Anda di halaman 1dari 34

BAB 5

DASAR-DASAR SEMANTIK

5.1 Pengantar
Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik yang objek
penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Kalau istilah ini tetap
dipakai tentu harus diingat bahwa setatus tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi
dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana,
seperti sudah dibicarakan pada bab-bab terdahulu, dibangun oleh kalimat; satuan kalimat
dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata;
satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan
fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun membangun itu, kita bisa bertanya, di
manakah letak semantik? Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di
semua tataran yang bangun membangun ini: makna berada di dalam tataran fonologi,
morfologi dan sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk semantik agak kurang tepat,
sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangunan satuan lain yang lebih besar,
melainkan merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat
kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama. Oleh karena itu pula, barang kali, para liguis
strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah makna ini, karena dianggap tidak termasuk
atau menjadi tataran sederajat dengan tataran yang bangun membangun itu. Hockett (1954),
misalnya, salah seorang tokoh strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem
yang kompleks dari kebiasaan-bebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari lima subsistem, yaitu
subsistem gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan
subsistem fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama derajatnya. Subsistem
gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan, subsistem semantik dan
fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem semantik disebut bersifat periferal? Karena,
seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik
adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sebagaimana subsistem gramatika
(morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan Chomsky, bapak linguistik transpormasi,
dalam bukunya yang pertama (1957) tidak menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru
kemudian dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyakan bahwa semantik merupakan
salah satu komponen dari tata bahasa, (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan
makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini.
Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik, maka
studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi semarak. Semantik tidak lagi
menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setara dengan bidang-bidang studi
linguistik lainnya. Banyak perhatian diarahkan pada semantik. Berbagai teori tentang makna
bermunculan. Memang kalau kita ingat akan teori Bapak Linguistik modern, Ferdinand de
Saussure, bahwa tanda linguistik (signe linguistique) terdiri dari komponen signifian dan
signifie, maka sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai dengan studi semantik adalah
tidak ada artinya, sebab kedua komponen itu, signifian dan signifie, merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Laksana sekeping mata uang logam, signifian berada di sisi yang satu
dan signifie berada di sisi yang lain.
Apa sebenarnya makna itu, sebagai objek linguistik, dan bagaimana persoalannya,
secara singkat akan dibicarakan pada sub-subbab berikut ini.

5.1 HAKIKAT MAKNA


Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orang. Untuk permulaan barang kali
kita ikuti saja pandangan Ferdinand de Saussure dengan teori tanda linguistiknya. Menurut
Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen
signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki
oleh signifian). Umpamanya tanda linguistik berupa (ditampilkan dalam bentuk ortografis)
<meja>, terdiri dari komponen signifian, yakni berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/,
dan komponen signifie-nya berupa konsep atau makna ‘sejenis perabotan fonem dan konsep
atau rumah tangga’. Tanda linguistik ini berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki
runtunan fonem itu mengacu pada sebuah referen yang berada di luar bahasa, yaitu “sebuah
meja”. Kalau dibagankan menjadi sebagai berikut.
(1)
/m/, /e/, /j/, /a/
(signifian)

meja (tanda
linguistik)

‘sejenis perabot
rumah
tangga/kantor’
(signifie)
dalam-bahasa Luar-bahasa
Bagan tersebut oleh Richard dan Ogdent (1923) ditampilkan dalam sebuah

bentuk
segitiga yang disebut segitiga makna, atau segitiga Richard dan Ogdent.
(b) konsep

(2) ‘sejenis perabot rumah tangga/kantor’

(a) (c)
Tanda linguistik referen
<m-e-j-a>

Referen yang bisa ditampilkan dalam kedua bagan di atas, sayang, bukan meja
aslinya, melainkan hanya gambar bagan saja.
Dalam bentuk sederhana bagan segitiga makna tersebut dapat dibuat sebagai berikut.

(3)
(b) konsep

KATA
(a) (c)
bentuk referen

Anda tentu bertanya, mengapa pada ketiga itu titik (a) dan (c) dihubungkan dengan
garis putus-putus, sedangkan titik (a) dan (b), serta titik (b) dan (c) dihubungkan dengan
garis biasa. Jawabannya adalah, karena hubungan antara (a) dan (c) bersifat tidak langsung,
sebab (a) adalah masalah dalam-bahasa dan (c) masalah luar-bahasa yang hubungannya
biasanya bersifat arbitrer. Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat
langsung. Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam-bahasa; hubungan (b) dan (c) adalah
acuan dari (b) tersebut.
Dengan demikian, menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de
Saussure bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada
sebuah tanda-linguistik. Masalah kita sekarang, di dalam praktek berbahasa tanda-linguistik
itu berwujud apa. Kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem,
maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau
leksem; kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti
makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut
morfem dasar maupun morfem afiks. Lihat Kridalaksana (1989), misalnya, yang menyatakan
setiap tanda-bahasa (yang disebutnya: penanda) tentu mengacu pada sesuatu yang ditandai
(disebutnya: petanda). Lalu, karena afiks-afiks itu juga merupakan penanda, maka afiks itu
pun mempunyai petanda.
Memang ada juga teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain dari pada
sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak
semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Misalnya leksem
seperti agama, kebudayaan dan keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu
sering kali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan
juga acuannya. Misalnya, kata buaya dalam kalimat (4) berikut sudah terlepas dari konsep
asal dan acuannya.
(1) Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya.

Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah
kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Coba Anda perhatikan makna
kata jatuh dalam kalimat-kalimat berikut!
(5a) Adik jatuh dari sepeda.
(5b) Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
(5c) Dia jatuh cinta pada adikku.
(5d) Kalau harganya jatuh lagi kita akan bangkrut.

Selanjutnya para pakar itu menyatakan pula bahwa makna kalimat baru dapat
ditentukan apabila kalimat itu berada dalam konteks wacananya atau konteks situasinya.
Sebagai penutur bahasa Indonesia, Anda tentu memahami apa itu kalimat (6) berikut.
(6) Sudah hampir pukul dua belas!

Apabila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri terhadap seorang pemuda yang
masih berandang di asrama itu padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas
malam. Lain maknanya apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang guru agama ditunjukkan
kepada para santri pada siang hari. Makna kalimat (6) itu yang diucapkan si ibu asrama tentu
berarti ‘pengusiran’ secara halus, sedangkan yang diucapkan oleh guru agama itu berarti
‘pemberitahuan bahwa sebentar lagi masuk waktu sembahyang Zuhur’. Kalimat (6) mungkin
bermakna lain lagi apabila diucapkan oleh seorang karyawan kantor kepada temannya pada
siang hari; mungkin berarti ‘sebentar lagi waktu beristirahat tiba’.
Suatu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat
arbitrer (lihat kembali bab 3), maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
Kita tidak dapat menjelaskan, mengapa benda cair yang selalu kita gunakan untuk keperluan
mandi, minum, masak, dan sebagainya disebut air, bukan ria, atau rai, atau juga sebutan
lainnya. Begitu juga dengan kata-kata lainnya; kita tidak bisa menjelaskan hubungan kata-
kata itu dengan makna yang dimilikinya.

5.2 JENIS MAKNA


Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan
bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi
atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah dikemukakan orang dalam
berbagai buku linguistik dan semantik. Kiranya jenis-jenis makna yang dibicarakan pada
subbab berikut ini sudah cukup mewakili jenis-jenis makna yang pernah dibicarakan orang
lain.

5.2.1 Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual


Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki
empat yang biasa dikendarai’; pensil bermakna leksikal ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari
kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari’. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah
makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna
apa adanya. Kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh
kata yang dijelaskannya. Oleh karena itu, barangkali, banyak orang yang mengatakan bahwa
makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini, kalau begitu, memang
tidak salah; namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, juga ada
membuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan makna-makna yang
terbentuk secara metaforis.
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses
gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam
proses afiksasi prefiks -ber dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ’mengenakan
atau memakai baju’; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ’mengendarai kuda’;
dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal ’melakukan rekreasi’. Contoh lain,
proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal ’bahan’;
dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal ’bercampur’; dan dengan kata Pak
Kumis (nama pedagang sate yang terkenal di Jakarta) melahirkan makna gramatikal ’buatan’.
Sintaktisasi kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik menendang bola
melahirkan makna gramatikal : adik bermakna ’pelaku’, menendang bermakna ’aktif’, dan
bola bermakna ’sasaran’. Sintaktisasi kata-kata adik, menulis,dan surat melahirkan makna
gramatikal: adik bermakna ’pelaku’, menulis bermakna ’aktif’, dan surat bermakna ’hasil’.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
suatu konteks. Misalnya, makna kata jatuh yang dibicarakan sebagai contoh pada kalimat (5)
di atas. Contoh lain perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat (7) berikut!
(7a) Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
(7b) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
(7c) Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
(7d) Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.
(7e) Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.

Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan
lingkungan penggunaan bahasa itu. Sebagai contoh lihat kembali kasus yang dibicarakan
pada kalimat (6) di atas. Contoh lain, kalimat (8) berikut
(7) Tiga kali empat berapa?

Apabila dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung,


tentu akan dijawab “dua belas”. Kalau dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah. Namun,
kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang foto di tokonya atau di tempat kerjanya, maka
pertanyaan itu mungkin akan dijawab “dua ribu”, atau mungkin juga “tiga ribu”, atau
mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu, sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya
pembuatan pasfoto yang berukuran tiga kali empat sentimeter.

5.2.2 Makna Refrensial dan Nonrefrensial


Sebuah kata atau leksem disebut bermakna refrensial kalau ada refrensinya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang
bermakna refrensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti
dan, atau, dank arena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna ferensial, karena kata-
kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-kata deiktik, yang
acuannya tidak menetap pada suatu maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini
adalah kata-kata yang termasuk pronominal, seperti dia,saya, dan kamu; kata-kata yang
menyatakan ruang, seperti di sini, di sana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu,
seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata yang disebut kata petunjuk, seperti ini,dan
itu. Perhatikan ketiga kata saya pada kalimat-kalimat berikut yang acuannya tidak sama!
(9) “Tadi pagi saya bertemu dengan Pak Ahmad’. Kata Ani kepada Ali
(10) “O, ya? sahut Ali, Saya juga bertemu beliau tadi pagi.”
(11) “Di mana kalian bertemu beliau?” Tanya Amin, “Saya sudah lama tidak
berjumpa dengan beliau”.

Jelas, pada kalimat (9) kata saya mengacu pada Ani, pada kalimat (10) mengacu pada
Ali, dan pada kalimat (11) mengacu pada Amin. Contoh lain, kata di sini pada kalimat (12)
acuannya juga tidak sama dengan kata di sini pada kalimat (13).
(12) “Tadi saya lihat Pak Ahmad duduk di sini, sekarang dia ke mana?” Tanya
Pak Rasyid kepada para mahasiswa itu.
(13) “Kami di sini memang bertindak tegas terhadap para penjahat itu.” Kata
Gubernur DKI kepada wartawan dari luar negeri itu.

Jelas, kata di sini pada kalimat (12) acuannya adalah sebuah tempat duduk; tetapi
pada kalimat (13) acuannya adalah satu wilayah DKI Jakarta Raya.

5.2.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif


Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki
oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna lesikal.
Umpanya, kata babi bermakna denotatif ‘sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk
dimanfaatkan dagingnya’. Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang
lebih kecil dari ukuran yang normal’. Kata rombongan bermakna denotatif ‘sekumpulan
orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan’.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah
kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna
denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang
menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di atas, pada orang yang
beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa
atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas,
berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan (unfavorbale); tetapi
kata ramping, yang bersinonom dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa
yang mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata
kerempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu,
mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan; orang akan merasa
tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping, kerempeng itu dapat kita simpulkan, bahwa ketiga kata
itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki
konotasi yang tidak sama; kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan
kerempeng berkonotasi negatif. Bagaimana dengan kata rombongan dan gerombolan?
Manakah yang berkonotasi positif dan mana pula yang berkonotasi negatif?
Berkenaan dengan masalah konotasi ini, satu hal yang harus Anda ingat adalah bahwa
konotasi sebuah kata bisa berbada antara seseorang dengan orang lain, antara satu daerah
dengan daerah lain, atau antara satu masa dengan masa yang lain. Beagitulah dengan kata
babi di atas; berkonotasi negatif bagi yang beragama Islam, tetapi tidak berkonotasi negatif
bagi yang tidak beragama Islam. Sebelum zaman penjajahan Jepang kata perempuan tidak
berkonotasi negatif, tetapi kini berkonotasi negatif.

5.2.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif


Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang
dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas
dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai’; dan kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan
tempat tinggal manusia’. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna
leksikal, makna denotatif dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya kata
melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian; kata merah berasosiasi dengan
kata ‘berani’ atau juga ‘paham komunis’; dan kata buaya berasosiasi dengan ‘jahat’ atau
‘kejahatan’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang
digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai
kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem
tersebut. Jadi, kata melati yang bermakna konseptual ‘sejenis bunga kecil-kecil berwarna
putih dan berbau harum’ digunakan untuk menyatakan perlambang ‘kesucian’; kata merah
yang bermakna konseptual ‘sejenis warna terang menyolok’ digunakan untuk perlambang
‘keberanian’ atau di dunia politik untuk melambangkan ‘paham atau golongan komunis’; dan
kata buaya yang bermakna konseptual ‘sejenis binatang reptil buas yang memakan binatang
apa saja termasuk bangkai’ digunakan untuk melambangkan ‘kejahatan’ atau ‘penjahat’.
Coba, anda cari asosiasi apa yang dimiliki oleh kata kamboja, kerbau, dan monyet dalam
bahasa Indonesia.
Oleh Leech (1976) ke dalam makna asosiasi ini dimasukkan juga yang disebut makna
konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna konotatif, seperti
yang sudah dibicarakan pada subbab 7.2.3, termasuk dalam makna asosiatif adalah karena
kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Kata babi, misalnya,
berasosiasi dengan rasa jijik, haram, dan kotor (bagi yang beragama Islam); kata krempeng
berasosiasi dengan rasa tidak menyenangkan; dan kata ramping berasosiasi dengan rasa yang
meyenangkan. Makna stilistika berkenaan pembedaan pengunaan kata sehubungan dengan
perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Umpamanya, kita membedakan penggunaan kata
rumah, pondok, kediaman, kondomium, istana, vila, dan wisma, yang semuanya memberi
asosiasi yang berbeda terhadap penghuninya. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa
lisan. Anda barangkali bisa merasakan beda perasaan si pembicara dalam kedua kalimat
berikut ini.
(14) “Tutup mulut kaliam!’’ bentaknya kepada kami.
(15) “Coba, mohon diam sebentar!’’ katanya kepada kami.

Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata
dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk
digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Misalnya, kata tampan yang
sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik dan indah, hanya cocok atau hanya
berkolokasi dengan kata kata yang memiliki ciri ’pria’. Makna, kita dapat mengatakan
pemuda tampan, atau pangeran tampan, tetapi tidak dapat mengatakan *gadis tampan atau
*putri tampan. Jadi, kata tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis dan kata putri.

