Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH TAFSIR PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHANNYA

Makalah
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Quran”
Dosen Pengampu “Moh. Nadhif M.Pd.I.”

Oleh:
ILHAM GHULAM GIBRAN / (2277012043)
SALIS AL KAFI / (2277012094)
RIKO DWI AFRIANSYAH / (2277012090)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MA’HAD ALY AL-HIKAM”
MALANG
November 2022
DAFTAR ISI

ii
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembangunan umat Islam bahkan pembangunan seseorang manusia, tidaklah mungkin
dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa adanya petunjuk-petunjuk dari
ajaran al Qur’an yang meliputi segala unsur kebahagiaan bagi jenis manusia. Dengan mudah
kita dapat mengetahui, bahwa tidak mungkin beramal dengan ajaran-ajaran al Qur’an,
terkecuali sesudah kita memahami al Qur’an, mengetahui isinya, prinsip-prinsip yang diatur.
Hal ini tidaklah mungkin dicapai, melainkan dengan mengetahui apa yang ditunjukkan oleh
lafal-lafal al Qur’an. Maka untuk dapat menguraikan lafal-lafal al Qur’an yang bersifat global
itu perlu adanya upaya dan proses penafsiran al Qur’an. Karenanyalah, dapat kita tetapkan
bahwa tafsir adalah anak kunci perbendaharaan isi al Qur’an yang diturunkan untuk
memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan
alam ini.
Setiap generasi akan mewarisi kebudayaan generasi-generasi sebelumnya, kebutuhan
suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi lain. Begitu pula
perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat di katakan sama keperluan dan kebutuhannya,
sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan
oleh generasi-generasi sebelumnya, serta saling tukar-menukar pengalaman yang di alami
oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah yang lain, mana yang masih sesuai dipakai,
mana yang kurang sesuai dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan,
sampai nanti keadaan dan masa membutuhkan pula. Demikian pula halnya dengan al Qur’an,
ia berkembang mengikiti irama perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia
dalam suatu generasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian tafsir, takwil, dan perbedaan keduanya?
2. Bagaimana sejarah tafsir di zaman rasul dan sahabat?
3. Apa syarat-syarat mufassir?
4. Siapa saja para mufassir yang masyhur?
5. Bagaimana kondisi masa penulisan tafsir?
6. Apa perbedaan tafsir bil maksur dan tafsir bir ra’yi?
BAB II
PENDAHULUAN

A. Pengertian Tafsir, Takwil, Dan Perbedaan Keduanya


1. Tafsir
Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru – tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-qur’an,
keadaan kisah dan sebab turunya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada
makna zahir.
a) Macam-Macam Tafsir
1) Tafsir Bil Ma’tsur Tafsir bi al-ma’tsur, adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan perkataan para tabi’in.
2) Tafsir Bir Ra’i Yaitu penafsiran al-Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-
ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan
kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran
riwayat-riwayat (ar-riwayat).
3) Tafsir Mahmud (Terpuji) Suatu penafsiran yang cocok dengan tujuan syar’i, jauh
dari kesalahan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta
berpegang teguh pada ushlub-ushlubnya dalam memahami nash al-Qur’an.
4) Tafsir Al-Bathil Al-Madzmum Suatu penafsiran berdasarkan hawa nafsu, yang
berdiri di atas kebodohan dan kesesatan. Manakala seseorang tidak faham dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab, serta tujuan syara’, maka ia akan jatuh dalam
kesesatan, dan pendapatnya tidak bisa dijadikan acuan.
5) Tafsir Bil Isyari Suatu penafsiran diamana menta`wilkan ayat tidak menurut
zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang
tersembunyi.

2. Takwil
Kata ta’wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ’) atau dari kata
al-ma’ǎl yang artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan.
Ada yang menduga bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-
siyasah). Secara istilah, ta’wil berarti memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada

4
makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan
makna itu sesuai dengan al-kitab dan sunnah.
a) Macam-Macam Ta’wil
1) Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak
mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
2) Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah
serta diduga sebagai makna yang benar.

