Anda di halaman 1dari 16

TAFSIR DI ERA MODERN

(Corak Tafsir Adabi ijtima’i)

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Madzahib At-
Tafsir
Dosen Pembimbing : Dr. H. MOH. TORIQUDDIN, Lc. M. TH.I

Disusun oleh :

M. ZULFIKRI ISLAMI 200204110061

MUHAMMAD UBAIDILAH 200204110022

PROGRAM STUDI ILMU Al-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan karunia-nya yang tiada terhingga, juga telah memberikan
nikmat sehat, islam dan iman kepada kita semua. Dengan karunia-nya lah
pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas dari
mata kuliah Madzahib At-Tafsir. Selanjutnya sholawat dan salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan alam baginda nabi besar Muhammad
SAW, kerena beliaulah yang telah membawa ummat manusia dari zaman
kejahilan menuju zaman yang terang benderang dan penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini.

Ucapan terima kasih juga tak lupa kami haturkan kepada dosen
pengampu mata kuliah tafsir tematik muamalah/ekonomi, Ustadz Dr. H.
Moh. Toriquddin, Lc. M. Th.I. yang telah memberikan bimbingan juga
kesempatan kepada kami dalam membuat makalah ini. tanpa bimbingan
beliau tidaklah mungkin makalah ini dapat tersusun dengan sempurna.
Pemakalah juga sangat berharap kritikan dan saran yang membangun dari
para pembaca dengan harapan pemakalah mampu menjadi lebih baik
kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan para pembaca

Malang, 26 April 2022

Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada nabi
Muhammad SAW sebagai petunjuk dan pedoman bagi ummat nya yaitu
ummat islam. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya
ajaran islam, banyak ummat islam yang tidak mengerti maksud dari suatu
ayat tertentu sehingga dibutuhkan suatu ilmu yang menjelaskan maksud
tertentu dari ayat ayat Al-Qur’an yang sekarang kita kenal dengan ilmu
Tafsir.
Ilmu tafsir berkembang pesat dikalangan ummat islam dan
melahirkan kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassir dengan berbagai
corak. Diantaranya adalah tafsir corak fiqhi, tafsir corak teologi falsafi,
tafsir corak sufi juga tafsir corak adabi ijtima’i. Dan tafsir corak adabi
ijtima’i inilah yang menjadi pembahasan pada makalah kali ini.
Tafsir adabi ijtima’i merupakan salah satu corak dari metode tafsir
tahlili. Salah satu ciri khas dari metode tafsir tahlili ini yaitu menampilkan
penafsiran-penafsiran dari Nabi, sahabat, hingga para ahli tafsir lainnya
dengan latar yang berbeda-beda, seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra, dan
sebagainya. Dengan salah satu ciri khas tersebut, tafsir ini diwarnai dengan
kecenderungan dan keahlian mufasirnya, sehingga lahir berbagai corak
penafsiran seperti fiqhi, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i, dan seterusnya.1
Makalah ini akan membahas tentang corak tafsir adabi ijtima’i.
Membahas tentang pengertian, karakteristik, latar belakang munculnya
corak ini, sampai pada tokoh yang menggunakan corak ini. Juga
mengetahui kelebihan dan kekurangan corak tafsir adabi ijtima’i.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tafsir corak adabi ijtima’i?
2. Siapa saja tokoh tokoh mufassir corak adabi ijtima’i?
3. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir corak adabi ijtima’i?
1
Kusroni, K. (2019). MENGENAL TAFSIR TAHLILI IJTIHADI CORAK ADABI IJTIMA’I. Hermeneutik :
Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 10(1), 117-139. Hlm 118-119.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu tafsir corak adabi ijtima’i.
2. Untuk mengetahui tokoh tokoh mufassir corak adabi ijtima’i.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan tafisr corak adabi
ijtima’i.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Sebelum membahas lebih dalam, maka sebaiknya kita terlebih dahulu


