Istilah sinkronik dan diakronik secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu
analisis terhadap kosakata yang titik tekannya terhadap waktu atau sejarah kosakata
tersebut. istilah ini, menjelaskan tentang perkembangan suatu kosakata yang dipahami
oleh masyarakat tertentu pada masa tertentu. Sebab, suatu kosakata tidak hanya
sekedar susunan kata-kata namun juga membawa serta pandangan dunia, kultur dan
prasangka-prasangka masyarakat yang memakainya, Al-Qur’an sebagai kitab suci
umat muslim tidak dapat lepas dari unsur ini. Bagaimanapun, al-Qur’an mengandung
banyak kosakata yang tidak lahir dari ruang hampa. Kosakata dalam al-Qur’an
mengandung kesejarahan kosakata kaitannya dengan bahasa masyarakat pada masa
itu. Dalam pengertiannya, sinkronik adalah aspek kata yang tidak mengalami
perubahan baik dari segi konsep atau kata. kata yang tergolong singkronik ialah kata
yang sistem kata tersebut bersifat statis.
“Berkata Ibn Abī al-Dunyā, menceritakan kepada saya Husain bin Sakan, dari
Mu‘alla bin Asad, dari ‘Adī bin Abī ‘Umārah dari Ziyād dari Anas bin Mālik
dari Rasulullah Saw., bersabda: “Sesungguhnya seṭan menaruh kesalahannya di
hati anak Adam, jika ia mengingat Allah maka terhapuslah ia, dan jika ia
melupakan Allah maka ia menempati hatinya.”
Pendapat ini disampaikan oleh Ibn ‘Umar dengan dasar hadis-hadis yang
menjelaskan hal tersebut. Dari beberapa data ini dapat dilihat bahwa kata syaiṭān
mengalami pergeseran konsep. Walaupun makna ini merupakan makna
relasional, namun makna ini memiliki kesan lebih penting dari makna dasarnya
dalam ajaran agama Islam.
3. Periode Pasca Qur’anik Pada masa ini, kosakata al-Qur’an banyak digunakan
dalam sistem pemikiran Islam, seperti Teologi, Hukum, Filsafat, dan Tasawuf.
Masing-masing sistem ini mengembangkan konseptualnya sendiri. Pengonsepan
ini tidak terlepas dari pengaruh konseptual al-Qur’an terhadap kata itu.
Banyaknya sudut pandang kajian, serta metodologi pembacaan yang diadopsi,
tidak hanya dari dunia Timur, melainkan juga dari dunia Barat, memberi
sumbangsih yang sangat signifikan bagi perkembangan pemaknaan al-Qur’an.
Menurut pakar tafsir al-Qur’an kenamaan yang diberi gelar al-Imām Fakhr al-Dīn
al-Rāzī, syaiṭān merupakan sebutan makhluk yang durhaka baik dari golongan jin
ataupun manusia.
Pemahaman ini disampaikannya ketika menjelaskan Q.s. al-An′ām/6: 112.44
Hal serupa juga di sampaikan oleh Muḥammad ‘Alī alṢābūnī, dari sudut
pandangnya, ia menyatakan bahwa kata syaiṭān adalah turunan dari kata syaṭana
yang berarti jauh. Jadi baik golongan jin ataupun manusia yang mengajak untuk
menjauh dari petunjuk Tuhan ia adalah syaiṭān. Sedangkan menurut al-‘Allamah
al-Imām al-Qurṭūbī dalam tafsirnya, ia mengatakan: “Dinamakan syaiṭān karena
jauh dari kebenaran dan karena kedurhakaannya. Karena setiap makhluk yang
angkuh nan durhaka dari golongan jin, manusia dan hewan dinamakan syaithan.”
Ajaran agama Islam yang menjamur di seantero masyarakat aʻjām, yaitu
masyarakat non Arab, pada kesempatannya mereka secara luas akan mengadopsi
konsep-konsep istilah dari kosakata al-Qur’an sebagai kitab suci, untuk
diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Kata syaiṭān sendiri, bagi masyarakat
Indonesia, memiliki makna yang hampir mirip dengan istilah hantu.
Namun di antara mereka ada pula yang dapat membedakan makna syaiṭān dan
hantu secara jelas. Perbedaan ini di latar belakangi oleh tingkat keilmuan dan
pemahaman mereka terhadap bahasa atau kosakata tersebut. Apabila dahulu
orang menyebut setan dengan menunjuk pada makhluk halus yang suka menakut-
nakuti atau mencelakai manusia, maka saat ini kata setan memiliki konsep yang
lebih luas lagi, buktinya adalah ia mampu menjadi nama trend yang terkadang
diatributkan pada nama makanan dst. Pemahaman yang demikian membuat
peneliti yakin bahwa konsep syaiṭān secara utuh masih memiliki hubungan yang
erat dengan makna di mana kosakata ini lahir. Namun pergeseran makna dari kata
syaiṭān amat terasa ketika di pahami dan dikonsepsikan oleh masyarakat pasca
Qur’anik. Apabila di masa Qur’anik kata syaiṭān mengarah pada person jin dan
manusia, maka pada masa Pasca Qur’anik kata syaitān mengarah pada segala
sesuatu yang menjadi penyebab keburukan, termasuk hewan, yang merupakan
makhluk yang tidak berakal.1
2
Saiful Fajar, Konsep Syaitān dalam Al-Qur’an (Kajian Semantik Toshihiko Izutsu), (Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta:2018), h. 67