Anda di halaman 1dari 48

BAB 4

DASAR-DASAR SINTAKSIS

4.1 Pengantar
Secara etimologi kata sintaksis berasal dari kata bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti
‘bersama’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’. Dari kedua kata itu dibentuk kata
sintaksis yang berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat dan unsur lainnya. Jadi, sintaksis adalah bidang linguistik yang membicarakan kata
dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran.
Dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis,
mencakup masalah fungsi, kategori dan peran sintaksik; serta alat-alat yang digunakan dalam
membangun struktur itu; (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa kata, frase, klausa, kalimat,
dan wacana; dan (3) hal-hal yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek
dan sebagainya. Berikut ini, hal-hal tersebut akan dibicarakan, dengan kebanyakan contoh
diambil dari bahasa Indonesia.

4.1 Struktur Sintaksis


Dalam pembicaraan struktur sintaksis, pertama-tama yang dibicarakan adalah fungsi
sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Dalam
bab ini unsur tersebut akan dibicarakan secara bersamaan.
Dalam pembahasan sintaksis dikenal istilah subjek, predikat, objek, dan keterangan;
dan; istilah nomina, verba, ajektifa, dan numeralia. Kelompok istilah yang pertama berkenaan
dengan istilah fungsi sintaksis dan kelompok istilah yang kedua berkenaan dengan kategori
sintaksis. Sedangkan kelompok ketiga, yaitu istilah pelaku, penderita, dan penerima adalah
peristilahan yang berkenaan dengan peran sintaksis.
Secara umum struktur sintaksis itu terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek
(O), dan keterangan (K). Masalah kita sekarang apakah fungsi sintaksis itu?, dan apakah isi
serta peranannya di dalam linguistik? Menurut Verhaar (1978) fungsi-fungsi sintaksis itu
yang terdiri dari unsur-unsur S, P, O, dan K itu merupakan “kotak-kotak kosong” atau
“tempat-tempat kosong” yang tidak mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat-
tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan
tertentu. Kita ambil contoh kalimat:
(1) Nenek melirik kakek tadi pagi.

Tempat kosong yang bernama subjek diisi oleh kata nenek yang berkategori nomina,
tempat kosong yang bernama predikat diisi oleh kata melirik yang berkategori verba, tempat
kosong yang benama objek diisi oleh kata kakek yang berkategori nomina, dan tempat kosong
yang bernama keterangan diisi oleh frase tadi pagi yang berkategori nomina (tentang frase
lihat 6.3).
Subje Pr Obje Ketera
k edikat k ngan
Pengisi fungsi-fungsi itu yang berupa kategori sintaksis mempunyai peran-peran
sintaksis. Kata nenek pada contoh di atas memiliki peran ‘pelaku’ atau ‘agentif’, melirik
memiliki peran ‘perbuatan’, kakek memiliki peran ‘sasaran’, dan tadi pagi memiliki peran
‘keterangan waktu’. Bagaimana kalau kalimat nenek melirik kakek tadi pagi apakah peran-
perannya tetap sama? Coba kita lihat. Dalam kalimat pasif itu, kata kakek yang tadinya
mengisi fungsi objek, sekarang mengisi fungsi subjek dan peran tetap ‘sasaran’; verba psif
dilirik sebagai ubahan dari verba aktif melirik sekarang berperan ‘pasif’; nenek yang semula
mengisi funsi subjek sekarang mengisi fungsi objek dengan peran tetap ‘pelaku’; dan frase
tadi pagi tetap mengisi fungsi keterangan dengan peran yang tetap juga, yaitu peran ‘waktu’.
Kalau dibagankan hubungan antara fungsi, kategori, dan peran sintaksis itu adalah
menjadisebagai berikut (diangkat dari Verhaar 1978).

Subjek (1) (2) (3)

(1) Fungisi Sinta


(2) Kategori sintaksis
(3) Kategori Sintaksi
Masalah kita sekarang sehubungan dengan fungsi, kategori, dan peran sintasksis di
atas adalah (1) apakah struktur sintaksis selalu berurutan S, P, O, dan K seperti di atas?; dan
apakah keempat fungsi itu selalu muncul dalam setiap struktur sintaksis?; (2) apakah setiap
fungsi harus selalu diisi oleh kategori tertentu?; (3) peran-peran apakah yang ada dalam
setiap struktur sintaksis? Terhadap pertanyaan pertama dapat dijawab bahwa susunan fungsi
sintaksis tidak harus selalu berurutan S, P, O dan K. Misalnya kalimat,
3) Keluarlah nenek dari kamarnya.
Mempunyai susunan fungsi P, S, K. Demikianlah juga fungsi K dalam kalimat-
kalimat berikut mempunyai posisi yang tidak sama.

(4a) Tadi pagi nenek melirik kakek.


(4b) Nenek tadi pagi melirik kakek.
(4c) Nener melirik kakek tadi pagi .

Yang tampaknya urutannya harus selalu tetap adalah fungsi P dan O, sebab kalimat
(4d) berikut tidak berterima.
(4d) *Nenek melirik tadi pagi kakek.

Mengenai pernyataan apakah keempat fungsi itu harus selalu muncul dalam setiap
struktur, tampaknya dari contoh kalimat (3) di atas, keluarlah nenek dari kamarnya, sudah
terjawab. Dari contoh tersebut sudah terlihat bahwa kalimat tersebut tidak memiliki fungsi
objek. Jadi, memang keempat fungsi itu tidak harus selalu ada dalam setiap struktur sintaksis.
Hanya masalahnya, fungsi-fungsi mana yang bisa tidak muncul dan fungsi-fungsi manapula
yang harus selalu muncul sehingga konstruksi tersebut dapat disebut sebagai sebuah struktur
sintaksis. Jawabannya agak sukar dan bisa bermacam-macam. Banyak pakar yang
mengatakan bahwa suatu struktur sintaksis minimal harus memiliki fungsi subjek dan fungsi
predikat. Tanpa fungsi subjek dan predikat konstruksi itu belum dapat disebut sebagai sebuah
struktur sintaksis. Sedangkan objek dan keterangan boleh tidak muncul; apalagi mengingat
kemunculan objek ditentukan oleh transitif atau tidaknya verba yang mengisi fungsi predikat;
dan funsi keterangan muncul apabila diperlukan. Namun, Verhaar (1978) mencatat dalam
kalimat.
3) Dia tinggal di Jakarta.