mengenali apa yang dimaksud dengan corak penafsiran. Kusroni dalam tulisannya
yang mengutik pendapat Anshori, bahwa corak tafsir dapat didefinisikan sebagai
kecenderungan seorang mufasir dalam menafsirkan ayat.2 Biasanya hal ini
dipengaruhi oleh pendidikan, lingkungan dan akidahnya. Misalnya mufasir itu
seorang yang ahli bahasa, maka dia biasanya akan menafsirkan ayat dengan
menggunakan pendekatan analisa kebahasaan atau biasa dikenal dengan corak
lughawi.
Adabi secara bahasa, memiliki arti kesusastraan yang merupakan bagian
dari kajian dari gramatika bahasa arab. Hal ini tentu tidak bisa lepas dari al-
Qur’an karena al-Qur’an menggunakan bahasa arab. Sedangkan ijtima’i memiliki
pengertian secara bahasa adalah sosial kemasyarakatan.3 Sehingga kolaborasi
kedua kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa corak adabi ijtima’i merupakan
penafsiran dengan mengacu kepada aspek keindahan bahasa dan fenomena sosial
yang terjadi di masyarakat.
Corak tafsir adabi ijtima’i menggunakan dua pendekatan atau
penggabungan dua corak tafsir. Corak adabi ialah kajian yang berfokus pada
penggalian maksud ayat dengan menggunakan analisis kosakata dan susunan ayat
dengan bantuan seperangkat ilmu bahasa dan sastra. Sedangan corak ijtima’i
memiliki pengertian bahwa tafsir yang menekankan kajian mendakam terhadap
kondisi sosial dan kultural dalam masyarakat. Maksud dari kondisi sosial dan
kultural ini dapat mencakup ekonomi, intelektualitas, keimanan, dan politik dalam
masyarakat. Setelah menemukan suatu masalah, mufassir biasanya mencari

2
Ibid. Hlm 124
3
Syafril, S., & Amaruddin, A. (2019). TAFSIR ADABI IJTIMA’I Telaah Atas Pemikiran Tafsir
Muhammad Abduh. SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Keislaman, 7(1), 1-12. Hlm 6.
petunjuk dari al-Qur’an agar dapat memperbaiki kondisi sosial masyarakat
tersebut.4
Dari kedua pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa, corak tafsir
ini menggunakan pendekatan bahasa utamanya dari segi keindahan bahasa (sastra)
dan pendekatan sosial dengan mencari kandungan ayat yang berhubungan dengan
fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Pendekatan bahasa al-Qur’an dengan
tujuan untuk menarik jiwa manusia dan menuntunnya untuk lebih giat beramal
serta melaksanakan petunjuk al-Qur’an. Pendekatan sosial masyarakat dengan
menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sunnatullah yang berlaku dalam
masyarakat agar tafsir al-Qur’an dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh
masyarakat, karena adanya kaitan apa yang terkandung dalam ayat al-Qur’an
dengan realitas hidup yang mereka alami.5
Dengan meengetahui beberapa pengertian di atas, maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa corak tafsir adabi ijtima’i adalah penafsiran ayat
al-Qur’an yang menggunakan metode penafsiran tahlili, yang mana mufassir
menggunakan latar belakang sastra bahasa Arab dan berfokus pada kajian sosial
masyarakat yang terjadi pada masing-masing mufassir. Berkaitan dengan ini,
ketika ada seseorang yang ingin menggunakan corak tersebut harus mempunyai
kapasitas dalam ilmu sastra bahasa arab, juga mempunyai kapasitas dalam bidang
ilmu sosiologi dan sejarah.
B. Latar Belakang Munculnya dan Karakteristik Corak Tafsir Adabi ijtima’i

Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan menggunakan corak tafsir adabi ijtima’i


tergolong corak penafsiran era modern. Corak penafsiran ini muncul ketika dirasa
pada waktu itu, fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia kurang begitu
dirasakan. Dengan kata lain hidayah dari Al-Qur'an jauh dari masyarakat dan
kurang membumi. Oleh karena itu, kemunculan corak tafsir ini dianggap bisa
membenahi dan mengobati problematika yang dihadapi oleh masyarakat.

4
Kusroni, K. (2019). MENGENAL TAFSIR TAHLILI IJTIHADI CORAK ADABI
IJTIMA’I. Hermeneutik : Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 10(1), 117-139. Hlm 124
5
Syafril, S., & Amaruddin, A. (2019). TAFSIR ADABI IJTIMA’I Telaah Atas Pemikiran Tafsir
Muhammad Abduh. SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Keislaman, 7(1), 1-12. Hlm 7-8
Kemunculan corak tafsir ini dipelopori oleh Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh dengan sekolah tafsirnya, mengajarkan dan menyampaikan
tafsir al-Qur'an dengan metode dan corak yang bisa dikatakan baru. Apa yang
ditempuhnya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh mufasir klasik, bahkan ia
banyak menyampaikan kritikan terhadap produk tafsir klasik Menurutnya. produk
tafsir fase-fase awal cenderung fanatik terhadap mazhab dan golongan
mufasirnya. Banyak di antaranya juga terdapat riwayat israiliyyat tanpa terseleksi
dengan baik serta banyak termuat riwayat-riwayat yang lemah dan maudu. Tafsir
klasik juga dinilai cenderung berkepanjangan dalam memasukkan kajian bahasa
dan cabang cabang ilmu pengetahuan, tidak mengambilnya sekedar dan sesuai
kebutuhan saja. Hal ini menjadikan hidayat al-Qur'an semakin jauh dari
masyarakat dan tidak membumi.
Karakteristik dari corak penafsiran ini, yang berbeda dengan corak yang
lain yaitu mengurai problematika yang sedang berkembang kemudian menjadikan
Al-Qur'an sebagai solusi dalam mengatasi problematika tersebut. Kemudian yang
menjadi unsur pokok dari corak tafsir adabi ijtima’i yakni: menguraikan ketelitian
redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat Al-
Qur’an dengan susunan kalimat yang indah, aksentuasi yang menonjol pada
tujuan utama diuraikannya Al-Qur’an, serta penafsiran ayat dikaitkan dengan
sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.

C. Tokoh-tokoh tafsir corak Adabi ijtima’i


Ada beberapa tokoh mufassir yang menggunakan corak penafsiran
adabi ijtima’i ini, diantaranya adalah :
1. Muhammad Abduh dan Rasyid Riḍa dengan karyanya tafsir al Quran al
Karim (Tafsir al Manar)
Muhammad Abduh membuat tafsirnya ini diwaktu kebangkitan
ilmu pengetahuaan. Hasil karyanyanya itu diberikan kepada murid-
muridnya. Orientasi tafsirnya adalah pada kebangkitan wadah Islam;
Memikirkan faham-faham kemasyarakatan Islam. Karena menurutnya
agamalah yang menanggulangi kesulitan-kesulitan modern. Niatnya
timbul terinspirasi pada pergerakan Jamaluddin al-Afgani. Muhammad
Abduh mengajarkan tafsir di Universitas alAzhar, Kairo, Mesir. Banyak
mahasisiwa dan muridnya itu yang tertarik oleh pelajaran yang
diajarkannya. Salah seorang diantaranya adalah Muhammad Rasyid
Ridha. Dia sangat tertarik kepada uaian-uraian dan pembahasan yang
disampaikan oleh gurunya yang masyhur ini. Muhammad Rasyid Ridalah
orang pertama mewarisi ilmu Muhammad Abduh. Hasil usahanya ini
jelas tampak dalam tafsir yang dinamakannya dengan tafsir Al-Qur’anul
Karīm. Terkenal dengan tafsir al Manār. Dinisbahkan kepada majalah al
Manār yang diterbitkannya.
Hanya saja beliau wafat sebelum dapat menyelesaikan tafsirnya
ini. Tafsir ini dicetak dalam dua belas jilid tebal. Inilah tafsir penuh
dengan ma‟sur, perkataan ulama-ulama salaf dari golongan sahabat dan
tabi‟in. dan dengan menggunakan metode bahasa Arab serta dengan
berprinsip pada sunnatullah yang berkenan dengan masyarakat. Pada
dasarnya tujuan pokok Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat Al-
Qur’an ialah agar umat dapat memahaminya sebagai sumber agama yang
memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Metode penafsiran dan
sekaligus menjadi prinsip yang digunakan Muhammad Abduh dalam
tafsirnya diantaranya :
a) Memandang tiap-tiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang
serasi.
b) Ayat-ayat Al-Qur’an adalah besifat umum
c) Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’ (Aqidah dan syari’ah) yang
pertama
d) Penggunaan akal secara lusa dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur’an
e) Perang terhadap taqlid
f) Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara
mubham (tidak jelas) oleh Al-Qur’an
g) Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis nabi
h) Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak
israiliyyat
i) Mengaitkan penafsiran Al-Qur’an dengan kehidupan sosial.

