Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ILMU TAFSIR

Tugas Mata Kuliah Ulumul Quran


Dosen: Didih Ahmadiah, SQ, S.HI, M.Pd.I
Kelas: 2A

Disusun oleh:

Putri Nurul Fadilah (0101.1801.020)


Yulia Pebrianti (0101.1801.027)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI DR KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembutan
makalah tentang “Ilmu Tafsir”. Sholawat serta salam tetap kami curahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam terang
benderang yakni agama Islam.

Kami menyadari menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia, apabila ada
kesalahan yang terdapat dalam tulisan makalah ini guna perbaikan dalam penulisan makalah
kami yang selanjutnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.2 Perbedaan Tafsir dengan Takwil
2.3 Kebebasan dan keterbatasan dalam tafsir

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al quran merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, dalam ayat dan
surat yang sama, diinformasikan juga bahwa Al Quran sekaligus menjadi penjelasan dari
petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda antara yang baik dan yang
buruk.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Quran tidaklah sama,
padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Maka
tidaklah mengherankan jika Al-Quran mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui
pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau
mentakwil dan menterjemahkan kedalam bahasa yang mudah dipahami.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Tafsir?
2. Apa yang dimaksud dengan Takwil?
3. Bagaimana membedakan Tafsir dengan Takwil?

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Tafsir
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Takwil
3. Untuk mengetahui perbedaan Tafsir dengan Takwil
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

A. Tafsir

Secara bahasa bahwa pengertian tafsir adalah menjelaskan atau menerangka, keterangan
sesuatu atau tafsirah yaitu alat kedokteran yang dapat mengungkapkan penyakit dari seorang
pasien, maka tafsir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat
Alquran.

Dengan pengertian tafsir secara bahasa sudah jelas tidak memenuhi gagasan dari apa dan
bagaimana tafsir itu, maka tafsir secara istilah adalah menerangkan lafadz yang sukar dipahami
oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksudnya, baik dengan ungkapan
sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim tersebut atau dengan mengungkapkan uraian yang
mempunyai petunjuk padanya melalui jalan dalalah.

Zarkasyi juga mendefinisikan bahwa tafsir adalah menerangkan Alquran menjelaskan


maknanya serta menjelaskan apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Nash, isyarat maupun
rahasia-rahasianya yang terdalam. Dengan demikian titik perhatian dalam rumusan ini ialah lafaz
yang sulit dipahami yang terdapat dalam rangkaian ayat-ayat al-quran sementara dalam rumusan
Al-zakarsyi yang dikutip oleh Rif'at Sauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan adalah fungsi
tafsir itu sendiri.

B. Takwil

Menurut pendapat yang mahsyur kata takwil dari segi bahasa adalah sama dengan arti
kata tafsir yaitu menerangkan dan menjelaskan, dengan pengertian kata takwil dapat mempunyai
arti sebagai berikut:

1) Kembali atau mengembalikan, yakni mengembalikan makna pada proporsi yang


sesungguhnya.
2) Memalingkan yakni memalingkan suatu lafaz tertentu yang mempunyai sifat khusus dari
makna lahir ke makna batin lafadz itu, karena ada ketetapan dan kerahasiaan dengan
maksud yang dituju.
3) Mensiasati yakni dalam lafadz tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat
khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maksudnya yang setepat-tepatnya.

Jadi takwil secara istilah adalah mengembalikan sesuatu kepada maksud yang
sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudnya. Jadi mentakwilkan al-quran adalah
membelokkan atau memalingkan lafadz-lafadz atau kalimat-kalimat yang ada dalam Alquran
dari makna lahirnya ke makna lainnya sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh
lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran Alquran dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam.

C. Macam-macam Penafsiran

1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam
kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini
oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau
ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an. Metode bil ma'tsur,
memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya,
antara lain, adalah :
a) Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an.
b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan.
c) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subyektivitas yang berlebihan.
d) Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi
generasi berikutnya.
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode
ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a) Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele,
sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu.
b) Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-
ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan
sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di
tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
c) Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha musuh
Islam.
d) Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam
penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para
mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga
mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya. Namun, menerapkan
metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita
telah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka
terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini
istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka
dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan
riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir
yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan,
kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena,
ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup
dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan belum demikian pesat.
Disamping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid
nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat
kedua khairun qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan
akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup mantap.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimanaseorang mufassir
menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-
Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar
yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau
penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan,
tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri
sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu. Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan
bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada
yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3. Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah suatu
metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya
dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf
(Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu
a) Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf.
b) Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai
arti global ayat.
c) Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud
ayat-ayat tersebut satu sama lain.
d) Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan
tabi'in.
Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang hanya
berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya
dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberikan
jawaban jawaban yang tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak
memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang
perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat
generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.
Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al Bayan
fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsirMafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi
dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang
menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir al-Razi.
4. Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan
tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu
dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda masalahnya atau
membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya
bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama tafsir yang lain
tentang penafsiran ayat yang sama. Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur
dalam metode tafsir muqaran :
a) Arah kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya.
b) Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun
berbeda masalahnya.
c) Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan.
d) Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.

Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis
kontemporer, misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile
danMuhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).

5. Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir
membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan
metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan
urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan
pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum saja. Contoh dari
tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6. Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan
pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu
tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut
disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh
mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya,
ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai
dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan
menguasainya dengan sempurna. Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan
memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian
dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah
kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik
kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk
tafsir tematik, antara lain :
1. Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu
tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral menurut
pandangan Al-Qur'an.
2. Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling
berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu.
3. Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat
dan asbab al-Nuzulnya.
4. Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan lafaz-
lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti
bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya.
5. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang
tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah,
sosiologi, antropologi dan sebagainya.
6. Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang ditetapkan.
7. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh al-
Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna
dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an, seperti
keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-kehebatan Al-Qur'an
lainnya.
2.2 PERBEDAAN TAFSIR DENGAN TAKWIL

Perbedaan di sini maksudnya yaitu perbedaan yang dilihat dari segi spesifikasinya
masing-masing dan perbedaan dari segi sifat sifat keduanya.

Dalam "Manahilul Irfan Fi Ulumi Al Quran" dijelaskan antara lain adalah "takwil dalam
istilah para mufassirin pengertiannya diperselisihkan". Bahkan ada yang berpendapat bahwa
takwil itu sinonim dengan tafsir karena dilihat dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu
menjelaskan makna ayat-ayat Alquran. Berikut ini adalah perbedaan-perbedaan Tafsir dan
takwil.

1. Tafsir berbeda dengan takwil, perbedaannya adalah pada ayat ayat yang menyangkut soal
umum dan khusus, pengertian tafsir lebih umum daripada takwil karena takdir berkenaan
dengan ayat-ayat yang khusu, misalnya ayat-ayat mutasyabihah, jadi mentakwilkan
ayat-ayat al-quran yang mutasyabihah itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap penafsiran
Ayat tersebut disebut takwil.

2. Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi takwil, dan dalam tafsir sejauh terdapat dalil-
dalil yang dapat menguatkan penafsiran boleh dinyatakan "Demikianlah yang
dikehendaki oleh Allah", sedangkan takwil hanya menguatkan salah satu makna dari
sejumlah kemungkinan makna yang dimiliki ayat lafadz dan tidak boleh menyatakan
"Demikianlah yang dikehendaki oleh Allah swt".

3. Tafsir menerangkan makna lafadz di ayat melalui pendekatan riwayat, sedangkan takwil
melalui pendekatan dirayah atau kemampuan ilmu dan berpikir rasional.

4. Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat atau bil
ibarah. Sedangkan takwil adalah dari yang tersirat atau isyarah. Tafsir berhubungan
dengan makna makna ayat atau lafadz yang biasa-biasa saja, sedangkan taqlil
berhubungan dengan makna-makna yang kudus.

5. Tafsir mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh Al-quran sendiri, sedangkan
takwil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbat atau penggalian dengan
memanfaatkan ilmu ilmu alatnya.
2.3 KEBEBASAN DAN KETERBATASAN DALAM TAFSIR

Dalam rangka menafsirkan ayat-ayat Alquran secara prinsip diperlukan Ilmu Tafsir. Ilmu
yang dimaksud itu secara prinsip pula menerangkan tentang Nuzulul ayat, keadaan keadaannya,
kisah-kisahnya, Asbabun Nuzulnya, tertib Makiyah dan Madaniyah, muhkam dan
mutasyabihahnya, nasakh dan mansukh nya, 'am dan mutlaq nya, mujmal dan mufashshalnya,
halal dan haramnya, wa'ad dan wa'id nya, 'amar dan nahyunya, dan i'bar dan amsalnya.

Maka dengan Ilmu Tafsir, penafsiran ayat-ayat dapat memberikan penjelasan tentang arti
atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia atau mufassirin. Dan
bahwa kapasitas arti kosa kata atau ayat ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai
kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri.
Tuntutan pemahaman ayat-ayat tersebut berlaku sepanjang zaman, dan generasi berikutnya
dituntut pula untuk memahami Alquran sebagaimana tuntutan yang pernah ditunjukkan kepada
masyarakat yang pernah menyaksikan turunnya al-quran.

Kemudian bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang bukan saja dipengaruhi oleh
tingkat kecerdasan nya, tetapi juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang ditekuniny, pengalaman
penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial politik, dan sebagainya. Maka tentunya hasil
pemikiran seseorang akan berbeda antara satu dengan yang lainnya, dari sini dapat dipahami
bahwa seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memaham, i dan menafsirkan
Alqur'an, karena hal ini merupakan perintah Al-quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang
diajukan seseorang berbeda dengan yang lainnya harus ditampung, hal ini adalah konsekuensi
logis dari perintah diatas selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan
penuh tanggung jawab.

Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam


penafsiran Alquran sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dilakukan dalam berbagai
disiplin ilmu mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran
bahkan malapetaka dalam kehidupan, bahkan dipandang dari eksistensinya yang sangat dekat
dengan Al Quran Karim maka kedudukan tafsir sangat penting dan utama. Kepentingan dan
keutamaan itu sangat menonjol terutama bila disadari bahwa dinamika dan kebangkitan umat
Islam baik secara individu maupun masyarakat terletak pada sejauh mana mereka bergantung
dan berpegang pada Hidayah Alquran, bersandar pada ajaran dan aturannya yang memuat akan
membawa pada kebahagiaan manusia untuk sampainya maksud tersebut dibutuhkan penjelasan
keterangan terperinci dan penjabaran lebih lanjut, yakni tafsir.

Sesungguhnya manusia (mufassir) bebas melakukan penafsiran, namun dari segi isyarat
penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam, menyentuh, dan menyeluruh ditemukan
banyak syarat secara umum oleh Muhammad Quraish Shihab disebutkan:

1. Pengetahuan tentang bahasa Arab dan berbagai bidan.


2. Pengetahuan tentang ilmu ilmu Alquran, sejarah turunnya hadis hadis nabi dan usul
Fiqih.
3. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan.
4. Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat bagi mereka yang
tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan Untuk menafsirkan Alqur'an.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur'an ada 2 hal yang harus digaris bawah, yakni:
1. Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan penafsiran
ayat Alquran.
2. Faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain.
a) Subjektivitas mufassir.
b) Kekeliruan dalam menetapkan metode atau kaida.
c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu, alat atau bahan.
d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) nya.
e) Tidak memperhatikan konteks baik asbabun nuzul hubungan antara ayat maupun
kondisi sosial masyarakat.
f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditunjukkan.
Karena itu, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan dibutuhkan kerjasama para pakar
dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Karena disamping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya
pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Alquran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan
menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang yaitu perubahan sosial,
perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa.

Walaupun hasil penafsiran tersebut bebas dan kebebasan itu tidak dibatasi, namun hasil
tafsir dapat dikategorikan pada empat kategori, yaitu sebagai berikut:

1. Penafsiran yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan
pengetahuan bahasa mereka.
2. Penafsiran yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya.
3. Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.
4. Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.

Inilah kebebasan-kebebasan dan pembatasan dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat


Alquran.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, antara lain:

1. Makna tafsir secara terminologi terjadi perbedaan, perbedaan itu terletak pada sesuai atau
tidaknya persoalan yang menjadi pembahasannya. Sementara takwil adalah
mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya yang ini menerangkan apa yang
dimaksudkan dari suatu ayat.

2. Secara maknawi bahwa tafsir dan takwil mempunyai perbedaan, dan perbedaan itu
bukan paradoksal, tetapi dari sifat-sifatnya.

3. Dalam melakukan penafsiran ayat Alquran, Islam sangat menganjurkannya, akan tetapi
anjuran dalam bentuk kebebasan tersebut dibatasi dan pembatasan itu bukan dalam arti
mematikan semangat untuk melakukan penafsiran-penafsiran terhadap ayat Alquran,
melainkan agar para mufassir berhati-hati dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran.

4.

Anda mungkin juga menyukai