3. Perbedaan Tafsir Dan Takwil


Dalam hal ini, para ulama banyak berkomentar mengenai perbedaan takwil dan
tafsir. Dari pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting di
antaranya sebagai berikut :
a. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan
maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau sama
maknanya.
b. Apabila kita berpendapat. ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan,
maka ta’wil dari thalab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sensiri,
dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatau yang diberitakan.
c. dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam kitabullah atau tertentu (pasti)
dalam sunnah yang shahih karena maknanya telah jelas dan gambling. Sedangkan
ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama.
d. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafazh dan
mufradat (kosa kata), sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan)
makna dari susunan kalimat.

B. Tafsir Di Masa Rasulullah Dan Sahabat


Nabi Muhammad saw, sebagai penerima wahyu tentu saja memahami ayat al-Quran
baik secara global maupun terperinci. Karena itu beliau memiliki kewajiban untuk
menjelaskan makna dari setiap ayat al-Quran kepada para sahabat. Meski demikian, secara
mudah para sahabat sebenarnya tau arti dari setiap ayat karena diturunkan menggunakan
bahasa Arab, namun terkadang para sahabat kurang memahami bagaimana detail dan maksud
dari ayat tersebut.

5
Ibnu Khaldun dalam karyanya Muqaddimah menjelaskan bahwa al-Quran diturunkan
dalam bahasa Arab dan menuntut uslub-uslub balaghah-nya. Oleh karena itu, pemahaman
bahasa arab tidak serta merta membuat para Sahabat memahami makna tersirat al-Quran,
tetapi juga harus didukung dengan pengetahuan bahasa yang melingkupinya.
Maka, tidak heran jika pemahaman satu sahabat dengan sahabat lain dalam memahami
al-Quran berbeda-beda sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Lalu, apa yang
dipegang para sahabat untuk memahami dan melakukan penahanan terhadap al-Quran?
Diantaranya adalah:
1) Berpegang kepada al-Qur'an, atau biasa disebut dengan tafsir Qur'an bil Qur'an . Hal
ini bisa dilakukan karena terkadang ada ayat yang bersifat Global lalu disusul dengan
ayat lain yang menjelaskannya secara rinci dan mendetail.
2) Berpegang kepada Nabi Muhammad, ketika mengalami kesulitan dalam mehamai al-
Quran, para sahabat bisa langsung bertanya kepada beliau dan biasanya akan langsung
dijawab dengan penjelasan oleh Nabi.
3) Berpegang pada pemahaman dan Ijtihad, selanjutnya jika ada sahabat yang belum
paham mengenai suatu ayat dan tidak mendapat penjelasan dari Nabi karena belum
bertemu, maka para Sahabat akan melakukan ijtihad dengan pemikiran dan pemahaman
mereka.
Pada masa sahabat ini, tidak ada satu kitab tafsir pun yang ditulis dan dibukukan,
karena urgensi pada saat itu lebih kepada bagaimana menjaga al-Quran dan menuliskannya.

C. Syarat-syarat Mufassir
Mufassir adalah orang yang menerangkan makna atau maksud kandungan al Quran.
Para ulama menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki mufassir sebagai berikut :
1. Akidah yang benar, sebab akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa
pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur
dalam penyampaian berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan madzhabnya. Sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan
keterangan menarik.
3. Menafsirkan dulu, al Quran dengan al Quran. Karena sesuatu yang masih global
pada satu tempat telah diperinci di tempat lain, dan sesuatu yang dikemukakan
secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.