Selain itu, problem sosial umat Islam yang mendapat perhatian


dari tafsir al Manar adalah persoalan kebebasan, seperti kebebasan
beragama, kebebasan berpolitik, serta bid‟ah dan munkarat yang
menjangkit umat islam. Berikut contoh penafsiran Muhammad Abduh
atau Rasyid Ridha dalam tafsir al Manar : Frman Allah dalam surat al
Nisa ayat 3:
۟ ِ ۟ ِ ‫ِ ِ ا‬
َ َ‫َمثْ َ ََٰن َوثَُٰل‬
‫ث َوُربَ ََٰع‬ ‫اب لَ ُكم ِّم َن ٱلنِّ َسآِء‬ َ ‫ط‬
َ ‫ا‬‫م‬َ ُ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ح‬‫ٱنك‬ ‫ف‬
َ ‫ى‬
َٰ ‫م‬‫ت‬
َ
َََٰ ‫ي‬ْ‫ل‬‫ٱ‬ ‫ِف‬ِ ‫ا‬ ‫َوإ ْن خ ْفتُ ْم أََّل تُ ْقسطُو‬
۟ ِ ِ ۟ ِ ِ
َ ‫ت أ َْيََٰنُ ُك ْم ۚ ََٰذل‬
‫ك أ َْد ََٰنٓ أَاَّل تَعُولُوا‬ ْ ‫فَِإ ْن خ ْفتُ ْم أاََّل تَ ْعدلُوا فَ ََٰوح َد ًة أ َْو َما َملَ َك‬
Artinya :” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah
seorang sajaatau budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa : 3)
Maksud ayat di atas menurut Muhammad Abduh adalah tentang
perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang
bertanggung jawab mengelola kekayaan anak yatim perempuan, tidak
mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta si
anak yatim, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola
adalah mengawini anak yatim itu. Pada satu sisi Al-Qur’an membatasi
jumlahnya sampai empat, disisi lain tanggung jawab ekonomi untuk
menafkahi isteri akan sejajar dengan akses harta perempuan yatim
melalui tanggung jawab manajemen pengelolaannya. Mayoritas
pendukung poligami sedikit sekali membicarakan poligami dalam
konteks perlakuan yang adil terhadap anak yatim.
Muhammad Abduh menjelaskan bahwa ayat poligami berkaitan
dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam surat al
Nisâ‟: 127 yang artinya: “.Dan kamu mempunyai keinginan untuk
menikahi mereka (anak-anak yatim itu)”, maksudnya ada perasaan di hati
untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk
menikah kecuali kalau niatnya betul-betul lurus dari hati sanubarinya
yang tulus.
Selain itu persoalan bid‟ah dan munkarat yang menjadi sorotan
dalam al Manar. Contoh ketika menafsirkan surah Hud ayat 116 :
۟
ِ ‫ون ِمن قَ ْبلِ ُك ْم أ ُ۟ولُوا بَِقيا ٍة يَْن َه ْو َن َع ِن ٱلْ َف َس ِاد ِِف ْٱْل َْر‬
‫ض إِاَّل قَلِ ًيًل ِّما ْن‬ ِ ‫فَلَوََّل َكا َن ِمن ٱلْ ُقر‬
ُ َ ْ
ِ ۟ ِِ ۟ ۟ ِ‫ا‬ ِ
‫ي‬َ ‫ين ظَلَ ُموا َمآ أُتْ ِرفُوا فيه َوَكانُوا ُُْم ِرم‬ َ ‫أَجنَْي نَا مْن ُه ْم ۗ َوٱتابَ َع ٱلذ‬
Artinya : “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu
orangorang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada
(mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di
antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan
orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah
yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”

