Berikut ini adalah sejarah dan sebab-sebab lahirnya Ingkar Sunnah Modern:
A. Pengaruh Kolonialisme
Semenjak abad ketiga sampai abad keempat belas hijriah, tidak ada catatan
sejarah yang menunjukkan bahwa dikalangan umat Islam terdapat pemikiran-
pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, baik
secara perorangan maupun kelompok. Sementara pemikiran untuk menolak
Sunnah yang muncul pada abad pertama hijriah (Ingkar-Sunnah Klasik) sudah
lenyap ditelan masa pada akhir abad ketiga hijriah. Baru pada abad keempat belas
hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali ini dengan
bentuk dan penampilan yang berbeda dari Ingkar-Sunnah Klasik. Apabila Ingkar-
Sunnah Klasik muncul di Bashrah Iraq akibat ketidaktahuan sementara orang
terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, maka Ingkar-Sunnah modern muncul di
Ciaro Mesir akibat pengaruh pemikiran Kolonialisme yang ingin melumpuhkan
dunia Islam.
1
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus:Jakarta, 2015), h. 46
gagasan Ingkar-Sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi
catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa ‘ala al-Sunnah
al-Muhammadiyyah itu benar. Abu Rayyah menuturkan bahwa Syeikh
Muhammad Abduh berkata, “Umat Islam pada masa sekarang ini tidak
mempunyai imam (pimpinan) selain al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam
pada masa awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata,
“Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya
kitab-kitab yang diajarkan di Al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan.
Umat Islam tidak mungkin maju tanpa degan semangat yang menjiwai umat Islam
abad pertama, yaitu al-Qur’an. Dan semua hal selain al-Qur’an akan menjadi
kendala yang menghalangi antara al-Qur’an dan ilmu serta amal.2
Abu Rayyah dalam menolak Sunnah banyak merujuk kepada pendapat Syeikh
Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini
khususnya Syeikh Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai pengingkar Sunnah.
Namun benarkah Syeikh Muhammad Abduh mengingkari Sunnah? Seperti
dituturkan diatas, Prof.Dr.Azami masih belum memastikan hal itu, karena beliau
hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
Sementara Prof.Dr.Mustafa al-Siba’I secara tidak langsung menuduh Syeikh
Muhmmad Abduh sebagai pengingkar Sunnah. Al-Siba’I mengakui keunggulan-
keunggulan Syeikh Muhammad Abduh, bahkan menilainya sebagai filsuf Islam.
Namun disisi lain, al-Siba’I menilai Abduh sebagai orang yang sedikit
perbendaharaan hadisnya. Menurut al-Siba’I, Abdu memiliki prinsip bahwa
senjata yang paling ampuh untuk membela Islam adalah logika dan argument
yang rasional. Berangkatdari prinsip ini Abduh kemudian mempunyai penilaian
yang lain terhadap Sunnah dan para rawinya berikut dalam memandang
kedudukan Sunah itu sendiri. Pendapat Abduh ini kemudian dijadikan argument
kuat oleh Abu Rayyah dalam mengingkari Sunnah. Sebenarnya keterangan Abduh
sebagaimana yang dinukil Abu Rayyah itu masih perlu ditinjau kembali.
Masalahnya, boleh jadi Abduh ketika mengatakan hal itu didorong oleh semangat
2
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus:Jakarta, 2015), h. 47
yang menggebu-gebu untuk membumikan ajaran al-Qur’an. Sementara itu, Syeikh
Muhammad Abduh menolak hadis Ahad untuk dijadikan dalil dalam masalah
akidah. Menurut beliau, untuk masalah-masalah akidah hanya dapat dipakai hadis-
hadis mutawatir saja. Apakah orang yang menolak Hadis Ahad dalam masalah
akidah dapat disebut sebagai pengingkar Sunnah? Para ulama belum satu pendapat
dalam masalah ini.3
Pemikiran Abduh dalam menolak Sunnah ini kemudian diikuti oleh Dr. Taufiq
Shidqi, ia menulis dua buah artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 da 12 tahun
ke IX dengan judul Islam adalah al-Qur’an itu sendiri. Sambil mengutip ayat-ayat
al-Qur’an, Shidqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan Sunnah. Pendapat
Shidqi ini ditanggapi positif oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan “Dalam masalah
ini ada hal yang perlu dikaji ulang, yaitu apakah Hadis yang mereka sebut sebagai
Sunnah Qauliyyah itu merupakan agama dan syari’at yang bersifat umum,
meskipun hal itu tidak merupakan aturan-aturan yang harus dikerjakan khususnya
pada masa-masa awal? Apabila kita jawab “ya”, maka ada pertanyaan besar yang
perlu kita jawab, yaitu kenapa Nabi Saw justru melarang penulisan apapun selain
al-Qur’an? Begitu pula para sahabat, kenapa mereka tidak menulis Hadis, bahkan
para ulama dari kalangan mereka seperti para khalifah juga tidak terpanggil untuk
memperhatikan dan melestarikan Hadis?. Rasyid Ridhmpaknya sangat
mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan beliau berpendapat bahwa hadis-
hadis yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah rakaat
shalat, puasa, dll. Harus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara umum.
Tetapi hadis-hadis yang periwayatannya tidak mutawatir, hal itu disebut aturan
agama secara khusus dimana kita tidak wajib menerimanya.
E. Ahmad Amin
Ronde berikutnya, pada tahun 1929 Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajr
al-Islam, beliau mengulas masalah hadis dalam satu bahasa khusus (Bab VI Pasal
2). Namun, tulisan beliau justru mengacaukan antara yang haq dan yang bathil,
bahkan memberikan keraguan tentang Hadis. Sementara beliau tetap pada
pendiriannya sampai wafat. Kemudian pada tahun 1353 H (1933 M) Ismail Adam
mempublikasikan bukunya tentang sejarah Hadis. Ia berkesimpulan bahwa Hadis-
hadis yang terdapat dalam kitab-kitab shahih (shahih Bukhari dan Muslim) tidak
dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurutnya, Hadis-hadis itu secara
umum dirgukan otentisitasnya, bahkan banyak yang palsu. Ketika masyarakat
memprotesnya, Ismail Adam menjawab lewat majalah Al-Fath bahwa
pendapatnya itu telah disetuui oleh tokoh-tokoh ulama antara lain Ahmad Amin.
Ahmad Amin memang tidak membantah pembelaan Ismail Adam itu, bahkan
beliau mengatakan bahwa protes masyarakat terhadap Ismail Adam itu merupakan
pemasungan kreatifitas dan kebebasa berfikir, dan hal itu akan menjadi batu
pengganjal dalam penelitian ilmiyyah. Akhirnya tongkat estafet Ingkar Sunnah
dipegang oleh Abu Rayyah lewat bukunya Adhwa ala al-Sunnah al-
Muhammadiyyah (sorotan terhadap Sunnah Muhammadiyyah). Hanya saja, Abu
Rayyah tidak memberikan pendapat-pendapat yang baru, ia hanya mengulang
pendapat-pendapat para pendahulunya seraya mendakwahkan dirinya sebagai
mujtahid. Sementara ulama yang paling banyak membabat pikiran-pikira Abu
Rayyah adalah Mustafa Al-Siba’I dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tasyri’ al-Islami.5
Pada abad lalu anak benua India sepenuhnya berada dibawah jajahan
Inggris. Ketika umat Islam mengumumkan Jihad untuk melepaskan diri dari
penjajah, pihak Inggris menyadari bahwa semngat jihad dapat membahayakan
eksistensi mereka. Karenanya, meskipun perjuangan umat Islam India dpat
dipatahkan, pihak Inggris membuat kelompok “Ulama Muslimin” yang mau
memberikan fatwa bahwa Islam tidak mewajibkan jihad. Hal itu dengan cara
4
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus:Jakarta, 2015), h. 48-49
5
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus:Jakarta, 2015), h. 49-50
mengkritik Hadis-hadis yang berkaitan dengan jihad. Garragh Ali dan Mirza
Ghulam Ahmad adalah tokoh-tokoh kelompok ini. Begitu pula nama-nama seperti
Ahmad Khan, Abdullah Al-Jakr, Ahmad Al-Din, dll tercatat sebagai orang-orang
yang menodai Sunnah Nabi. Dan terakhir yang paling radikal adalah Ghulam
Ahmad Parwez yang mendirikan organisasi bernama Ahl Al-Qu’an, nama ini
sangat menarik, tetapi isinya justru menyesatkan. Parwez yang pendapatnya hanya
mengekor Taufiq Shidqi menolak Hadis secara keseluruhan baik yang Ahad
maupun yang Mutawatir. Ia berarakata bahwa al-Qur’an hanya menyuruh kita
untuk mengerjakan shalat, sementara tentang bagaiamana kita melakukan shalat,
hal itu terserah kepada kepala Negara untuk menentukannya.6
6
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus:Jakarta, 2015), h. 50
7
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus:Jakarta, 2015), h. 51