Anda di halaman 1dari 19

AD DAKHIL FII TAFSIR DALAM ALIRAN MU’TAZILAH

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah al-Dakhil fi al-Tafsir

Oleh:
FACHRUDI PUTRA PAMUJI E03218009
S ARIF E

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. MUSYARROFAH, MHI.

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji san syukur bagi Allah yang telah menurunkan Alquran sebagai
petunjuk kepada sekalian alam dan shalawat serta salam tak lupa senantiasa terhaturkan
kepada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah untuk menjelaskan kepada manusia
tentang syariatNya, agar mendapat kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini, baik dosen, orang tua dan teman-teman yang telah selalu
memberikan dukungan dalam bentuk materiil maupun non-materiil, sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
Demikian makalah ini dapat terselesaikan, walaupun kami rasa masih sangat
banyak kekurangannya, oleh karena itu saran, masukan dan kritikan yang membangun
sangat kami harapkan untuk bisa menyajikan makalah yang lebih baik lagi.

Surabaya, Desember 2020

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sejarah umat islam dari generasi awal sampai kontemporer dimasa
sekarang, ijtihad penafsiran terhadap Alquran terus dilakukan, baik yang menggunakan
metode berdasarkan riwayat, ijtihad, maupun yang menggabungkan antara keduanya.
Hanya saja dari kitab-kitab tafsir yang sudah tersusun tersebut, setelah diteliti
lebih lanjut ternyata ada sebagian kecilnya yang mengandungi kecacatan. Seperti
memuat hadis palsu dalam menafsirkan Alquran, penggunaan riwayat-riwayat
israiliyat tanpa disaring terlebih dahulu, penggunaan kaidah kebahasaan yang kurang
tepat, hingga berbagai penyimpangan dalam tafsir-tafsir batiniyyah.
Dari itulah banyak pemahaman tentang ad dakhil fii tafsir dari berbagai aliran,
dalam pembahasan ini penulis memaparkan pemikiran ad dakhil fii tafir dari pemikiran
aliran mu’tazilah
B. Rumusan Masalah
Makalah ini akan berisi pembahasan mengenai beberapa hal sebagai berikut,

1. Apa itu Mu’tazilah ?


2 Seperti apa konep pemikirannya ?
3. Analisis Terjadinya Ad dakhil ?
BAB II
AD DAKHIL DALAM PEMIKIRAN MU’TAZILAH

A. PENAMAAN MU’TAZILAH
Penamaan mu’tazilah berkembang dari kelompok di luarnya. Nama yang
berkembang di kalangan mereka sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani ialah ahl
al-‘adli wa tauhīd.1Dikarenakan doktrinyang paling dipegang oleh kelompok
mu’tazilah adalah keesaan Allah (tauhid) dan ‘adil. Bahkan kelompok mereka juga
memberikan nama Mereka sebagai Ahl al-Haq, Al-Fī rqatun Nājiyahdan Al-
Munazzihūn Allah ‘An al-Naqshi. Alasan mereka menyebutkan demikian,
dikarenakanmenganggap diri mereka berada dalam kebenaran dan selainnya dalam
kebatilan2.Sejarah munculnya mu’tazilah sebagian kelompok berpendapat yang
mengatakan bahwa nama mu’tazilah mulai muncul sejakperistiwa keluarnya Wāṣilbin
‘Aṭā` dari pengajian Hasan al-Baṣrīdengan memberikan diktum “I’tazala ‘Anna”. Dari
kata-kata tersebut timbulkemudian sebutan mu’tazilah bagi kalangan Wāṣil bin
‘Aṭā`dan para pengikutnya. Mereka meriwayatkan bahwa Wāṣil bin ‘Aṭā`telah berbeda
dengan gurunya Hasan al-Baṣrī3.

B. LIMA PRINSIP DALAM MU’TAZILAH

Mu’tazilah memiliki doktrin yang di kenal dengan lima prinsip dasar (al-uṣul
al-khamsah). Lima dasar tersebutlah yang menjadi Ideologi pemikiran kaum
Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam menafsirkan al-Qur’an mereka juga berpijak pada
lima dasar (al-uṣul al-khamsah) itu. Terkait hal ini, jika dilihat dariargumen-
argumennya tentang lima prinsiptersebut,akanterlihat kecenderungannya

1
Abīal-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karīm al-Syahrastā`nī, al-Milal wa al-Nihal (Bairut: Dā`r al-
Kitan al-‘Alamiyyah, 1992), 38
2
‘Awwā`d bin ‘Abdullah al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah wa Mauqifu Ahlus
Sunnah Minhā`(Riyā`d: Maktabah al-Rusyd, 1995),26.
3
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 29
memenangkan dan mengkultuskan akal daripada al-Qur’an secara tekstual. Adapun
kelima prinsip tersebut adalah sebagai beriktut:
a. Ke-Esa-an Tuhan (tauhid). Tauhid merupakan pokok pertama di dalam doktrin
mu’tazilah. Menurut‘Abd al-Jabbār, tauhid adalah sebagai istilah untuk
menjadikan sesuatu itu menjadi satu. Sedangkan secara terminologi tauhid
adalah disiplin pengetahuan bahwa sanya Allah itu satu yang tidak bersekutu
dengan yang lain, dan membenarkan sifat-Nya maupun tidak.4Bagi Mu’tazilah,
keesaan Allah sudah fī nal. Mereka berpandangan bahwa sifat-sifat Allah
adalah tidak lain dari hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat
Allah itu terpisah dari hakikat-Nya dan berdiri sendiri, tentunya percaya akan
“kemajemukan” ajaran monoteisme. Maka dari itu keesaan Allah berarti tidak
ada yang kekal dan qadimselain Allah.5Konsep tauhid Mu’tazilah tersebut
sangat berpengaruh pada pandangannya terhadap al-Qur’an. Menurutnya al-
Qur’an adalah makhluk Allah bukan Kalam Allah. Hal itu dikarenakan jika al-
Qur’an merupakan Kalam Allah, maka al-Qur’an bersifat qadim.Mustahil bagi
mu’tazilah ada bila dua keqadiman Yaitu Allah dan Kalamnya (al-qur’an) dan
bisa mengotori keesaan (tauhid) Allah. jelas itu menyalahi konsep
monoteismenya.6Menurut al-‘Asy’arī, pengertian tauhid menurut Mu'tazilah
ialah Allah itu Esa, tidak ada yang bisa menyamai-Nya, bukan jisim(benda)
bukan pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), tidak memiliki bau, tidak
memiliki warna, tidakdiam dan tidak bergerak, tidak panjang, tidak berlaku
padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang
ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya,
tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak membutuhkan panca indra, tidak
dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa digambarkan dengan akal
pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia

4
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 81
5
Badri Khaeruman,Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 129.
6
M. Saeed Shaikh,Studies in Muslim Philosophy,(Delhi: Shah Offset Printer, 1994), 10
sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-Nya, tiada pembantu bagi-Nya
dalam menciptakan.7Dari penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa mu’tazilah
tauhid Allah sudah menjadi fī nal, sehingga ia menegaskan sifat sebagai bentuk
keesaan Allah. pemikiran mu’tazilah mengambil istilah-istilah fī lsafat seperti
syahs, jauhar, aradl, teladan (contoh/idea) dan sebagainya.8Pemahaman tauhid
yang diberikan oleh mu’tazilah di atas berimplikasi pada pernyataan
kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus
shifat karena dianggap mengotori keesaan Allah. Sebagai contohpendapat
mu’tazilah terkait konsep tauhid tentang ayat-ayat yang menunjukkan Allah
punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang
menunjukkan Tuhan bertempat dalam ‘arsydiartikan bahwa Allah menguasai
dan sebagainya. Alasan mu’tazilah mentakwilkan (memalingkan makna asli)
ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan secara tekstual maka maksudnya
tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan
mengurangi kesucian Allah sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan
Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti
tidak berbentuk (jisim), tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang
pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk. Contoh lainnya dalam
masalah melihat Allah. dikatakan bahwa Allah tidak berbentuk (jisim), maka
juga tidak berarah. Jika Allah tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-
Nya karena setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat
atau arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna
dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi Allah.
b. Keadilan Allah (al-adl). Adil merupakan pembahasan mengenai af’āl Allah
(tindakan Allah). Menurut kalangan teologi, adil adalah tindakan Allah yang
semuanya adalah baik dan tidak mungkin Allah melakukan perbuatan dan

7
Imam al-Asy’ari, Maqā`lā`t al-Islamiyyin wa Ikhtilā`f al-Mushallīn( Bairut: Maktabah al-‘Asriyyah,
1990), 235
8
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 85.
tindakan jahat.9Tafsiran Mu’tazilah mengenai pengertian keadilan adalah
bahwa Allah SWT, wajib berbuat adil dan mustahil jika tidak adil. Allah harus
mengajar orang yang benar dan menghukum yang salah. Mustahil dihari kiamat
orang akan lolos dari hukuman dan orang yang benar tidak memperoleh pahala.
Allah SWT, tidak adil jika berbuat demikian.10Bagi kalagan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah tidak ada perbedaan mengenai af’āl Allah (perbuatan Allah).
Mereka juga menyakini bahwa Allah melakukan tindakan yang semuanya baik
dan mustahil untuk melakukan keburukan dan kesalahan. Yang menjadi
perbedaan dari kalangan mu’tazilah dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
adalah perihal apakah Allah wajib melakukan kebaikan?. Menurut mu’tazilah
Allah mustahil dan harus (wajib) melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan. Sedangkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ahperbuatan Allah semuanya
baik dan tidak melakukan keburukan dan itu tidak menjadi kewajiban bagi
Allah melakukannya dan meninggalkanya.11
c. Janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’īd). Janji dan ancaman ini merupakan
salah satu konsakuensi dari pemahaman Keadilan Tuhan di atas. Allah pasti
menepati janji dengan memberikan surga kepada yang berbuat baik dan pasti
jugamewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka kepada pelaku dosa.
Pada dasaranya janji (al-wa’ad) merupakan informasi yang terkumpul agar
sampai dengan mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam
hal ini Allah wajib menunaikan janji bagi orang yang melakukan kebaikan.
Sedangkan ancaman (al-wa’īd) kebalikannya, yaitu informasi terkumpul yang
sampai kepada kemudharatan. Dalam hal ini Allah memberikan sanksi bagi
orang-orang yang melakukan kejahatan.12Doktrin ini juga memiliki
korenspondensi kepada sebelumnya yaitu Allah adil dalam melakukan tindakan

9
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 152
10
M. Saeed Shaikh,Studies in Muslim Philosophy,14
11
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 153-154.
12
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 210
sehingga ketika Allah memberikan janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’īd)
kepada hamba-Nya yang tepat.
d. Tempat di antaradua tempat (manzilah baina al-manzilatain). Kasus ini menurut
al-Syahrastani, terjadi ketikaseorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan al-
Baṣrī. “Banyak dari golongan sekarang mengkafī rkan bagi pendosa besar.
Dosa besar bagi mereka kafīr dan keluar dari agama sebagaimana diktum dari
kelompok khawārij. Tetapi sebaliknya pernyataan murji’ah tidaklah
menghukuminya kafīr dan tidak membahayakan keimanannya, bagaimana
pandangan kita?”. Belum dijawab oleh al-Hasan al-Baṣrī, Wāṣil bin
‘Aṭā`langsung memberikan penyataan, “ Saya berpendapat, bahwa orang yang
mukmin melakukan dosa besar tidak kafīr secara mutlak, dan tidak mukmin
secara mutlak tetapi mereka di posisi manzilah baina manzilatain”. Kemudian
Wāṣil bin ‘Aṭā`berdiri dan mengasihkan dirinya dari jama’ah al-Hasan al-
Baṣrī.13Doktrin ini juga diposisi dengan orang yangfasiq(yaitu orang yang
berbuat dosa besar misalnya saja minum-minuman keras, pezina, pedusta, dan
sebagainya) bukanlah orang yang beriman dan bukan pula orang kafīr. Dengan
demikian, Fasiqmerupakan di antaraiman dan kafīr. Menurut‘Abd al-Jabbār,
manzilah baina manzilatainadalah salah satu istilah bagi pelaku dosa besar yang
mempunyai nama di antara dua nama dan mempunyai hukum di antara dua
hukum. Maksudnya adalah tidak dikategorikan nama kafīr dan nama mukmin,
melainkan dinamakan dengan fāsiq. Sedangkan memiliki hukum di antara dua
hukum adalah tidak dihukumi kafī r dan tidak dihukumi mukmin tetapi di
hukumi sebagai istilah yang telah melekat di kalangan mu’tazilah adalah
manzilah baina manzilatain. Bukan diartikan dengan manzilah kafīr dan bukan
juga manzilah mukminmelainkan manzilah di antara keduanya.14