5.2.5 Makna Kata dan Makna Istilah


Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah
kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam
penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam
konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata
itu berada di dalam konteksnya (lihat kembali contoh kalimat (5). Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan
lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh kalimat
(16) dan (17) berikut.
(16) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(17) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau
bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang
jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering
dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu
diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Umpamanya, kata tangan dan lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua kata itu dalam
bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari
pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian bagian dari pergelangan
sampai ke pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran
tidak bersinonim, karena maknanya berbeda. Demikian juga dengan kata kuping dan telinga.
Dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua kata yang bersinonim, dan oleh karena
itu sering dipertukarkan. Namun sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya memiliki
makna yang tidak sama: kuping adalah bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga;
sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya diobati oleh dokter
adalah telinga bukan kuping.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang karena sering
digunakan, lalu menjadi kosakata umum. Artinya, istilah itu tidak hanya digunakan di dalam
bidang keilmuannya, tetapi juga telah digunakan secara umum, di luar bidangnya. Dalam
bahasa Indonesia, misalnya, istilah akseptor, spiral, akomodasi, virus, dan kalimat telah
menjadi kosakata umum; tetapi istilah debil, embisil morfem, alofon, dan variansi masih tetap
sebagai istilah dalam bidangnya, belum menjadi kosakata umum.
5.2.6 Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara
gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ’yang menjual menerima uang dan yang
membeli menerima rumahnya’; bentuk menjual sepeda bermakna’yang menjual menerima
uang yang membeli menerima sepeda’; tetapi, dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi
tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’. Jadi, makna
seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain
dari makna idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna’bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ’pengadilan’, dan sudah beratap seng dengan makna’sudah tua’.
Biasanya dibedakan orang adanya dua macam idiom, yaitu yang disebut idiom penuh
dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-
unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari
seluruh kesatuan itu. Betuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau
termasuk contoh idiom penuh. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah
idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku
putih yang bermakna’buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’; daftar
hitam yang bermakna’daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai
berbuat kejahatan’; dan koran kuning dengan makna’korang yang biasa memuat berita
sensasi’. Pada contoh tersebut, kata , daftar, dan koran masih memiliki makna leksikalnya.
Bebeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat”diramalkan” secara leksikal
maupun gramatikal, maka yang disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat
ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya”asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan kucing
yang bermakna’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’ makna ini memiliki
asosiasi, bahwa bintang yang namanya anjing dan kucing jika bersuara memang selalu
berkelahi, tidak pernah damai. Contoh lain, peribahasa Tong kosong nyaring bunyinya yang
bermakna’orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu’. Makna ini dapat ditarik dari
asosiasi : tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong
akan mengeluarkan bunyi yang keras, yang nyaring.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama
pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk
mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari harus melihatnya di dalam kamus;
khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.

5.3 RELASI MAKNA


Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara
satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa
kata, frase, maupun kalimat; dan relasi sematik itu dapat menyatakan kesaman makna,
pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Dalam pembicaraan tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang
disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.

5.3.1 Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, abtara kata betul
dengan kata benar; antara kata hamil dan frase duduk, perut; dan antara kalimat Dika
menendang bola dengan Bola ditendang Dika. Contoh dalam bahasa Inggris, antara kata fall
dengan kata autumn, antara kata freedom dengan kata liberty, dan antara kata wide dengan
kata broad.
Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A
bersinonim denga satuan ujaran B maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran
A. secara konkret kalau.

5.3.1 Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantic yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.Misalnya , antara kata betul
dengan kata benar; antara kata hamil dan frase duduk perut; dan antara kalimat Dika
menendang bola dengan Bola ditendang Dika. Contoh dalam bahasa Inggris, antara fall
dengan autumn, antara freedom dengan kata liberty, dan antara kata wide dengan broad.
Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A
bersinonimi dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan
ujaran A. Secara konkret kalau kata betul bersinonim dengan kata benar , maka kata benar itu
pun bersinonim dengan kata betul. Perhatikan bagan berikut!
(18)
benar betul
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan
itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
Pertama, faktor waktu. Umpamanya kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan.Namun, kata hulubalang memiliki perngertian klasik sedangkan kata komandan
tidak memiliki pengertian klasik.Dengan kata lain, kata hulubalang hanya cocok digunakan
pada konteks yang bersifat klasik; padahal kata komandan tidak cocok untuk kata konteks
klasik itu.Contoh lain, kata kempa bersinonim dengan kata stempel; namun kata kempa juga
hanya cocok untuk digunakan pada konteks klasik.
Kedua, faktor tempat atau wilayah.Misalnya, kata saya dan beta adalah dua buah kata
yang bersinonim.Namun, kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan kata beta hanya
cocok untuk wilayah Indonesia bagian timur, atau dalam konteks masyarakat yang berasal
dari Indonesia bagian timur.
Ketiga, faktor keformalan.Misalnya, kata uang dan duit adalah dua buah kata yang
bersinonim.Namun, kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal,
sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
Keempat, faktor sosial.Umpamanya, kata saya dan aku adalah dua buah kata yang
bersinonim; tetapi kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja;
sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap
akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukan sosialnya.
Kelima, bidang kegiatan.Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua buah kata
yang bersinonim. Namun, kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau dapat
digunakan secara umum; sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus.
Terutama ragam sastra.
Keenam, faktor nuansa makna.Umpamanya kata-kata melihat, melirik,
menonton,meninjau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Namun antara
yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dapat dipertukarkan, karena masing-masing
memiliki nuansa makna yang tidak sama. Kata melihat memiliki makna umum; kata milirik
memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton memiliki makna melihat untuk
kesenangan; kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip
memiliki makna melihat dari atau melalui celah sempit.Dengan demikian, jelas kata
menonton tidak dapat diganti dengan kata melirik karena memiliki nuansa makna yang
berbeda, meskipun kedua jara dianggap bersinonim.
Dari keenam faktor yang dibicarakan di atas, bisa disimpulkan, bahwa dua buah kata
yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau disubtitusikan.

5.3.2 Antonim
Antonim atau antonnimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran
yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara yang satu dengan
yang lain. Misalnya, kata buruk berntonim dengan kata baik; kata mati berantonim dengan
kata hidup; kata guru berantonim dengan kata murid; dan kata membeli berantonim dengan
kata menjual.

Hubungan antara dua satuan ujaran yang berantonim juga bersifat dua arah.Jadi, kalau
kata membeli berantonim dengan kata menjual, maka kata menjual juga berantonim dengan
kata membeli. Perhatikan bagan berikut!
(19)
menjual membeli

Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi itu dapat dibedakan atas beberapa
jenis, antara lain:
Pertama, antonimi yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonimi secara
mutla dengan kata mati, sebab sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati: dan sesuatu
yang sudah mati tentunya sudah tidak hidup lagi. Contoh lain, kata diam berantonim secara
tidak bergerak, dan yang sedang bergerak tentunya tidak sedang diam.
Kedua, antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan
kecil berantonim secara relatif: juga antara kata jauh dan dekat, dan antara gelap dan terang.
Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batas antara satu dengan lainnya tidak dapat
ditentukkan secara jelas; batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau menjadi
kurang.Karena itu, sesuatu yang tidakbesar belum tentu kecil; dan sesuatu yang tidakdekat
belum tentu jauh.Karena itu pula kita mengatakan, misalnya, lebih dekat, sangat dekat, atau
juga paling dekat.Suatu objek dikatakan besar atau kecil dalam kehidupan kita adalah karena
diperbandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Seekor kambing adalah menjadi
sesuatu yang kecil kalau berada di samping gajah dan kuda; tetapi kambingakan menjadi
besar bila di samping anjing dan kucing. Selanjutnya, kucing yang menjadi sesuatu yang kecil
bila berada di sampinganjing dan kambingakan berubah menjadi sesuatu yang besar bila
berada di samping tikus dan kodok.
Ketiga, antonimi yang bersifat relasional.Umpamanya antara kata membeli dan
menjual, antara kata suami dan istri, dan antara kata guru dan murid. Antonimi jenis ini
disebut relasional karena munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain. Adanya
membeli karena adanya menjual, adanya suami karena ada istri. Kalau salah satu tidak ada,
maka yang lain tidak ada. Contoh konkret seorang laki-laki tidak bisa disebut suami kalau
tidak punya istri. Andai kata istrinya meninggal, maka dia bukan suami lagi, melainkan kini
sudah berganti nama menjadi duda.
Keempat, antonimi yang bersifat hierarkial.Umpamanya kata tamtama dan bintara
berantonim secara hierarkial; juga antara kata gram dan kilogram.Antonimi jenis ini disebut
bersifat hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantoni itu berada dalam satu garis
jenjang hierarki.Demikianlah, kata tamtama dan bintara berada dalam satu garis kepangkatan
militer; kata gram dan kilogram berada dalam satu garis jenjang ukuran timbangan.
Di dalam bahasa Indonesia, mungkin juga terdapat dalam bahasa lain, ada satuan yang
memiliki pasangan antonim lebih dari satu.Hal yang seperti ini lazim disebut antonimi
majemuk.Umpamanya kata berdiri dapat berantonim dengan kata duduk, dapat berantonim
dengan kata tidur, dapat berantonim dengan kata tiarap, dapat berantonim dengan kata
jongkok, dan dapat juga berantonim dengan kata bersila. Perhatikan bagan berikut!

(20)
duduk

tidur

berdiri tiarap

jongkok

bersila

Contoh lain, kata diam yang berantonim dengan kata berbicara, dengan kata
bergerak, dan dengan kata bekerja atau juga bertindak.

5.3.3 Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna
lebih dari satu. Umpamanya kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh
manusia, seperti pada contoh kalimat (21); (2) ketua atau pemimpin, seperti pada contoh
kalimat (22); (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, seperti contoh kalimat (23); (4)
sesuatuyang berbentuk bulat, seperti contoh kalimat (24); dan (5) sesuatu atau bagian yang
sangat penting, seperti contoh pada kalimat (25).
(21) Kepalanya luka kena pecahan kaca.
(22) Kepala kantor itu bukan paman saya.
(23) Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.
(24) Kepala jarum itu terbuat dari plastic
(25) Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting.

Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang di daftarkan di dalam
kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotifnya, atau makna
konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu
komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. (Tentang komponen makna lihat
subbab 7.5.2) Oleh karena itu, makna-makna pada satuan ujaran yang polisemi ini masih
berkaitan satu dengan yang lain. Kalau kita kembali pada contoh kepala di atas, maka bisa
dikatakan makna kepala kalimat (21) adalah makna leksikalnya atau makna denotatifnya;
pada kalimat (22) adalah karena kepala itu pada manusia mempunyai fungsi yang sangat
penting; tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki masih dapat hidup.Makna
pada kalimat (23) adalah karena kepala itu terletak di sebelah atas; makna pada kalimat (24)
adalah karena kepala itu berbentuk bulat; dan makna pada kalimat (25) adalah karena kepala
merupakan bagian yang penting dan terhormat. Tentunya masih banyak arti kata kepala yang
lain, seperti dalam kalimat “Setiap kepala menerima bantuan dua ribu rupiah”. Anda tentu
tahu arti kepala di situ.

7.3.4 Homonimi
Hominimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama;
maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang
berlainan. Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang
bermakna ‘kekasih’; antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’dan kata bisa yang berarti
‘sanggup’; dan juga antara kata mengurus yang berarti ‘mengatur’ dan kata mengurus yang
berarti ‘menjadi kurus’.
Sama dengan sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah satuan ajaran yang
homonimi juga berlaku dua arah. Jadi, kalu pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim

Pacar I Pacar II
dengan kata pacar II yang bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan
pacar I. Perhatikan bagan berikut!
(26)

Contoh dalam bahasa Inggris, antara kata bank ‘lembaga keuangan’ dan kata bank
‘belokan sungai’; antara kata bark ‘gonggongan anjing’ dan kata bark ‘kulit kayu pada
pohon’; dan antara kata steer ‘mengemudi’ dan kata steer ‘lembu jantan’
Pada kasus homonimi ini ada sua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni
dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara
dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya, apakah ejaannya sama
ataukah berbeda. Oleh karena itu, bila dilihat dari bunyinya atau lafalnya, maka bentuk-
bentuk pacar Idan pacar II yang kita bicarakan di atas adalah juga dua buah bentuk yang
homonym, Demikian juga dengan kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang
berarti ‘sanggup’.
Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homofon yang ejaannya berbeda tidak
banyak, karena system ejaan bahasa Indonesia cukup baik. Contoh yang ada hanyalah kata
bank ‘lembaga keuangan’ dengan kata bang (bentuk singkat dari abang) yang bermakna
‘kakak laki-laki’; dan kata sanksi yang berarti ‘konsekuensi’ dan kata sangsi yang berarti
‘ragu-ragu’. Dalam bahasa Inggris kita bisa menemukan banyak contoh, seperti flour ‘tepung’
dengan kata flower ‘bunga’; kata here ‘di sini’ dengan kata hear’mendengar’; dan juga antara
pale ‘batas’ dengan pail ‘ember’. Puluhan contoh lain dapat dilihat dalam Hagar (1945).
Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya,
tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homografi
hanya terjadi karena ortografi untuk fonem /e/ dan fonem / ə/ sama lambangnya yaitu huruf
<e>. Maka contoh homografi yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kita hanya
menemukan contoh teras /təras/ yang maknanya ‘inti’ dan kata teras /teras/ yang maknanya
bagian serambi rumah’; memerah /memerah/ yang berarti ‘melakukan perah’ dan kata
memerah /məmərah yang artinya ‘menjadi merah’; dan kata mereka /məraka/ yang artinya
merancang dan kata mereka /məreka/ yang berarti ‘dia bersama-sama’. Dalam bahasa inggris
contohnya wind[wind] ‘angin’ dan kata wind [waind] belok, ‘lingkaran’.
Karena homografi ini berkenaan dengan tulisan atau ortografi, maka dalam bahasa
Melayu yang ditulis dengan huruf Arab, seperti masih digunakan di Malaysia dan Brunei
Darussalam, akan banyak kita jumpai bentuk-bentuk homograf. Misalnya, tulisan ‫ كمبغ‬bisa
dibaca [kambing], [kumbang], [kembung], dan [kambang] yang keempatnya mengacu pada
kata yang berlainan. Begitu juga dengan tulisan ‫لمبغ‬dapat dibaca sebagai [lambang],
[lambung], dan [lembing]; yang jelas ketiganya adalah kata berlainan. Bahasa Arab dengan
system tulisannya juga penuh dengan bentuk-bentuk homograf, sehingga jika kita belajar
bahasa Arab sama artinya dengan kita belajar membaca tulisannya.
Masalah lain mengenai hominimi ini yang cukup ruwet adalah apa bedanya dengan
polisemi. Bagaimana cara menetukan dua buah bentuk yang sama adalah homonimi atau
polisemi? Patokan pertama yang harus dipegang adalah bahwa homonimi adalah dua buah
bentuk ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya lama, dan maknanya tentu saja berbeda.
Sedangkan polisemi adalah bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu. Makna-
makna yang ada dalam polisemi, meskipun berbeda, tetapi dapat dilacak secara etimologi dan
semantik, bahwa makna-makna itu masih mempunyai hubungan. Sebaliknya makna-makna
dalam dua bentuk homonimi tidak mempunyai hubungan sama sekali. Hubungan antara mana
kepala pada bentuk kepalasurat dan makna kepala pada bentuk kepalajarum bisa ditelusuri
berasal dari makna leksikal kata kepala itu. Namun kita tidak bisa melacak hubungan makna
antara makna kata bisa ‘racun ular’ dengan makna kata bisa ‘sanggup’. Jelas antara keduanya
tidak punya hubungan sama sekali.
Menentukan ada atau tidak adanya hubungan makna antara dua buah bentuk untuk
menentukan bentuk itu polisemi atau homonimi memang seringkali tidak gampang. Ada yang
mengatakan kata pacar ‘inai’ dan kata pacar ‘kekasih’ itu adalahpolisemi, karena kata, pacar
yang ‘inai’ itu biasa dipakai oleh pacar yang ‘kekasih’ itu. Begitu juga dengan kata pohon
dengan arti ‘tumbuhan’ dan kata pohon (dalam memohon) dengan arti ‘meminta,
mengharap’adalah juga polisemi karena, katanya, dulu orang memohon di bawah pohon.Jadi,
ada hubungannya, meskipun tampaknya dicari-cari.Sebaliknya, ada pula yang mengatakan
bahwa kata cangkul sebagai nomina seperti dalam kalimat (27) dan kata cangkul sebagai
verba seperti dalam kalimat imperative (28) adalah dua bentuk yang homonimi.
(27) Cangkul itu dibeli ayah di Jakarta.
(28) Cangkul dulu tanah itu, baru ditanami!

Dalam bahasa Inggris ada kamus yang mengatakan pupil ‘murid’ dan pupil ‘anak
mata’ sebagai dua bentuk homonimi, padahal secara historis sama, Demikian juga dalam
bahasa Prancis kata voler ‘terbang’ dan voler ‘mencuri’ disebut homonym, padahal sama-
sama dari kata Latin volare (Crystal 1998:106)

7.3.5 Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara kata merpati dan kata
burung. Di sini kita lihat makna merpati tercakup dalam makna kata burung. Kita dapat
mengatakan merpati adalah burung; tetapi burung bukan hanya merpati bisa juga tekukur,
perkutut, balam, kepodangm dan cendrawasih. Oleh karena itu, kalau lingkaran besar dalam
bagan (29) berikut berisi konsep ‘burung’, maka lingkaran-lingkaran kecil di dalamnya berisi
nama-nama binatang yang termasuk burung itu.

(29) 1. Merpati

1 4 4 1 2. tekukur
3 2 5 3. perkutut
6 7 3 52 4. balam
5. kepodang
6. cendrawasih 6
7. cucakrawa 7

Prinsip ketercakupan hubungan hiponimi ini dapat juga digambarkan dengan bagan
(30)
(30) burung

merpati tekukur perkutut balam kepodang cucakrawa

Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau merpati berhiponim
dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan merpati, melainkan berhipernim.
Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung, maka burung adalah
superordinat dari merpati (dan tentu saja dari tekukur, dari perkutut, dari balam, dari
kepodang, dan dari jenis burung lainnya). Hubungan antara merpati dengan tekukur,
perkukut, dan jenis burung lainnya disebut kohiponim dari burung. Perhatikan bagan berikut!
(31)
Dilihat dari segi lain, masalah hiponimi dan hipermini ini sebenarnya tidak lain dari
usaha untuk membuat klasifikasi terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan
spesifik. Jadi, merpati, tekukur, dan perkutut adalah nama-nama spesifik untuk kelas generik
burung.Begitu juga mawar, melati, dan anggrek adalah nama-nama spesifik untuk kelas
generik bunga. Kemudian, karena dalam penyusunan klasifikasi ini kita berusaha
mengelompokkan bentuk-bentuk ujaran yang secara semantik menyatakan generik dan
spesifik, maka ada kemungkinan sebuah bentuk ujaran yang merupakan generic dari jumlah
spesifik, akan menjadi nama spesifi dari generic yang lebih luas. Misalnya burung yang
menjadi generik, atau hipernim atau superordinate dari merpati, tekukur, perkutut, dan
kepodangakan menjadi hiponim dari unggas. Lalu, unggasyang merupakan hipernim dari
burung (itik, ayam dan angsa) akan menjadi hiponim pula dari generik yang lebih besar, yaitu
binatang. Perhatikan bagan berikut!

(32) binatang

unggas reptil dsb.

Burung itik ayam dsb.


Merpati tekukur perkutut dsb.

Kalau merpati dan tekukur adalah hiponim dari burung, maka apa nama hubungan
antara jendela dan pintu terhadap rumah? Dalam kasus ini perlu dilihat adakah persamaan
hubungan antara pintu terhadap rumah dengan merpati terhadap burung? Tampaknya
hubungan itu tidak sama. Kalau merpati dan tekukur adalah burung atau sejenis burung, maka
pintu dan jendela bukanlah rumah ataupun sejenis rumah.Jendela dan pintu hanyalah bagian
dari komponen dari rumah. Namanya yang tepat adalah partonimi atau meronimi (lihat Cruse
1986).

5.3.6 Ambiguiti Atau Ketaksaan


Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat
tafsiran gramatikal yang berbeda, tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada
bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan
dengan akuran.Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi (1)
buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan
makna (1) dan (2) itu terjadi karena kata baru yang ada dalam kontruksi itu, dapat dianggap
menerangkan frase buku sejarah, dapat juga dianggap hanya menerangkan kata sejarah.Kalau
dibagankan, maka makna (1) tercermin pada bagan (33) dan makna (2) tergambar pada bagan
(34) berikut.
(33) buku sejarah baru

(34) buku sejarah baru

Bentuk ujaran anak dosen yang nakal juga bermakna ganda.Maknanya mungkin (1)
‘anak itu yang nakal’, atau bisa juga (2) ‘dosen itu yang nakal’. Kedua makna itu karena
tafsiran gramatikalnya tidak sama: makna (1) tafsirannya seperti bagan (35) dan makna (2)
tafsirannya seperti bagan (36)

(35) anak dosen yang nakal


(36) anak dosen yang nakal

Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda, tetapi
karena masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Umpamnya kalimat (37).
(37) Mereka bertemu paus
Dapat ditafsirkan (1) mereka bertemu sejenis ikan besar, dan dapat juga berarti (2)
mereka bertemu dengan pemimpin agama Katolik yang ada di Roma. Kata paus dalam arti
(1) dan arti (2) bentuknya merupakan homonimi. Begitu juga kata kudus dalam kalimat (38)
dapat ditafsirkan ‘suci’ atau nama kota di Jawa Tengah.
(38) Dia memang bukan orang Kudus.

Ketaksaan dalam bahasa Inggris dapat kita lihat dalam kalimat (39) dan kalimat (40)
berikut.
(39) Flying planes can be dangerous
(40) The chicken is ready to eat.

Kalimat (39) dapat ditafsirkan (1) ‘to fly planes can be dangerous’, atau (2) ‘planes
that airbone can be dangerous’. Sedangkan kalimat (40) dapat ditafsirkan (1) ayam itu siap
dimakan, atau (2) ayam itu siap untuk memakan sesuatu.
Dari pembicaraan di atas hanya terlihat bahwa ketaksaan itu hanya terjadi dalam
bahasa tulis, akibat perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur intonasi.Namun, ketaksaan
itu juga dapat terjadi dalam bahasa lisan, meskipun intonasinya tepat.Ketaksaan dalam bahasa
lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi beranaforis.
Perhatikan teks (41) berikut!
(41) Ujang dan Nanang bersahabat karib.
Dia sangat mencintai istrinya.

Coba, anda simak baik-baik teks tersebut.Lalu, cobalah jawab, siapa yang mencintai
istri siapa? Kemungkinan adalah: (1) Ujang mencintai istri Ujang, (2) Ujang mencintai istri
Nanang, (3) Nanang mencintai istri Nanang, dan (4) Nanang mencintai istri Ujang. Keempat
tafsiran itu bisa terjadi karena kata ganti dia dan nya jelas mengacu kepada siapa.Ketaksaan
yang terjadi pada teks (42) berikut lebih hebat dari ketaksaan pada teks (41).
(42) Untuk kedua kalinya Ujang menikah dengan Siti.
Pernikahannya yang pertama terjadi ketika dia berumur 24 tahun.

Silakan anda jelaskan makna-makna yang mungkin dapat ditarik dari teks (42)
tersebut!
Sering juga dipersoalkan orang bagaimana kita dapat memberikan ambiguity dan
homonimi, sebab konstruksi seperti buku sejarah baru seperti yang dibicarakan di atas
sebagai contoh bentuk yang ambiguity, sebuah bentuk dengan dua tafsiran makna. Namun,
dapat juga dikatakan ada dua bentuk buku sejarah baru , yaitu, yang pertama yang bermakna
‘buku sejarah itu baru terbit’, dan yang kedua yang bermakna ‘buku itu mengenai’ sejarah
zaman baru’. Jika demikian, tentu keduanya adalah termasuk masalah homonimi. Dalam
kasus ini yang perlu diingat adalah konsep bahwa homonym adalah dua bentuk atau lebih
yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan ambiguity adalah sebuah bentuk dengan dua
tafsiran makna atau lebih. Lalu, timbul masalah lain, kalau begitu apa bedanya ambiguiti
dengan polisemi, sebab kedua-duanya adalah satu bentuk tetapi mempunyai makna lebih dari
satu. Dalam hal membedakan polisemi dengan ambiguity perlu diingat, bahwa polisemi
biasanya hanya pada tataran kata; dan makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu
itu, berasal dari ciri-ciri atau komponen-komponen makna leksikal yang dimiliknya. Oleh
karena itu, makna-maknanya itu masih mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang
lain. Sedangkan ambiguiti adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu
sebagai akibat perbedaan tafsiran gramatikal.