Muhammad Rasyid Rida menjelaskan” orang yang baik dan


berbuat kebaikan mereka yang diciptakan Allah mampu menjadi penjaga
umat dari kerusakan,” menurut Rida, banyak pemuka agama memahami
makna „barakah” dari orang salih yang mendahului mereka dengan
pemahaman yang berbeda dari ulama salaf. Mereka mengira bahwa
pemilik barakah adalah mereka yang banyak puasa, shalat malam,
membaca wirid dan hizb (mantra). Menurutnya sebagian dari mereka
yang tekun membaca wirid ada yang bangun malam menjalankan salat
malam, tetapi membaca wirid mengandung bid‟ah yang tidak diterima.
Sedangkan Hanafi menyebutkan kecenderungan tafsir al manar
ini dengan manhaj al ishlahiy (tafsir reformatif), bukan adab al-ijtima‟i,
seperti penilaian banyak peneliti. Tafsir dengan manhaj adab al-ijtima‟i
menurut Hanafi, memiliki kriteria tersendiri meski antara keduanya ada
titik singgungnya, yaitu orientasi pada penyelesaian problem
kemasyarakatan. Tafsir sosiologis yang ditawarkan oleh hanafi bersifat
tematik, bukan penafsiran terhadap seluruh karya Al-Qur’an. Tafsir ini
berangkat dari kepedulian terhadap kebutuhan kaum muslim yang bisa
dipenuhi oleh Al-Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an dengan cara
memprioritaskan ayatayat yang terkait dengan problem yang menonjol
yang sedang dialami oleh kaum muslimin.

2. Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1945) dengan karyanya tafsir al-


Maraghi
Pada zaman sekarang ini, Masyarakat lebih cenderung
menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dengan mudah
dipahami maksud dan tujuannya. Hal tersebut menjadi bagi motifasi
utama al-Maraghi untuk menulis tafsir bercorak adabi ijtima’i
dikerenakan kebanyakan orang enggan membaca kitab-kitab tafsir yang
ada. Karena kitab tafsir yang ada sangat sulit difahami, bahkan diwarnai
dengan berbagai istilah yang hanya bisa difahami oleh orang-orang yang
membidangi ilmu tersebut.
Dengan alasan itulah al-Maraghi menulis tafsirnya dengan
beberapa metode, diantaranya :
a) Menyampaiakn ayat di awal pembahasan
b) Menjelaskan kata-kata
c) Pengertian ayat secara ijmal
d) Asbab an Nuzul jika terdapat riwayat yang shahih
e) Mengesampingkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan
f) Gaya bahasa yang mudah dicerna oleh alam fikiran saat ini
g) Pesatnya sarana komunikasi di masa modern
h) Seleksi terhadap kisah yang terdapat di dalam kitab tafsir
i) Jumlah juz tafsir yang sengaja dibuat menjadi 30 jilid. Setiap
jilid terdiri dari satu juz Al-Qur’an.
Jika ditelaah lebih lanjut tampaklah bahwa penjelasan al-
Maraghi saat menafsirkan kata as-Sihr dalam surah al-Baqarah:102. Sihir
ialah perbuatan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang dan
sebabnya tidak mudah diketahui. Juga diartikan dengan menipu. Dalam
pepatah bahasa Arab dikatakan, Ainu Sahira (mata yang memukau
pandangan). Dalam hadis dikatakan, “sesungguhnya dibalik ilmu bayan
(ungkapan secara sastra) itu mengandung (daya pikat) yang memukau
(sihir)”. Sudah menjadi kebiasaan bahwa sihir menjadi sebagai mata
pencaharian. Dalam prakteknya mereka mengucapkan kata-kata dan
nama-nama asing dan abstrak. Nama-nama tersebut dikenal sebagaimana
setan dan jin. Dalam gambaran mereka setan dan jin itu akan membantu
para ahli sihir dan mengabulkan permintaannya, karena jin itu tunduk
kepada mereka. Inilah yang menjadi sumber keyakinan khalayak ramai
yang mengatakan sihir itu meminta bantuan kepada setan dan ruh
penasaran.
3. Sayyid Qutub dengan karyanya Fi Zilalil Quran
Sayid Qutub terkadang berbeda penafsiran dengan Muhammad
Abduh walaupun sama-sama mggunakan corak adab al ijtima’i. contoh
tafsir Sayid Qutub dalam menjelaskan hakikat burung yang
membinasakan bala tentara Abraha. Syekh Muhammad Abduh
menafsirkan burung yang dimaksud adalah sejenis nyamuk atau lalat
yang membawa kuman setengah penyakit, dan anak-anak batu itu dari
jenis tanah kering yang beracun, apabila mengenai badan maka akan
menimbulkan penyakit seperti kudis-kudis atau cacar.
Sayid Qutub tidak setuju dengan pendapat di atas, beliau
menafsirkan kejadian luar biasa itu berlaku menurut undang-undang
Allah yang luar biasa, yaitu Allah telah mengirim pasukan burung yang
dahsyat membawa batu yang luar biasa dan mengakibatkan penyakit
yang luar biasa, walaupun tiak semestinya kita menerima riwayat yang
menerangkan rupa bentuk dan besar kecilnya burung dan batu dengan
sifat yang mengharukan itu, karena kejadiankejadian yang sempurna itu
ada yang ditambah dengan unsur keterlaluan.

