QS : Yasin: 10)

(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :


‫ﻳتﻠﻮﻋﻠﻴﻬماﻳتﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬمالكتﺐﻭالﺤكﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬم‬
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan
mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
‫ﻳتﻠﻮﻋﻠﻴﻬماﻳتﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬمﻭﻳﻌﻠﻤﻬمالكتﺐﻭالﺤكﻤﺔ‬
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-
Jumu’ah : 2)

10
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun),
seperti :
‫ﻓاﺳتﻌﺬﺑااﷲﺇﻧﻪﻫﻮالﺴﻤﻴﻊالﻌﻠﻴم‬
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
‫ﻓاﺳتﻌﺬﺑااﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊالﻌﻠﻴم‬
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :


‫لﻦﺗﻤﺴﻨاالﻨاﺭﺇﻻﺃﻳاﻣاﻣﻌﺪﺩﺓ‬
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
‫لﻦﺗﻤﺴﻨاالﻨاﺭﺇﻻﺃﻳاﻣاﻣﻌﺪﺩاﺕ‬
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :


‫ﻭﺇﺫﻗﻠﻨااﺩﺧﻠﻮاﻫﺬﻩالﻘﺮﻳﺔﻓكﻠﻮا‬
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan
makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
‫ﻭﺇﺫﻗﻴﻞلﻬماﺳكﻨﻮاﻫﺬﻩالﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮا‬
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan
makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :


‫ﻗالﻮاﺑﻞﻧتﺒﻊﻣاﺃلﻔﻴﻨاﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧا‬
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah :
170)

11
‫ﻗالﻮاﺑﻞﻧتﺒﻊﻣاﻭﺟﺪﻧاﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧا‬
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain),


seperti :
‫ﺫلﻚﺑﺄﻧﻬمﺷاﻗﻮااﷲﻭﺭﺳﻮلﻪﻭﻣﻦﻳﺸاﻕاﷲﻓﺈﻥاﷲﺷﺪﻳﺪالﻌﻘاب‬
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah
dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
‫ﺫلﻚﺑﺄﻧﻬمﺷاﻗﻮااﷲﻭﺭﺳﻮلﻪﻭﻣﻦﻳﺸاﻕاﷲﻭﺭﺳﻮلﻪﻓﺈﻥاﷲﺷﺪﻳﺪالﻌﻘاب‬
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah
dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi


tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat al-
Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang
sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan
persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut
dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan,
dan (4) Melakukan perbandingan.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang
yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik
temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal
ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat
dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan
bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan

12
tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir,
maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.6

4. Metode Maudhu’i [Tematik]


Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek
yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari
al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. al-
Qur’an dikaji dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam
tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia
mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di
dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam
Qur’an dan sebagainya.7
M. Quraish Shihab8, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua
pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam
dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai
ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan

6
Untuk lebih memperkuat konsep pembahasan metodologi tafsir muqarin dapat dibaca dalam naskah pidato
guru besar M.Ridlwan Nasir, yang berjudul Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perepektif
Pemahaman Al Qur’an, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel
Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
7
Untuk memperluas pembahasan tafsir tematik, baca tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode
Penafsiran al Qur’an Tematis Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan
Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
8
Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran tafsir Quraish Shihab dapat di lihat secara lebih utuh
dalam bukunya, Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung 1992. dan pengantar Tafsir Al
Mishbah

13
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama
menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat
yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut
diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut
bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang
tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat
tidak hanya pada satu surah saja9.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan,
sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal.
Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat
atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema
yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya
sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat
dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam
pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara
umum di dalam ilmu tafsir.
Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-
Qur’an al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan
ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu
dalam satu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama dan
petunjukpetunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan
tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Di Irak, seorang pakar tafsir yang bernama Muhammad Baqir al-
Shadr melakukan upaya-upaya penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan
metode ini. Al Shadr menulis uraian tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam
9
Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al-
‘Arabiyah, 1977.). 23

