Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dapat kita simpulkan bahwa berbahasa itu adalah proses penyampaian


makna oleh penutur kepada pendengan melalui satu atau serangkai ujaran.
Suatu proses berbahasa dikatakan berjalam baik apabila makna yang yang
dikirimkan penutur dapat diresepsi oleh pendengar persis yang dimaksud oleh
si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan
baik apabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar
tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian ini bisa
disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam memproduksi
ujaran, bias juga disebabkan oleh factor pendengar yang kurang mampu
meresepsi ujaran itu, atau biasa juga akibat factor lingkungan sewaktu ujaran
itu ditransfer dari mulut penutur kedalam telinga pendengar. Jadi, suatu ujaran
dapat dipahami dengan baik oleh pendengar apabila penutur dapat membuat
encode semantic, encode gramatika, dan encode fonologi dengan baik dan
sebaliknya pihak pendengar dapat mendekode fonologi, mendekode
gramatika, dan mendekode semantic dari ujaran yang dikirimkan penutur itu
dengan baik juga. Disamping itu lingkungan tempat ujaran itu berlangsung
jyga bersifat kondusif.
Kkemampuan yang menadai dari penutur dalam memproduksi ujaran
dan kemampuan yang memadai dari pendengar dalam meresepsi ujaran akan
menyebabkan makna-makna yang dikirimkan penutur dapat diterima dengan
tepat oleh pendengar.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang tersurat dalam latar belakang, maka penulis
dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan:
1. Pengertian makna ujaran?
2. Arti dari makna leksikal?
3. Pengertian Makna Gramatikal?
4. Pengertian Makna Kontekstual?
5. Pengertian Ujaran Taksa?

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH


Dengan berdasarkan kepada poin-poin pertanyaan tersebut diatas,
maka penulis mempunyai tujuandalam penulisan makalh ini, yaitu:
1. Memahami Makna UJran.
2. Memahami Makna Leksikal.
3. Memahami Makna Gramatikal.
4. Memahami Makna Kontekstual.
5. Memahami Ujaran Taksa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Makna Ujaran

Berbicara tentang makna, pertama perlu diingat adanya dua bidang


kajian tentang makna, yaitu semantic dan semiotic. Kedua bidang kajian
ini sama-sama meneliti atau mengkaji tentang makna. Bedanya, kalau
semantic khusus mengkaji makna bahasa sebagai alat komunikasi ferbal
manusia, sedankan semiotic mengkaji semua makna yang ada dalam
kehidupan manusia seperti makna-makna yang dikandungoleh berbagai
tanda dan lambing serta isyarat-isyarat lainnya. Kemudian, karena bahasa
sebernya juga tidak lain daripada salah satu system lambang (Chaer, 1994;
Verhaar, 1996) maka semantic bias dikatakan juga termasuk atau menjadi
bagian dari kajian semiotic. Dalam Pratik berbahasa ternyata juga makna
suatu ujaran tidak bias dipahami hanya dari kajian semantic, tetapi juga
garus dibantu pleh kajian semiotic, seperti pemahaman mengenai gerak-
gerik tubuh dan anggota tubuh, serta mimic, dan sebagainya.
Persoalan kita adalah apakah sebenarnya makna itu? Dalam kajian
semantic berbagai teori telah disodorkan paara pakar mengenai makna itu.
Richard dan Ogden (1962, cetakan pertama 1923) mengemukakan adanya
16 buah pengertian tentang makna; Alston (1972) mencatat adanta tiga
teori tradisional tentang makna; dan Lyons (1981) yang bukunya banyak
dirujuk orang mencatat adanya 6 teori tentang makna. Verhaar (1978)
yang mendasarkan teorinya pada teori signe’ limguistikue dari Ferdinand
de Saussure (1916) menyatakan bahwa makna adalah gejala internal
bahasa, sehingga ujaran seperti ‘’pemberlakuan tarif baru’’ yang
dipahami umum sama artinya dengan ‘kenaikan harga’, oleh Verhaar
disebut bukan makna, me,ainkan sebuah informasi (Verhaar 1978; Chaer,
1990).
Kiranya untuk dapat memahami makna sebuah ujaran banyak factor
yang harus diperhatikan seperti factor social, factor psikologi, dan factor
budaya. Dalam studi semantic factor-faktor itu tercermin pada yanf
disebut tingkatan makna, yakni makna leksikal dan idiomatical, makna
gramatikal, dan makna kontekstual. Ketiga tingkatan makna itu dalam
porsi tertentu akan selalu muncul dalam setiap proses berbahasa.

B. Makna Leksikal

Istilah leksikal adalah bentuk adjektifa dari nomona leksikon, yang


berasal dari leksen. Dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan
sebagai bentuk dasar yang setelah mengalami proses gramatikalisasi akan
menjadi kata (kridalaksana, 1989). Sedangkan dalam kajian semantic
leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna
atau satu pengertian, seperti air dalam arti ‘sejenis barang cair yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari’, pensil dalam arti ‘sejenis alat
tulis, yang terbuat dari kayu dan arang’. Dari contoh itu tampak bahwa
leksem itu bias berupa kata bias juga berupa gabungan kata. Jadi, makna
leksikal adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna leksikal ini terutama yang berupa kata didalam kamus biasanya
didaftarkan sebagai makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar
dalam kamus itu. Misalnya, ‘bagian tubuh dari leher ke atas’ adalah
makna leksikal dari kata kepala’ sedangkan makna ‘ketua’ atau
‘pemimpin’ bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna
‘ketua’ atau pemimpin kata kepala itu harus begabung dengan unsur lain,
seperti dalam frase kepala sekolah atau kepala kantor.
Tahap pertama untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah
memahami makna leksikal setiap butir leksikal (kata, leksem) yang
digunakan didalam ujaran itu. Andaikata kita tidak tahu makna leksikal
sebuah kata yang digunakan didalam suatu ujaran kita bisa melihatnya
didalam kamus, atau bertanya kepada orang lain yang tahu. Namun,
pesoalannya tidak sesederhana itu sebab ada sejumlah kasus didalam studi
semantik yang menyangkut makna leksikal itu. Kasus-kasus itu adalah:
(1) kasus kesamaan makna atau kesinoniman, (2) kasus kebalikan makna
atau keantoniman, (3) kasus ketercakupan makna atau kehiponiman dan
kebalikannya, kehiperniman, dan (4) kasus kesamaan bentuk dan
keperbedaan makna.

1. Kasus kesioniman
Pada setiap bahasa ada sejumlah kata yang memiliki kesamaan makna.
Hal ini didalam studi semantik lazim disebut dengan istilah sinonim,
sinonimi, atau kesinoniman. Dalam bahasa Indonesia misalnya kata ayah
memiliki kesamaan makna dengan kata bapak; dan kata mati memiliki
kesamaan makna dengan kata meninggal, wafat, dan mampus; dan kata
melihat memiliki kesamaan makna dengan kata melirik, melotot, dan
mengintip. Kasus kesinoniman ini bisa menjadi masalah dengan meresepsi
makna suatu ujaran karena seperti kata Verhaar (1978; Chaer, 1990) dua
buah kata yang bersinonim maknanya hanya kurang lebih sama, tidak
persis sama.