4. M.Quraish Shihab dengan tafsir al-misbah


Beliau adalah salah seorang mufassir termasyhur di Indonesia
yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berkenaan
dengan tafsir dan Al-Qur’an. Salah satu karyanya yang monomental
adalah Tafsir alMisbah. Contoh penafsirannya tentang corak adab al-
ijtima’i, adalah sebagai berikut :
Menurut M.Quraish Shihab, jika kata salam yang terdapat dalam
Q.S. al-Qadar ayat 5, dipahami sebagai kata keadaan, sifat atau sikap,
maka kita dapat berkata bahwa malam tersebut penuh dengan kedamaian
yang dirasakan oleh mereka yang menemuinya atau boleh juga kita
berkata bahwa sikap para malaikat yang turun pada malam tersebut
adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang berbahagia
menemuinya. Selanjutnya M.Quraish Shihab, mengutip pendapat Ibn al-
Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh yang mengungkap tentang kedamaian
dan kententraman hati, menjelaskan bahwa : “Hati yang mencapai
kedamaian dan ketentraman mengantar pemiliknya dari ragu kepada
yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat
kepada amanah, dari riya‟ kepada ikhlas, dari lemah kepada teguh atau
kokoh dan dari sombong kepada tahu diri.”
Apa yang dikemukakan oleh M.Quraish Shihab di atas
merupakan nilainilai Qurani yang jika diimplementasikan dalam
kehidupan manusia akan mewujudkan suatu masyarakat yang damai dan
harmonis. Mereka yang hatinya sudah mencapai kedamaian (salam) tidak
terpengaruh dengan berbagai glamornya kehidupan dunia serta berbagai
syahwat yang akan menjerumuskannya kepada kehinaan. Bahkan, jika
orang-orang bodoh (jahil) ingin menyapanya dengan maksud mengejek
dan menghina orang-orang yang mendapat kasih sayang Allah swt
tersebut tetap berkata santun dan penuh kedamaian sebagaimana
ditegaskan dalam Q.S.al-Furqan ayat 63. Inilah penafsiran dengan corak
adab al-ijtima’i.