14
al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode tersebut yang
ia beri nama Metode Tawhidy (kesatuan).10
Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab
Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an
karangan Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-
Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam
fi al-Qur’an karangan Ahmad Kamal Mahdy, Muqawwamat al-Insaniyah fi al-
Qur’an karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan al-
Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an
karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir,
Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-
Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-Ayat al-Qur’aniyah” dalam dua jilid
dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-Qur’an.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkan secara Maudu’iy, Al-
Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali
menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh,
sebagaimana juga tidak dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada
periode Mekah sambil membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode
Madinah.

BAB III
PENUTUP

10
Ibid

15
A. Kesimpulan
Setelah mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir maka diantara
semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara mufassir tidak
dibenarkan untuk mengklaim tafsirnya lah yang memiliki kebenaran muthlak.
Inilah yang patut untuk dihindari sikap truth claim diantara mufassir. Sebab
pencarian makna hakiki akan maksud teks ketuhanan yang termaktub dalam
qur’an merupakan pencaraian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar
pemikiran inilah diyakini sangat terbuka untuk menemukan metode-metode lain
sebagai alternatif pengembangan metodologi tafsir. Sejumlah pihak mengatakan
bahwa metodologi yang dapat dikembangkan adalah metode Tahlili, sebagian
metode maudzu’i dan sebagian yang lain mengatakan yang wajib dikembangkan
adalah metode Muqarin. Masing-masing kelompok ini memiliki argumentasinya
masing-masing. Sehingga muncul istilah-istilah justification tafsir yang
madzmumah dan mahmudah., yang mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah. Ini jelas
memunculkan sebuah penilaian yang sangat subyektif yang jauh dari karakter
keilmuan yang mestinya memiliki paradigma yang lebih obyektif dalam setiap
hasil pemikiran.
Untuk mendapatkan penafsiran al qur’an sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah) (‫ بيان مردااا‬adalah pencarian yang tiada henti. Misalnya pemikir-pemikir
muslim seperti Fazllur Rahman, Shahrur.Nasr Hamid Abu Zaid, adalah diantara
tokoh muslem kontemporer yang mencoba terus melakukan pencarian dan
melakukan kritik-kritik metodologi terhadap penafsiran dan interpretasi teks Al
qur’an. Dengan segenap narasi yang mereka ungkapkan pemikiran-pemikiran para
tokoh ini cukup memberikan warna yang patut dipertimbangkan mesti sampai
detik ini konsepsi mereka belum memiliki tempat yang konkret dan aplikatif.

DAFTAR PUSTAKA

M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS, 2010.


M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a, Bandung: Mizan. 1992.

16
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia,
1990.
M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin ; Dalam
Perspektif Pemahaman Al Qur’an, Surabaya ; IAIN Sunan Ampel, 1997
Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Ampel.
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al-Qur’an Melalui
Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004.
Imam Muchlas, Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan
Ampel Periode 1986-2003, Penerbit; IAIN Sunan Ampel, 2004
Abdul Hay, Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Kairo: al-
Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.

Segolongan orang ada yang berkata bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalahtujuh macam hal yang di dalamnya terjadi perbedaan.
Perbedaan itu terkait hal-hal sebagai berikut:Perbedaan yang berkenaan
dengan kata benda. Perbedaan dari segi harakat akhir kata. Perbedaan
dalam tasrif.Perbedaan dalam mendahulukan. Perbedaan dari segi
penggantian. Perbedaan karena ada penambahan. Perbedaan lahjah

Fawatih merupakan bentuk jamak dari kata kerja fataha, yaftahu, fathan artinya
membuka. Adapun kata as-suwar merupakan bentuk jamak dari kata as-surah.
Fawatih as-suwar adalah potongan huruf-huruf hijaiyah yang ada dalam
permulaan surah-surah dalam Al-Qur’an

17

Anda mungkin juga menyukai