13
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 255
14
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 256.
e. Perintah berbuat kebaikan dan larangan terhadap tindakan kemungkaran (Amar
ma’rūf nahi munkar). Derivasi amardiartikan sebagai perintah, sedangkan
derivasi nahi diartikan dengan larangan. Adapun derivasi ma’ruf diartikan
dengan setiap tindakan yang diketahui baiknya, sedangkan munkar adalah
semua tindakan yang diketahui keburukannya.15Pandangan Mu’tazilah
mengenai kewajiban Islam ini adalah bahwa syari’at bukanlah satu-satunya
jalan untuk mengidentifī kasi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Akal
manusia, setidak-tidaknya sebagian, dapat mengidentifī kasikan sendiri
berbagai jenis kema’rufan dan kemungkaran. Maka melakukan amar ma’rūf
nahi munkar merupaka doktrin yang wajib dilakukan.Dari lima prinsip tersebut
dua prinsip yaitu keesaan (tauhid) dan adil lah yang menjadi prinsip utama
dalam kelompok mu’tazilah. Tiga prinsip yang lain merupakan hasil dari ciri-
ciri mu’tazilah, Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Khairuman,
“Paham keesaan dankeadilah(al-tauhid dan al-adl) menjadi tesis pertama
madzhab Mu’tazilah dan sekaligus menjadi nama lain dari
mu’tazilah.”.16Kelima prinsip tersebutlah yang menjadi tolok ukur penafsiran
Mu’tazilah. Sebelum mengeluarkan produk penafsiran harus diyakinkan
terlebih dahulu bahwapenafsirannnyasesuai dengan lima prinsip tersebut.
Apabila orang tidak sejalan dengan prinsip tersebut meskipun cuma satu saja
maka sudah dianggab bukan kelompok Mu’tazilah.17

C. PEMIKIRAN USHUL KHOMSAH DALAM ALQURAN


a. Keesaan Allah
Dalam contoh penafsiran ini penuli mengambil contoh dari penafsiran
al-Zamakhsyarī dalam karyanya al-Kasysyāf, karena menurut para ulama

15
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 265.
16
Badri Khaeruman,Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an,(Bandung: Pustaka Setia, 2004),128.
17
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan PemikiranIslam
di Indonesia, JurnalLIA, No.2,Th XIV (Desember 2013):128.
mengatakan bahwa al-Zamakhsyarī melakukan penafsiran sesuai dengan
kaedah ushul khamsah, yang menjadi indikator terpengaruh pemikiran
mu’tazilah. Dalam kasus ini, keesaan Allah adalah terkait tunggal-Nya bersifat
fī nal sehingga tidak ada yang bisa menyerupai-Nya dan Allah juga tidak
menyerupai ciptaannya. Terkait ini al-Zamakhsyarīberkomentar mengenai
melihat Allah sebagai bentuk bahwa Allah memiliki jisim (bentuk),
sebagaimana bagi kalangan mu’tazilah menegasikan
(penyangkalan/peniadaan) melihat Allah agar menjaga keesaan (tauhid) Allah.
Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh al-Zamakhsyarīmenakwilkan lafaz
al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mazhabnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, al-Zamakhsyarītidak memakai makna zahir al-Qur’an ketika makna
tersebut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan mazhab yang dianutnya.
Konsekuensinya, ia memindahkan makna zahir ayat kepada makna lain (takwil)
yang sesuai dengan pahamnya dan rasionalitasnya. Hal tersebut terlihat jelas
ketika al-Zamakhsyarī menginterpretasikan QS. al-Qiyāmah [75] 22-23

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada


Tuhannyalah mereka melihat.Tafsiranyang beliau hadirkan sebagai berikut:
“Berharap pahala dari Allah. (Kepada Tuhannyalah mereka melihat) ini adalah
makna dengan didahulukan objeknya, sebagaimana juga pada fī rman Allah
“Kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu”, “Kepada Tuhanmulah pada
hari itu kamu dihalau”, “Kepada Allah-lah segala urusan kembali”, bagaimana
mungkin pendahuluan objek pada ayat di atas mengandung arti khusus.
Memang benar mereka (orang-orang Mu’min) melihat semuanya tanpa ada
batas dan tanpa terhitung banyaknya ketika di padang mahshar ketika
berkumpul semuamakhluk Allah. Orang-orang Mu’min mampu melihat itu
semua di hari itu karena mereka adalah orang yang merasa aman, tidak takut
dan tidak pula bersedih. Akan tetapi pengkhususan orang Mu’min dengan
melihat Tuhan andai Tuhan dapat dilihat adalah suatu yang mustahil. Dengan
demikian, makna ayat di atas harus disesuaikan dengan makna yang biasa
digunakan secara umum, seperti perkataan “aku menunggu Fulan apa yang dia
lakukan kepadaku, artinya adalah antipasti dan harapan
Hemat penulis, Zamakhsyari menafsirkan derivasi kata “nāẓirah” dengan
memalingkan makna zahir. Derivasi kata tersebut menjadi makna al-tawaqqu’
wa al-raja(berharap) yaitu seorang berharap untuk melihat Allah. Sebenarnya,
ayat ini secara eksplisit membicarakan tentang kemampuan manusia untuk
melihat Allah pada hari kiamat. Namun, al-Zamakhsyarīdalam menafsirkan
ayat ini dipengaruhi doktrin-doktrin mazhab Mu’tazilah yang dianutnya, yaitu
prinsip ushul khamsahberupa al-tauhid. Dalam prinsip tauhidyang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya
tajsim(penyerupaan terhadap sifat makhluk). Hal ini berimplikasi pada
penafsirannya bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang mustahil. Sehingga
jika derivasi kata nāẓirah dimaknai sebagai “melihat”, tentu penafsiran
semacam ini akan menyalahi dan merusak paham doktrin yang dianutnya.
Karena itulah, kata nāẓirah yang bermakna melihat, ia takwilkan maknanya
dengan muntaẓirah , yaitu diartikan berharap untuk melihat (al-raja’). Dengan
penafsiran seperti ini, ia telah menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menyalahi
prinsip dasar mazhab mu’tazilah. Jelaslah penafsirkan ayat-ayat semacam ini
dimaksudkan untuk mengintegrasikan paham Mu’tazilah dalam kitab tafsirnya.
Bahkan kekeliruan ini terjadi yang bisa bertentangan dengan paham mereka
maka bisa menyebabkan mejadi bias. Perlakuan yang dilakukan oleh al-
Zamakshyarīmenghukumkan ayat-ayat muhkamat sebagai ayat mutasyabihat
apabila bertentangan dengan paham mazhabnya. Secara universal,
permasalahan-permasalahan ayat yang bertentangan dengan doktrin kelompok
mu’tazlilah diselesaikan oleh al-Zamakhsyarīdengan menggunakan konsep
muhkam mutasyabih. Ayat yang bertentangan dengan paham mu’tazilah akan
digolongkan sebagai ayat yang mutasyabih, dan pemaknaan ayat yang
mutasyabih tersebut harus berlandaskan ayat yang mereka anggap sebagai ayat
muhkamat. Sebagai contoh penafsiran seperti QS. al-Qiyāmah 22-23
sebelumnya. Bahwa al-Zamakhsyarītidak memaknai kata nāẓirahdengan
makna tekstual lafaz tersebut, bahkan ia mengklasifī kasikan ayat ini sebagai
ayat mutasyabih. Alasan ayat ini digolongkan sebagai ayat mutasyabihadalah
karena ketidaksesuaian makna tekstual ayat terhadap paham doktrin mu’tazilah
yang menolak adanya unsur-unsur tasyabbuh(serupa) dengan makhluknya
(tajsim). Ditambah lagi adanya ayat yang menjelaskan bahwa hanya Allah yang
dapat melihat makhluk, sedangkan makhluk tidak dapat melihat Allah, ayat
berikut ini yang menjadi landasan al-Zamakhsyarīdalam menafsirkan lafaz
nāẓirah : QS. al-‘An’ām 103

Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.”
Al-Zamakhsyarīmenggolongkan QS. al-An’ām [6] 103 sebagai ayat muhkam,
sehingga dalam memaknai derivasi kata nāẓirah dalam QS. al-Qiyāmah [75] 23
di atas ia tidak memaknainya secara tekstual, namun menakwilkan
(memalingkan) maknanya karena dianggap bertentangan dengan ayat muhkam
ini. Dengan demikian, jika ditemukan ayat yang tidak sesuai dengan pemikiran
atau pemahaman mereka,makaal-Zamakhsyarīakanmeng-klasifī kasikannya
sebagai ayat mutasyabihat, dan kemudian ditafsirkan agar sesuai dengan
pemikiran mu’tazilah. Upaya ini merupakan salah satu bentuk pembelaan al-
Zamakhsyarīterhadap keyakinan di dalam doktrin mazhab mereka.18

18
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 22
b. Keadilan Allah
Bagi kelompok mu’tazilah Allah melakukan semua tindakannya dengan
baik, sebab Allah mustahil dzalim kepada makhluk-Nya. Adapun
argumentasi kelompok mu’tazilah terkait Allah melakukan keadilan bagi
hambanya yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 100
‫اجرًا إِلَى ه‬
‫ٱَّللِ َو َرسُولِِۦه ثُ هم‬ ِ ْ‫ٱَّللِ يَ ِج ْد فِى ْٱْلَر‬
ِ َ‫ض ُم َٰ َر َغ ًما َكثِيرًا َو َس َعةً ۚ َو َمن يَ ْخرُجْ ِم ۢن بَ ْيتِِۦه ُمه‬ ‫يل ه‬ِ ِ‫اجرْ فِى َسب‬ ِ َ‫َو َمن يُه‬
‫هحي ًما‬ ‫ت فَقَ ْد َوقَ َع أَجْ ُر ۥهُ َعلَى ه‬
‫ٱَّللِ ۗ َو َكانَ ه‬
ِ ‫ٱَّللُ َغفُورًا ر‬ ُ ْ‫يُ ْد ِر ْكهُ ْٱل َمو‬

Arti : “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka


mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang
banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Pandangan al-Zamakhasyari Allah mempunyai kewajiban untuk
memberikan pahala bagi hambanya. Karena Allah Maha Mengetahui
dalam hal demikian untuk memberikan pahala bagi hambanya, dan
merupakan kewajiban bagi Allah.19 Terlihat sekali al-Zamakhsyar
īdalam menafsirkan ayat ini yang memiliki hegemoni mu’tazilah. Bagi
kalangan mu’tazilah adil merupakan kewajiban Allah dalam
menentukan kebaikan hambanya. Dan Allah tidak akan melakukan
kedzaliman kepada hambanya karena itu keluar dari doktrin adil.
Sebagai argumentasi mu’tazilah bahwa Allah mustahil melakukan
kedzhaliman kepada hambanya yaitu QS. Qaf [50] 29
َٰ
‫ى َو َمآ أَن َ۠ا بِظَله ٍم لِّ ْل َعبِي ِد‬
‫َما يُبَ هد ُل ْٱلقَوْ ُل لَ َد ه‬

19
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 270
Arrinya : “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali
tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.”
Maksud ayat ini, Allah mustahil melakukan kedzaliman kepada hamba-
Nya. Sebagaimana al-Zamakhsyarīmenafsirkan QS. al‘-Anā’m [6] 160
maksudnya adalah Allah mustahil melakukan kedzaliman dengan
mengurangi pahala hamba-Nya dan menambah pahala hamba-Nya.

c. Janji dan Ancaman


Janji (al-wa’d) merupakan kewajiban Allah untuk ditunaikan bagi
hambanya. Dalam hal ini ditemukan interpretasi al-Zamakhsyarīdengan
memberikan doktrin mu’tazilah terkait Janji dan Ancaman (al-wa’d wa al-
wa’īd) yaitu QS. al-An’ām [6] 160.

ٓ َٰ َ‫َمن َجآ َء بِ ْٱل َح َسنَ ِة فَلَ ۥهُ َع ْش ُر أَ ْمثَالِهَا ۖ َو َمن َجآ َء بِٱل هسيِّئَ ِة فَ ََل يُجْ ز‬
ْ ‫ى إِ هَّل ِم ْثلَهَا َوهُ ْم ََّل ي‬
َ‫ُظلَ ُمون‬

Artinya : “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya


(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang
dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).”

Menurut al-Zamakhsyarīayat ini merupakan janji Allah berupa pahala


bagi orang yang melakukan kebaikan. Adapun bentuk teks interpretasi al-
Zamakhsyarīmengenai ayat di atas sebagai berikut ayat ini merupakan kelipatan
janji Allah. Janji yang diberikan kepada hamba-Nya yaitu pahala. Kelipatannya
adalah satu sama dengan 700 pahala. Dan ini merupakan janji Allah
memberikan pahala kepada hamba-Nya.20Hemat penulis, Doktrin ini sejalan
dengan mu’tazilah bahwa Allah wajib menunaikan kewajibannya dalam

20
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419.
memberikan janji bagi orang yang melakukan kebaikan. Ketika Allah tidak
memberikan dan menunaikan janji kepada hamba-Nya maka Allah tidak adil.
Karena adil adalah tindakan Allah dengan kebaikan dan Allah mustahil
melakukan keburukan dan kedzaliman. Di akhir pembahasan ayat menurut al-
Zamakhsyarī

Allah tidak akan keluar dari konsep adil. oleh karena itu, Allah tidak
akan berbuat kedzaliman dengan mengurangi kebaikan dan menambahi
siksaan.21

d. Manzilah Baina Manzilatain


Dalam kasus ini tidak ditemukan mengenai penafsiran al-Zamkhsyari
terkait tentang doktrin manzilah baina manzilatain. Adapun ayat-ayat yang
digunakan untuk argumentasi terhadap doktrin ini, menurut Wāṣil b. ‘Atā’
ada dua klasifīkasi yang dijadikan untuk argument bagi kelompok
mu’tazilah di antaranya: pertama,hukum bagi orang Ahlu kitab sebab
mereka mengimani kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah sebelum Nabi
Muhammad, dijelaskan di dalam QS. al-Taubah [9] 29. Kedua,hukum bagi
orang munāfīqkarena mereka masih dalam keadaan Islam tetapi melakukan
kesalahan dosa besar.22

e. Amr Ma’rūf Nahi Munkar


Doktrin ini maksudnya yaitu melakukan kebaikan dan meninggalkan
larangan. Menurut kalangan mu’tazilah, mengaktualisasikan doktrin ini
hukumnya adalah fardu kifāyah (wajib universal). Dalam hal ini, al-
Zamakhsyarīsejalan dengan ideologi yang ia ikuti. Terbukti ia menafsirkan
QS. ‘Ali ‘Imran [3] 104

21
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419.
22
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah,255-257.
ٓ
َ ِ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْٱل ُمن َك ِر ۚ َوأُ ۟و َٰلَئ‬
َ‫ك هُ ُم ْٱل ُم ْفلِحُون‬ ِ ‫َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم أُ همةٌ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْٱل َخي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر‬

Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang


menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini menurutnya, jangan jadikan sebuah kelompok terpecah belah
(terkelompok), karena melakukan kebaikan dan meninggalkan larangan
merupakan kewajiban yang universal (fard kifāyah).23Doktrin ini sejalan
dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah bahwa mereka melakukan kebaikan
dan meninggalkan larangan. Adapaun perbedaan dalam doktrin adalah
mengenai klasifī kasi perintah melakukan kebaikan (ma’rūf). Menurut
mu’tazilah amr ma’rūfterbagi dua di antaranya: wajib (harus) dan mandūb
(sunnah). Sedangkan bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, klasifīkasi
mengenai amr ma’rūfhanya satu yaitu wajib.32Dari beberapa penjelasan di
atas mengenai analisis al-dakhīldi dalam tafsir al-Kasysyāfditemukan tiga
unsur-unsur yang menjadikan al-dakhīl. Pertama,mengenai interpretasi ayat
al-Qur’an tentang tidak bisa melihat Allah (ru’yah Allah) sebagai bentuk
keesaan Allah dengan tidak berbentuk (tajsim) seperti makhluknya. Tentu
pemikiran ini terjadi kontradiktif dengan yang lainnya, bahkan al-
Zamakhsyarīmenjadikan ayat yangmuhkammenjadi mutasyabih. Kedua,
tentang konsep adil Allah. Hal ini terbukti terjadi kontradiktif dengan
kelompok yang lain, karena bagi kelompok mu’tazilah Allah wajib berlaku
adil dan mustahil akan melakukan kedzaliman kepada hamaba-Nya.
Ketiga,konsep al-wa’ad wa al-wa’īd(janji dan ancaman). Menurut al-
ZamakhsyarīAllah harus menunaikan janji kepada hamba-Nya yang
melakukan kebaikan dengan memberikan kebaikan, dan tidak mendzalimi
hamba-Nya dengan tidak mengurangi pahala dan menambahinya.

23
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 604
Karenaperlakukan dzalim adalah keluar dari konsep adil. Adapun mengenai
konsep amr ma’rūf nahi munkar (perintah melakukan kebaikan dan
meinggalkan larangan) sejalan dengan kelompok ahl al-sunnah wa al-
jama’ah, hanya saja berbeda di dalam mengklasifī kasikan mengenai
perintah dalam melakukan kebaikan. Tetapi konsep ini tidak bisa
dikategorikan sebagai al-dakhīl.Begitu juga konsep manzilah baina
manzilatain juga tidak bisa dikategorikan sebagai al-dakhīlkarenatidak
ditemukan dalam penafsiran al-Zamakhsyarī.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāf adalah al-Dakhīl bi
al-Ra’yī. Maksudnya memberikan interpretasi berupa rasiodan ijtihad yang tidak sesuai
dengan keautentikannya. Adapun unsur-unsur al-Dakhīl bi al-Ra’yīadalah uṣūlal-
khamsah(lima prinsip dasar) kelompok mu’tazilah. Pertama, mengenai keesaan
(tauhid) Allah yang tidak bisa dilihat oleh manusia karena Dia tidak memiliki bentuk
(tajsim). Kedua,konsep adil Allah yang semua tindakan-Nya merupakan kebaikan dan
mustahil untuk melakukan keburukan. Ketiga,konsep janji ancaman Allah (al-wa’ad
wa `a-waīd) dengan maksud Allah wajib menyelesaikan janji kepada Hamba-Nya
dengan memberikan pahala tanpa mengurangi keadila-Nya seperti dzalim mengurangi
pahala dan menambah pahala hamab-Nya. Adapun hal yang melatar belakangi
terjadinya al-dakhīl di dalam tafsir al-Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni
mu’tazilahyang ia anut dalam menafsirkan doktrin-doktrin mu’tazilah.Doktrin yang
mereka gunakan adalah mengkultuskan akal dalam menginterpretasikan ayat, sehingga
apabila terjadi kontradiktif dengan akal maka harus ditakwilkan (memalingkan) makna
tekstualnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mu’tīq, ‘Awwād bin‘Abdullah. Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa


Mauqifu Ahlus Sunnah Minhā. Riyād: Maktabah al-Rusyd. 1995.

Al-Zamakhsyarī, Abīal-Qāsim Mahmūd bin‘Umar al-Khawārizmī.al-Kasysyāf ‘an


Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fīWujūh al-Ta`wīl. Riyād: Maktabah al-
‘Abīkān.1998.

Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.


2004.

Zuhelmi. “Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan


Pemikiran Islam di Indonesia.” LIA. No.2. Desember(2013).

Shaikh,M. Saeed.Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Shah Offset Printer. 1994

Al-Asy’arī, Abū al-Ḥasan‘Alīibn Ismāīl ibn Isḥāq. Maqālāt al-Islamiyyin wa Ikhtilāf


al-Mushallīn. Bairut: Maktabah al-‘Asriyyah. 1990

Al-Syahrastānī, Abīal-Fath Muhammad bin‘Abd al-Karīm.al-Milal wa al-Nihal.


Bairut: Dār al-Kitan al-‘Alamiyyah.1992.

Anda mungkin juga menyukai