Frase di Jakatra yang menduduki fungsi keterangan tidak dapat dihilangkan sebab
konstruksi *Dia tinggal tidak berterima. Ada pakar lain, yaitu Chafe (1970) yang menyatakan
bahwa yang paling penting dalam struktur sintaksis adalah fungsi predikat. Bagi Chafe
predikat harus selalu berupa verba, atau kategori lain yang diverbakan. Munculnya fungsi-
fungsi lain sangat tergantung pada tipe atau jenis verba itu. Verba transitif tentu akan
memunculkan fungsi keterangan yang berperan lokatif. Berikut ini contoh struktur yang tidak
memunculkan objek, yang harus ada objeknya, dan yang harus ada keterangan. Perhatikan!
4) Rambut Nenek belum memutih.
5) Nenek membersihkan kamarnya.
6) Matahari terbit dari sebelah timur
Verba memutih pada kalimat (6) adalah verba intransitif; maka, tidak perlu munculnya
sebuah objek. Verba membersihkan pada kalimat (7) adalah verba transitif; maka, di belakang
verba itu harus ada sebuah objek. Lalu verba terbit adalah verba intransitif yang menyatakan
lokasi; maka, perlu adanya fungsi keterangan yang berperan lokatif di belakangnya. Tanpa
keterangan lokatif itu, kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak berterima.
Mengenai harus munculnya sebuah objek pada kalimat yag predikatnya berupa verba
transitif, ternyata dalam bahsa Indonesia ada sejumlah verba transitif yang objeknya tidak
perlu ada, atau keberadaannya dapat ditanggalkan. Verba transitif yang objeknya tidak perlu
muncul atau dapat ditanggalka ini adalah verba yang secara semantik menyatakan
“kebiasaan” atau verba itu mengenai orang pertama tunggal atau orang banyak secara umum.
Perhatikan kalimat (9) (10) berikut !
9) Sekretaris itu sedang mengetik.
10) Pertunjukkan itu sangat mengecewakan.
Verba mengetik pada kalimat (9) adalah verba yang menyatakan pekerjaan yang biasa
dilakukan oleh seorang sekretaris; dan yang biasa diketik adalah surat. Verba mengecewakan
pada kalimat (10) menyatakan bahwa pelakunya atau orang yang mengalaminya adalah orang
pertama, yaitu saya, atau orang banyak pada umumnya. Andaikata yang mengalaminya hanya
seseorang. Misalnya, Bu Leoni, maka objeknya, yaitu Bu Leoni, harus disebutkan, sehingga
menjadi kalimat berikut.
11) Pertunjukkan itu sangat mengecewakan Bu Leoni.

