Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an selalunya menjadi sumber inspirasi bagi seluruh umat manusia dan
juga ilmu pengetahuan, ia bagai cahaya yang tak akan pernah padam serta harta
yang tak pernah habis dikuras, warisan terbesar yang diberikan Rasulullah kepada
umatnya, sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup. Sungguh amat
disayangkan, dari ratusan juta manusia yang mengakui AL-Qur’an sebagai kitab
suci, ternyata sebagian besar dari mereka hanya menjadikannya sebagai pajangan
serta hiasan lemari, hanya sebagai bukti jika mereka juga punya kitab suci seperti
agama lain.

Dari jumlah umat Islam yang begitu besar, ternyata hanya sedikit sekali membaca,
menghafal, mentadaburi apalagi yang mengamalkan isi kandungan kitab sucinya,
mereka seakan tidak sadar jika di seberang sana atau bahkan di samping mereka,
musuh-musuh agama ini selalu mengintai dan mencari celah untuk
menghancurkan Islam secara perlahan. Umat ini sepertinya lupa atau mungkin
pura-pura lupa dengan makar dan konspirasi yang dibangun kaum Kuffar, untuk
menjatuhkan keotentikan Al-Quran serta menjauhkan kaum Muslimin darinya.
Dan ternyata, rencana musuh-musuh kita berhasil, ini terbukti dari makin
menjauhnya Al-Qur’an dari hati kita sebagai orang yang mempercayainya sebagai
kitab suci, sungguh memprihatinkan.

B. Rumusan Masalah
1. Al Quran Sebagai Kitab Hidayah Bagi Manusia yang Berakal dan Berhati
2. Pengertian Tafsir Bil-Ra’yi?
3. Pengertian Tafsir Isyari?
4. Pendapat ulama mengenai Tafsir Bil Ra’yi dan Tafsir Isyari?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al Quran Sebagai Kitab Hidayah Bagi Manusia yang Berakal dan


Berhati

  


   
 
 
  
  

“Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih


lurus ….[al-Isrâ`/17:9]

Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa ‘Ala menyampaikan pujian terhadap kitab
yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu Al-Qur`ân, sebagai kitab samawi paling agung dan paling luas cakupannya
menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir, bersumber dari Rabbul-
‘Alamîn. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah, aturan-aturan, dan nasihat-nasihat
yang dikandungannya, Al-Qur`ân ini menjadi faktor banyaknya manusia yang
memperoleh hidayah, dan ia mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan
lebih terang. Maksudnya, petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar
dalam persoalan aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak.

Ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat yang menyanjung keutamaan Al-
Qur`ân, ketinggian derajatnya dan kemuliaannya di atas kitab-kitab sebelumnya.
Di antara ayat-ayat pujian itu ialah sebagai berikut.

  


   

2
  


“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur`ân) kepada


mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. [al-A’râf/7:52].

  


  
  
 

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala


sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. [an-
Nahl/16:89]

Dalam dua ayat di atas, secara global Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan
kandungan Al-Qur`ân, sebagai hidayah menuju jalan terbaik, yang paling adil dan
benar. Seandainya kita berkeinginan menggali perincian hidayahnya secara
sempurna, niscaya kita akan mengarungi seluruh kandungan Al-Qur`ân.
Seseorang yang memperoleh hidayah Al-Qur`ân, niscaya ia menjadi insan yang
sempurna, paling lurus dan paling dipenuhi dengan petunjuk.

Pemaparan berikut merupakan bukti kongkret mengenai petunjuk Al-Qur`ân yang


mengalahkan seluruh hasil cipta dan pemikiran manusia dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Juga ketetapan-ketetapan Al-Qur`ân yang diingkari oleh kaum
Mulhidûn, terutama yang mengundang timbulnya “reaksi negatif”, baik dari
kalangan kaum muslimin sendiri yang lemah imannya, dan terlebih lagi kaum
kuffar. Dengan itu, kaum kuffâr berupaya mencoreng citra Islam, baik secara
langsung maupun menggunakan tangan-tangan kaum muslimin yang lemah iman.
Pencitraan buruk tentang Islam ini, tidak lain karena kedangkalan pandangan
mereka terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sarat dengan hikmah.

