Anda di halaman 1dari 14

Kajian Kritis terhadap ad-Dakhil dari

Jalur Tafsir Sufistik


Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA

Disusun Oleh:
Haplatul Layal Mardika (17210834)
Rahmania Rinanda Rifai (17210883)
Salma Indri Afiani (17210888)
Trada Aurelia (17210904)
Tafsir Sufistik

Secara bahasa, tafsir berarti menerangkan makna-makna Al-Quran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmah-hikmahnya. Sedangkan kata sufi atau tasawuf berasal dari kata shafa, yang berarti bersih, jernih. Orang
yang berjalan di jalan Allah dengan cara-cara sufi disebut salik.
Tafsir sufi tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa dikenal. Kadang tafsir sufi disebut juga takwil.
Tafsir ini banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak lapuk
oleh dinamika perubahan zaman.
Imam Muhammad Ali Al-Shabuni mendefinisikan tafsir sufistik sebagai berikut:
“Penafsiran isyariy ditandai dengan adanya perbedaan dengan makna dzahir ayat karena adanya petunjuk-
petunjuk (dilalah) yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama tertentu, atau hanya diketahui oleh
orang yang mengenal Allah (ma’rifat).”
Sejarah Perkembangan Tafsir Sufistik 

 Tafsir sufistik dikatakan muncul pada abad ketiga Hijriyyah, yang mana pada saat itu tasawuf berbenturan dengan
nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus keagamaan yang lain seperti tafsir. Dari sinilah awal penafsiran yang
bercorak sufistik, karena para sufi mulai mengambil bagian dalam mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an.
 Menurut Abdul Mustaqim dalam bukunya “Mazahib al-Tafsir” dijelaskan bahwa berkembangnya sufisme dalam
dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam
semenjak munculnya konflik politis sepeninggal Nabi.
 Banyak ulama yang memandang bahwa tafsir sufistik memiliki faidah untuk mengurangi sisi esoterik al-Qur’an
dengan anggapan bahwa al-Qur’an memiliki makna dzahir dan makna bathin.
 Tafsir sufistik memiliki kontribusi jelas pada pemaknaan dari aspek bathinnya dengan perangkat takwil atau isyarat-
isyarat tertentu, sementara untuk makna dzahirnya sudah digarap oleh perangkat tafsir.
 Imam Ghazali menegaskan bahwa tidak ada larangan seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran sufistik
jika bermaksud untuk menampilkan kekayaan makna al-Qur’an hingga batas-batas pemaknaan dengan simbol atau
isyarat-isyarat tertentu.
 Dalam perkembangannya, penafsiran sufistik pada prinsipnya terbagi atas dua bagian yaitu tafsir sufi nadzari dan
tafsir sufi isyari. Tafsir sufi nadzari menghendaki pengertian batin, maka penafsiran ini sering menggunakan takwil
untuk menyesuaikan pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori tasawuf yang mereka anut. Tafsir sufi isyari
diduga memaksakan diri untuk memahami dan menerangkan al-Qur’an dengan penjelasan yang berbeda dari makna
dzahir ayat.
Syarat-Syarat Tafsir Sufistik
Tidak boleh bertentangan dengan makna dzahir
dari susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an

Tidak boleh meng-klaim bahwa itu satu-


satunya penafsiran yang benar

Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal

Harus didukung oleh kesaksian syara’ yang


menguatkannya

Syarat-syarat tersebut merupakan rambu-rambu yang ditetapkan oleh para


ulama supaya tidak terjadi penyimpangan dan ‘kesewenang-wenangan’
menafsir dengan dalih isyarat-isyarat dan perenungan bathiniyyah.
Parameter untuk mengukur keabsahan tafsir bathini menurut Fayed:

1 Muwafaqat Al-’Arabiyah (kesesuaian dengan kaidah Bahasa Arab)

2 Syahadat Al-Syar’i (kepatutan dengan aturan syariat)

Sepanjang penafsiran sufistik itu memenuhi dua persyaratan dimaksud,


maka ia dapat diterima dan dijadikan data ilmiah.
Jenis-Jenis Ad-dakhil dalam Jalur Tafsir Sufistik

Penafsiran sufistik mempunyai dua mode:


A. ad-Dakhil dalam Tafsir Sufi Nazhari
Tafsir sufi nazhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-
teori mistik yang dianut mufasir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa Al-Qur’an melenceng
jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi penafsiran prakonsepsi untuk
menetapkan teori mereka.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nazhari) yaitu Muhyiddin Ibn
‘Arabi. Ibn A’rabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazhari yang menyandarkan beberapa teori-teori
tasawufnya dengan Al-Qur’an. Karya tafsir Ibn ‘Arabi diantaranya al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush
al-Hikam.
Contoh ad-dakhil dalam tafsir sufi nazhari
Contoh ad-dakhil dalam tafsir sufi nazhari
Penafsiran terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 115)

‫ب ۚ فَأ َْينَ َما ُت َولُّوا َفثَ َّم َو ْجهُ اللَّ ِه‬ِ ِ ِ َِّ
“Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling disitu wajah Allah.” (QS.Al-
ُ َ َ ْ َ ‫ۚ وَل‬
‫ر‬ ‫غ‬
ْ ‫م‬ْ‫ل‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ق‬
ُ ‫ر‬ ‫ش‬ ‫م‬ْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ل‬
Baqarah [2]: 115)
Kaum sufi menafsirkannya dengan dimana saja Tuhan ada, dan dimana saja Tuhan dapat
dijumpai sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai dimana
dan kapan saja dan dia pasti selalu ada. Ketika menafsirkan QS. Qaf ayat 16:
ِ ‫ولََق ْد خلَ ْقنا اإْلِ نْسا َن وَنعلَم ما ُتوس ِوس بِِه َن ْفسه ۖ وحَن ن أَْقرب إِلَي ِه ِمن حب ِل الْوِر‬
‫يد‬ َ َْ ْ ْ ُ َ ُ ْ َ ُ ُ ُ َْ َُ ْ َ َ َ َ َ
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (QS. Qaf [50]: 16)
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang
tak perlu lagi jauh-jauh. Untuk itu, ia cukup kembali kedalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain,
Tuhan bukan berada diluar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia
B. Ad-Dakhil dalam Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan
petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.
Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa Al-Qur’an mencakup apa
yang zahir dan batin. Makna zahir dari Al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarah. Isyarat disini maksudnya
adalah menyingkap apa yang ada didalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Para
ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir,
karena hal itu sama saja dengan membatasi makna Al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan
mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima:

‫ص ُر اللَّ ِه َوالْ َفْت ُح‬


ْ َ‫إِذَا َجاءَ ن‬
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (QS. An-Nashr [110]: 1)
Ketika ditanya makna ayat tersebut, diantara para sahabat ada yang coba membeikan penafsiran ayat
tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah
dan meminta ampunan-Nya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah
sebagai tanda dekatnya ajal Rasulullah saw.
Contoh penafsiran isyari yang tertolak dan masuk kategori ad-dakhil adalah penafsiran sebagian aliran sufi
terhadap QS. Al-Baqarah ayat 255:

‫ۚ َم ْن َذا الَّ ِذي يَ ْش َف ُع ِعْن َدهُ إِاَّل بِِإ ْذنِِه‬


”Tiada yang dapat memberi syafa’at disisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS.Al-Baqarah [2]: 225)
Mereka menafsirkan ayat ini dengan cara memotong-motongnya sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Dengan demikian tafsir ayat ini, menurut mereka adalah “Barangsiapa yang menundukkan hawa nafsunya, maka
ia akan sembuh dan sadar”.
Contoh Dakhil Dalam Tafsir Sufistik

Penafsiran al-Junayd al-Baghdadi (221-297 H) terhadap Q.S al-A’la ayat 6 :

َ ُ‫َسُن ْق ِرئ‬
‫ك فَالَ َتْن َسى‬
“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa.”
Ketika menafsirkan ayat ini dia berkata : la tansa al-a’mal bih (janganlah kamu lupa mengamalkannya
(Al-Qur’an).
Penafsiran ini dinilai oleh Fayed tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab. Al-Junayd memahaminya
sebagai susunan kalimat larangan (nahy), padahal secara gramatikal ayat tersebut merupakan
khobar (informasi).
Kitab-Kitab Tafsir yang Bercorak Sufistik

1 Kitab tafsir “tafsir al-Qur’an al-Karim” oleh Sahl bin ‘Abdullah al-Tustar

2 Kitab tafsir “Haqaiq al-Tafsir” oleh Abu ‘Abdurrahman al-Sulami

3 Kitab tafsir “al-Kasf wa al-Bayan” oleh Ahmad bin Ibrahim al-Naisabur

4 Kitab tafsir “Tafsir ibn ‘Arabi” oleh Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi

5 Kitab tafsir “Ruh al-Ma’ani” oleh Syihab al-Din al-Alusi


Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Sufistik

kelebihan kelebihan kekurangan kekurangan

1 2 1 2
Sangat tepat Tidak ada tolak ukur
Mengisi ruang yang jelas validitas
untuk rujukan Dipahami hanya
pemaknaan pada tafsir dengan corak
orang-orang yang oleh kalangan ini, karena
wilayah esoterik berkehendak tertentu penafsirannya
atau dimensi meningkatkan diambil dari isyarat-
bathin-nya martabat spiritual isyarat yang samar
(isyarah khafiyyah)
Daftar Pustaka
Ulinnuha, Muhammad, Metode Kritik Ad-Dakhil At-Tafsir; Cara Mendeteksi Adanya Infiltrasi dan
Kontaminasi dalam Penafsiran Al-Quran, Jakarta: Qaf, 2019.
Yunus, Badruzzaman, Jurnal: “Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Quran”, Vol. 2, No. 1,
Juli, 2017.
Ulinnuha, Muhammad, Ad-Dakhil fi At-Tafsir; Sebuah Metode Kritik Tafsir Al-Quran, Jakarta:
Kementrian Agama RI, 2012.
Said, Muhammad, Jurnal: “Metodologi Penafsiran Sufistik”, Vol. 2, No. 1, April 2014
Thank you.

Anda mungkin juga menyukai