5.3.7 Redundasi
Istilah redundasi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika
tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Jadi, tanpa
menggunakan preposisi oleh.Nah, kata oleh inilah yang dianggap redundans, berlebih-
lebihan. Begitu juga dengan kalimat Nita mengenakan baju berwarna merah, tidak akan
berbeda maknanya bila dikatakan Nita berbaju merah. Maka, bentuk pertama disebut
rendundas, terlalu berlebih-lebihan dalam menggunakan kata-kata..
Sebenarnya menurut teori semantic yang diajukan Verhaar (1978), makna kalimat
Bola ituditendang oleh Dika dan Bola itu ditendang Dika adalah tidak sama. Yang sama
hanyalah informasinya. Dengan kata oleh pada kalimat pertama, maka peran objek pelaku
lebih ditonjolkan.Pada kalimat kedua, yang tanpa preposisi oleh, penonjolan peran pelaku itu
tidak ada. Memang dalam raga bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata
secara efisien, sehingga kata-kata yang dianggap berlebihan, sepanjang tidak mengurangi
atau mengganggu makna (lebih tepat informasi), harus dibuang. Namun, dalam analisis
semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.

5.4 PERUBAHAN MAKNA


Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat,
makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama ada
kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk
semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah
kata saja, yang disebabkan oleh berbagai faktor , antara lain.
Pertama, perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan
konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya
bermakna A menjadi bermana B atau bermakna C. Umpamanya, kata sastra pada mulanya
bermakna ‘tulisan, huruf’; lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi
menjadi bermana ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya, berkembang
lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginatif dan kreatif. Perubahan makna kata sastra
seperti yang kita sebutkan itu adalah karena berkembangnya atau berubahnya konsep tentang
sastra itu di dalam ilmu susastra.Perkembangan dalam bidang teknologi juga menyebabkan
terjadinya perubahan makna kata.Misalnya, dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat
bergerak. Oleh karena itu, muncullah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan perjalanan
dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar’.Namun, meskipun tenaga penggerak
kapal sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar masih
tetap digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu.
Kedua, perkembangan sosial budaya. Perkembangan dalam masyarakat berekenaan
dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata
saudara, misalnya, pada mulanya berarti ‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan
yang sama; tetapi kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai kata
sapaan, yang diperkirakan sederajat, baik usia maupun kedudukan social. Pada zaman feodal
dulu, untuk menyebut orang lain yang dihormati, digunakan kata tuan. Kini, kata tuan yang
berbau feodal itu, kini kita ganti dengan kata bapak, yang terasa lebih demokratis. Contoh
lain, kata sarjana dulu bermakna ‘orang cerdik pandai’; tetapi kini kata sarjana itu hanya
bermakna ‘orang yang telah lulus dari perguruan tinggi’.Dewasa ini betapa pun luas dan
dalamnya imu seseorang, jika dia bukan lulusan perguruan tinggi tidaklah bisa disebut
sarjana.
Ketiga, perkembangan pemakaian kata.Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya
mempunyai sejumlah kosakata yang berkenaan dnegan bidangnya itu. Umpamanya dalam
bidang pertanian kita temukan kosakata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dan
panen; dalam bidang agama Islam da kosakata seperti imam, khatib, puasa, zakat, dan subuh;
dan dalam bidang pelayaran ada kosakata sperti bertabuh, berlayar, haluan, nahkoda, dan
buritan. Kosakata pada mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam
perkembangan kemudian digunakan juga pada bidang-bidang lain, dengan makna yang baru
atau agak lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Umpamanya, kata
menggarap dari bidang pertanian (dengan segala bentuk derivasinya seperti garapan,
penggarap, tergarap, dan penggarapan) digunakan juga dalam bidang lain dengan makna
‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah drama, dan
menggarap rancangan undang-undang lalulintas. Kata memmbajakyang berasal dari bidang
pertanian juga, sudah biasa digunakan da;am bidang lain dengan makna ‘mencari keuntungan
yang besar secara tidak benar’, seperti dalam juga dalam membajak buku, membajak lagu,
membajak pesawat terbang. Contoh lain, kata jurusan yang berasal dari bidang lalu lintas
kini digunakan juga dalam bidang pendidikan dengan makna ‘bidang studi, vak’, seperti
dalam jurusan bahasa asing, jurusan hokum perdata, dan jurusan ekonomi pembangunan.
Keempat, pertukaran tanggapan indra. Alat indra kita yang lima mempunyai fungsi
masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir,
panas, dan assin ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan
dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga; dan gejala terang dan gelap
ditangkap dengan alat indra mata. Namun, dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak
terjadi pertukaran pemakaian alat indra untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar
manusia itu. Misalnya, rasapedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa lidah
menjadi ditangga[ oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat
pedas; kata manis yang seharusnya ditanggap dengan perasa lidah menjadi ditanggap dengan
alat indra mata, seperti dalam ujaran bentuknya sangat manis.
Perubahan tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestesia. Perhatikan contoh
lain berikut!
(43) warnanya teduh
Suaranya berat sekali
Kedengarannya memang nikmat
Lukisan itu ramai sekali
Tingkah lakunya sangat kasar
Kelima, adanya asosiasi. Yang dimaksud dengan adanya asosiasi di sini adalah adanya
hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan
bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud
adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Umpamanya, kata amplop. Maka
amplop sebenarnya adalah ‘sampul surat; tetapi dalam kalimat (44) berikut, amplop itu
bermakna ‘uang sogok’.
(44) Supaya urusan cepat beres, beri saja amplop.

Amplop yang sebenarnya harus berisi surat, dalam kalimat itu berisi uang sogok. Jadi,
dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.
Asosiasi ini dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, seperti amplop dengan
uang sogok diatas; dapat juga berupa hubungan waktu dengan kejadian, seperti dalam kalimat
(45) yang berasosiasi dengan ‘hari kemerdekaan’; dapat juga berupa hubungan tempat
dengan peristiwa atau lembaga, seperti dalam kalimat (46).
(45) Memeriahkan perayaan 17 Agustus.
(46) Diterima Presiden di Bina Graha.

Perubahan makna kata atau satuan ujaran itu ada beberapa macam. Ada perubahan
yang meluas, ada yang menyempit, ada juga yang berubah total. Perubahan yang meluas,
artinya, kalau tadinya sebuah kata bermakna ‘A’, maka kemudian menjadi bermakna ‘B’.
Umpamanya, kata baju pada mulanya hanya bermakna ‘pakaian sebelah atas dari pinggang
sampai ke bahu’, seperti pada ungkapan baju batik, baju sport, dan juga lengan panjang;
tetapi dalam kalimat (47), yang dimaksud bukan hanya baju, tetapi juga celana, sepatu, dasi,
dan topi.
(47) Murid-murid itu memakai baju seragam.

Demikian juga dengan baju dinas, baju militer, dan baju olah raga. Contoh lain, kata
mencetak, saudara, dan kepala pada kalimat-kalimat berikut, juga telah mengalami perluasan
makna. Perhatikan, apa maknanya!
(48) Pihak swasta diajak pemerintah untuk mencetak sawah-sawah baru.
(49) Surat saudara sudah kami baca; jawabannya tunggu saja dirumah.
(50) Kepala sekolah kami tidak dapat mengatasi kenakalan murid-muridnya.

Perubahan makna yang menyempit, artinya, kalau tadinya sebuah kata atau satuan
ujaran itu memiliki makna yang sangat umum tetapi kini maknanya menjadi khusus atau
sangat khusu. Secara konkret kalau tadinya, misalnya, bermakna ‘A1’, ‘A2’, ‘A3’, dan ‘A4’,
maka kini, misalnya, hanya bermakna ‘A4’. Umpamanya, kata sarjana tadinya atau pada
mulanya bermakna ‘orang cerdik pandai, tetapi kini hanya bermakna ‘lulusan perguruan
tinggi’ saja, seperti tampaknya dalam sarjana sastra, sarjana ekonomi, sarjana kimia, dan
sarjana teologi. Contoh lain, kata pendeta tadinya bermakna ‘orang yang berilmu’, tetapi kini
hanya bermakna ‘guru agama kristen’.
Perubahan makna secara total, artinya, makna yang dimiliki sekarang sudah jauh
berbeda dengan makna aslinya.Umpamanya, kata ceramah dulu bermakna ‘cerewet, banyak
cakap’, sekarang bermakna ‘uraian mengenai suatu hal di muka orang banyak’. Kata seni
pada mulanya hanya berkenaan dengan air seni, tetapi sekarang digunakan sepadan dengan
kata Belanda kunst atau kata Inggris art, yaitu karya cipta yang bernilai halus, seperti pada
seni lukis, seni pahat, dan seni musik. Contoh lain, kata pena pada mulanya berarti ‘bulu
angsa’, tetapi kini hanya bermakna ‘alat tulis bertinta’. Perubahan total yang belum lama
terjadi adalah pada kata canggih, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia terbitan Pusat
Bahasa (1983) masih bermakna ‘cerewet, bawel, banyak cakap’, kini digunakan dengan
makna sepadan kata Inggris sophisticated, seperti dalam peralatan canggih, mesin-mesin
canggih, dan teknologi canggih.
Dalam pembicaraan mengenai perubahan makna ini biasanya dibicarakan juga usaha
untuk “menghaluskan” atau “mengikhlaskan” ungkapan dengan menggunakan kosa kata
yang memiliki sifat itu. Usaha menghaluskan ini dikenal dengan namaeufemia atau
eufemisme. Umpamanya, kata korupsi diganti dengan ungkapan menyalahgunakan jabatan,
kata pemecatan diganti dengan pemutusan hubungan kerja, dan kata babu diganti dengan
pembantu rumah tangga, dan kini menjadi pramuwisma. Usaha mengkasarkan atau disfemia
sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas. Umpamanya, kata kalah
digantikan dengan masukkotak, kata mengambil (dengan seenaknya) diganti dengan
mencaplok, dan kata memasukkan ke penjara diganti dengan menjebloskan ke penjara.

5.5 MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA


Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas
kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang dimiliki bahasa itu.
Umpamanya, kata-kata kuning, merah, hijau, biru, dan ungu berada dalam satu kelompok,
yaitu kelompok warna. Sebaliknya, setiap kata atau leksem dapat pula dianalisis unsur-unsur
maknanya untuk mengetahui perbedaan makna antara kata tersebut dengan kata lainnya yang
berada dalam satu kelompok. Misalnya, mayat dan bangkai berada dalam satu kelompok,
yang perbedaannya terletak pada bahwa mayat memiliki unsur makna /+manusia/ sedangkan
bangkai memiliki unsur makna /-manusia/, alias bukan manusia.
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada
dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Sedangkan usaha untuk menganalisis kata
atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut analisis komponen makna atau
analisis ciri-ciri makna, atau juga analisis ciri-ciri leksikal. Kedua persoalan ini, medan
makna dan komponen makna, akan dibicarakan pada subbab berikut secara singkat.

5.5.1 Medan Makna


Yang dimaksud dengan medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan
leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.
Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama
perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu meda makna. Banyak unsur leksikal
dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama
besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa
itu. Medan warna dalam bahasa Indonesia mengenal nama-nama merah, coklat, biru, hijau,
kuning, abu-abu, putih, dan hitam; dengan catatan, menurut fisika, putih adalah campuran
berbagai warna, sedangkan hitam adalah tak berwarna. Untuk menyatakan nuansa warna
yang berbeda, bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan seperti, merah darah,
merah jambu, dan merah bata. Bahasa Inggris mengenal sebelas nama warna dasar, yaitu
white, red, green, yellow, blue, brown, purple, orange, dan grey. Sedangkan dalam bahasa
Hunanco, salah satu bahasa daerah Filiphina, hanya terdapat empat warna, yaitu (ma) biru,
yakni warna hitam dan warna gelap lainnya: (ma) langit, yakni warna putih dan warna cerah
lainnya: (ma) rarar, yakni kelompok warna merah; dan (ma) latuy, yakni warna kuning, hijau
muda dan coklat muda.
Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga tidak sama banyaknya antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain. Malah bisa juga konsep penamaannya berbeda. Dalam bahasa
Indonesia dikenal nama kakak dan adik, yaitu orang yang lahir dari ibu yang sama. Bahasa
Inggris menyebut orang yang lahir dari ibu yang sama dengan istilah brother dan sister. Di
sini jelas perbedaan konsep penamaannya; bahasa Indonesia berdasarkan usia, lebih tua atau
lebih muda; sedangkan bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin, lelaki atau perempuan.
Dalam dialek melayu Jakarta dan kombinasi dua konsep itu, meskipun tidak lengkap, yakni
di samping ada abang saudara laki-laki yang lebih tua, ada juga mpok saudara perempuan
yang lebih tua, dan adik saudara yang lebih muda baik laki-laki maupun perempuan.
Berapa banyak kelompok medan makna yang dapat dibuat dari setiap bahasa?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan menyebut jumlah angka yang pasti, sebab
pengelompokan kata-kata berdasarkan medan maknanya sangat tergantung konsep budaya
masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu. Didalam buku Thesaurus of English Word
and Phrases Classified and Arranged so as to Facilitate the Expression of Idea and Assist in
LiteracyComposition oleh Peter Mark Roget (1779-1868) terdaftar 1042 kelompok medan
makna yang keseluruhannya terdiri dasri 250.000 kata dan frase. Namun, dalam studi medan
makna ini, seperti yang dilakukan Nida (1974 dan 1975) kata-kata biasanya dibagi atas empat
kelompok, yaitu kelompok bendaan (entiti), kelompok kejadian/peristiwa (event), kelompok
abstrak, dan kelompok relasi. Anggota kelompok bendaan dan peristiwa tampaknya tidak
terbatas, tetapi dua kelompok yang terakhir bersifat terbatas.
Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompokan dalam satu medan makna,
berdasarkan sifat hubungan semestinya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan
medan set. Kolokasi menunjuk pada pada hubungan sintagmantik yang terdaftar antar kata-
kata atau unsur-unsur leksikal itu. Umpamanya, dalam kalimat
(51) tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu
digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.

Kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak dan tenggelam yang
merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam hal
ini lingkungan kelautan, contoh lain kata-kata cabe, bawang terasi garam, merica dan lada
berada dalam satu kolokasi yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur.
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, kareana sifat yang linier, maka
kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam
satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan. Sekolompok kata yang merupakan satu set
biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. setiap
kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hububungan dengan anggota-anggota lain
dalam set itu. umpamanya, kata remaja merupakan tahap perkembangan dari kanak-kanak
menjadi dewasa. sedangkan kata sejuk merupakan suhu di antara dingin dan hangat. Maka
kalau kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan adalah menjadi sebagai
berikut.
(52) Manula/lansia terik
Dewasa panas
Remaja hangat
kanak – kanak sejuk
bayi dingin

Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dalam
memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa. Namun,
pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpangtindihan unsur-unsur
leksikal yang dikelompokan itu, umpamanya, kata candi dapat masuk kelompok medan
makana pariwisata, dan bisa juga masuk kelompok medan makna kesejarahan. Selain itu,
pengelompokan kata atas medan makna denotasi menunjuk pada jenjang usia, padahal kata
remaja itu memiliki juga makna belum dewasa, keras kepala, bersikap kaku, suka
mengganggu dan membantah, serta mudah berubah pikiran, sikap dan pendapat. Jadi
pengelompokan kata atas medan makna ini hanya bertumpu pada makna dasar, makna
denotatif atau makna pusatnya saja.

5.5.2 Komponen Makna


Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki
oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang
membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri atau
disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian- pengertian” yang dimilikinya.
Umpamanya, kata ayah memiliki komponen makna/+manusia. /+dewasa, /+jantan, /+kawin, /
+manusia, /+dewasa, /+-jantan/, /+kawin, dan /+punya anak/. Kalalu dibandingkan komponen
kata ayah dan ibu adalah tampak bagan (53) berikut.

(52) Komponen Makna Ayah Ibu


1. manusia + +
2. dewasa + +
3. jantan + -
4. kawin + +
5. punya anak + +

Keterangan: tanda + berarti memiliki komponen makna tersebut, dan tanda – berarti
tidak meiliki komponen makna itu.

Dari bagan tersebut terlihat beda makna ayah dan ibu hanyalah pada komponen maka/jantan/:
ayah memiliki komponen makna itu, sedangkan itu tidak memilikinya. Untuk lebih jelas,
perhatikan analisis komponen makna lima buah kata Inggris man, woman, boy, girl dan bull.

(54)
Komponen makna man woman Boy girl bull
1. manusia + + + + -
2. dewasa + + - - -
3. jantan + - + + ±

Tampak terlihat bahwa man, woman, boy dan girl memiliki komponen makna
/+manusia/, sedangkan bull tidak memiliki komponen makna itu. Lalu, man dan women
memiliki komponen makna /+dewasa/, sedangkan boy, girl dan bull tidak memiliki
komponen makna tersebut. Selanjutnya, terlihat bahwa man dan boy memiliki komponen
makna /+jantan/, sedangkan woman dan girl tidak memiliki komponen makna tersebut; dan
bull bisa juga tidak memiliki, sebab bull termasuk jantan dan betina.
Kalau dibandingkan kata Inggris boy, girl, child dan kata Indonesia anak, maka akan
tampak perbedaan maknanya sebagai terpampang pada bagan berikut.
(55)
Komponen Makna boy girl child Anak
1. Manusia + + + +
2. Dewasa - - - ±
3. Jantan + ± ± ±

Tampak, bahwa boy, girl, child dan anak sama-sama memiliki komponen makna
/+manusia/; bedanya boy, girl dan child memiliki komponen makna /- dewasa , sedangkan
anak memiliki komponen makna/±dewasa. Jadi , Kata anak dalam bahasa Indonesia bisa
dewasa tetapi bisa juga belum dewasa. Beda lain, boy memiliki komponen makna /+
jantan /, girl memiliki komponen makna /- jantan /; sedangkan child dan anak sama-sama
memiliki komponen makna / ± jantan/. Oleh karena itu, bila kita akan menerjemahkan kata
Inggris boy dan girl ke dalam bahasa Indonesia , maka haruslah pada kata anak itu
ditambahkan atribut laki-laki menjadi anak laki-laki untuk boy; dan ditambah atribut
perempuan menjadi anak perempuan untuk girl. Penambahan itu perlu dilakukan karena kata
anak dalam bahasa Indonesia itu belum memiliki komponen makna /+jantan / maupun
/-jantan/. Bagaimana kalau kita harus menerjemahkan kata anak ke dalam bahasa Inggris?
Dalam hal ini haruslah dilihat konteksnya; mungkin harus menjadi boy, menjadi girl, ataupun
menjadi child.
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dan
bentuk-bentuk yang bersinonim. Umpamanya, kata ayah dan bapak adalah dua buah kata
yang bersinonim dalam bahasa Indonsia. Lalu, seperti sudah dikatakan pada 7. 3.1, bahwa
dua buah kata yang bersinonim makananya tidak persis sama. Oleh karena itu, kata ayah dan
bapak pun, meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya. Di manakah letak
bedanya itu? Kalau kita analisis komponen makna yang dimiliki kata bapak dan ayah akan
terlihat sebagai:
(56)
Komponen makna Ayah Bapak
(1) Manusia + +
(2) Dewasa + +
(3) Sapaan kepada orang tua laki-laki + +
(4) Sapaan kepada orang yang - +
dihormati

Dari bagian itu terlihat bahwa kata ayah dan bapak sama-sama memiliki komponen
makna (1) sampai dengan (3) bedanya, kata ayah tidak memiliki komponen nomor (4)
sedangkan kata bapak memiliki komponen makna itu. Dengan demikian, Anda bisa melihat
beda makna kata ayah dan bapak yang hakiki, yang menyebabkan kata bapak dalam ujaran
( 57) berikut, tidak dapat ditukar dengan kata ayah.

(57) Kami menghadap {bapak, ayah} Gubernur Suryadi di kantornya.


Kegunaan analisis komponen yang lain ialah untuk membuat prediksi makna-makna
gramatikal afiksasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, proses
afiksasi dengan prefiks me- pada nomina yang memiliki komponen makna / + alat /, akan
mempunyai makna gramatikal ‘melakukan tindakan dengan alat (yang disebut kata
dasarnya); seperti terdapat pada mengergaji, memahat, menombak, dan mengail. Proses
afiksasai dengan prefiks me- terhadap nomina yang memiliki komponen makna /+ sifat, atau
ciri khas/, akan mempunyai makna gramatikal ‘menjadi atau berbuat seperti (yang disebutkan
pada kata dasar); misalnya, membeo, mematung, membaja dan membatu. Proses afiksasi
dengan prefiks me- pada nomina yang memiliki komponen makna /+ hasil olahan /akan
memiliki makna gramatikal ‘membuat yang disebut kata dasarnya; misalnya, menyambar,
menggulai, dan menyate. Sedikit catatan mengenai kata mematung; di dalam buku-buku
pelajaran tata bahasa dikatakan mempunyai makna (1) menjadi atau berlaku seperti patung,
dan (2) membuat patung. Adanya dua makna gramatikal ini karena komponen makna yang
dimiliki kata patung adalah memang (1) memiliki sifat atau ciri khas, dan (2) hasil olahan.
Jadi, komponen makna (1) memberikan makna gramatikal (1), dan kompnen makna (2)
memberikan makna gramatikal (2).
Bahwa analisis komponen ini dapat digunakan untuk meramalkan makna gramatikal,
dapat juga kita lihat pada proses reduplikasi dan proses komposisi. Dalam proses reduplikasi,
yang terjadi pada dasar verba yang memiliki komponen makna / + sesaat / memberi makna
gramatikal’ berulang - ulang’ seperti pada memotong - motong, memukul - mukul, dan
menendang-nendang. Sedangkan, pada verba yang memiliki komponen makna / + bersaat /
akan memberi makna gramatikal dilakukan tanpa tujuan : seperti pada membaca-baca,
mandi-mandi, dan duduk-duduk. Jadi, dalam proses reduplikasi itu terlihat verba yang
memiliki komponen makna / + sesaat / mempunyai makna gramatikal yang berbeda dengan
verba yang memiliki komponen makna / - sesaat /.
Dari bagan tersebut terlihat, bahwa beda bunyi / p / dan /b / adalah pada ciri
bersuara : /p/ adalah bunyi tak bersuara sedangkan /b/ adalah bunyi bersuara. Beda bunyi /
p / dan / t / terletak pada ciri bilabial : / p / bunyi bilabial, sedangkan /t/bukan bunyi bilabial.
Persamaan dan perbedaan lainnya dari keempat bunyi itu dapat anda lihat sendiri dari bagan
tersebut.
Para pakar antropologi pada tahun lima puluhan juga mengambangkan suatu analisis
yang mirip dengan analisis distinctive features dari Morris Halle dan Roman Jakobson itu.
Para ahli antropologi menggunakan analisis ini untuk, antara lain, menjelaskan perbedaan dan
persamaan dalam istlah perkerabatan. Hanya bedanya mereka tidak selalu terpaku pada ada
atau tidaknya suatu ciri makna pada suatu unsure leksikal. Umpamanya, ayah satu tingkat dia
atas ego; nenek dua tingkat di atas ego; ipar setingkat dengan ego; dan cucu dua tingkat di
bawah ego.
Kemudian, oleh Chomsky ( 1965 ) prinsip-prinsip analisis yang dilakukan Roman
Jakobson dan para ahli antropologi itu digunakan untuk memberi ciri-ciri gramatikal dan
ciri - ciri semantik terhadap semua morfem dalam daftar morfem yang melengkapi tata
bahasa generatif tranformasinya. Umpamanya, kata boy oleh Chomsky diberi ciri / +
nomina, - insan, + terhitung, + konkret – bernyawa / ; kata table diberi ciri / + nomina, _
insane, + terhitung, + penkret, _ bernyawa / ; kata water diberi ciri / + nomina, - insan –
terhitung, + konkret, - bernyawa / ; dan kata spirit diberi ciri / + nomina, - insan, - akan
dapat dijelaskan berterima atau tidaknya sebuah kalimat baik secara leksikal maupun
gramatikal.

Anda mungkin juga menyukai