3
Berikut ini beberapa contoh petunjuk Al-Qur`ân yang lebih baik daripada lainnya.

1. Penetapan Hukum Rajam Bagi Pezina Yang Telah Menikah, Baik Laki-Laki
Maupun Wanita Dan Penjatuhan Hukum Pukul Bagi Yang Masih Lajang Disertai
Dengan Pengucilan Selama Satu Tahun.

Orang-orang mulhid menilai hukum rajam sadis dan ganas, tidak mengandung
hikmah dan tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, tidak perlu
diaplikasikan dalam peraturan yang mengikat manusia. Pandangan seperti ini,
tidak lain muncul karena dangkalnya pengetahuan mereka untuk mengambil
hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagai sanggahan, bahwasanya ketetapan tersebut berasal dari Allah Subhanahu


wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui kemaslahatan makhluk-Nya. Dan sebetulnya,
hikmah dari hukum rajam ini sangat mudah untuk dipahami. Yakni, ketika
seseorang itu berzina, berarti ia melakukan pengkhianatan yang sangat nyata.
Dengan perzinaan ini, ia telah melakukan perbuatan paling buruk yang dikenal
oleh umat manusia. Secara fitrah, keburukan dalam perbuatan zina itu telah diakui
oleh semua manusia yang masih lurus. Karena perzinaan itu telah menciderai
kehormatan, mengotori kesucian keluarga dan merusak garis keturunan di
masyarakat.

Adapun wanita yang senang melakukan zina dengan lelaki manapun, maka ia
sama saja. Orang-orang seperti ini begitu kotor dan tidak pantas memperoleh hak
hidup lagi. Keberadaannya menjadi duri bagi masyarakat. Oleh karenanya, al-
Khâliq, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumnya dengan hukum bunuh,
supaya perbuatan buruk para pezina ini dapat dimatikan, dan menutup keinginan
manusia agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Hikmah lainnya dari hukum rajam ini, ialah bermanfaat bagi para pelaku zina
untuk membersihkannya dari perbuatan kotor yang pernah ia tempuh. Hukum
bunuh dengan rajam atasnya sangat mengerikan, karena kejahatan yang dilakukan
juga merupakan kejahatan yang tak terperikan, sehingga hukuman yang
diterimanya pun harus setimpat. Sebagaimana hukuman zina bagi orang yang

4
sudah pernah menikah, hukumannya sangat keras; karena untuk memenuhi
kebutuhan “biologisnya”, sebenarnya ia bisa menikmatinya dengan istrinya. Akan
tetapi justru sebaliknya, ia menyalurkannya di jalan yang salah dan berbahaya.

Ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersendikan pada prinsip


menyingkirkan bahaya dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat mausia, serta
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, tindak
pengkhianatan yang sangat berat pantas dibalas dengan hukuman yang berat pula.

2. Hukum Qishash.

Ketetapan hukum ini sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman masyarakat


dari perbuatan saling bunuh. Seseorang yang sedang dilanda emosi atau dendam,
dan muncul keingina dalam hatinya untuk membunuh orang lain, misalnya, maka
ia akan teringat dengan hukum qishash. Sejurus kemudian ia akan berpikir
panjang jika ingin melakukan pembunuhan. Dia akan mengurungkan niatnya,
sehingga ia juga selamat dari hukum bunuh, setelah orang yang ia incar juga
selamat dari tangannya.

Dengan hukum qishash ini, tingkat kejahatan pembunuhan juga dapat dihambat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

  


  
  

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai ulil albâb
(orang-orang yang berakal), supaya kamu bertakwa” [al-Baqarah/2:179].

Tidak perlu diragukan lagi, inilah aturan terbaik dan paling adil. Fakta
membuktikan kecilnya angka pembunuhan di negeri-negeri yang menjalankan
hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena hukum qishash menjadi kendali kuat
bagi masyarakat yang ingin berbuat kriminal dan pembunuhan.

5
Berbeda dengan pandangan musuh-musuh Islam, mereka mengopinikan
bahwasanya qishash berlawanan dengan semangat hikmah. Karena begitu mudah
mengurangi jumlah anggota masyarakat dengan vonis mati bagi pelaku
pembunuhan setelah kematian korban. Atau dengan dalih orang tersebut harus
dihormati hak hidupnya. Karena itu sangat asasi. Sehingga pantasnya, para pelaku
pembunuhan itu dihukum penjara saja.

Pendapat musuh-musuh Islam ini tentu tidak bernilai sama sekali, dan jauh dari
hikmah. Karena hukuman penjara tidak mampu mencegah praktek pembunuhan.
Jika hukuman tidak benar-benar membuat jera, maka akan meningkatkan
keinginan melakukan pembunuhan berikutnya dari orang-orang yang tidak takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang-orang yang melontarkan komentar di atas, pada hakikatnya merasa


“mengetahui” kemaslahatan manusia dan mencoba melakukan penentangan
terhadap hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka hanya memandang hak
hidup bagi si pembunuh, tetapi tidak peduli dengan nyawa korban yang melayang
sia-sia, tanpa alasan yang sah. Pendapat itu, hakikatnya juga tidak menunjukkan
sikap simpati kepada keluarga korban. Bahkan tidak memikirkan kemaslahatan
umat manusia secara umum yang nyawanya terancam setiap saat, karena merasa
tidak aman. Orang-orang yang berpaling dari hukum Allah ini dan merujuk
kepada hukum produk manusia ini, tidak menyadari dampak buruk dari ketetapan
tersebut. Karena memang mereka bukan “ulil albaab” yang mampu berpikir jernih
dan melakukan pengamatan yang matang.[6]

3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.

Termasuk petunjuk Al-Qur`ân yang lurus, yaitu hukum potong tangan bagi
pencuri barang yang mencapai batas tertentu. Hal ini dinyatakan dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 
 

6
   
    
 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [al-
Mâidah/5:38].

Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam menegaskan untuk


keluarganya: “Kalau Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya”.

Jumhur ulama menyatakan, hukum potong tangan itu dilakukan dari persendian
telapak tangan kanan, bukan sampai persendian siku. Jika melakukan pencurian
untuk kedua kali, maka bagian kaki kiri yang dilenyapkan. Bila kembali
mengulangi perbuatannya, tangan kirilah yang dipotong. Seandainya masih tetap
melakukan pencurian lagi, maka kaki kirinya juga harus hilang.

Tangan pencuri pantas untuk dihilangkan, karena tangan tersebut keji dan telah
berbuat khianat. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya supaya
digunakan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan diridhai Allah Subhanahu wa
Ta’ala, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan mengambil peran
dalam membangun masyarakatnya. Namun ia menggunakan tangannya untuk
khianat dengan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
Kekuatan tangan dipergunakan untuk berbuat khianat. Mengambil harta milik
orang dengan cara seperti ini merupakan perbuatan yang sangat buruk. Tangan
yang kotor, berupaya menggoncangkan ketentraman masyarakat. Sebab, harta
memiliki peran penting terjaganya stabilitas sosial. Maka al-Khaliq, yang
menciptakan tangan tersebut, menghukumnya dengan memotong dan
melenyapkannya. Layaknya, anggota tubuh yang telah rusak lagi membusuk yang
akan menularkan penyakit pada sekujur tubuh bila tidak diamputasi, sehingga
tangan itu harus dilenyapkan untuk mempertahankan tubuh itu dan
membebaskannya dari ancaman penyakit.

7
Hukum potong tangan juga berguna untuk membersihkan pelaku pencurian dari
dosa pencurian yang ia lakukan, sekaligus berfungsi sebagai pengendali yang
tegas di tengah masyarakat.

4. Islam Dan Kemajuan Teknologi.

Bagi yang mencermati kandungan syariah Islam, ia akan mengetahui secara pasti
bahwa kemajuan tidak bertentangan dengan komitmen (istiqomah) menetapi nilai-
nilai agama. Sebaliknya, musuh-musuh Islam menghembuskan opini pada hati
kaum muslimin yang lemah iman dan lemah akal, bahwa kemajuan negara (Islam)
tidak mungkin diraih kecuali dengan melepaskan diri dari ikatan agama.
Pernyataan demikian ini batil, sama sekali sangat tidak beralasan, karena justru
Al-Qur`aan menyeru kemajuan pada seluruh aspek kehidupan, yang mempunyai
nilai penting bagi dunia dan agama. Akan tetapi, modernisasi yang diserukan
harus tetap berada dalam bingkai agama, ditempuh dengan etika-etika luhur dan
petunjuk Ilahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

  


  

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi …” [al-Anfâl/8:60].

   


   
   
   
  
   
   
   

8
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami. (Kami
berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang
bersama Dawud,” dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju
besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang
shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. (Saba`/34:10-1).

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : {(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar
dan ukurlah anyamannya}, menunjukkan persiapan dalam menghadapi musuh.
Sedangkan firman-Nya: {dan kerjakanlah amalan yang shalih}, berisi petunjuk
bahwa persiapan untuk menghadapi musuh dikerjakan dalam bingkai agama yang
haniif. Dan Nabi Dawud Alaihissalam termasuk nabi yang termaktub dalam surat
al-An’aam:

   


 
   
 
 

“… dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman,


Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik”. [al An’âm/6:84].

Usai menyebut beberapa nabi (termasuk Nabi Dawud Alaihissalam), Allah


Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

  


    

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka ….” [al-An’âm/6:90].

9
Ini menjadi petunjuk, bahwa kita juga menjadi bagian dari perintah yang
ditujukan kepada Nabi Dawud Alaihissalam tersebut. Dalam melawan musuh, kita
wajib menyusun persiapan disertai dengan komitmen tetap berpegang teguh
dengan ajaran agama. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Anfâl/8 ayat 60, ini
merupakan perintah yang pasti untuk mempersiapkan segala kemampuan, andai
pun kekuatan telah mengalami kemajuan pesat. Ini merupakan perintah yang tegas
untuk mengondisikan diri dengan kemajuan dalam perkara-perkara duniawi, tidak
jumud, dan selalu melakukan inovasi. Akan tetapi, meskipun demikian
pemanfaatan hasil kemajuan itu harus diiringi dengan komitmen tetap berpegang
teguh dengan nilai-nilai agama Islam.

Orang-orang kafir meniupkan syubhat, antara kemajuan dengan komitmen


beragama, budi luhur dan akhlak mulia sangat jauh berseberangan. Kata mereka,
perbedaan ini ibarat dua obyek yang saling berlawanan. Seperti perbedaan antara
ada dan tiada, antara putih dan hitam, antara gerakan dan diam. Jadi, antara
kemajuan negara dan komitmen beragama tidak bisa berjalan bersama dan
mustahil.

Yang benar, kemajuan merupakan konsekuensi logis dari sikap komitmen yang
shahîh kepada agama. Maka hendaklah diwaspadai, lontaran kaum kuffâr yang
keliru tersebut memiliki tujuan terselubung, yaitu supaya mudah memperdaya
kaum muslimin yang lemah iman. Pada gilirannya nanti untuk memudahkan jalan
mereka menguasai kaum muslimin.

Seandainya seluruh kaum muslimin mengenal dan mengikuti ajaran agama


dengan baik, niscaya akan bersikap tegas kepada kaum kuffaar sebagaimana
generasi Salaf bersikap pada nenek moyang kaum kuffaar. Sebab, ajaran agama
tidak berubah. Akan tetapi, orang-orang yang telah terpedaya oleh propaganda
Barat, merasa aneh dengan ajaran Islam. Dan ini membuat pandangan mereka
kepada Islam buruk. Maka, Allah menjadikan mereka sebagai budak orang-orang
kafir yang jahat. Seandainya mereka mau kembali memegangi agama Islam,
niscaya kemuliaan, hegemoni, dan kekuasaan akan kembali berada di genggaman

10
kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin pun akan berperan sebagai pemimpin
dunia. Allah berfirman :

  


  
  
  
   
  
   
   
  
  
    
  

4. apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka
pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan
mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka
atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah
menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak
menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang
syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.

Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon kepada-Mu iman yang tidak lepas,


nikmat yang tidak habis, dan menyertai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di surga yang paling tinggi selama-lamanya.

B. Tafsir Bil Ra’yi


a. Pengertian Tafsir Bil Ra’yi

11
Yang dimaksud dengan Tafsir Ra’Yi adalah Ijtihad.1 Jadi dapat disimulkan bahwa
Tafsir BIl Ra’Yi adalah menafsirkanAlQuran dengan ijtihad setelah mufassir
memahami pola-pola bahasa Arab, kata-kata Arab dan maknanya serta menguasai
ilmu-ilmu AlQuran, seperti Asbab An-Nuzul, Nasikh dan Mansukh, Muhkam dan
Mutasabih, dan sebagainya. Karena, menafsirkan AlQuran tanpa dasar
pengetahuan AlQuran adalah haram.2 Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-Isra : 36.

     


   
 
   
 

36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.

Begitu pula dalam redaksi lain dikatakan bahwa “Barang siapa berkata tentang
alQuran dengan Ra’yunya, walaupun berkata benar, ia telah melakukan
kesalahan”3 kutipan ini menyebabkan ulama salaf engan menggunakan metode ini
untuk menafsirkan AlQuran.

Para penafsir juga menggunakan syair-syair arab jahiliah4 sebagai pendukung di


samping memperhatikan Asbab An-Nuzul, Naskh dan Mansukh, Muhkam dan
Mutasabih, dan sebagainya. Karena adalah sulit bahkan keliru jika seorang
mufassir hanya mengandalkan Ra’yu guna menafsirkan AlQuran tanpa melihat
kepada Tafsir Bil Ma’tsur.5

1
Yusuf Hasab Abidu, Tafsir AL-Qur’an Sejarah Tafsir Dan Metode Para Mufassir. Hal. 83
2
Badrudin, Diktat Kuliah Madzhab Tafsir. Hal. 34
3
Ibid. hal. 35
4
Ibid. hal25
5
Ibid. hal 25

12
Tafsir Bil Ra’yi erat kaitannya dengan Tafsir Bil Ma’tsur. Hal ini disebabkan oleh
pengibarata bahwa, Tafsir Bil Ma’tsur adalah pondasi dan Tafsir Bil Ra’yi
merupakan bangunannya.6 Sebab, ilmu-ilmu rasional telah menjadi produk yang
popular dan barang yang terus berkembang dan umat manusia memerlukan
penjelasan serta uraian dan takwilan ayat-ayat yang belum dijelaskan.

b. Contoh penafsiran Tafsir Bil Ra’yi

contoh dari tafsiran Bil Ra’yi seperti tafsiran Q.s al-fathir: 32

  


  
   
 
  
  
   
 

32. kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri
mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka
ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang
demikian itu adalah karunia yang Amat besar.

Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “sabiq” dalam ayat tersebut adalah
orang yang senantiasa mendekatkan diri pada kebaikan-kebaikan dengan cara
mengerjakan kewajiban-kewajiban. Adapula yang mengantakan bahwa ia adalah
orang yang meninunaikan zakat yang diwajibkan berikut sodakoh. Sebagai lagi
ada yang mengatakan” as sabiq adalah orang yang mengerjakan sholat tepat pada
waktunya adapun zhalimun linafsih” adalah orang yang mengakhirkan sholat

6
Yusuf Hasan Abidu, Op.Cit. hal. 83

13
ashar sampai Nampak mega kuning di upuk barat. Pertentangan diantara tafsir
naqli dan aqli adalah sebagai berikut:

Pertama:

Tafsir yang aqli bersifat qath’iy (tegas) dalam tafsir yang naqli juga bersifat
qath’iy.

Kedua:

Salah satu diantara keduanya ada yang bersifat qath’iy, sementara yang lain zanni
(hipotesis, dugaan).