Ketidakpersisan makna diantara kata-kata yang bersinonim adalah


karena ada kaidah umum dalam kajian semantic bahwa bila bentuk (kata,
leksem) berbeda maka maknanya pun akan berbeda, meskipun
perbedaannya hanya sedikit (Verhaar, 1978; Chaer, 1990, 1995).
Ketidakpersisan itu yang menyebabkan dua buah jata yang bersinonim
tidak dapat dipertukarkan, bisa disebabkan oleh: (1) factor areal, (2) factor
social, (3) factor temporal, (4) factor bidang kegiatan, dan (5) factor fitur
semantik (bandingkan dengan kridalaksana, 1964).
Factor areal adalah faktor dimana kata itu biasa digunakan.misalnya
kata saya dan kata beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun,
kalau kata saya bisa digunakan didaerah mana saja diseluruh Indonesia,
tetapi kata beta hanya cocok digunakan diliwayah atau atau dalam konteks
Indonesia bagian timur.
Faktor siosial adalah faktor tingkat kedudukan sosial diantara dua
partisipan yang menggunakan kata-kata yang bersinonim itu. Umpamanya
kata saya dan aku adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun kalau
kata saya dapat digunakan oleh siapa saja terhadap siapa saja, sedangkan
kata aku hanya dapat digunakan terhadap lawan bicara yang lebih muda
atau kedudukan siosialnya lebih rendah.
Faktor temporal adalah faktor waktu penggunaan kata-kata itu.
Misalnya kata hulubalang dan komando adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun keduanya tidak bisa dipertukarkan begitu saja, sebab
kata hulubalang hanya cocok digunakan untuk konteks arkais atau klasik,
sedangkan kata komando untuk masa sekarang.
Faktor bidang kegiatan adalah faktor dalam bidang kegiatan apa kata-
kata itu biasa digunakan. Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua
buah kata yang bersinonim. Hanya, kalau kata matahari dapat digunakan
dalam bidang apa saja, sedangkan kata surya hanya biasa digunakan
dalam bidang sastra.
Faktor fitur semantik adalah faktor ciri-ciri semantik yang dimiliki
secara inheren oleh kata-kata itu sehingga membedakan kata-kata itu satu
dari yang lainnya, meskipun kata-kata itu bersinonim. Misalnya kata
melirik, melihat, mengintip, menonton, dan melotot adalah lima buah kata
yang bersinonim.

2. Kasus Keantoniman

Keantoniman lazim lazim diartikan sebagai keadaan dua butir leksikal


(kata, leksem) yang maknanya bertentangan, berkebalikan, atau
berkontraks. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata
guru berantonim dengan kata murid, dan kata pembeli berantonim
dengan kata penjual. Kalau keantoniman ini dianggap sebagai
kebalikan keadaan berpola
X bukan X
Y tidak Y

Namun, seperti kata Verhaar (1978) bahwa dua buah kata yang
berantonimmemiliki makna yang dianggap kebalikan dari yang satu
dari yang lain. Maka persoalan keantoniman menjadi cukup sukar bagi
penutur dalam melahirkan ujaran.
Dalam kasus keantoniman ini biasanya dibedakan adanya beberapa tipe
keantoniman. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Keantoniman mutlak, yakni keantoniman antara dua buah kata
atau leksem yang maknanya saling meniadakan. Misalnya
keantoniman antara kata gerak dan diam, sesuatu yang sedang
‘gerak’ tentu ‘tidak diam’, dan sesuatu yang diam tentu ‘tidak
sdang gerak’,
b. Keantoniman relative, yakni keantoniman antara dua buah kata
atau leksen yang pertentangan maknanya bersifa trelatif, tidak
mutlak. Misalnya keantoniman antara kata baik dan buruk.
Sesuatu yang disebut baik belum tentu buruk, dan sesuatu
yang buruk belum tentu baik. Kerelatifan baik dan buruk ini
bisa ditandai dengan keterangan sangat …, lebih …, atau
kurang … Batas antara baik dan buruk ini sukar ditentukan
umumnya kata-kata yang berantonim relative ini adalah dua
buah kata dari kategori ajektifa.
c. Keantoniman Relasional, yakni keantoniman antara dua buah
kata atau leksem yang maknanya saling melengkapi, dalam arti
adanya sesuatu Karena adanya yang lain. Misalnya
keantoniman antara kata suami dan istri. Dalam kasus ini
adanya suami adalah karena mempunyai istri, dan adanya istri,
adalah karena mempunyai suami.
d. Keantoniman hierarkial, yakni keantoniman antara dua buah
kata atau leksem yang maknanya menyatakan jenjang urutan
dari ukuran, nilai, timbangan atau kepangkatan. Misalnya
keantoniman antara kata tamtama dengan bintara.
e. Keantoniman ganda, adalah keantoniman sebuah kata dengan
pasangan yang lebih dari satu. Umpamanya kata diam. Bisa
berantonim dengan kata bergerak, bicara, dan bekerja.

3. Kasus kehomoniman

Kehonominan lazim diartiakan sebagai keadaan adanya dua buah


kata atau lebih yang ciri fisiknya persis sama; dan maknannya tentu
saja berbeda karena masing-masing merupakan identitas kata yang
berlainan. Misalnya kata pacar dalam arti ‘kekasih’ dan kata pacar
dalam arti ‘pemeran kuku’, adalah dua buah kata yang
berhomonim.

4. Kasus kehiponiman dan kehiperniman

Kehiponiman lazim diartikan sebagai keadaan sebuah kata yang


maknanya tercakup atau berada bawah makna yang lain. Misalnya
kata merpati yang maknannya tercakup didalam makna kata
burung. Merpati memang burung, tetapi burung bukan hanya
merpati; bisa juga terkukur, gelatik, garuda, murai, dan merak.

D. Makna Gramatikal

Tahap kedua untuk bisa memahami makna suatu ujaran adalah


memahami makna gramatikal, yakni makna yang ‘muncul’ sebagai
hasil suatu proses gramatikal dalam bahasa Indonesia kita mengenal
adanya beberapa proses gramatikal. Yang utama adalah proses afiksasi,
proses reduplikasi, proses komposisi, proses pemfrasean, dan proses
pengalimatan. Oleh karena itu, ada baiknya dibicarakan dulu apa yang
dimaksudkan dengan fitur-fotur makna itu.

1. Fitur makna
Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atats fitur-fitur
makna yang membentuk makna keseluruhan butir leksikal itu
seutuhnya (Nida, 1995; Larson, 1989). Misalnya, kata bahasa
inggris Boy, man, girl, dan woman, sedangkan bahasa Indonesia
hanya memiliki satu butir leksikal yaitu anak dengan fitur
semantic yang masih umum. Oleh karena itu, untuk
menampung konsep boy dalam bahasa Indonesia harus
ditambah fitur [+laki-laki] menjadi anak laki-laki; dan untuk
menampung konsep girl kita harus menambahkan fitur [-laki-
laki] (= perempuan) sehingga menjadi anak perempuan.

2. Makna gramatikal afiksasi


Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar.
Dalam bahasa Indonesia afiksasi merupakan salah satu proses
penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna.
Jenis afiks dan makna dramatikal yang dihasilkan cukup banyak
dan beragam. Satu hal yang jelas makna afiks yang dihasilkan
mempunyai kaitan dengan fitur semantic bentuk dasarnya
umpamanya dalam prefiksasi dengan prefiks ber- pada bentuk
dasar nomina yang berfitur makna [+pakaian] atau [+perhiasan]
akan melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan’ atau
‘memakai. Pada bentuk dasar yang berfitur semantic
[+kendaraan] akan melahirkan makna ‘mengendarai’, ‘naik’,
atau ‘menumpang’, misalnya pada kata bersepeda, berkuda,
berkereta dan berbemo.

3. Makna gramatikal Reduplikasi


Reduplikasi juga merupakan satu proses gramatikal dalam
pembentukan kata. Secara umum makna gramatikal yang
dimunculkannya adalah menyatakan ‘pluralis’ atau ‘intesitas’.
Umpamanya kata rumah direduplikasikan menjadi rumah-
rumah bermakna gramatikal ‘banyak rumah’, dan kata besar
direduplikasikan menjadi besar-besar. Memiliki makna
gramatikal ‘banyak yang besar’.

4. Makna gramatikal komposisi


Butir leksikal dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia,
adalah terbatas, padahal konsep-konsep yang berkembang
dalam kehidupan manusia selalu bertambah. Oleh karena itu,
selain dengan proses afiksasi dan proses reduplikasi , banyak
juga dilakukan proses komposisi untuk menampung konsep-
konsep yang baru muncul itu, atau yang belum ada
kosakatanya. Umpamanya, dulu kata kereta digunakan untuk
menampung konsep ‘kendaraan beroda yang ditarik oleh kuda’.

5. Kasus Kepolisemian
Kepolisemian lazim diartikan sebagai dimilikinya lebih dari
satu makna oleh sebuah kata atau leksem. Atau dengan rumusan
sederhana lazim dikatakan polisemi adalah kata yang bermakna
ganda atau memiliki banyak makna. Misalnya, kata kepala
dalam kamus besar bahasa Indonesia tercatat memiliki enam
buah makna, yaitu : (1) bagian tubuh diatas leher; (2) bagian
diatas leher tempat tumbuhnya rambut, (3) bagian suatu benda
yang sebelah atas (ujung, depan, dan sebagainya).

E. Makna Kontekstual
Memahami makna leksikal dan makna gramatikal saja belum cukup untuk
dapat memahami makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna
suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinnya ujaran itu, atau
tempat terjadinya itu. Konteks ujaran ini dapat berupa konteks intrakalimat,
antarkalimat, bidang ujaran, atau juga situasi ujaran.

1. Konteks intrakalimat
Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada
kedudukannya didalam kalimat, baik menurut letak posisinya didalam
kalimat maupun menurut kata-kata lain yang berada didepan maupun
dibelakangnya. Umpamanya makna kata dalam pada kalimat sungai itu
dalam sekali dan dalam sungai itu 20 meter adalah tidak sama.
2. Konteks Antarkalimat

Banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bisa dipahami maknanya
berdasarkan hubungannya dengan makna-makna kalimat sebelum atau
kalimat-kalimat sesudahnya. Umpanya meskipun persiapan telah
dilakukan dengan seksama tetapi operasi itu tidak jadi dilakukan kata
operasi bermakna ‘pembedahan’

3. Konteks Situasi

Yang dimaksud adalah kapan, diman, dan dalam suasana apa ujaran itu
diucapkan umpamanya kalimat yang secara linguistic berbunyi ‘sudah
hamper pukul 12’. Akan berbeda makna apabila diucapkan oleh ‘seorang
ibu asrama putri pada malam hari ditujukan pada seorang pemuda yang
masih bertamu’.

F. Ujaran Taksa
Adalah ujaran yang maknanya bisa ditafsirkan bermacam-macam.
Umpamanya kalau tiba-tiba kita mendengan orang yang berujar ‘minggi lalu
saya bertemu paus, sebenernya bentuk-bentuk homonim bukan menjadi salah
satu penyebab ujaran paksa itu.

1. Kekurangn Konteks

Merupakan penyebab tutama terjadinya ujaran paksa, selain dengan


konteks kalimat, konteks situasi juga dapat menghilangkan kepaksaan.
Contoh lain ujaran-ujaran taksa ‘saya minta kopinya saja’. Menjadi taksa
karena kopi bisa diartikan ‘salinan surat atau minuman kopi’.

2. Ketidak Cermatan Setruktur Gramatikal

Meliputi struktur frase, clausa, kalimat, dan wacana. Ketaksaan disini


selain karena ketidak cermataan konstruksi gramatikal, bisa juga terjadi
pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai
kendali semantic telah menimbulkan ketaksaan pada kontruksi itu.

3. Kekurangan Tanda Baca

Dapat menyebabkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis karena


ragam tulis tidak ‘mempunyai intonasi yang diperlukan dalam bahasa
lisan’. ‘’buku sejarah baru’’ Kontruksi itu menjadi taksa karena dapat
ditafsirkan bermakna, buku itu mengenai sejarah baru, atau buku baru itu
mengenai sejarah. Jadi makna mengatakan yang baru adalah sejarahnya
sedangkan, makna yang baru adalah bukunya .

Anda mungkin juga menyukai