Contoh lain, dalam masyarakat Indonesia karena yang dimakan adalah nasi dan yang
diminum adalah air, maka kalimat (12) dan (13) berikut adalah kalimat yang berterima,
meskipun tanpa objek.
12) Dari pagi nenek belum makan.
(13) Kakek minum
Namun kalau yang dimakan bukan nasi dan yang diminum bukan air, maka objeknya
harus dimunculkan. Misalnya menjadi:
(14) Dari pagi nenek belum makan obat.
(15) Kakek mau minum susu.
Adapun pula pendapat lain (Lihat Djoko Kentjono 1982; dan lihat uraian pada 6.3),
yang menyatakan hadir tidaknya suatu fungsi sintaksis tergantung pada konteksnya.
Umpannya, dalam kalimat jawaban kalimat perintah, dan kalimat seruan, maka yang muncul
hanyalah fungsi yang menyatakan jawaban, perintah atau seruan itu. Perhatikan contoh
berikut !
(16) Sudah! (sebagai jawaban dari kalimat Tanya: Kamu sudah makan?)
(17) Baca! (Perintah guru kepada seorang anak).
(18) Hebat! (Sebagai seruan pujian).
Dengan demikian, pertanyaan mengenai fungsi-fungsi mana yang harus selalu hadir
dan mana yang boleh tidak hadir dalam konstruksi sintaksis, kiranya sudah jelas dari uraian
di atas.
Mengenai pertanyaan kedua, apakah fungsi-fungsi itu harus diisi oleh kategori-
kategori tertentu, juga banyak jawaban yang berbeda. Para ahli bahasa tradisional
berpendapat bahwa fungsi subjek harus diisi oleh kategori nomina, fungsi predikat harus diisi
oleh kategori verba, fungsi objek harus diisi oleh kategori nomina, dan fungsi keterangan
harus selalu diisi oleh kategori adverbial. Akibat dari pandangan ini, maka kalimat dari (19)
adalah salah, sebab tidak ada predikatnya. Yang benar atau yang seharusnya adalah kalimat
(20) dan (21) berikut.
(19) Dia guru.
(20) Dia adalah guru.
(21) Dia menjadi guru.
Kata adalah merupaka verba kopula yang setara dengan to be dalam bahasa Inggris.
Secara deskriptif dalam bahasa Inggris kata kerja to be ini memang harus selalu digunakan
dalam konstruksi seperti he is a teacher tetapi dalam bahasa Indonesia kata adalah bisa
dilesapkan dalam konstruksi kalimat (20). Begitu juga dengan kata kerja menjadi pada
kalimat (21).
Akibat lain dari konsep bahwa subjek harus selalu diisi oleh nomina maka kata
berenang pada kalimat (22) dan kata membaca pada kalimat (23) berikut, dianggap juga
sebagai berkategori nomina, atau lebih lunak lagi disebut verba yang berfungsi sebagai
nomina.
(22) Berenang menyehatkan tubuh.
(23) Membaca dapat tujuh dan penulis hanya mendapat enam.
Adapula yang berpendapat, karena subjek itu harus selalu nomina, maka katanya
(lihat Lapoliwa 1990), yang menyehatkan itu seperti disebutkan pada kalimat (22), bukanlah
berenangnya, melainkan perbuatan atau pekerjaan berenang itu. Jadi, subjek kalimat itu
tetap berupa nomina. Begitu juga dengan kata membaca pada kalimat (23); yang mendapat
nilai tujuh adalah ujian atau tes membaca, bukan membacanya. Kata membaca tetap
berkategori verba, sedangkan frase ujian membaca atau tes membaca berkategori nomina.
Mengenai kategori kata, seperti sudah dibicarakan pada bab morfologi, memang
sudah lama menjadi pertikaian, terutama dalam bahasa Indonesia. Namun, konsep bahwa
setiap subjek harus berupa nomina dan predikat harus berkategori verba, kiranya perlu dikaji
ulang, terutama untuk sintaksis bahasa Indonesia.
Berbicara mengenai pertanyaan ketiga, peran-peran apakah yang ada dalam setiap
struktur sintaksis, di sini sebenarnya berkaitan dengan masalah makna gramatikal yang
dimiliki oleh struktur sintaksis itu. Makna gramatikal unsur-unsur leksikal yang mengisi
fungsi-fungsi sintaksis sangat tergantung pada tipe atau jenis kategori kata yang mengisi
fungsi predikat dalam struktur sistaksis itu. Kalau predikatnya diisi oleh verba transitif
makan, misalnya, maka pengisi fungsi objek akan berperan ‘pelaku’ dan pengisis fungsi
objek akan berperan ‘sasaran’; tetapi kalau pengisi fungsi predikat berupa verba kedinginan,
maka pengisi fungsi subjeknya akan memiliki peran ‘yang mengalami’. Pengisi fungsi
predikat itu sendiri dapat member peran ‘aktif’ seperti dalam kalimat (24), peran ‘pasif’
seperti dalam kalimat(25), peran ‘proses’seperti dalam kalimat (26), dan paran ‘keadaan’
seperti dalam (27) berikut.
(24) Nenek menghitamkan rambutnya.
(25) Rambutnya itu dihitamkan.
(26) Kulitnya mulai menghitam.
(27) Rambutnya sangat hitam.
Pengisi fungsi subjek dan objek, antara lain, dapat memiliki peran’pelaku’ seperti dia
dalam kalimat (28), peran ‘yang mengalami’ seperti dia pada kalimat (29), peran ‘penerima’
seperti dia pada kalimat (30), peran ‘sasaran’seperti bola pada kalimat (31), dan peran ‘hasil’
seperti surat pada kalimat (32).
(28) Dia menghitamkan rambutnya.
(29) Dia kedinginan sepanjang malam.
(30) Dia menang lotere seratus juta rupiah.
(31) Dika menendang bola itu keras-keras.
(32) Nita menulis surat tadi pagi.
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh, kita sebut saja, urutan kata,
bentuk kata, dan intonasi; dalam hal ini juga ditambah dengan konektor yang biasanya berupa
konjungsi. Peranan ketiga alat sintaksis itu (yaitu urutan kata, bentuk kata, dan intonasi)
tampaknya tidak sama antarbahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Ada bahasa yang lebih
mementingkan urutan, ada yang lebih mementingkan bentuk kata, tetapi ada juga yang lebih
mementingkan intonasi. Kita lihat saja hal tersebut dalam uraian berikut.
Yang dimaksud dengan urutan kata ialah letak atau posisi kata yang satu dengan kata
yang lain dalam suatu konstruksi sintaksis. Dalam bahasa Indonesia urutan kata ini
tampaknya sangat penting. Perbedaan urutan kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
Umpamanya, konstruksi tiga jam memiliki makna yang tidak sama dengan konstruksi yang
mempunyai urutan jam tiga. Perbedaan itu, tiga jam menyatakan masa waktu yang lamanya 3
x 60 menit, sedangkan jam tiga menyatakan saat waktu. Begitu juga dengan urutan
konstruksi lagi makan, dan makan lagi yang bagi Anda penutur bahasa Indonesia tentu tahu
beda maknanya. Lagi makan berarti ‘perbuatan makan sedang berlangsung’; sedangkan
makan lagi berarti ‘perbuatan makan itu berulang kembali’. Bagaimana perbedaan makna
antara konstruksi Nenek melirik kakek dengan Kakek melirik nenek?, di mana posisi kata
nenek dan kakek saling dipertukarkan. Perbedaannya adalah, pada kalimat pertama, nenek
menjadi pelaku perbuatan, dan kakek menjadi sasaran perbuatan. Dalam kalimat kedua, kakek
menjadi pelaku perbuatan, sedangkan nenek menjadi sasaran perbuatan. Perbedaan makana
pelaku dan sasaran itu terjadi karena letak urutan kata nenek dan kakek dipertukarkan.
Makna ‘pelaku’ dan ‘sasaran’ yang terjadi dalam kalimat di atas disebut makna
gramatikal (tentang makna gramatikal lebih jauh lihat 7.2.1). Penutur bahasa Indonesia tentu
dapat mengenali makna gramatikal ini tanpa harus tahu makna leksikal unsur-unsurnya.
Umpamanya dalam kalimat (diangkat dari Djoko Kentjono 1982) Pialing makan Petola.
Meskipun kita tidak tahu arti leksikal kata Pialing dan petola, tetapi dari strukturnya kita
dapat mengetahui makna gramatikal kalimat tersebut: Pialing adalah ‘pelaku’dan petola
adalah ‘sasaran’.
Meskipun pada contoh kalimat Nenek melirik kakek dan kalimat Pialing makan
Petola perubahan urutan kata menyebabkan terjadinya perubahan makna gramatikal kalimat
tersebut, tetapi tampaknya ada bagian-bagian lain dari kalimat bahasa Indonesia yang bisa
dipindahkan tempatnya tanpa mengubah makna gramatikal kalimat tersebut. Misalnya,
seperti ditunjukkan oleh posisi frase tadi pagi pada kalimat (4) yang sudah dibicarakan di
atas, Tadi pagi nenek melirik kakek, yang bisa dipindah menjadi Nenek melirik kakek tadi
pagi, atau Nenek tadi pagi melirik kakek. Dalam hal ini memang ada batasnya, sebab susunan
*Nenek melirik tadi pagi kakek tidak berterima. Penyebab ketidakberterimaannya adalah
kendala gramatikal, yakni hubungan antara fungsi predikat dan fungsi objek dalam kalimat
transitif aktif sangat erat, tidak mungkin dapat dipisahkan. Jadi, antara kata melirik dan kata
kakek tidak dapat diselipkan apa-apa.
Kalau dalam bahasa Indonesia urutan kata itu sangat penting, meskipun sampai tahap
tertentu urutan itu dapat diubah, tetapi dalam beberapa bahasa lain, terutama bahasa-bahasa
