Anda di halaman 1dari 4

D.

Aspek Sinkronik dan Diakronik Kata Syaiṭān

Istilah sinkronik dan diakronik secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu
analisis terhadap kosakata yang titik tekannya terhadap waktu atau sejarah kosakata
tersebut. istilah ini, menjelaskan tentang perkembangan suatu kosakata yang dipahami
oleh masyarakat tertentu pada masa tertentu. Sebab, suatu kosakata tidak hanya
sekedar susunan kata-kata namun juga membawa serta pandangan dunia, kultur dan
prasangka-prasangka masyarakat yang memakainya, Al-Qur’an sebagai kitab suci
umat muslim tidak dapat lepas dari unsur ini. Bagaimanapun, al-Qur’an mengandung
banyak kosakata yang tidak lahir dari ruang hampa. Kosakata dalam al-Qur’an
mengandung kesejarahan kosakata kaitannya dengan bahasa masyarakat pada masa
itu. Dalam pengertiannya, sinkronik adalah aspek kata yang tidak mengalami
perubahan baik dari segi konsep atau kata. kata yang tergolong singkronik ialah kata
yang sistem kata tersebut bersifat statis.

Sedangkan diakronik adalah aspek kata yang mengalami perubahan dari


konsep atau kata tersebut. dengan demikian kosakata yang tergolong diakronik adalah
kosakata yang tumbuh dan berusaha bebas dengan cara sendiri yang khas. Toshihiko
Izutsu menyederhanakan analisis semantik historis kosakata ini dalam tiga periode
waktu, yaitu: pra Qur’anik, Qur’anik dan pasca Qur’anik.

1. Periode pra Qur’anik Periode pra Qur’anik merupakan bahasan mengenai


kosakata yang kaitannya dengan penggunaan kata tersebut pada masa pra Islam
yakni kosakata yang digunakan masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an.
Menjadi suatu keharusan untuk memahami bagaimana suatu kosakata digunakan
dan dipahami oleh masyarakat Arab pra Islam sebelum kosakata itu sampai pada
pandangan dunia alQur’an. Analisis terhadap sejarah penggunaan kosakata pra
Islam ini akan mengantarkan kita pada pemahaman kosakata tersebut pada masa
Islam yakni periode Qur’anik. Menurut ‘Abbās Maḥmūd al-Aqqād, kata syaiṭān
merupakan kata Arab asli yang sudah sangat tua, bahkan boleh jadi lebih tua dari
bahasa yang digunakan oleh selain orang Arab. Menurut pandangan para pakar
bahas Arab, jika satu kata yang digunakan para pemakai bahasa Arab dan dapat
dibentuk dengan berbagai kata, itu menunjukkan bahwa kata tersebut asli dari
bahasa Arab. Mereka memandang bahwa kata syaiṭān terambil dari kata syaṭana
yang berarti jauh.
Kata syaiṭān dikonsepsikan orang Arab pra Islam sebagi makhluk halus yang
mengajak kepada kesesatan. Hal ini tergambar dari ucapan Ummul Jamīl ketika
mengejek Rasulullah saat beliau lama tidak mendapat wahyu. Berikut adalah
ucapannya: ‫د تركك‬9999‫يطانك ق‬9999‫ون ش‬9999‫“ أن يك‬Apakah setanmu benar-benar telah
meninggalkanmu?” Pada kalimat ini, Ummu al-Jamīl menyebut Jibril dengan
syaiṭān. Kata syaiṭān dalam kalimat ini dipahami sebagai makhluk yang mengajak
Muḥammad keluar dari kepercayaan nenek moyang bangsa Arab. Dari penjelasan
ini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra Qur’anik kata syaiṭān dikonsepsikan
sebagai jin jahat.
2. Periode Qur’anik Pada periode Qur’anik kata syaiṭān masuk ke dalam sistem
bahasa al-Qur’an yang membangun konsep tersendiri pada pengguna bahasa
tersebut dengan membawa makna dasar “jauh” dan makna relasionalnya sebagai
sosok yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan ketuhanan. Syaiṭān
dipahami sebagai sosok yang memusuhi manusia dalam hal penghambaan kepada
Allah Swt. Dalam al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa Allah menciptakan syaiṭān
untuk menguji keimanan manusia, untuk membedakan mana di antara mereka
yang taat dan yang tidak. Kesadaran umat Islam tentang syaiṭān tidak lagi hanya
terbatas pada makna jauh. Kata ini menunjuk pada sikap menjauh dari kebenaran.
Dengan penjelasan alQur’an, mereka telah mengkonsepsikan bahwa segala
sesuatu yang menjadi penyebab kejauhan dari yang haqq adalah syaiṭān. Dalam
beberapa hadis yang diriwayatkan Ibn Abī al-Dunyā terekam pemahaman
masyarakat muslim saat itu tentang makna syaiṭān. seperti pada hadis berikut:

“Berkata Ibn Abī al-Dunyā, menceritakan kepada saya Husain bin Sakan, dari
Mu‘alla bin Asad, dari ‘Adī bin Abī ‘Umārah dari Ziyād dari Anas bin Mālik
dari Rasulullah Saw., bersabda: “Sesungguhnya seṭan menaruh kesalahannya di
hati anak Adam, jika ia mengingat Allah maka terhapuslah ia, dan jika ia
melupakan Allah maka ia menempati hatinya.”

Bandingkan dengan ucapan Ibn ‘Umar berikut:


“Ibn Abī al-Dunyā mengatakan kepada kami bahwa Abū ‘Abdullāh Muḥammad
ibn ‘Abdullāh al-Madinī mengatakan kepada kami bahwa Ḥassān ibn Ibrāhīm
memberi tahu kami tentang Sa‘īd, yang berarti Ibn Masrūq, atas wewenang
Muḥārib bin Diṡār, atas wewenang Ibn 'Umar yang mengatakan: Bagaimana
kita bisa lolos dari setan saat dia menjalankan aliran darah kita?!”

Pendapat ini disampaikan oleh Ibn ‘Umar dengan dasar hadis-hadis yang
menjelaskan hal tersebut. Dari beberapa data ini dapat dilihat bahwa kata syaiṭān
mengalami pergeseran konsep. Walaupun makna ini merupakan makna
relasional, namun makna ini memiliki kesan lebih penting dari makna dasarnya
dalam ajaran agama Islam.

3. Periode Pasca Qur’anik Pada masa ini, kosakata al-Qur’an banyak digunakan
dalam sistem pemikiran Islam, seperti Teologi, Hukum, Filsafat, dan Tasawuf.
Masing-masing sistem ini mengembangkan konseptualnya sendiri. Pengonsepan
ini tidak terlepas dari pengaruh konseptual al-Qur’an terhadap kata itu.
Banyaknya sudut pandang kajian, serta metodologi pembacaan yang diadopsi,
tidak hanya dari dunia Timur, melainkan juga dari dunia Barat, memberi
sumbangsih yang sangat signifikan bagi perkembangan pemaknaan al-Qur’an.
Menurut pakar tafsir al-Qur’an kenamaan yang diberi gelar al-Imām Fakhr al-Dīn
al-Rāzī, syaiṭān merupakan sebutan makhluk yang durhaka baik dari golongan jin
ataupun manusia.
Pemahaman ini disampaikannya ketika menjelaskan Q.s. al-An′ām/6: 112.44
Hal serupa juga di sampaikan oleh Muḥammad ‘Alī alṢābūnī, dari sudut
pandangnya, ia menyatakan bahwa kata syaiṭān adalah turunan dari kata syaṭana
yang berarti jauh. Jadi baik golongan jin ataupun manusia yang mengajak untuk
menjauh dari petunjuk Tuhan ia adalah syaiṭān. Sedangkan menurut al-‘Allamah
al-Imām al-Qurṭūbī dalam tafsirnya, ia mengatakan: “Dinamakan syaiṭān karena
jauh dari kebenaran dan karena kedurhakaannya. Karena setiap makhluk yang
angkuh nan durhaka dari golongan jin, manusia dan hewan dinamakan syaithan.”
Ajaran agama Islam yang menjamur di seantero masyarakat aʻjām, yaitu
masyarakat non Arab, pada kesempatannya mereka secara luas akan mengadopsi
konsep-konsep istilah dari kosakata al-Qur’an sebagai kitab suci, untuk
diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Kata syaiṭān sendiri, bagi masyarakat
Indonesia, memiliki makna yang hampir mirip dengan istilah hantu.
Namun di antara mereka ada pula yang dapat membedakan makna syaiṭān dan
hantu secara jelas. Perbedaan ini di latar belakangi oleh tingkat keilmuan dan
pemahaman mereka terhadap bahasa atau kosakata tersebut. Apabila dahulu
orang menyebut setan dengan menunjuk pada makhluk halus yang suka menakut-
nakuti atau mencelakai manusia, maka saat ini kata setan memiliki konsep yang
lebih luas lagi, buktinya adalah ia mampu menjadi nama trend yang terkadang
diatributkan pada nama makanan dst. Pemahaman yang demikian membuat
peneliti yakin bahwa konsep syaiṭān secara utuh masih memiliki hubungan yang
erat dengan makna di mana kosakata ini lahir. Namun pergeseran makna dari kata
syaiṭān amat terasa ketika di pahami dan dikonsepsikan oleh masyarakat pasca
Qur’anik. Apabila di masa Qur’anik kata syaiṭān mengarah pada person jin dan
manusia, maka pada masa Pasca Qur’anik kata syaitān mengarah pada segala
sesuatu yang menjadi penyebab keburukan, termasuk hewan, yang merupakan
makhluk yang tidak berakal.1

E. Weltanschauung kata Syaiṭān dalam al-Qur’an


Kosakata syaiṭān dalam al-Qur’an menunjukkan hubungannya dengan
manusia dan Tuhan. Kaitannya dengan manusia, hubungan ini meliputi yang
beriman dan yang tidak beriman. Sedangkan hubungan dengan Tuhan adalah
hubungan penciptaan, yakni bahwa setan merupakan sesuatu yang diciptakan
Tuhan. Setan diciptakan sebagai ujian bagi manusia, sehingga dengan adanya
ujian ini manusia akan terpisahkan, mana di antar mereka yang berhasil lolos dari
ujian dan mana yang gagal dalam ujian. Terkait hal ini, al-Qur’an sendiri
merupakan kitab petunjuk, ia menunjukkan yang baik dan memperingatkan yang
buruk. Sehingga manusia dapat memilih di antara kedua jalan tersebut. Manusia
adalah makhluk mukallaf. Ia disebut mukallaf karena ia diberi kebebasan untuk
memilih. Mereka yang memilih taat kepada Allah bagi merekalah kemenangan
dunia dan akhirat. Sedangkan mereka yang memilih selain dari taat, merekalah
golongan yang mengikuti setan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia tidak
1
Saiful Fajar, Konsep Syaitān dalam Al-Qur’an (Kajian Semantik Toshihiko Izutsu), (Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta:2018), h. 61
dapat melepaskan diri dari setan, kecuali atas kehendak Allah Swt. Dengan
demikian, manusia harus memohon kepada Allah, jika ingin terlepas dari godaan
setan.2

2
Saiful Fajar, Konsep Syaitān dalam Al-Qur’an (Kajian Semantik Toshihiko Izutsu), (Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta:2018), h. 67

Anda mungkin juga menyukai