A. Pendahuluan
Tafsir merupakan sarana untuk memahami al-Qur’an secara lebih
mendetail. Tafsir mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menggali dan memahami ayat-ayat al-Qur’an.1 Seperti yang kita ketahui
bahwa ayat-ayat al-Quran tidak semuanya dapat dipahami langsung ketika
membacanya. Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an tidak satu pun
makhluk Tuhan dapat menandingi walaupun hanya satu kata. Penafsiran
sangat dibutuhkan untuk dapat memahami kandungan yang dimaksud
dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat al-Qur’an sebagai sumber hokum
yang utama. Akan tetapi tidak semua penafsiran dapat diterima dan
diaplikasikan begitu saja. Perlu ditinjau dari beberapa sisi, apakah
penafsiran yang ada, dapat diterima atau tidak.
Ada penafsiran tentu saja ada yang menafsirkan. Orang yang
melakukan penafsiran disebut dengan mufassir. Tidak semua orang
penafsirannya dapat diterima. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar
penafsirannya dapat diterima. Selain syarat, mufassir juga harus
mempunyai adab yang dapat diteladani. Adapun para ulama telah
merumuskan syarat dan adab yang harus ada pada diri mufassir.
Terpenuhinya syarat adab mufassir menjadi syarat diterimanya penafsiran.
Oleh karenanya, perlu mengetahui syarat dan adab mufassir agar tidak
dengan mudah menerima dan mengaplikasikan penafsiran yang ada.
B. Syarat-syarat Mufassir
Orang yang melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an disebut
mufassir, jamaknya yaitu mufassirun atau mufassirin. Orang yang hendak
melakukan penafsiran harus memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati
oleh para ulama setelah nabi Muhammad wafat. Layaknya seorang dokter,
seorang dokter harus benar-benar memahami ilmu yang bersangkutan
dengan kedokteran sebelum ia menjadi dokter. Begitu pula dengan seorang
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 307.
2
Ibid, hlm. 402.
3
As Suyuti, Al Itqan fii Ulum al Qur’an, hlm 213, juz 4, CD ROOM Maktabah Syamilah
versi 3. 48, Arrawdah Software.
4
Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zurqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulumil Qur’an, hlm. 51, juz 2,
CD ROOM Maktabah Syamilah versi 3. 48, Arrawdah Software.
5
8
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir,
(Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 19.
9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 409-416.
10
Ibid, hlm. 417.
C. Adab Mufassir
Al-Qur’an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril yang di dalamnya memuat
dasar-dasar hokum dari berbagai macam persoalan yang berkenaan dengan
alam, aqidah, social, dan lain sebagainya. Allah menjadikan al-Qur’an
sebagai dasar pedoman kehidupan bagi umat manusia di samping adanya
sunnah. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi siapapun menafsirkan
suatu ayat al-Qur’an tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan
oleh para ulama.
Sebagaimana yang telah disinggung di awal, selain syarat-syarat yang
berkenaan dengan akademik, mufassir juga harus mempunyai etika yang
patut ada pada mufassir. Orang dengan pengetahuan akademik yang kaya
tanpa dibarengi dengan etika yang patut diteladani akan sulit dipercaya
oleh orang lain akan kekayaan ilmunya tersebut. Para ulama juga
merumuskan etika atau yang sering dikenal dengan sebutan adab al-
mufassir yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Manna’ Khalil al-
Qattan mengatakan terdapat 11 adab yang harus dimiliki mufassir:
1. Berniat baik dan bertujuan benar
Seorang mufassir hendaknya mempunyai tujuan dan tekad untuk
kebaikan umum, berbuat baik kepada Islam, dan membersihkan diri
dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan
memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya
2. Berakhlak baik
Seorang mufassir layaknya seorang pendidik yang harus bisa
menjadi panutan yang diikuti oleh didikannya dalam hal akhlak dan
perbuatan. Kata-kata atau perbuatan yang kurang baik
D. Simpulan
Seorang yang hendak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an harus
memenuhi syarat-syarat dan adab yang telah disepakati oleh para ulama
setelah nabi wafat. Persyaratan tersebut baik yang bersifat fisik dan psikis
serta akademik. Persyaratan fisik dan psikis berupa harus seorang yang
sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat serta harus seorang yang muslim.
Persyaratan akademik yaitu dengan menguasai beragam ilmu yang baik
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan ulumul
Qur’an. Kelengkapan ilmu yang harus dimiliki mufassir pada dasrnya lahir
karena tuntunan al-Qur’an sendiri yang isinya meliputi semua persoalan
atau bidang hidup dan kehidupan manusia.
11
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2015), hlm. 469-471.
Teras.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2015. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa.