PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
PEMBAHASAN
B. Makna Leksikal
1. Kasus kesioniman
Pada setiap bahasa ada sejumlah kata yang memiliki kesamaan makna.
Hal ini didalam studi semantik lazim disebut dengan istilah sinonim,
sinonimi, atau kesinoniman. Dalam bahasa Indonesia misalnya kata ayah
memiliki kesamaan makna dengan kata bapak; dan kata mati memiliki
kesamaan makna dengan kata meninggal, wafat, dan mampus; dan kata
melihat memiliki kesamaan makna dengan kata melirik, melotot, dan
mengintip. Kasus kesinoniman ini bisa menjadi masalah dengan meresepsi
makna suatu ujaran karena seperti kata Verhaar (1978; Chaer, 1990) dua
buah kata yang bersinonim maknanya hanya kurang lebih sama, tidak
persis sama.
2. Kasus Keantoniman
Namun, seperti kata Verhaar (1978) bahwa dua buah kata yang
berantonimmemiliki makna yang dianggap kebalikan dari yang satu
dari yang lain. Maka persoalan keantoniman menjadi cukup sukar bagi
penutur dalam melahirkan ujaran.
Dalam kasus keantoniman ini biasanya dibedakan adanya beberapa tipe
keantoniman. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Keantoniman mutlak, yakni keantoniman antara dua buah kata
atau leksem yang maknanya saling meniadakan. Misalnya
keantoniman antara kata gerak dan diam, sesuatu yang sedang
‘gerak’ tentu ‘tidak diam’, dan sesuatu yang diam tentu ‘tidak
sdang gerak’,
b. Keantoniman relative, yakni keantoniman antara dua buah kata
atau leksen yang pertentangan maknanya bersifa trelatif, tidak
mutlak. Misalnya keantoniman antara kata baik dan buruk.
Sesuatu yang disebut baik belum tentu buruk, dan sesuatu
yang buruk belum tentu baik. Kerelatifan baik dan buruk ini
bisa ditandai dengan keterangan sangat …, lebih …, atau
kurang … Batas antara baik dan buruk ini sukar ditentukan
umumnya kata-kata yang berantonim relative ini adalah dua
buah kata dari kategori ajektifa.
c. Keantoniman Relasional, yakni keantoniman antara dua buah
kata atau leksem yang maknanya saling melengkapi, dalam arti
adanya sesuatu Karena adanya yang lain. Misalnya
keantoniman antara kata suami dan istri. Dalam kasus ini
adanya suami adalah karena mempunyai istri, dan adanya istri,
adalah karena mempunyai suami.
d. Keantoniman hierarkial, yakni keantoniman antara dua buah
kata atau leksem yang maknanya menyatakan jenjang urutan
dari ukuran, nilai, timbangan atau kepangkatan. Misalnya
keantoniman antara kata tamtama dengan bintara.
e. Keantoniman ganda, adalah keantoniman sebuah kata dengan
pasangan yang lebih dari satu. Umpamanya kata diam. Bisa
berantonim dengan kata bergerak, bicara, dan bekerja.
3. Kasus kehomoniman
D. Makna Gramatikal
1. Fitur makna
Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atats fitur-fitur
makna yang membentuk makna keseluruhan butir leksikal itu
seutuhnya (Nida, 1995; Larson, 1989). Misalnya, kata bahasa
inggris Boy, man, girl, dan woman, sedangkan bahasa Indonesia
hanya memiliki satu butir leksikal yaitu anak dengan fitur
semantic yang masih umum. Oleh karena itu, untuk
menampung konsep boy dalam bahasa Indonesia harus
ditambah fitur [+laki-laki] menjadi anak laki-laki; dan untuk
menampung konsep girl kita harus menambahkan fitur [-laki-
laki] (= perempuan) sehingga menjadi anak perempuan.
5. Kasus Kepolisemian
Kepolisemian lazim diartikan sebagai dimilikinya lebih dari
satu makna oleh sebuah kata atau leksem. Atau dengan rumusan
sederhana lazim dikatakan polisemi adalah kata yang bermakna
ganda atau memiliki banyak makna. Misalnya, kata kepala
dalam kamus besar bahasa Indonesia tercatat memiliki enam
buah makna, yaitu : (1) bagian tubuh diatas leher; (2) bagian
diatas leher tempat tumbuhnya rambut, (3) bagian suatu benda
yang sebelah atas (ujung, depan, dan sebagainya).
E. Makna Kontekstual
Memahami makna leksikal dan makna gramatikal saja belum cukup untuk
dapat memahami makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna
suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinnya ujaran itu, atau
tempat terjadinya itu. Konteks ujaran ini dapat berupa konteks intrakalimat,
antarkalimat, bidang ujaran, atau juga situasi ujaran.
1. Konteks intrakalimat
Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada
kedudukannya didalam kalimat, baik menurut letak posisinya didalam
kalimat maupun menurut kata-kata lain yang berada didepan maupun
dibelakangnya. Umpamanya makna kata dalam pada kalimat sungai itu
dalam sekali dan dalam sungai itu 20 meter adalah tidak sama.
2. Konteks Antarkalimat
Banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bisa dipahami maknanya
berdasarkan hubungannya dengan makna-makna kalimat sebelum atau
kalimat-kalimat sesudahnya. Umpanya meskipun persiapan telah
dilakukan dengan seksama tetapi operasi itu tidak jadi dilakukan kata
operasi bermakna ‘pembedahan’
3. Konteks Situasi
Yang dimaksud adalah kapan, diman, dan dalam suasana apa ujaran itu
diucapkan umpamanya kalimat yang secara linguistic berbunyi ‘sudah
hamper pukul 12’. Akan berbeda makna apabila diucapkan oleh ‘seorang
ibu asrama putri pada malam hari ditujukan pada seorang pemuda yang
masih bertamu’.
F. Ujaran Taksa
Adalah ujaran yang maknanya bisa ditafsirkan bermacam-macam.
Umpamanya kalau tiba-tiba kita mendengan orang yang berujar ‘minggi lalu
saya bertemu paus, sebenernya bentuk-bentuk homonim bukan menjadi salah
satu penyebab ujaran paksa itu.
1. Kekurangn Konteks