Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah al-Dakhil fi al-Tafsir
Oleh:
FACHRUDI PUTRA PAMUJI E03218009
S ARIF E
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. MUSYARROFAH, MHI.
Segala puji san syukur bagi Allah yang telah menurunkan Alquran sebagai
petunjuk kepada sekalian alam dan shalawat serta salam tak lupa senantiasa terhaturkan
kepada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah untuk menjelaskan kepada manusia
tentang syariatNya, agar mendapat kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini, baik dosen, orang tua dan teman-teman yang telah selalu
memberikan dukungan dalam bentuk materiil maupun non-materiil, sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
Demikian makalah ini dapat terselesaikan, walaupun kami rasa masih sangat
banyak kekurangannya, oleh karena itu saran, masukan dan kritikan yang membangun
sangat kami harapkan untuk bisa menyajikan makalah yang lebih baik lagi.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENAMAAN MU’TAZILAH
Penamaan mu’tazilah berkembang dari kelompok di luarnya. Nama yang
berkembang di kalangan mereka sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani ialah ahl
al-‘adli wa tauhīd.1Dikarenakan doktrinyang paling dipegang oleh kelompok
mu’tazilah adalah keesaan Allah (tauhid) dan ‘adil. Bahkan kelompok mereka juga
memberikan nama Mereka sebagai Ahl al-Haq, Al-Fī rqatun Nājiyahdan Al-
Munazzihūn Allah ‘An al-Naqshi. Alasan mereka menyebutkan demikian,
dikarenakanmenganggap diri mereka berada dalam kebenaran dan selainnya dalam
kebatilan2.Sejarah munculnya mu’tazilah sebagian kelompok berpendapat yang
mengatakan bahwa nama mu’tazilah mulai muncul sejakperistiwa keluarnya Wāṣilbin
‘Aṭā` dari pengajian Hasan al-Baṣrīdengan memberikan diktum “I’tazala ‘Anna”. Dari
kata-kata tersebut timbulkemudian sebutan mu’tazilah bagi kalangan Wāṣil bin
‘Aṭā`dan para pengikutnya. Mereka meriwayatkan bahwa Wāṣil bin ‘Aṭā`telah berbeda
dengan gurunya Hasan al-Baṣrī3.
Mu’tazilah memiliki doktrin yang di kenal dengan lima prinsip dasar (al-uṣul
al-khamsah). Lima dasar tersebutlah yang menjadi Ideologi pemikiran kaum
Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam menafsirkan al-Qur’an mereka juga berpijak pada
lima dasar (al-uṣul al-khamsah) itu. Terkait hal ini, jika dilihat dariargumen-
argumennya tentang lima prinsiptersebut,akanterlihat kecenderungannya
1
Abīal-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karīm al-Syahrastā`nī, al-Milal wa al-Nihal (Bairut: Dā`r al-
Kitan al-‘Alamiyyah, 1992), 38
2
‘Awwā`d bin ‘Abdullah al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah wa Mauqifu Ahlus
Sunnah Minhā`(Riyā`d: Maktabah al-Rusyd, 1995),26.
3
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 29
memenangkan dan mengkultuskan akal daripada al-Qur’an secara tekstual. Adapun
kelima prinsip tersebut adalah sebagai beriktut:
a. Ke-Esa-an Tuhan (tauhid). Tauhid merupakan pokok pertama di dalam doktrin
mu’tazilah. Menurut‘Abd al-Jabbār, tauhid adalah sebagai istilah untuk
menjadikan sesuatu itu menjadi satu. Sedangkan secara terminologi tauhid
adalah disiplin pengetahuan bahwa sanya Allah itu satu yang tidak bersekutu
dengan yang lain, dan membenarkan sifat-Nya maupun tidak.4Bagi Mu’tazilah,
keesaan Allah sudah fī nal. Mereka berpandangan bahwa sifat-sifat Allah
adalah tidak lain dari hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat
Allah itu terpisah dari hakikat-Nya dan berdiri sendiri, tentunya percaya akan
“kemajemukan” ajaran monoteisme. Maka dari itu keesaan Allah berarti tidak
ada yang kekal dan qadimselain Allah.5Konsep tauhid Mu’tazilah tersebut
sangat berpengaruh pada pandangannya terhadap al-Qur’an. Menurutnya al-
Qur’an adalah makhluk Allah bukan Kalam Allah. Hal itu dikarenakan jika al-
Qur’an merupakan Kalam Allah, maka al-Qur’an bersifat qadim.Mustahil bagi
mu’tazilah ada bila dua keqadiman Yaitu Allah dan Kalamnya (al-qur’an) dan
bisa mengotori keesaan (tauhid) Allah. jelas itu menyalahi konsep
monoteismenya.6Menurut al-‘Asy’arī, pengertian tauhid menurut Mu'tazilah
ialah Allah itu Esa, tidak ada yang bisa menyamai-Nya, bukan jisim(benda)
bukan pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), tidak memiliki bau, tidak
memiliki warna, tidakdiam dan tidak bergerak, tidak panjang, tidak berlaku
padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang
ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya,
tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak membutuhkan panca indra, tidak
dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa digambarkan dengan akal
pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia
4
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 81
5
Badri Khaeruman,Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 129.
6
M. Saeed Shaikh,Studies in Muslim Philosophy,(Delhi: Shah Offset Printer, 1994), 10
sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-Nya, tiada pembantu bagi-Nya
dalam menciptakan.7Dari penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa mu’tazilah
tauhid Allah sudah menjadi fī nal, sehingga ia menegaskan sifat sebagai bentuk
keesaan Allah. pemikiran mu’tazilah mengambil istilah-istilah fī lsafat seperti
syahs, jauhar, aradl, teladan (contoh/idea) dan sebagainya.8Pemahaman tauhid
yang diberikan oleh mu’tazilah di atas berimplikasi pada pernyataan
kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus
shifat karena dianggap mengotori keesaan Allah. Sebagai contohpendapat
mu’tazilah terkait konsep tauhid tentang ayat-ayat yang menunjukkan Allah
punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang
menunjukkan Tuhan bertempat dalam ‘arsydiartikan bahwa Allah menguasai
dan sebagainya. Alasan mu’tazilah mentakwilkan (memalingkan makna asli)
ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan secara tekstual maka maksudnya
tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan
mengurangi kesucian Allah sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan
Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti
tidak berbentuk (jisim), tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang
pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk. Contoh lainnya dalam
masalah melihat Allah. dikatakan bahwa Allah tidak berbentuk (jisim), maka
juga tidak berarah. Jika Allah tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-
Nya karena setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat
atau arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna
dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi Allah.
b. Keadilan Allah (al-adl). Adil merupakan pembahasan mengenai af’āl Allah
(tindakan Allah). Menurut kalangan teologi, adil adalah tindakan Allah yang
semuanya adalah baik dan tidak mungkin Allah melakukan perbuatan dan
7
Imam al-Asy’ari, Maqā`lā`t al-Islamiyyin wa Ikhtilā`f al-Mushallīn( Bairut: Maktabah al-‘Asriyyah,
1990), 235
8
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 85.
tindakan jahat.9Tafsiran Mu’tazilah mengenai pengertian keadilan adalah
bahwa Allah SWT, wajib berbuat adil dan mustahil jika tidak adil. Allah harus
mengajar orang yang benar dan menghukum yang salah. Mustahil dihari kiamat
orang akan lolos dari hukuman dan orang yang benar tidak memperoleh pahala.
Allah SWT, tidak adil jika berbuat demikian.10Bagi kalagan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah tidak ada perbedaan mengenai af’āl Allah (perbuatan Allah).
Mereka juga menyakini bahwa Allah melakukan tindakan yang semuanya baik
dan mustahil untuk melakukan keburukan dan kesalahan. Yang menjadi
perbedaan dari kalangan mu’tazilah dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
adalah perihal apakah Allah wajib melakukan kebaikan?. Menurut mu’tazilah
Allah mustahil dan harus (wajib) melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan. Sedangkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ahperbuatan Allah semuanya
baik dan tidak melakukan keburukan dan itu tidak menjadi kewajiban bagi
Allah melakukannya dan meninggalkanya.11
c. Janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’īd). Janji dan ancaman ini merupakan
salah satu konsakuensi dari pemahaman Keadilan Tuhan di atas. Allah pasti
menepati janji dengan memberikan surga kepada yang berbuat baik dan pasti
jugamewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka kepada pelaku dosa.
Pada dasaranya janji (al-wa’ad) merupakan informasi yang terkumpul agar
sampai dengan mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam
hal ini Allah wajib menunaikan janji bagi orang yang melakukan kebaikan.
Sedangkan ancaman (al-wa’īd) kebalikannya, yaitu informasi terkumpul yang
sampai kepada kemudharatan. Dalam hal ini Allah memberikan sanksi bagi
orang-orang yang melakukan kejahatan.12Doktrin ini juga memiliki
korenspondensi kepada sebelumnya yaitu Allah adil dalam melakukan tindakan
9
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 152
10
M. Saeed Shaikh,Studies in Muslim Philosophy,14
11
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 153-154.
12
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 210
sehingga ketika Allah memberikan janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’īd)
kepada hamba-Nya yang tepat.
d. Tempat di antaradua tempat (manzilah baina al-manzilatain). Kasus ini menurut
al-Syahrastani, terjadi ketikaseorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan al-
Baṣrī. “Banyak dari golongan sekarang mengkafī rkan bagi pendosa besar.
Dosa besar bagi mereka kafīr dan keluar dari agama sebagaimana diktum dari
kelompok khawārij. Tetapi sebaliknya pernyataan murji’ah tidaklah
menghukuminya kafīr dan tidak membahayakan keimanannya, bagaimana
pandangan kita?”. Belum dijawab oleh al-Hasan al-Baṣrī, Wāṣil bin
‘Aṭā`langsung memberikan penyataan, “ Saya berpendapat, bahwa orang yang
mukmin melakukan dosa besar tidak kafīr secara mutlak, dan tidak mukmin
secara mutlak tetapi mereka di posisi manzilah baina manzilatain”. Kemudian
Wāṣil bin ‘Aṭā`berdiri dan mengasihkan dirinya dari jama’ah al-Hasan al-
Baṣrī.13Doktrin ini juga diposisi dengan orang yangfasiq(yaitu orang yang
berbuat dosa besar misalnya saja minum-minuman keras, pezina, pedusta, dan
sebagainya) bukanlah orang yang beriman dan bukan pula orang kafīr. Dengan
demikian, Fasiqmerupakan di antaraiman dan kafīr. Menurut‘Abd al-Jabbār,
manzilah baina manzilatainadalah salah satu istilah bagi pelaku dosa besar yang
mempunyai nama di antara dua nama dan mempunyai hukum di antara dua
hukum. Maksudnya adalah tidak dikategorikan nama kafīr dan nama mukmin,
melainkan dinamakan dengan fāsiq. Sedangkan memiliki hukum di antara dua
hukum adalah tidak dihukumi kafī r dan tidak dihukumi mukmin tetapi di
hukumi sebagai istilah yang telah melekat di kalangan mu’tazilah adalah
manzilah baina manzilatain. Bukan diartikan dengan manzilah kafīr dan bukan
juga manzilah mukminmelainkan manzilah di antara keduanya.14
13
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 255
14
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 256.
e. Perintah berbuat kebaikan dan larangan terhadap tindakan kemungkaran (Amar
ma’rūf nahi munkar). Derivasi amardiartikan sebagai perintah, sedangkan
derivasi nahi diartikan dengan larangan. Adapun derivasi ma’ruf diartikan
dengan setiap tindakan yang diketahui baiknya, sedangkan munkar adalah
semua tindakan yang diketahui keburukannya.15Pandangan Mu’tazilah
mengenai kewajiban Islam ini adalah bahwa syari’at bukanlah satu-satunya
jalan untuk mengidentifī kasi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Akal
manusia, setidak-tidaknya sebagian, dapat mengidentifī kasikan sendiri
berbagai jenis kema’rufan dan kemungkaran. Maka melakukan amar ma’rūf
nahi munkar merupaka doktrin yang wajib dilakukan.Dari lima prinsip tersebut
dua prinsip yaitu keesaan (tauhid) dan adil lah yang menjadi prinsip utama
dalam kelompok mu’tazilah. Tiga prinsip yang lain merupakan hasil dari ciri-
ciri mu’tazilah, Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Khairuman,
“Paham keesaan dankeadilah(al-tauhid dan al-adl) menjadi tesis pertama
madzhab Mu’tazilah dan sekaligus menjadi nama lain dari
mu’tazilah.”.16Kelima prinsip tersebutlah yang menjadi tolok ukur penafsiran
Mu’tazilah. Sebelum mengeluarkan produk penafsiran harus diyakinkan
terlebih dahulu bahwapenafsirannnyasesuai dengan lima prinsip tersebut.
Apabila orang tidak sejalan dengan prinsip tersebut meskipun cuma satu saja
maka sudah dianggab bukan kelompok Mu’tazilah.17
15
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 265.
16
Badri Khaeruman,Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an,(Bandung: Pustaka Setia, 2004),128.
17
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan PemikiranIslam
di Indonesia, JurnalLIA, No.2,Th XIV (Desember 2013):128.
mengatakan bahwa al-Zamakhsyarī melakukan penafsiran sesuai dengan
kaedah ushul khamsah, yang menjadi indikator terpengaruh pemikiran
mu’tazilah. Dalam kasus ini, keesaan Allah adalah terkait tunggal-Nya bersifat
fī nal sehingga tidak ada yang bisa menyerupai-Nya dan Allah juga tidak
menyerupai ciptaannya. Terkait ini al-Zamakhsyarīberkomentar mengenai
melihat Allah sebagai bentuk bahwa Allah memiliki jisim (bentuk),
sebagaimana bagi kalangan mu’tazilah menegasikan
(penyangkalan/peniadaan) melihat Allah agar menjaga keesaan (tauhid) Allah.
Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh al-Zamakhsyarīmenakwilkan lafaz
al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mazhabnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, al-Zamakhsyarītidak memakai makna zahir al-Qur’an ketika makna
tersebut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan mazhab yang dianutnya.
Konsekuensinya, ia memindahkan makna zahir ayat kepada makna lain (takwil)
yang sesuai dengan pahamnya dan rasionalitasnya. Hal tersebut terlihat jelas
ketika al-Zamakhsyarī menginterpretasikan QS. al-Qiyāmah [75] 22-23
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.”
Al-Zamakhsyarīmenggolongkan QS. al-An’ām [6] 103 sebagai ayat muhkam,
sehingga dalam memaknai derivasi kata nāẓirah dalam QS. al-Qiyāmah [75] 23
di atas ia tidak memaknainya secara tekstual, namun menakwilkan
(memalingkan) maknanya karena dianggap bertentangan dengan ayat muhkam
ini. Dengan demikian, jika ditemukan ayat yang tidak sesuai dengan pemikiran
atau pemahaman mereka,makaal-Zamakhsyarīakanmeng-klasifī kasikannya
sebagai ayat mutasyabihat, dan kemudian ditafsirkan agar sesuai dengan
pemikiran mu’tazilah. Upaya ini merupakan salah satu bentuk pembelaan al-
Zamakhsyarīterhadap keyakinan di dalam doktrin mazhab mereka.18
18
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 22
b. Keadilan Allah
Bagi kelompok mu’tazilah Allah melakukan semua tindakannya dengan
baik, sebab Allah mustahil dzalim kepada makhluk-Nya. Adapun
argumentasi kelompok mu’tazilah terkait Allah melakukan keadilan bagi
hambanya yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 100
اجرًا إِلَى ه
ٱَّللِ َو َرسُولِِۦه ثُ هم ِ ْٱَّللِ يَ ِج ْد فِى ْٱْلَر
ِ َض ُم َٰ َر َغ ًما َكثِيرًا َو َس َعةً ۚ َو َمن يَ ْخرُجْ ِم ۢن بَ ْيتِِۦه ُمه يل هِ ِاجرْ فِى َسب ِ ََو َمن يُه
هحي ًما ت فَقَ ْد َوقَ َع أَجْ ُر ۥهُ َعلَى ه
ٱَّللِ ۗ َو َكانَ ه
ِ ٱَّللُ َغفُورًا ر ُ ْيُ ْد ِر ْكهُ ْٱل َمو
19
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 270
Arrinya : “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali
tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.”
Maksud ayat ini, Allah mustahil melakukan kedzaliman kepada hamba-
Nya. Sebagaimana al-Zamakhsyarīmenafsirkan QS. al‘-Anā’m [6] 160
maksudnya adalah Allah mustahil melakukan kedzaliman dengan
mengurangi pahala hamba-Nya dan menambah pahala hamba-Nya.
ٓ َٰ ََمن َجآ َء بِ ْٱل َح َسنَ ِة فَلَ ۥهُ َع ْش ُر أَ ْمثَالِهَا ۖ َو َمن َجآ َء بِٱل هسيِّئَ ِة فَ ََل يُجْ ز
ْ ى إِ هَّل ِم ْثلَهَا َوهُ ْم ََّل ي
َُظلَ ُمون
20
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419.
memberikan janji bagi orang yang melakukan kebaikan. Ketika Allah tidak
memberikan dan menunaikan janji kepada hamba-Nya maka Allah tidak adil.
Karena adil adalah tindakan Allah dengan kebaikan dan Allah mustahil
melakukan keburukan dan kedzaliman. Di akhir pembahasan ayat menurut al-
Zamakhsyarī
Allah tidak akan keluar dari konsep adil. oleh karena itu, Allah tidak
akan berbuat kedzaliman dengan mengurangi kebaikan dan menambahi
siksaan.21
21
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419.
22
Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah,255-257.
ٓ
َ ُِوف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْٱل ُمن َك ِر ۚ َوأُ ۟و َٰلَئ
َك هُ ُم ْٱل ُم ْفلِحُون ِ َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم أُ همةٌ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْٱل َخي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر
23
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 604
Karenaperlakukan dzalim adalah keluar dari konsep adil. Adapun mengenai
konsep amr ma’rūf nahi munkar (perintah melakukan kebaikan dan
meinggalkan larangan) sejalan dengan kelompok ahl al-sunnah wa al-
jama’ah, hanya saja berbeda di dalam mengklasifī kasikan mengenai
perintah dalam melakukan kebaikan. Tetapi konsep ini tidak bisa
dikategorikan sebagai al-dakhīl.Begitu juga konsep manzilah baina
manzilatain juga tidak bisa dikategorikan sebagai al-dakhīlkarenatidak
ditemukan dalam penafsiran al-Zamakhsyarī.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāf adalah al-Dakhīl bi
al-Ra’yī. Maksudnya memberikan interpretasi berupa rasiodan ijtihad yang tidak sesuai
dengan keautentikannya. Adapun unsur-unsur al-Dakhīl bi al-Ra’yīadalah uṣūlal-
khamsah(lima prinsip dasar) kelompok mu’tazilah. Pertama, mengenai keesaan
(tauhid) Allah yang tidak bisa dilihat oleh manusia karena Dia tidak memiliki bentuk
(tajsim). Kedua,konsep adil Allah yang semua tindakan-Nya merupakan kebaikan dan
mustahil untuk melakukan keburukan. Ketiga,konsep janji ancaman Allah (al-wa’ad
wa `a-waīd) dengan maksud Allah wajib menyelesaikan janji kepada Hamba-Nya
dengan memberikan pahala tanpa mengurangi keadila-Nya seperti dzalim mengurangi
pahala dan menambah pahala hamab-Nya. Adapun hal yang melatar belakangi
terjadinya al-dakhīl di dalam tafsir al-Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni
mu’tazilahyang ia anut dalam menafsirkan doktrin-doktrin mu’tazilah.Doktrin yang
mereka gunakan adalah mengkultuskan akal dalam menginterpretasikan ayat, sehingga
apabila terjadi kontradiktif dengan akal maka harus ditakwilkan (memalingkan) makna
tekstualnya.
DAFTAR PUSTAKA