D. Kelebihan dan Kekurangan


Sebagaimana corak tafsir yang lain, corak tafsir adabi ijtima’i ini juga
memiliki kelebihan dan juga memiliki kekurangan. Adapun kelebihan dari corak
tafsir adabi ijtima’i ini adalah dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir yang
menggunakan corak tafsir Adabi ijtima’i, bukan hanya terfokus pada aspek
balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan
keadaan sosial yang ada.
Pada corak tafsir adabi ijtima’i ini juga dalam pemilihan bahasa para
mufassir memilih bahasa yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan umat
modern, yakni menggunakan bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit. Dengan
demikian bahasa dari tafsir yang bercorak Adabi ijtima’i ini mudah untuk
dipahami oleh siapa saja bukan hanya dapat dipahami oleh para ulama. Dalam
tafsirannya juga corak tafsir adabi ijtima’i ini menganalogikan dengan sesuatu
yang berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca dan
pendengarnya.
Sedangkan sisi kekurangan dari corak tafsir adabi ijtima’i ini adalah
terkadang penafsiran yang menggunakan corak ini hanya sesuai dengan kondisi
daerah tempat tinggal mufassir ketika itu, sehingga bisa dikatakan bahwa
penafsiran yang bercorak adabi ijtima’i ini bersifat lokal. Dan bisa dipastikan
bahwa penafsiran ini belum tentu sesuai dengan keadaan yang ada pada
masyarakat lain.
PENUTUP
Kesimpulan
Corak tafsir adabi ijtima’i adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang
menggunakan metode penafsiran tahlili, yang mana mufassir menggunakan latar
belakang sastra bahasa Arab dan berfokus pada kajian sosial masyarakat yang
terjadi pada masing masing mufassir. Berkaitan dengan ini, ketika ada seseorang
yang ingin menggunakan corak tersebut harus mempunyai kapasitas dalam ilmu
sastra bahasa arab, juga mempunyai kapasitas dalam bidang ilmu sosiologi dan
sejarah.
Karakteristik dari corak penafsiran ini, yang berbeda dengan corak yang
lain yaitu mengurai problematika yang sedang berkembang kemudian menjadikan
Al-Qur'an sebagai solusi dalam mengatasi problematika tersebut. Latar belakang
munculnya corak penafsiran ini, dipelopori oleh Muhammad Abduh.
Ada beberapa tokoh mufassir yang menulis kitab tafsir dengan corak
adabi ijtima’i, diantaranya adalah :
- Muhammad Abduh dan Rasyid Riḍa dengan karyanya tafsir al Quran al
Karim (Tafsir al Manar)
- Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1945) dengan karyanya tafsir al-
Maraghi.
- Sayyid Qutub dengan karyanya Fi Zilalil Quran.
- Prof. Dr. Quraish Shihab dengan Tafsir Al-Misbah
Kelebihan dari corak tafsir adabi ijtima’i ini adalah dalam menafsirkan
sebuah ayat, mufassir yang menggunakan corak tafsir Adabi ijtima’i, bukan hanya
terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang
terkandung dengan keadaan sosial yang ada. Juga dalam pemilihan bahasa, para
mufassir memilih bahasa yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan umat
modern, yakni menggunakan bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit. Dengan
demikian bahasa dari tafsir yang bercorak
Adabi ijtima’i ini mudah untuk dipahami. kekurangan dari corak tafsir
adabi ijtima’i ini adalah terkadang penafsiran yang menggunakan corak ini hanya
sesuai dengan kondisi daerah tempat tinggal mufassir ketika itu, sehingga bisa
dikatakan bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtima’i ini bersifat lokal. Dan
bisa dipastikan bahwa penafsiran ini belum tentu sesuai dengan keadaan yang ada
pada masyarakat lain.

DAFTAR PUSTAKA
Kusroni, K. (2019). “MENGENAL TAFSIR TAHLILI IJTIHADI CORAK
ADABI IJTIMA’I”. Hermeneutik : Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir,
10(1), 117-139.
Mufakhiroh, Kholiliyyatul : Makalah Tafsir Al-Ilmu Dan Al-Ijtima’i. IAINU
Kebumen. 26 November 2017
Tanjung, Abdurrahman Rusli : ANALISIS TERHADAP CORAK TAFSIR
AL ADABY AL-IJTIMA’I. Analytica, Vol. 3, No. 1, 2014: 162-177.
Syafril, S., & Amaruddin, A. (2019). TAFSIR ADABI IJTIMA’I Telaah Atas
Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh. SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-
Qur'an dan Keislaman

Anda mungkin juga menyukai