Ketiga:

Kedua-duanya bersifat zanni.7

c. Pendapat Ulama Mengenai Tafsir Bil Ra’yi

Mengenai Tafsir Bil Ra’yi tentu mengalami perbedaan pendapat. Hal ini
disebabkan tafsiran yang dihasilakn metode ini adalah berdasarkan keyakinan
seorang mufassir dengan didasari ilmu-ilmu tafsir serta riwayat yang ada. Tentu
ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Pendapat yang tidak setuju dengan
tafsir Bil Ra’yi berpendapat:

1. Firman Allah Q.S. An-Nisa : 59

   ……


   
…….

kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia


kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)

7
Badrudin, Op.Cit. hal.38

14
dari ayat di atas menyatakan bahwa, jika kita memiliki permasalah perbedaan
pendapat. Maka kita senantiasa kembali kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Allah juga berfirman dalam Q.S. An-Nahl : 44.

   …..


  
  
  

…..dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka
memikirkan,

Perintah menerangan alQuran dalam ayat di atas ini dihubungkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Jadi menurut mereka, selain Rasulullah tidak diperbolehkan
menjelaskan AlQuran.8

2. Hadis Rasulullah yang mengatakan:9

)‫من قال فى القرأن برأية فأصاب فقد أحطأ (روه أبوادودو الترمذى وقال حديث غريب‬

“Barang siapa yang mengatkan sesuatu tentang AlQuran dengan berdasarkan pada
Ra’yunya sendiri, dan ternyata ia benar, maka itu tetap merupakan kesalahan”
(HR. Abu Dawud, Tarmidzi. Dan keduanya berkata hadis ini Gharib (tidak
dikenal))

Begitu pula dengan Hadis yang berbunyi:10

‫ ومن قال فى القرآن‬. ‫ فمن كذب علي متعمدافلبتبو أمقعذه من النار‬. ‫اتقواالحدبث أالما علمتم‬
)‫برأية فليابو أمقعده من النار (روه الترمذى و أبو داود‬

8
Ibid. hal. 26
9
Ibid. hal. 27
10
Ibid. hal. 28

15
“Jauhilah pembicaraan kecuali dalam hal-hal yang telah kalian ketahui, karena
barang siapa yang sengaja berdusta atas manaku, maka hendakhlah bersiap untuk
bertempat di neraka. Dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang alQuran
berdasarkan Ra’yu sendiri, hendakalh ia bersiap-siap untuk bertempat di neraka.”
(HR. Imam At-Tarmidzi dan Abu Daud)

3. Riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari ulama salaf yang saleh, dari


sahabat dan tabi’in yang secara keseluruhannya menunjukkan bahwa
mereka semua sejauh mungkin menghindari pembicaraan mengenai
penafsiran alquran, dan meraka takut jika terlibat dalam pembicaraan
seperti itu. Imam abi malikah ra. Berkata
“Abu Bakar ash-shaddiq pernah bertanya mengenai tafsiran tentang
sebuah hurup yang ada dalam alquran. Beliau menjawab: langit yang mana
yang akan ku jadikan tempat berteduh, bumi mana yang akan ku pijak,
kemana aku harus pergi dan apa yang aku perbuat, jika aku mengatakan
sesuatu tentang sebuah dalam kitab Allah, menurut yang tidak sesuai
dengan yang dikehendaki Allah SWT”11.
Sa’id bin Musayyid jika ditanya tentang tafsiran suatu ayat alquran beliau
menjawab:’ aku tidak akanmmengatakan sesuatupun tentang alquran”12

Sedangkan yang membolehkan tafsir Bil Ra’yi berlandasan:

1. Dalam kitabullah banyak terdapat seruan dan anjuran untuk melakukan


peninjauan dan perenungan dan pemikiran.13

Q.S. Shad 29

  


 
 
  
11
Ibid. hal.29
12
Ibid. hal.30
13
Ibid. hal. 31

16
29. ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

Q.S. Muhammad 24

 
  
  

24. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka
terkunci?

Belum dilanjutkan

C. Tafsir Al-Isyari
a. Tafsir sufi (isyari)

Al –Alusi Jalaludin As-Suyuti menebutkan bahwa tafsir sufi sebagai takwil dalam
arti isyarat isyarat qudus dan berbagai marifat ke ilahian yan tersingkap bagi para
salik, yaitu orang orang yang sedang menempuh jalan menuju dan begabung
dengan tuhan., isyarat isyarat qudus dan marifat ke ilahian n itu berada di balk
ungkapan ungkapan ayat yang memancarkan cahaya kedalam lubuk hati orang
orang sufi.14 Dengan demikian ,dapat di katakan bahwa tafsir sufi pada dasarnya
adalah pemahaman atas ayat ayat Al-Quran berdasarkan atas pendekatan sufisme
dengan menggunakan takwil. Sebagaimana di jelaskan bahwa tafsir sufi itu ada
dua macam yaitu, tafsir sufi nadhari, tafsir sufi isyari atau amali .

1. Tafsir sufi isyari ialah tafsir takwil atas ayat ayat alquran berdasarkan
isyarat isayarat yang tersembunyi di balik ayat dzohir. isyarat isyarat
tersembunyi tidak bertentangan dengan makna dzohir ayat. 15 Jadi tafsir
isyari tersebut bukan di bangun atas dasar ilmiah melainkan berdasarkan

14
Syihab Al-Din Muhamad Al-Alusi,Ruh Al-Ma’anin, hlm.5
15
Muhamad Husein AL-Dzahabi,op.cit. hlm. Jalaludin As- Suyuthi op.cit.hlm.185

17
pada latihan spritual, latihan latihan spritul itu oleh kaum sufi sendiri di
jadikan sebagai pedoman agar sampai pada peringkat terakhir yakni
tersingkapnya isyarat isyarat qudus yang berada di balik ayat itu, sehingga
memancarkan sebagai ma’rifat ke ilahian alam ghaib dan menembus lubuk
hati paling dalam.
2. Metode tafsir sufi
Metode yang di gunakan kaum sufi dalam menafsirkan ayat Al-Quran
ialah metode tahlili (analisis) yaitu mereka menafsirkan ayat Al-quran
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat ayat yang
di tafsirkan itu dengan ke ahlian dan kecendrungan mufasir karna sufisme
mewakili aspek bathin islam, maka ajaran ajaran pada dasarya merupakan
komentar esoterik atas Al-Quran.
Contoh penafsiran isyari
- surat al baqarah ayat 123
Dan ingat ketika Allah menguji nabi ibrahim dengan kalimat kalimat dan
ibrahim menyempurnakan.
Al –Alusi mentakwil ayat dengan peringkat (martabat) rohaniah seperti
kalbu ruh wahdah dan ahwal kedua dengan maqamat (station) yang
menyertai martabat itu seperti bserserah diri kepada Allah, taslim, tawakal
dan ridho. Fa atammahuna di tafsirkan dengan mnyempurnakan kalimat
tuhan dengan suluk menuju Allah, di dalam Allah dan fana di dalamnya.16
- Surat Al baqrah ayat 74
Padahal di anatara bebatuan itu sungguh ada yang mengalir sungai sunga
darinya dan diantaranya sungguh ada yang eluncur jauh karna takut
kepada Allah.
An-Naisaburi mentakwilkan bahwatingkat kekerasan hati ada beberapa
macam.hati yang keas mengalir sungai sungai darinya adaah hati an di
penuhi oleh gejolak cahaya rohani dengan meningalkan kemewahan
syahwat. Sedangkan hati kerasyang terbelah dan keluar mata air darinya
adalah hati ang menampakan cahaya cahaya rohani pada saat ertnt

16
Syhab Ad-din Muhamad Al=Alusi op.cit,hlm.78

18
manakala hijab kemansiaan terbuka. Adapun yang disbut hati yang
meluncur jatuh karna takut kepada Allah hati yang di milikimpara
penganut agama dari alran agama yang ada ketika menatap cahaya cahaya
rohani dan balik tabir mereka amat ketakutan

19

Anda mungkin juga menyukai