Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Dosen Pengampu : DR. Wahyu Sya’at M.Pd.I

PRODI : MANAGEMENT PENDIDKAN ISLAM


MAPEL: ILMU AL-QUR’AN
Oleh:
1. M. Faza Ilhamuddin
2. M. Farkhan Fikriyani
3. M. Wildan Rizky
4. Alvivi Khukiya

STAI SABILUL MUTTAQIN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tafsir merupakan sarana untuk memahami Al-Qur’an secara lebih mendetail. Tafsir
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menggali dan memahami ayat-ayat Al-
Qur’an. Seperti yang kita ketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak semua dapat difahami
langsung ketika membacanya. Bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an satu pun makhluk
tuhan yang dapat menandingi walau pun hanya satu kata. Penafsiran sangat dibutuhkan
untuk dapat memahami kandungan yang dimaksud dalam ayat-ayat Al-Qur’an, mengingat
Al-Quran sebagai hukum yang utama. Akan tetapi tidak semua penafsiran dapat diterima
dan diaplikasikan begitu saja. Perlu ditinjau dari segala sisi, apakah penafsiran yang ada,
dapat diterima atau tidak.

Ada penafsiran tentu ada yang menafsirkan. Orang yang melakukan penafsiran
disebut mufassir. Tidak semua orang penafsirannya dapat diterima. Adapun syarat yang
harus di penuhi agar tafsirannya dapat diterima. Selain syarat, mufassir juga harus memiliki
adab yang dapat di teladani. Adapun para ulama’ telah merumuskan syarat dan adab yang
harus ada dalam diri mufassir. Terpenuhinya syarat dan adab mufassir menjadi syarat
diterimanya penafsiran. Oleh karenanya, perlu mengetahi syarat dan adab mufassir agar
tidak mudah menerima dan mengaplikasikan penafsiran yang ada.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Syarat-syarat Mufassir
2. Bagaimana Adab Mufassir

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Syarat-syarat Mufassir
2. Mengetahui Adab Mufassir
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Mufassir
Orang yang melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an disebut mufassir, jamaknya
yaitu mufassirin atau mufassirun. Orang yang hendak melakukan penafsiran harus
memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama’ setelah nabi Muhammad
SAW wafat. Layaknya seorang dokter, seorang dokter harus benar-benar memahami ilmu
yang bersangkutan dengan seorang dokter sebelum ia menjadi dokter. Begitu pula seorang
mufassir, sebelum menafsirkan Al-Qur’an maka ia harus memenuhi kriteria dan persyaratan
yang ditetapkan oleh para ulama’.

Seseorang yang akan menjadi mufassir harus memiliki beberapa persyaratan, baik
yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat diniyah (agama) dan terutama syarat-
styarat yang bersifat akademik.1 Seseorang yang hendak menjadi mufassir, ia harus orang
sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat. Anak kecil walaupun berakal sehat dan orang
baligh tetapi tidak berakal sehat penafsirannya tidak dapat diterima. Selain orang baligh dan
berakal sehat, seorang mufassir harus beragama Islam. Orang non-islam penafsirannya
tidak dapat diterima karena ditakutkan atau dikawatirkan menimbulkan kekacauan atau
penyelewengan terhadap ajaran Islam melalui penafsiran yang dilakukannya. Kemudian
secara psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika dalam menafsirkan atau lebih
sering disebut dengan adab al-mufassir.

Selain syarat psikis dan fisik, adapun persyaratan akademik bagi seorang mufassir.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai banyaknya persyaratan akademik yang harus
dipenuhi calon mufassir. Beberapa pendapatnya, yaitu:
1. Imam Jalaluddin As-Sayuthi(911 H/1505 M) menyebutkan terdapat lima belas ilmu yang
harus dikuasai oleh orang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an. Kelima belas ilmu tersebut
yaitu bahasa, nahwu, sharaf, istiqaq, ilmu ma’ani, bayan, badi’, ilmu qira’at, ushuluddin,
ushul fiqih, asbab an-nuzul, nasikh mansukh, fiqih, hadist-hadist yang menjelaskan ayat
yang masih global dan umum, dan ilmu mauhibah. 2
2. Muhammad ‘Abd Al-Adzim Al-Zarqani mengatakan bahwa macam-macam ilmu yang
harus dimiliki oleh seorang mufassir yaitu bahasa, nahwu, sharaf, balaghah, ilmu ushul
fiqh, ilmu tauhid, mengetahui azbab al-nuzul, qashash, nasikh mansukh, hadist-hadist
penjelas bagi mujmal dan mubham, ((
3. Al-Farmawi menjelaskan terdapat empat macam persyaratan dan berbagai ilmu
didalamnya:
a.Memiliki I’tiqat atau keyakinan yang benar dan mematuhi agama.
b. Memiliki tujuan yang benar, seorang mufassir menafsirkan semata-mata dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah.
c.Berpegang kepada dalil naql (Al-Qur’an, hadist, dan sahabat) serta menjauhi periwayatan-
periwayatan bid’ah.
1
Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zurqani, Manahil al-Irfani fi ulumil Qur’an, hlm 51, juz 2, CD ROOM Makhtabah Syamilah
versi 3. 48, Arrawdah Software.
22
As Suyuti, Al Itqan Fii Ulum Al Qur’an, hlm 213, juz 4, CD ROOM Makhtabah Syamilah versi 3, 48, Arrawdah Software.
d. Memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, sebagaimana yang telah dikatakan
Al-Sayuthi dan Al-Zarqani terdapat 15 ilmu, yaitu:

1) Ilmu Bahasa, dalam hal ini yang dimaksud yaitu bahasa arab mengingat bahwa bahasa yang
digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa arab yang bukan bahasa ajami. Seorang
mufassir harus mengetahui arti dan maksud kosa kata yang digunakan dalam Al-Qur’an.
2) Ilmu nahwu(tata bahasa), dengan ilmu ini mufassir akan mengetahui perubahan makna yang
terjadi pada kalimat seiring dengan perubahan I’rob.
3) Ilmu sharaf, untuk mengetahui bentuk asal dan pola perubahan sebuah kata.
4) Ilmu isytiqaq, jika diambil dari dua kata dasar yang berbeda maka memiliki makna yang
berbeda pula. Contohnya al-masih apakah diambil dari kata al-siyasah atau al-mash
5) Ilmu ma’ani, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui karakteristik susunan
sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya.
6) Ilmu bayan, seorang mufassir dapat mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan
dilihat dari perbedaan-perbedaan maksudnya.
7) Ilmu badi’, untuk mengetahui sisi-sisi keindahan dari suatu kalimat atau ungkapan.
8) Ilmu qira’at, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui cara-cara melafadz kan Al-
Qur’an.
9) Ilmu ushuluddin, dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui tentang apa yang wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah. Dengan ilmu ini diharapkan para mufassir akan dapat
melakukan penafsiran yang sejalan dengan hakikat permasalahan. 3
10) Ilmu ushul fiqh, ilmu ini untuk mempelajari cara pengambilan dalil-dalil hukum dan
perumusan dalil hukum.
11) Ilmu asbab al-nuzul, untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat dan nantinya mufassir
dapat mengkontekskan dengan keadaan saat ini.
12) Ilmu nasikh mansukh, dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui mana hadis yang datang
lebih awal dan akhir. Sehingga mengetahui ayat-ayat muhkam daripada ayat lainnya.
13) Ilmu fiqh
14) Hadist-hadist yang dapat menjelaskan ayat-ayat yang mujmal dan mubham.
15) Ilmu mauhibah yaitu sebuah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada siapa saja yang
mengamalkan ilmunya, ilmu ini buah dari takwa dan keikhlasan.
Selain ilmu-ilmu di atas, sebagian ulama’ menambahkan beberapa ilmu yang
harus dimiiki seorang mufassir. Syaikh muhammad abduh dan muridnya, Muhammad
Rasyid Ridha misalnya menyatakan bahwa seorang mufassir dituntut untuk mengetahui
ilmu sejarah manusia, ilmu riwayat hidup manusia, dan ilmu yang berkaitan dengan jagad
raya. 4 Muhammad Amin Suma juga menambahkan beberapa ilmu disamping 15 ilmu yang
telah disebut. Muhammad Amin Suma menambahkan beberapa kelompok ilmu, yaitu:
a.Kelompok ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antopologi, ilmu hukum, sejarah, politik, dan
lain sebagainya. Tidak dipungkiri bahwa dalam penafsiran juga diperlukan ilmu-ilmu diluar
Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an tidak hanya menerangkan atau mengisahkan agama tetapi juga
menerangkan hubungan antar manusia, sesama makhluk, angkasa raya, dan segala hal yang
diciptakan Allah SWT.

33
Mahmud BasuniFaudah, Tafsir-Tafsir Al Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka 1987, hlm 17.
44
Mahmud BasuniFaudah, Tafsir-Tafsir Al Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka 1987, hlm 19.
b. Kelompok ilmu pengetahuan alam. Ilmu ini meliputi matematika, biologi, fisika, dan kimia.
Kelompok ilmu ini juga dibutuhkan mufassir untuk menafsirkan Al-Qur’an, mengingat
cukup banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang alam.
Pada hakikatnya, mufassir harus menguasai berbagai macam ilmu yang ada ketika akan
menafsirkan Al-Qur’an. Dan disini pula letak ketepatan sabda Rosulullah yang mengatakan
bahwa orang (mufassir) yang sesungguhya adalah orang yang mampu mengadakan kajian
terhadap ilmu sekian banyak orang.
Artinya:”Rosulullah pernah ditanya, “mana orang yang paling tahu(berilmu) itu yaa
Rosulullah?, Nabi menjawab “orang yang(mampu) mengumpulkan ilmu banyak orang.”
(HR Al-Darimi)
Terdapat banyak persoalan dalam Al-Qur’an dan membutuhkan ilmu yang bermacam-
macam. Suatu persoalan tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang atau dari ilmu saja
sehingga perlu bagi mufassir untuk memperkaya khazanah keilmuannya dalam berbagai
bidang.

B. Adab-adab Mufassir
Al-Qur’an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril yang didalamnya memuat dasar-dasar hukum dari berbagai macam
persoalan yang berkenan dengan alam, akidah, sosial, dan lain sebagainya. Allah
menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pedoman kehidupan kepada umat manusia disamping
adanya sunnah. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi siapapun menafsirkan suatu ayat
Al-Qur’an tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama’. 5
Sebagaimana yang telah disinggung di awal, selain syarat-syarat yang bekenaan
dengan akademik, mufassir juga harus mempunyai etika yang patut ada pada mufassir.
Orang dengan pengetahuan akademik yang kaya tanpa dibarengi dengan etika yang patut
diteladani akan sulit dipercaya oleh orang lain akan kekayaan ilmunya tersebut. Para ulama’
juga merumuskan etika atau yang sering dikenal dengan adab al-mufassir yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir. Manna’ Khalil al-Qattan mengatakan terdapat sebelas yang
harus dimiliki mufassir :
1. Berniat baik dan bertujuan benar
Seorang mufassir hendaknya mempunyai tujuan dan tekat untuk kebaikan umum,
berbuat baik kepada Islam, dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah
meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya.

54
Mahmud BasuniFaudah, Tafsir-Tafsir Al Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka 1987, hlm 19.
5
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm 409
2. Berakhlak baik
Seorang mufassir layaknya seorang pendidik menjadi panutan yang diikuti oleh
didikannya dalam hal akhlak dan perbuatan. Kata-kata atau perbuatan yang kurang baik
menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang diajarkan oleh pendidik.

3. Taat dan beramal


Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkan ilmunya daripada
melalui orang yang berpengetahuan tinggi akan tetapi tidak mengamalkannya.

4. Berperilaku jujur dan teliti dalam penukilan


Dengan berperilaku jujur dan teliti, mufassir tidak akan berbicara dan menulis
kecuali telah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Sehingga dengan cara tersebut akan
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.

5. Tawadhu’ dan lemah lembut


Dengan tawadhu’ dan lemah lembut akan menghantarkan seorang alim pada
kemanfaatan ilmunya.

6. Berjiwa mulya
Seharusnya orang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak
mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.

7. Vokal dalam menyampaikan kebenaran


Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak
dihadapan penguasa dzalim.

8. Berpenampilan baik
Hal ini agar menjadikan seorang mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua
penampilannya, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan. Namun sikap ini hendaknya
murni dari diri sendiri bukan paksaan.

9. Bersikap tenang dan mantap


Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam hal berbicara ataupun perbuatan
tetapi hendaknya berbicara dengan jelas, tenang, dan mantap agar orang yang
mendengarnya dapat memahami apa yang dikatakan dan tidak ragu akan ketetapan yang
dihasilkan mufassir.

10. Mendahulukan orang yang lebih utama


Seorang mufassir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang
yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak boleh merendahkan dan
mengabaikan ketika mereka telah wafat. Akan tetapi hendaknya seorang mufassir belajar
dari mereka yang lebih pandai dan belajar dari karya-karya mereka.

11. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik


Penafsiran hendaknya dilakukan dengan persiapan sebelumnya dan melakukan
langkah-langkah penafsiran dengan baik. Misalnya dimulai dengan menyebutkan asbab an-
nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan
I’rob yang padanya tergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna umum
dan menghubungkannya dengan kehidupan umum yang sedang dialami umat manusia pada
masa itu dan kemudian mengambil keputusan hukum. 6

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seorang yang hendak melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an harus memenuhi
syarat-syarat dan adab yang telah disepakati oleh para ulama’ setelah nabi wafat.
Persyaratan tersebut harus terpenuhi baik yang bersifat fisik dan psikis serta akademik.
Persyaratan fisik dan psikis harus berupa seorang yang telah dewasa(baligh) dan berakal
sehat serta seorang muslim, dan untuk persyaratan akademik yaitu dengan menguasai
berbagai ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Al-
Qur’an. Kelengkapan ilmu yang harus dimiliki mufassir pada dasarnya lahir karena
tuntunan Al-Qur’an sendiri yang isinya meliputi semua persoalan atau bidang dalam
kehidupan manusia.

Seorang mufassir juga harus mempunyai etika yang mulia dan patut di teladani.
Etika yang mulia tersebut akan membawa umat manusia tidak ragu akan ketetapan yang
dihasilkan seorang mufassir.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan pada kata, penulisan,
ataupun penjelasan kami mohon maaf. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun
agar menjadi sumber rujukan sehingga menjadi apa yang kami buat ini lebih baik dimasa
mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin…

66
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al Qur’an,(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 15), hlm 469-471.

Anda mungkin juga menyukai