6
4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al
Quran dan penjelasannya.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah melihat bagaimana
para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui tentang tafsir al Quran karena mereka
ikut terlibat ketika al Quran diturunkan.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al Quran, sunnah, dan pandangan
para sahabat, maka sebagian besar ulama dalam hal ini merujuk kepada pendapat
tabi’in, seperti Mujahid bin Rabah, Hasal al-Basri, dll.
7. Memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik, karena al Quran diturunkan dalam
bahasa Arab. Termasuk juga menguasai berbagai dialek Arab.
8. Memiliki pengetahuan luas tentang perinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan a
Quran, seperti ilmu qira’at. Sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara
mengucapkan lafazh al Quran dan dapat memilik mana yang lebih kuat di antara
berbagai ragam bacaan yang diperkenankan.
9. Memiliki pemahaman yang cermat.
Selain beberapa syarat di atas, seorang mufassir juga wajib memiliki beberapa adab,
sebagai berikut:
1. Berniat baik dan bertujuan benar.
2. Berakhlak mulia.
3. Taat dan amal.
4. Jujur dan teliti dalam penukilan
5. Tawadhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan sebuah
dinding penghalang yang dapat menghalangi seorang alim dengan kemanfaatan
ilmunya.
6. Berjiwa mulia.
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran.
8. Berpenampilan simpatik, berwibawa, dan terhormat.
9. Bersikap tenang dan mantap
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya.
11. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran.

7
C. Para Mufassir Yang Masyhur
IBNU ABBAS
Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman al Quran (penafsir al Quran), Habrul
Ummah (guru umat), dan Ra’isul mufassirin (pemimpin para mufassir). Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud, “penafsiran al Quran terbaik adalah Ibnu Abbas.”
Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah mendapatka tempat yang istimewa di
kalangan para senior sahabat mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya, sebagai
wujud dari do’a Rasulullah untuknya. Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak
terhitung jumlahnya, dan apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah
kitab tafsir ringkas yang kurang sistematis bertajuk Tafsir Ibni Abbas. Di dalamnya
terdapat macam-macam Riwayat dan sanad. Tetapi sanad yang terbaik adalah melalui
jalur Ali bin Thalhah al Hasyim, dari Ibnu Abbas. Sanad ini menjadi pedoman Bukhari
dalam kitab shahihnya. Sedang sanad yang cukup baik dari jalur Qais bin Muslim al
Kufi, dari ‘Atha’ bin as Sa’ib.

MUJAHID BIN JABR


Mujahid adalah pemimpin atau tokoh utama mufassir generasi tabi’in, sehingga
ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang paling mengetahui tentang tafsir di
antara mereka. Mujahid adalah orang yang terpercaya, ahli fiqih, dan banyak
meriwayatkan hadist

ATH THABARI
Adalah seorang ulama yang sulit dicari bandingannya karena banyak
meriwayatkan hadist, berpengetahuan luas dalam bidang penukilan, banyak menulis
kitab, penarjihan riwayat-riwayat sejarah tokoh dan umat di masa lalu.
Kitab tafsirnya adalah kitab yang paling besar dan utama, serta menjadi rujukan
penting bagi para mufassir bil-ma’tsur. Para ulama sepakat bahwa belum pernah ada
sebuah kitab tafsir yang ditulis seperti kitab yang ditulisnya.

IBNU KATSIR
Ibnu Katsir adalah seorang oajar fikih yang mumpuni, ahli hadits yang cerdas,
sejarawan ulung, dan mufassir unggulan. Menurut Ibnu Hajar, Ibnu Katsir adalah
seorang ahli hadits yang fakih. Karya-karyanya tersebar luas di berbagai negeri semasa

8
hidupnya dan bermanfaat bagi banyak orang setelah beliau wafat. Ciri khas tafsirnya
adalah perhatiannya yang besar kepada masalah tafsir al Quran bi al Quran
(menafsirkan ayat dengan ayat). Tafsir ini merupakan tafsir yang banyak memuat atau
memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan
penafsiran ayat dan hadist-hadist marfu’ yang relevan dengan ayat yang ditafsirkan,
menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut.

Dan masih banyak lagi ahli tafsir yang termasyhur lainnya.

D. Masa Penulisan Tafsir


Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti bani Umayyah dan awal dinasi Abbasiyah.
Pembukuan hadits menjadi prioritas utama pada periode ini. Pada masa ini, tafsir hanya
memuat tafsir al Quran, surat demi surat, dan ayat demi ayat, dari awal al Quran hingga akhir.
Dan memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadits.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan yang dinisbatkan kepada nabi,
sahabat, atau tabi’in sangat besar di samping perhatian terhadap pengumpulan hadits. Tapi
tafsir periode ini, sedikit pun tidak ada yang sampai kepada zaman kita sekarang. Yang kita
terima adalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam
kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Kemudian datang generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan
independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari
hadits. Al Quran mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan sistematika mushaf.

E. Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bir-Ra’yi


1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada al Quran atau riwayat yang
shahih. Yaitu menafsirkan al Quran dengan al Quran (ayat dengan ayat), al Quran dengan
sunnah, perkataan sahabat karena mereka lah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan
pendapat tokok-tokoh besar tabi’in. Tapi umumnya, mereka menerima dari sahabat.
Tafsir bil ma’tsur berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini.
Perbedaan pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang
terjadi pada generasi sesudahnya. Sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada

9
aspek redaksional-nya, tapi maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata
yang umum dengan salah satu makna yang dicakupnya.
Menurut Ibnu Taimiyah, perbedaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit
sekali jumlahnya. Dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi pada keberagaman
pendapat. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni:
a) Seorang mufassir di antara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan
redaksi berbeda dari redaksi lainnya. Masing-masing redaksi itu menunjuk makna
yang berbeda juga, tapi pada dasarnya memiliki maksud yang sama. Contoh,
penafsiran kata ash-shirat al mustaqim. Sebagian menafsirkan itu dengan makna
“al Quran,” maksudnya mengikuti al Quran, sedang sebagian lain memaknainya
“Islam.” Kedua tafsiran ini sebenarnya sama maksudnya, sebab ber-Islam berarti
mengikuti al Quran. Hanya masing-masing penafsiran itu menggunakan pola
berbeda satu dengan lainnya.
b) Masing-masing mufassir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum dengan
menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak maknanya sebagai contoh, dan
untuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-
macam makna, bukan hanya satu.
2. Tafsir Bir-Ra’yi
Adalah tafsir yang di dalamnya menjelaskan makna atau maksudnya, mufassir hanya
berpegang pada pemahamannya sendiri, pegambilan kesimpulan pun didasarkan pada
logikanya sendiri. Kategori cara penafsiran seperti ini dalam memahami al Quran bisa
dikatakan tidak sesuai dengan ruh syari’at yang didasarkan pada nash-nashnya. Sebab dengan
rasio menurut seorang pribadi yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada
penyimpangan terhadap kitabullah.
Kebanyakan orang yang melakukan tafsir ini adalah ahli bid’ah, penganut madzhab
yang bathil. Mereka menggunakan al Quran untuk ditakwilkan menurut pendapat pribadi
yang tidak berpijak pada pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat, dan tabi’in.
Menafsirkan al quran dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih
adalah haram, tidak boleh dilakukan.
3. Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bir-Ra’yi
Dalam pembuatan makalah ini, kami dapat menarik kesimpulan terkait perbedaan
anatara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Kami menemukan hanya terdapat 2 perbedaan
antara kedua tafsir tersebut sebagai berikut:

10
a. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran yang harus diikuti dan dijadikan
pedoman dalam menafsirkan al Quran, karena ia merupakan cara yang paling
aman dalam memahami kitab Allah. Sedangkan tafsir bir-ra’yi tidak boleh diikuti
dan juga haram dijadikan pedoman dalam menafsirkan al Quran.
b. Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berpegang pada riwayat yang shahih, yaitu
menafsirkan al Quran dengan al Quran, atau dengan sunnah. Karena ia berfungsi
untuk menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para sahabat, karena mereka
lah yang paling mengetahui kitabullah selain Rasulullah atau dengan apa yang
dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in. Karena umumnya mereka menerima
dari para sahabat. Sedangkan tafsir bir ra’yi itu hanya menyingkap isi kandungan
al Quran dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal dan logika dari mufassirnya
sendiri.

11
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Syeihk Manna al-Qaththan, 2005, Pengantar Studi al-Quran, Pustaka al-Kautsar, Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai