Penyusun
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Masalah..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
A. Hakekat Hermenutika.......................................................................... 3
B. Arti Penting Hermeneutika Dalam Kajian Sastra............................. 3
1. Hermeneutika Tradisional............................................................... 4
2. Hermeneutika Dialektika................................................................. 5
3. Hrermeneutika Ontologis................................................................ 5
C. Hermeneutika dan Interpresatasi Sastra............................................ 7
BAB III PENUTUP......................................................................................... 9
A. Kesimpulan............................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni
interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal
dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi
dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti
melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika
menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah
hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh
pemahaman yang memadai.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan
pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh
permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna"
yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti
memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.
Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang
optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu
sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai;
metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus
dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra
dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat
dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Pada mulanya hermeneutika adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci.
Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup
masalah penafsiran secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66). Dalam
perkembangan hermeneutika, berbagai pandangan terutama datang dari para
filsuf yang menaruh perhatian pada soal hermeneutika. Ada beberapa tokoh
yang dapat disebutkan di sini, di antaranya: F.D.E. Schleirmacher, Wilhelm
Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer,
Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida. Pada prinsipnya, di
antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki, terutama
dalam hal bagimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi sastra khususnya
dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Di samping itu, terdapat
pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Terjadinya perbedaan
tersebut pada dasarnya karena mereka menitik-beratkan pada hal yang berbeda
atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.
Dalam konteks itulah berbagai pemikiran dan cara aplikasi hermeneutika
tersebut perlu dibahas secara khusus. Dalam hal ini ada berbagai pemikiran
dari empat pemikir yang akan digunakan untuk mengkajinya. Beberapa
pemikir termaksud adalah Andre Lefevere (1977), Terry Eagleton (1983), M.J.
Valdes (1987), dan G.B. Madison (1988).
Bertolak dari empat pemikir itulah pembahasan ini akan berupaya
mengetengahkan kembali hasil pemahaman secara komprehensif tentang
hermeneutika. Di samping itu, juga diupayakan menjelaskan pembahasan
apakah hermeneutika dalam interpretasi sastra sebagai konsep metodologis
atau ontologis.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Hakikat Hermeneutika?
2. Bagaimana Arti Hermeneutika Dalam Kajian Sastra?
C. Tujuan masalah
1. Mendeskripsikan Hakikat Hermeneutika Dalam Kajian Sastra
2. Mengetahui Arti Penting Hermeneutika Dalam Kajian Sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari kata Hermeneunein, Istilah Yunani kuno yang
mempunyai arti Menginterpretasi atau menafsirkan (Sumaryono, 1999: 23). Di
mitologi Yunani istilah ini sering dikaitkan dengan salah figur yang bernama
hermes, utusan yang bertugas mengantarkan pesan dari Jupiter kepada
Manusia. Tugas hermes bermakna (1) memaparkan sesuatu yang masih
menjadi wacana pemikiran dengan media penyampaian berbentuk bahasa
(Speaking). (2) Menyampaikan sesuatu yang awalnya tidak jelas menjadi jelas
dan bisa dipahami oleh pendengar (explanation). (3) menerjemahkan kata kata
dari dewa sehingga bisa dimengerti oleh manusia (translating). Penerjemahan
identik dengan penafsiran (Palmer, 2003). Dari sinilah hermeneutika berkaitan
dengan interpretasi atau penafsiran. Berdasarkan ketiga aspek diatas yaitu
menyampaikan, menjelaskan, dan menerjemahkan.maka hermeneutika dapat
diartikan sebagai merubah ketidaktahuan dalam suatu atau situasi menjadi
mengerti. Hermeneutika juga bisa diartikan sebagai metode dalam menafsirkan
simbol yang berupa teks untuk diketahui makna dan artinya. Metode ini
menuntut interpreter bisa menafsirkan sesuatu yang bersifat lampau dan
membawanya ke masa depan. Sejalan dengan itu Carl Braathen mengatakan
hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan satu peristiwa dari masa lalu
dapat bermakna dan dimengerti di masa sekarang.
B. Arti Penting Hermeneutika dalam Kajian Sastra
Dalam mengkaji karya-karya sastra, peran hermeneutika sebagai ilmu
interpretasi sangatlah penting. Dalam menginterpretasi karya sastra, Lefevere
(1977: 46-47) membaginya menjadi 3 varian yakni Hermeneutika Tradisional,
Hermeneutika dialektik, dan Hermeneutika ontologis.
Varian-varian ini sepakat mendefinisikan sastra sebagai objektivisasi
jiwa manusia. Sebagai objektivikasi jiwa manusia, sastra pada dasarnya bisa di
amati , dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Akan tetapi, ketiga varian
tersebut menginterpretasi verstehen-nya dengan cara yang berbeda-beda. Maka
perlu untuk dijelaskan ketiga varian ini dalam kerangka kajian sastra. Berikut
ini penjelasan setiap varian menurut Leferve (1977).
1. Hermeneutika Tradisional
Hermeneutika Tradisional bisa disebut juga Hermeneutika “Romantik”.
Hermeneutika ini pertama kali dikenalkan oleh Friedrich Schleiermacher, lalu
diteruskan oleh Wilhem Dilthey. Mereka berpendapat bahwa verstehen adalah proses
mental dan pemikiran yang aktif, merespon pesan dari pikiran yang lain denga bentuk-
bentuk yang berisikan makna tertentu. Dalam konteks ini, terlihat bahwa dalam
menginterpretasi teks , schleiermacher lebih mengarah pada pemahaman atas
pengalaman pengarang atau psikologi, sedangkan dilthey lebih mengarah pada
ekspresi inner life atau makna persitiwa sejarah (Lafevere, 1997). Jika dicermati,
keduanya sama-sama memahami hermeneutika sebagai interpretasi reproduktif .
namun, pandangan mereka di pertanyakan oleh Lefevere (1997) karena menurutnya
proses ini sulit dimengerti dan diuji secara intersubjektif. Keraguannya ini sepertinya
dikuatkan oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang berpendapat proses semacam itu
mirip dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada
waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Lefevere berpendapat jika Hermeneutika Tradisional ini tidak menghiraukan
fakta bahwa antara interpreter yang satu dengan yang lain tidak akan membuat
interpretasi yang sama. Penyebab hal ini karena interpreter memiliki latar belakang
atau pengalaman yang berbeda-beda. varian ini tidak ada pertimbangan kepada
pembacanya. Dengan kesimpulan bahwa varian ini menganggap semua interpreter
mempunya interpretasi yang sama terhadap satu karya sastra yang telah dibacanya.
Hermeneutika tradisional mempunyai kelemahan seperti yang sudah disebutkan
diatas, karena hanya bertumpu pada pola berfikir positivis yang menganggap
hermeneutika terlebih khusus verstehen hanya mereproduksi. Di lain sisi, Lefevere
sependapat dengan Betti dengan membenarkan bahwa interpretasi mustahil identik
dengan reproduksi, tapi identik dengan rekontruksi hal-hal yang bersifat objektif
sehingga perbedaan interpretasi antar pembaca dapat terjadi. Kesimpulannya, secara
intim interpreter bisa membawa kenyataan kehidupannya melalui pesan yang di bawa
oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1997: 47). Menurut Lefevere ini hal yang
sangat penting dalam penafsiran teks sastra.
2. Hermeneutika Dialektika
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl
Otto Apel (dalam Lefevere, 1977: 49). Ia mendefinisikan verstehen tingkah
laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan
berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku
harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks
kehidupan yang merupakan permainan bahasa.
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai
bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel
sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak
berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel
tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan
pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan
melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat
memahami (verstehen) sesuatu tanpa pengetahuan faktual secara potensial
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut yang tidak
mempertentangkan penjelasan dengan pemahaman sejalan dengan
pandangan Valdes (1987: 57-59) yang menganggap penting penjelasan dan
pemahaman untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori
utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan
poststrukturalis atau dekonstruksi.
3. Hermeneutika Ontologis
Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Gadamer
( dalam Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang membutuhkan
penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan
hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks sastra.
Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof
Martin Heidegger. Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen
sebagai konsep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis. Dalam hal ini, Gadamer
menolak konsep hemeneutika sebagai metode. Kendatipun menurutnya
hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman
itu bersifat metodis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan
manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya
bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis
(Lefevere, 1977: 50). Dengan demikian, sastra Islami tidak pernah terikat
oleh waktu atau periodisasi tertentu. Sastra Islami bukanlah lari kembali
kepada warisan lama peradaban Islam, atau stagnan dengan kondisi
kekinian, melainkan semangat dinamis untuk mencapai dunia sastra di hari
esok yang lebih baik. Sastra Islam hanya terikat kepada akidah Islam yang
menjadi ruh dari peradaban Islam yang terus tumbuh dan berkembang. Dan
tugas pokok sastra dalam dinamika peradaban ini– sebagaimana dikatakan
oleh Al-Jahidh – adalah memperbaiki alam (kehidupan) dan berperan serta
dalam pembentukan individu dengan cara pembentukan yang baru.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan
masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun
memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer
juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Konsep
hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung
sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan
sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi
intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari
satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan
komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988:
45). Oleh karena itu, tampak di sini 37 Gadamer mengikuti filsafat
Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan
demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca
selaku pemberi makna yang diabaikan dalam hermeneutika tradisional.
C. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra
Interpretasi sastra yang berkembang sangat berkaitan dengan
perkembangan pemikiran Hermeneutika, terutama dalam ranah filsafat dan
teologi. Diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika untuk memahami
hermeneutika dalam interpretasi sastra, terutama tentang 3 varian yang sudah
dibahas diatas yang dicetus lefevere (hermeneutika tradisional, dialek, dan
ontologis). Dengan pemahaman ketiga varian itu, akan mempermudah kita
dalam memahami hermeneutika dalam karya sastra.
Pemahaman hermeneutika adalah metode yang paling representatif dalam
kajian sastra, kajian sastra berhakikat bukan dari interpretasi teks sastra
berdasar pemahaman yang mendalam. Akan tetapi, sejalan dengan pandangan
lefevere (1977: 51), hermeneutika tidaklah mempunyai status yang khusus dan
bukanlah model pemahaman dalam sastra yang secara khusus diterapkan
didalamnya, karena sastra adalah objektivitas jiwa manusia. Sejalan dengan
pernyataan dari lefevere sudah jelas bahwa perlu pengutamaan jika dalam
sastra ingin menerapkan hermeneutika, karena objek kajian sastra itu adalah
karya estetik.
Teori-teori sastra yang berkembang memperlihatkan peran pembaca yang
cenderung penting dalam menginterpretasi makna sebuah teks. Hal tersebut
bisa dilihat pada hermeneutika ontologis yang di kemukakan oleh Gadamer,
yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger,
Valdes (1987: 59-63) menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi,
dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama
Paul Rocoeur. Ia dalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam
perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang
sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam
hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang
dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah
sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks (Valdes, 1987: 60). Arti dan
makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk,
sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu
pandangan bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis
being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga
menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala
interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra
melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi
dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia
tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab (Valdes, 1987: 64).
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan pemahamankhususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra-adalah
gagasan "lingkaran hermeneutika" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang
diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman
ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami
objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-
bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami
keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian,
pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami
suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham
itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Prapaham
yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan,
melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman
ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai
pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang
lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah
penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam
prinsip yang berkesinambungan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Interpretasi sastra yang berkembang sangat berkaitan dengan
perkembangan pemikiran Hermeneutika, terutama dalam ranah filsafat dan
teologi. Diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika untuk memahami
hermeneutika dalam interpretasi sastra, terutama tentang 3 varian yang sudah
dibahas diatas yang dicetus lefevere (hermeneutika tradisional, dialek, dan
ontologis).
Pemahaman hermeneutika adalah metode yang paling representatif dalam
kajian sastra, kajian sastra berhakikat bukan dari interpretasi teks sastra
berdasar pemahaman yang mendalam. Akan tetapi kita harus paham akan teori-
teori hermenutika dalam mengkaji sastra.
Teori-teori sastra yang berkembang memperlihatkan peran pembaca yang
cenderung penting dalam menginterpretasi makna sebuah teks. Hal tersebut
bisa dilihat pada hermeneutika ontologis yang di kemukakan oleh Gadamer,
yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger,
Valdes menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi, dan terkait
dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
DAFTAR PUSTAKA