berfleksi seperti bahasa Latin, urutan kata itu sangat tidak penting. Artinya urutan kata itu
dapat dipertukarkan tanpa mengubah makna gramatikal kalimat tersebut. Misalnya, keenam
kalimat berikut mempunyai makna yang sama, yaitu’Paulus melihat Maria’, meskipun urutan
kata-katanya tidak sama.
(33) Paulus vidit Maria
Paulus Maria vidit
Maria vidit Paulus
Maria Paulus vidit
Vidit Maria Paulus
Vidit Paulus Maria
Mengapa urutan kata dalam bahasa Latin itu dapat diubah-ubah tanpa mengubah
makna gramatikalnya? Kiranya, dalam bahasa Latin, dan bahasa-bahasa fleksi lainnya, yang
memegang peranan penting dalam sintaksis bukanlah urutan kata, melainkan bentuk kata.
Sebuah kata yang sama dalam bahasa fleksi mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda, untuk
menduduki fungsi subjek, fungsi objek, atau fungsi lainnya. Jadi, meskipun letaknya di mana
saja, tetapi makna gramatikalnya tidak akan berubah dan tidak akan terjadi keslahpahaman
karena sudah ditentukan oleh bentuknya itu. Apa yang menjadi subjek ditandai dengan kasus
nominatif, apa yang menjadi objek langsung ditandai dengan kasus akusatif, dan apa yang
menjadi objek tak langsung ditandai oleh kasus datif. Bandingkan contoh di atas dengan
kalimat bahasa Indonesia Paulus melihat Maria dan Maria melihat Paulus, apa yang menjadi
subjek dan objek kita ketahui dari urutan kata-katanya, dan bukan dari bentuk katanya (Lihat
kembali subbab 5.2.3.1).
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa dalam bahasa Latin bentuk kata sangat
penting karena di dalam bentuknya kata-kata itu sudah menyatakan fungsi, peran, dan
kategori sintaksisnya. Bagaimana dengan bentuk kata, dalam bahasa Indonesia ? Tampaknya
bentuk kata dalam bahasa Indonesia juga sangat penting. Umpamanya kalau kata melirik
pada kalimat yang sudah kita sebut-sebut di atas Nenek melirik kakek kita ganti dengan
bentuk kata dilirik, sehingga kalimat itu menjadi Nenek dilirik kakek, maka makna kalimat itu
menjadi berubah. Kalau dalam bentuk melirik yang dilakukan perbuatan adalah nenek, maka
dalam bentuk dilirik yang melakukan perbuatan adalah kakek. Maknanya akan berbeda pula
kalau bentuk kata dilirik itu kita ganti dengan bentuk terlirik, sehingga kalimat itu menjadi
Nenek terlirik (oleh) kakek. Meskipun makna gramatikalnya tetap sama, yaitu yang
melakukan perbuatan itu adalah kakek, tetapi perbuatan itu dilakukan tidak dengan sengaja.
Derajat pentingnya bentuk kata bahasa Indonesia dan bahasa Latin memang tidak
sama. Dalam bahasa Latin bentuk kata itu tampaknya berperanan mutlak, sedangkan dalam
bahasa Indonesia tidak. Hal ini terjadi karena dalam bahasa Latin urutan kata hampir-hampir
tidak mempunyai peranan, sedangkan dalam bahasa Indonesia urutan kata itu mempunyai
peranan yang penting. Fungsi subjek dalam kalimat bahasa Indonesia lebih umum ditentukan
oleh urutan kata atau posisi kata itu daripada bentuk katanya. Kita lihat konstruksi genetik
dalam bahasa Indonesia dan kita bandingkan dengan bahasa Inggris. Konstruksi genetif
dalam bahasa Indonesia seratus persen ditentukan oleh urutan kata, seperti buku saya,
bukunya, dan bukumu. Dalam bahasa Inggris konstruksi genetif ini menjadi my book, his
book, dan your book. Kita lihat bentuk kata I diganti dengan kata my, bentuk he diganti
dengan his, dan bentuk you diganti dengan kata your. Dalam berbagai buku tata bahasa
Indonesia yang bercap tradisional memang ada disebutkan bentuk-bentuk -ku, -mu, dan –nya
adalah kata ganti empunya. Namun, bentuk-bentuk tersebut sebenarnya adalah klitika dari
aku, kamu, dan dia yang berposisi dan melekat pada akhir kata. Jadi, yang menentukan
kegenetifannya bukanlah bentuknya, melainkan urutan letaknya.
Alat sintaksis ketiga, yang di dalam bahasa tulis tidak dapat digambarkan secara
akurat dan teliti, yang akibatnya seringkali menimbulkan kesalahpahaman adalah intonasi.
Dalam semua bahasa tampaknya intonasi ini sangat penting, juga dalam bahasa Indonesia.
Perbedaan modus kalimat bahasa Indonesia tampaknya lebih ditentukan oleh intonasinya
daripada komponen segmentalnya. Sebuah kalimat dengan unsur-unsur segmental yang sama,
misalnya, kalimat di atas nenek melirik kakek dengan intonasi deklaratif menjadi kalimat
bermodus deklaratif (yang dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda titik); dengan intonasi
interogatif menjadi kalimat interogatif (yang dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya);
dan bila diberi intonasi interjektif akan menjadi kalimat bermodus interjektif (yang dalam
bahasa tulis ditandai dengan tanda seru). Dalam bahasa Inggris kalimat konstruksi segmental
kalimat deklaratif tidak bisa langsung menjadi kalimat bermodus interogatif hanya dengan
mengubah intonasinya saja, melainkan harus disertai dengan menambahan kata tanya to do
(do, did, does, dan sebagainya). Dalam bahasa Belanda untuk membentuk kalimat bermodus
interogatif, selain intonasi diperlukan juga adanya perubahan posisi atau urutan fungsi subjek
– predikat menjadi predikat – subjek. Jadi, kalau kalimat deklaratifnya membentuk kalimat
(34), maka kalimat interogatifnya berbentuk kalimat (35).
(34) Jan werk in Amsterdam.
S P
(35) Werk jan in Amsterdam?
P S
Batas antara subjek dan predikat dalam bahasa Indonesia biasanya ditandai dengan
intonasi berupa nada naik dan tekanan. Oleh karena itu, kalau susunan kalimat (36) yang
berbunyi Kucing makan tikus mati diberi tekanan sebagai batas subjek dan predikat pada
tempat yang berbeda, maka kalimat tersebut akan memiliki makna gramatikal yang berbeda.
Perhatikan!
(36a) Kucing / makan tikus mati.
(36b) Kucing makan tikus / mati
(36c) Kucing / makan // tikus / mati
Keterangan : / = batas subjek predikat
// = batas klausa
Kelompok kata atau frase dalam bahasa Indonesia batasnya juga sering ditandai
dengan tekanan pada kata terakhir. Seringkali bila terjadi kesalahpahaman terhadap suatu
konstruksi sebagai akibat dari kesalahan menafsirkan konstruksi tersebut, yakni dengan
memberi tekanan pada tempat yang berbeda. Bandingkanlah makna konstruksi (37a) dengan
(37b), antara konstruksi (38a) dengan (38b), dan antara konstruksi (39a) dengan (39b)
berikut:
(37a) buku / sejarah baru
(37b) buku sejarah / baru
(38a) guru / baru datang
(38b) guru baru / datang
(39a) semua / orang asing
(39b) semua orang / asing
Dalam studi semantik, konstruksi yang bisa bermakna ganda ini, sebagai akibat dari
tafsiran gramatikal yang berbeda disebut konstruksi ambigu atau taksa (Tentang ambigu dan
ambiguitas lihat 7.3.6).
Alat sintaksis yang keempat adalah konektor, yang biasanya berupa sebuah morfem
atau gabungan morfem yang secara kuantitas merupakan kelas yang tertutup. Konektor itu
bertugas menghubungkan satu konstituen dengan konstituen lain, baik yang berada dalam
kalimat maupun yang berada di luar kalimat. Dilihat dari sifat hubungannya dibedakan
adanya dua macam konektor, yaitu konektor koordinatif dan konektor subordinatif. Yang
dimaksud konektor koordinatif adalah konektor yang menghubungkan dua buah konstituen
yang sama kedudukannya atau sederajat. Konjungsi koordinatif seperti dan, atau, dan tetapi
dalam bahasa Indonesia adalah konektor koordinatif, seperti tampak digunakan dalam
kalimat berikut:
(40) Nenek dan kakek pergi berburu.
(41) Saya atau dia yang kamu tunggu?
(42) Dia memang galak tetapi hatinya baik.
Konektor subordinatif adalah konektor yang menghubungkan dua konstituen yang
kedudukannya tidak sederajat. Maksudnya, konstituen yang satu merupakan konstituen
atasan dan konstituen yang lain bawahan. Konjungsi kalau, meskipun, dan karena dalam
bahasa Indonesia adalah contoh konektor subordinatif, seperti tampak digunakan dalam
kalimat:
(43) Kalau diundang, saya tentu akan dating.
(44) Dia pergi juga meskipun hari hujan.
(45) Kami terlambat datang karena jalan macet total.
Konektor ini acapkali waijb digunakan, seperti pada contoh (40), (41), (42), (43), dan
(44) di atas; tetapi untuk kalimat (45) konektor karena bisa ditanggalkan, sehingga menjadi:
(46) Kami datang terlambat karena macet.
Namun, untuk menghindari kesalahpahaman, terutama dalam bahasa tulis, konektor
itu sebaiknya digunakan, sehingga hubungannya tampak lebih jelas (Lihat juga 6.6.2).

4.2 Kata sebagai Satuan Sintaksis


Dalam tataran morfologi kata merupakan satuan terbesar (satuan terkecilnya
morfem); tetapi dalam sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial
menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frase. Sebagai satuan
morfologi kata sudah dibicarakan secara luas pada sub-bab 5.2 yang lalu. Maka di sini, kata,
hanya dibicarakan sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan
unsur-unsur pembentuk satuan sintaksis, kata berperanan sebagai pengisi fungsi sintaksis,
sebagai penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai dalam penyatuan satuan-satuan
atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama kita bedakan
dulu adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas
(functionword). Kata penuh adalah kata yang secara leksikal memiliki makna, mempunyai
kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat
bersendiri sebagai satuan tuturan. Sedangkan yang disebut sebagai kata tugas adalah kata
yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan
kelas tertutup, dan di dalam pertuturan dia tidak dapat berdiri sendiri.
Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, verba,
ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan, yang termasuk kata tugas adalah kata-kata
yang berkategori preposisi dan konjungsi. Sebagai kata penuh, kata-kata yang berkategori
nomina, verba, dan ajektifa memiliki makna leksikal masing-masing, misalnya, kata kucing
dan mesjid, memiliki makna ‘sejenis binatang buas’ dan ‘tempat ibadah orang Islam’.
Dibandingkan dengan kata dan dan meskipun yang memang tidak mempunyai makna
leksikal, tetapi mempunyai tugas sintaksis; dan untuk menggabungkan menambah dua buah
konstituen, dan meskipun untuk menggabungkan menyatakan penegasan. Sebagai kata penuh
kata-kata yang berkategori nomina, verba, dan ajektifa dapat mengalami proses morfologi,
seperti kata kucing yang dapat diberi prefiks ber- sehingga menjadi berkucing, atau dapat
diberi perfiks ber- disertai perulangan, dan diberi surfiks –an, sehingga menjadi berkucing-
kucingan. Bandingkan dengan kata dan yang tidak bisa menjadi *berdan atau *mendankan.
Dalam bahasa Inggris preposisi seperti for dan in juga tidak mengalami proses morfologi,
tidak seperti nomina book dan verba write yang dapat menjadi books (proses penambahan
sufiks jamak –s) dan writes atau wrote (perubahan untuk persona ketiga atau kala lampau).
Dalam bahasa Arab kategori yang disebut harfun seperti inna, law, dan min juga tidak
mengalami proses morfologi. Berbeda dengan kategori yang disebut ismun dan fi’lun yang
dapat mengalami proses morfologi, seperti nomina muslimun yang dapat menjadi
muslima:ni; dan dari akar verba +k-t-b yang antara lain dapat menjadi katab, yaktubu, dan
maktab.
Pada bab morfologi terdahulu ada disebutkan bahwa kata adalah satuan gramatikal
yang bebas dan terkecil. Dengan terkecil maksudnya tidak dapat disegmentasikan lagi
menjadi yang lebih kecil tanpa merusak makna; dan dengan bebas berarti satuan yang disebut
kata itu dapat berdiri sendiri di dalam kalimat atau pertuturan. Namun, di sini kita perlu
mencatat adanya derajat kebebasan di antara satuan yang disebut kata itu. Kata-kata yang
termasuk kata penuh memang mempunyai kebebasan yang mutlak, atau hampir mutlak,
sehingga dapat menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan yang termasuk kata tugas
mempunyai kebebasan yang terbatas. Sesuai dengan namanya, yaitu kata tugas, dia selalu
terikat dengan kata yang ada di belakangnya (untuk preposisi), yang berada di depannya
(untuk posposisi), dan kata-kata yang dirangkainya (untuk konjungsi). Kecuali, barangkali,
kalau preposisi atau konjungsi itu menjadi topik pembicaraan, tentu akan tampak bebas.
Perhatikan kedua kalimat berikut:
(47) Pak Ahmad sedang menerangkan cara penulisan awalan di- dan kata depan di.
(48) Bu Leoni sedang membahas penggunaan preposisi in, on, dan at dalam bahasa
Inggris.
Namun di sini juga, yang dijelaskan Pak Ahmad bukan di itu, melainkan kata depan
di dan awalan di; dan yang dibahas Ibu Leoni juga bukan in, on, dan at itu, melainkan
preposisi in, preposisi on dan preposisi at.
Dari pembicaraan beda antara kata penuh dengan kata tugas di atas tampak pada kita
bahwa hanya yang disebut kata penuh sajalah yang dapat mengisi fungsi-fungsi sintaksis.
Misalnya kata nenek yang mengisi fungsi subjek, kata membaca yang mengisi fungsi
predikat, kata komik mengisi fungsi objek, sedangkan preposisi di bersama kata kamar
membentuk frase eksosentrik di kamar hanya merupakan anggota dari pengisi fungsi
keterangan. Perhatikan bagan berikut!

S P O K
Nenek Membaca Komik di kamar

(49)

Keterkaitan preposisi di dengan kata kamar dalam frase di kamar itu sangat erat,
sehinnga tidak mungkin dilepaskan. Oleh karena itu pula, kata-kata yang termasuk kata
penuh, karena dapat berdiri sendiri sebagai kalimat jawaban atau kalimat perintah, atau
kalimat minor lainnya. Umpamanya:
(50) Nenek! (sebagai kalimat jawaban atas pertanyaan: Siapa yang membaca komik
di kamar?)
(51) Komik! (sebagai kalimat jawaban atas pertanyaan: Apa yang dibaca nenek di
kamar?)
(52) Pinggir! (sebagai kalimat perintah dari seorang penumpang bus umum kepada
sopir).
Untuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris kita dapat dengan mudah
mensegmentasikan ujaran yang berupa satuan sintaksis atas kata-kata yang menjadi pengisi
fungsi-fungsi sintaksisnya. Namun, dalam beberapa bahasa tertentu, misalnya bahasa Swahili
(di Afrika timur), kita mungkin akan mendapat kesulitan untuk memberi perlakuan terhadap
bahasa itu seperti yang kita perlakukan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, karena
konstituen-konstituen segmentalnya terikat erat sebagai suatu kata, meskipun kita masih
dapat menganalisnya. Perhatikan, dan carilah konstituen segmental yang menyatakan kata
ganti pelaku, verba, aspek, dan kata ganti sasaran dari data bahasa Swahili berikut
(Perhatikan maknanya)!
(53) wamempiga ‘mereka telah memukulnya’
nimempiga ‘saya telah memukulnya’
umempiga ‘kamu telah memukulnya’
amempiga ‘ia telah memukulnya’
atakupiga ‘ia akan memukulnya’
amekupiga ‘ia telah memukulmu’
nita kupiga ‘saya akan memukulnya’
atakulipa ‘ia akan membayarmu’
Meskipun kita dapat menganalisisnya dengan jalan membanding-bandingkan unsur-
unsurnya, tetapi dapatkah, misalnya, a yang menyatakan ia dan ni yang menyatakan saya
disebut sebagai sebuah kata penuh, karena tampaknya unsur tersebut harus dilekatkan pada
unsur-usur lainnya. Jadi, dengan melihat data bahasa Swahili di atas tampaknya konsep
tentang kata seperti yang dikemukakan di muka perlu dipertimbangkan kembali secara kritis.

4.3 Frase
Dalam sejarah studi linguistik istilah frase banyak digunakan dengan pengertian yang
berbeda-beda. Di sini istilah frase tersebut digunakan sebagai satuan sintakis yang satu
tingkat berada dibawah satuan klausa, atau satu tingkat berada di atas satuan kita.
4.3.1 Pengertian Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang
bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi
sintaksis di dalam kalimat. Baik dari definisi yang pertama maupun yang kedua kita lihat
bahwa yang namanya frase itu pasti terdiri lebih dari sebuah kata. Lalu, kalau yang dimaskud
dengan ata seperti yang dibicarakan pada subbab 6.2 di atas adalah satuan gramatikal bebas
terkecil, maka berarti pembentuk frase itu harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem
terikat. Jadi, konstruksi belum makan dan tanah tinggi adalah frase; sedangkan konstruksi
tata boga dan interlokal bukan frase, karena boga dan inter adalah morfem terikat. Dari
definisi itu juga terlihat bahwa frase adalah konstruksi nonpredikatif. Ini berarti, hubungan
antara unsur yang membentuk frase itu tidak berstruktur subjek-predikat atau berstruktur
predikat-objek. Oleh karena itu, konstruksi seperti adik mandi dan menjual sepeda bukan
frase; tetapi konstruksi kamar mandi dan bukan sepeda adalah frase. Dari definisi itu terlihat
pula bahwa frase adalah konstituen pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Oleh karena itu, dapat
dikatakan kelompok-kelompok kata yang berada dalam kotak-kotak fungsi pada bagan (54),
yaitu nenek saya, sedang membaca, membaca, komik, dan kemarin yang terdapat dalam
bagan itu juga bukanlah frase, melainkan kata.

S P O K
Nenek saya sedang membaca buku humor di kamar tidur
Nenek membaca komik kemarin
(54)
Berbeda dengan kata yang tidak bisa diselipi apa-apa, maka hubungan antara kata
yang stau dengan kata yang lain di dalam sebuah frase cukup longgar, sehingga ada
kemungkinan diselipi unsur lain. Misanya, frase nenek saya bisa diselipi kata dari sehingga
menjadi nenek dari saya; frase buku humor dapat diselipi kata buku mengenai humor; dan
pada frase sedang membaca dapat diselipi kata senang, sehingga menjadi sedang senang
membanca. Penyelipan ini tidak dapat dilakukan terhadap kata. Umpamanya, ke dalam kata
membaca tidak dapat di selipkan kata baru, sehingga menjadi *membarubaca. Selain itu
frase juga mempunyai potensi untuk diperluas dengan unsur-unsur lain (Tentang perluasan
frase,, lihat 6.3.3)
Satu hal yamg perlu diingat, karena frase itu mengisi salah satu fungsi sintaksis, maka
salah satu unsur frase itu tidak dapat dipindahkan “sendirian”. Jika dipindahkan, maka harus
dipindahkan secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Jadi, kata tidur dalam frase di kamar
tidur yang ada dalam kalimat (55) tidak dapat dipindahkan, misalnya, menjadi kalimat (55a);
yang mungkin ialah kalau dipindahan keseluruhannya, seperti pada kalimat (55b)
(55) Nenek membaca komik di kamar tidur
(55a) *Tidur nenek membaca komik di kamar
(55b) Di kamar tidur nenek membaca komik.

Sama halnya dengan kata, sebagai pengisi fungsi sintaksis frase juga berpotensi untuk
menjadi kalimat minor, misalnya sebagai kalimat jawaban, pada contoh berikut
(56) Nenek saya. (sebagai jawaban terhadap pertanyaan: Siapa yang duduk di sana
itu?)
(57) Di kamar tidur. (sebagai kalimat jawaban atas pertanyaan: Nenekmu ada
di mana?)
Dalam pendidikan formal di sekolah sering dipertanyakan bedanya frase dengan kata
majemuk. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab kalau kita melihat bahwa ada bermacam-
macam konsep mengenai kata majemuk dalam bahasa Indonesia (Lihat kembali 5.3.3). kalau
kita ajukan konsep yang diajukan para tata bahasawan tradisional yang melihat kata majemuk
sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna, maka bedanya
dengan frase adalah bahwa frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau
makna gramatikal. Contoh bentuk meja hijau yang berarti ‘pengadilan’ adalah kata majemuk
sedangkan meja saya yang berarti ‘saya punya meja’ adalah sebuah frase. Kalau kita ikuti
konsep linguis struktural yang mengatakan bahwa kedua komponen frase tidak dapat disela
dengan unsur lain, maka bedanya dengan frase adalah bahwa kedua komponen frase dapat
disela dengan unsur lain. Contoh bentuk mata sapi yang berarti ‘telur goreng tanpa
dihancurkan’, karena tidak bisa disela dengan kata lain, adalah sebuah kata majemuk.
Sebaliknya, contoh mata guru yang berarti ‘mata kepunyaan guru’, karena dapat disela,
misalnya menjadi matanya guru adalah sebuah frase. Kalau kita ikuti konsep bahwa salah
satu atau kedua komponen kata majemuk berupa morfen dasar terikat, maka bedanya dengan
frase adalah bahwa kedua komponen frase selalu terdiri dari morfem bebas atau bentuk yang
benar-benar berstatus kata. Contoh, bentuk daya juang karena memiliki komponen yang
berupa morfen dasar terikat (yaitu juang) adalah kata majemuk; sedangkan bentuk lemari
buku karena komponen-komponennya berupa morfem dasar bebas, adalah sebuah frase,
bukan kata majemuk.

4.3.2 Jenis frase


Dalam pembicaraan tentang frase biasanya dibedakan adanya frase (1) eksostensik,
(2) frase endosentrik (disebut juga frase subordinatif atau frase modifikatif), (3) frase
koordinatif, dan (4) frase aposif. Berikut ini akan dibicarakan satu per satu secara singkat.

6.3.2.1 Frase Eksosentrik


Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai
prilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, frase di pasar, yang terdiri
dari komponen di dan komponen pasar. Secara keseluruhan atau secara utuh frase ini dapat
mengisi fungsi keterangan, misalnya, dalam kalimat (58) berikut
(58) Dia sedang berdagang di pasar
Namun, baik komponen di maupun komponen pasar tidak dapat menduduki fungsi
keterangan dalam kalimat (58) tersebut, sebab konstruksi (59a) dan (59b) tidak berterima
(59a) *Dia berdagang di
(59b) *Dia berdagang pasar
Contoh lain, frase yangbaru dalam kalimat (60) tidak dapat diganti baik dengan yang
maupun baru sebab konstruksi (61a) dan konstruksi (61b) tidak berterima.
(60) Yang baru bukan punya saya
(61a) *Yang bukan punya saya
(61b) *Baru bukan punya saya.

Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase eksosentris yang direktif dan frase
eksosentris yang nondirektif. Frase eksosentris yang direktif komponen pertamanya berupa
preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata,
yang biasanya berkategori nomina. Karena komponen pertamanya berupa preposisi, maka
frase eksosentrik yang direktif ini lazim juga disebut frase preposisional. Perhatikan contoh
(62) dari bahasa Indonesia dan contoh (63) dari bahasa Inggris!
(62) di pasar
dari kayu jati
demi keamanan
dengan gergaji besi
oleh bahaya api
(63) in the kitchen
for ladies and gents
on the table
from United Kingdom
by Mr. Rasjid Mulkan
Frase eksosentrik yang nondorektif komponen pertamanya berupa artikulus, seperti si
dan sang atau kata lain yang, para, dan kaum; sedangkan komponen keduanya berupa kata
atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba. Misalnya:
(64) si miskin
sang mertua
yang kepalanya botak
para remaja mesjid
kaum cerdik pandai

4.3.2.2 Frase Endosentrik


Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki
perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Artinya, salah satu komponennya itu
dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Misalnya, sedang membaca dalam kalimat
(65), komponen keduanya yaitu membaca dapat menggantikan kedudukan frase tersebut,
sehingga menjadi kalimat (66). Perhatikan!
(65) Nenek sedang membaca komik di kamar.
(66) Nenek membaca komik di kamar.
Contoh lain, frase mahal sekali dalam kalimat (67) dapat digantikan oleh komponen
pertamanya, yaitu mahal, sehingga menjadi kalimat (68). Perhatikan!
(67) Harga buku itu mahal sekali.
(68) Harga buku itu mahal.
Frase endosentrik ini lazim juga disebut frase modifikatif karena komponen keduanya,
yaitu komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna
komponen inti atau hulunya itu. Umpamanya, kata membaca yang belum diketahui kapan
terjadinya, dalam frase sedang membaca dibatasi maknanya oleh kata sedang sehingga
maknanya itu menjadi ‘perbuatan membaca itu tengah berlangsung’. Begitu juga kata sekali
dalam frase mahal sekali membatasi makna kata mahal yang masih umum akan tingkat
kemahalannya menjadi tertentu. Jadi, komponen kedua dari frase itu (komponenn pertamanya
yang menjadi inti frase) memodifikasi makna komponen intinya. Perlu dijelaskan, letak
komponen inti bisa pada posisi depan, seperti pada frase mahal sekali, merah jambu, dan
gadis cantik; tetapi dapat pula pada posisi belakang, seperti sedang membaca, sangat lincah,
dan seekor kucing.
Selain itu, frase endosentrik ini lazim juga disebut frase subordinatif karena salah satu
komponennya, yaitu yang merupakan inti frase berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan
komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen bawahan.
Sejalan dengan posisi komponen intinya, maka komponen atasan itu bisa terletak di sebelah
depan, bisa juga di sebelah belakang. Perhatikan contoh brikut, serta arah panahnya!

(69) sedang membaca mahal sekali

teh celup sebuah novel

Contoh dalam bahasa Inggris


tea bag bus shelter
hight school very beautyful

Dilihat dari kategori intinya dapat dibedakan adanya frase nominal, frase verbal, frase
ajektival, dan frase numeral. Yang dimaksud dengan frase nominal adalah frase endosentrik
yang intinya berupa nomina atau pronominal. Umpamanya, bus sekolah, kecap manis, karya
besar dan, guru muda. Frase nominal ini di dalam sintaksis dapat menggantikan kedudukan
kata nominal sebagai pengisi salah satu fungsi sintaksis. Yang dimaksud dengan frase verbal
adalah frase endosentrik yang intinya berupa kata verba; maka oleh karena itu frase ini dapat
menggantikan kedudukan kata verba di dalam sintaksis. Contoh beberapa frase verba, sedang
membaca, sudah mandi, makan lagi, dan tidak akan datang. Yang dimaksud dengan frase
ajiktifa adalah frase endosentrik yang intinya berupa kata ejektifa. Beberapa contoh frase
ajektifa, sangat cantik, indah sekali, merah jambu, dan kurang baik. Yang dimaksud dengan
frase numerial adalah frase endosentrik yang intinya berupa kata numeral. Misalnya, tiga
belas, seratus dua puluh lima, dan satu setengah triliun.

4.3.2.3 Frase Koordinatif


Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentukanya terdiri dari dua
komponen atau lebih yang sama dan sederajat, dan secara potensial dapat dihubungkan oleh
konjungsi koordinatif, baik yang tungggal seperti, dan, atau, tetapi, maupun konjungsi
terbagi seperti baik… baik, makin ……. makin dan baik ….. maupun….. Frase koordinatif
ini mempunyai kategori sesuai dengan kategori komponen pembentukanya. Contohnya: sehat
dan kuat, buruh atau majikan , makin terang makin baik dan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Frase koordinatif yang tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit, biasanya
disebut frase parataksi. Contohnya: hilir mudik, tua muda, pulang pergi, sawah ladang, dan
dua tiga hari.

4.3.2.4 Frase Apositif


Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk
sesamanya; dan oleh karena itu, urutan komponennya dapat dipertukarkan. Umpamanya,
frase apositif pak Ahmad guru saya dalam kalimat (71) dapat diubah susunannya atau
urutanya seperti pada kalimat (72).
(71) Pak Ahmad, guru saya, rajin sekali.
(72) Guru saya, Pak Ahmad, rajin sekali.
Beberapa contoh frase apositif terdapat pada kalimat-kalimat
(73) Soekarno, presiden pertma RI, telah tiada.
(74) Dika menulis surat kepada Nita, kakaknya.
(75) Alat komunikasi internasional, bahasa Inggris, banyak di pelajari orang.

4.3.3 Perluasan Frase


Pada 6.3.1 sudah di sebutkan bahwa salah satu ciri frase adalah bahwa frase itu dapat
diperluas. Maksudnya, frase itu dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep
atau pengertian yang akan ditampilkan. Umpamanya, frase di kamar tidur dapat diperluas
dengan diberi komponen baru, misalnya, berupa kata saya, ayah, atau belakang, sehingga
menjadi di kamar tidur saya, di kamar tidur ayah, dan di kamar tidur belakang. Perluasan ini
menurut keperluanya dapat dilakukan di sebelah kanan, seperti ketiga contoh di atas ; dapat
juga di sebelah kiri. Misalnya, frase seorang mahasiswa dapat diperluas di sebelah kiri,
misalnya, menjadi bukan seorang mahasiswa atau hanya seorang mahasiswa. Seringkali
dapat juga perluasan ini dapat dilakukan di sebelah kiri dan sebelah kanan sekaligus.
Misalnya, frase seorang mahasiswa dapat diperluas menjadi bukan seorang mahasiswa
kedokteran. Jadi, di sebelah kiri ditambah kata bukan dan di sebelah kanan diberi kata
kedokteran.
Dalam bahasa Indonesia perluasan frase ini tampaknya sangat produktif. Antara lain,
karena pertama, untuk menyatakan konsep-konsep khusus, atau sangat khusus sekali,
biasanya diterangkan secara leksikal. Bandingkan rangkaian frase berikut ini, dari yang
paling umum, yaitu kereta, sampai yang paling khusus sekali.
(76) kereta
kereta api
kereta api ekspres
kereta api ekspres malam
kereta api ekspres malam luar biasa
kereta api ekspres malam luar biasa
sebuah kereta api ekspres malam luar biasa
Perlu dicatat bahwa perluasan itu dilakukan secara bertahap, seperti kita lihat
perkembangan perluasan itu dari yang pertama sampai yang terakhir. Kalau kita bagankan
bertahap konstruksi yang terakkhir adalah sebagai berikut.
(77) sebuah kereta api ekspres malam luar biasa

Faktor kedua yang menyebabkan perluasan frase dalam bahasa Indonesia ini sangat
produktif adalah bahwa pengungkapan konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar,
dan pembatas tidak dinyatakan dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi, melainkan
dinyatakan dengan unsur leksikal. Misalnya, dalam frase tidak akan hadir sekaligus ada
pengungkapan konsep ingkar dengan kata tidak dan konsep kala nanti dengan kata akan.
Dalam frase bukan hanya tidak akan hadir sekaligus ada pengungkapan konsep ingkar
nominal dengan kata bukan, pengungkapan konsep ingkar verba dengan kata tidak,
pengungkapan konsep pembatasan dengan kata hanya. Dalam kalimat sebelum pukul satu
siang dia sudah akan hadir di sini. kita lihat adanya frase verba sudah akan hadir dan
sekaligus ada pengungkapan kala selesai dan kala nanti.
Beberapa panjang frase dalam bahasa Indonesia yang mungkin dapat terjadi sebagai
akibat penumpukan berbagai konsep ke dalam frase itu? Jawabannya, mungkin pada ke
perluan memang sukar diketahui, sebab perluasan frase itu sangat tergantung pada perluasan
konsep apa saja yang ingin diungkapkan di dalam sebuah frase. Namun, Kridalaksana (1985)
ada mencatat ada dua frase nominal yang cukup panjang, yaitu;
(78) bukan hanya seorang pembantu tua kepercayaan saya ini saja
(79) bukan hanya ibu-ibu muda cantik kebelanda-belandaan kesayanganya ini saja
Faktor lain yang menyebabkan produktifnya perluasan frase dalam bahasa Indonesia
adalah keperluan untuk memberi diskripsi secara terperinci untuk suatu konsep, terutama
untuk konsep nomina. Dalam perincian diskripsi ini biasanya digunakan konjungsi yang,
sebagai penyambung keterangan-keterangan tambahan pada diskripsi itu. Perhatikan contoh
berikut!
(80) kakak saya meninggal minggu lalu
(80a) kakak saya yang berkerja di Jakarta meninggal minggu lalu
(80b) kakak saya yang berkerja di Jakarta yang sudah menikah meninggal
minggu lalu
(80c) kakak saya yang berkerja di Jakarta yang sudah menikah yang belum
mempunya anak meninggal minggu lalu
Dari contoh di atas Anda dapat melihat betapa panjangnya frase nominal yang
mengisi fungsi subjek pada kalimat (80c). Frase yang sangat panjang itu sesungguhnya
hanyalah perluasan yang diberikan kepada frase asal kakak saya sebagai upaya untuk
memberi deskripsi yang sangat terperinci.

4.4 Klausa
Klausa merupakan tataran di dalam sintaksis yang berada di atas tataran frase dan di
bawah tataran kalimat. Dalam berbagai karya linguistik mungkin ada perbedaaan konsep
karena penggunaan teori analisis yang berbeda. Di dalam buku ini hanya diikuti konsep
seperti dalam uraian berikut.

4.4.1 Pengertian Klausa


Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif.
Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi
sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai
keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek
boleh dikatakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib. Kalau kita
bandingkan konstruksi kamar mandi dan adik mandi, maka dapat dikatakan konstruksi kamar
mandi bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen kamar mandi dan komponen
mandi tidaklah bersifat predikatif. Sebaliknya, konstruksi nenek mandi adalah sebuah klausa
karena hubungan komponen nenek dan komponen mandi bersifat predikatif; nenek adalah
pengisi fungsi subjek dan mandi adalah pengisi fungsi predikat.
Anda mungkin bertanya, kalau begitu apakah bedanya klausa dan kalimat? Bukankah
konstruksi nenek mandi adalah sebuah kalimat? Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau
kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek
mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final, entah berupa intonasi
deklaratif, intonasi interogratif, maupun intonasi interjektif. Kalau belum diberikan intonasi,
maka konstruksi nenek mandi itu masih berstatus klausa.
Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa klausa memang berpotensi untuk
menjadi kalimat tunggal karena di dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek
dan predikat. Frase dan kata (lihat kembali 6.3 dan 6.2) memang mempunyai potensi juga
untuk menjadi kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final; tetapi hanya sebagai kalimat
minor, bukan kalimat mayor; sedangkan klausa berpotensi untukk menjadi kalimat mayor
(Lihat subbab 6.5.2.3).
Dari 6.1 kita telah mengenal istilah-istilah fungsi sistaksis, yaitu subjek, predikat,
objek, dan keterangan. Di sana fungsi-fungsi itu dijelaskan sebagai “kotak-kotak kosong”
yang kepadanya akan diisi oleh kategori-kategori yang mempunyai peran-peran tertentu,
seperti pelaku, aktif, penyerta, dan sasaran. Dalam pembahasan tentang klausa fungsi-
fungsi itu dibicarakan sebagai sesuatu yang tidak seperti “kotak-kotak”, malainkan sebagai
sesuatu yang bermakna, yang berfungsi. Begitulah subjek biasanya dikatakan sebagai sesuatu
yang menjadi pokok, dasar, atau hal, yang ingin dinyatakan oleh pembicara atau penulis.
Sedangkan predikat adalah pernyataan mengenai subjek itu. Jadi, dalam klausa nenek mandi,
bagian yang menjadi subjek adalah nenek karena merupakan pokok atau hal yang ingin
dikatakan atau diberitakan, dan yang menjadi predikat adalah mandi karena berisi pernyataan,
dalam hal ini berupa tindakan, mengenai subjek itu. Di dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris secara umum subjek itu selalu berposisi di depan predikat; tetapi di dalam bahasa
lain, seperti bahasa Latin yang sudah dibicarakan pada awal bab ini, urutan posisi subjek-
predikat tidak penting. Bisa saja predikat itu berada di dekat subjek, tetapi bisa juga berada
jauh dari sebjek.
Selain subjek dan predikat yang bersifat wajib hadir itu, ada pula unsur lain yang
boleh ada atau boleh tidak ada di dalam sebuah klausa, yaitu objek, pelengkap, dan
keterangan. Kehadiran objek menjadi wajib kalau predikatnya berupa verba transitif.
Umpamanya, kata buku dalam kalimat Kakek membaca buku. Contoh lain, kata bubur dalam
kalimat Kakek makan bubur. Kalau predikatnya berupa verba bitransitif, maka akan hadir dua
buah objek, yaitu yang secara tradisional disebut objek langsung dan sebuah lagi disebut
objek tak langsung. Objek langsung adalah objek yang merupakan sasaran dari tindakan yang
dinyatakan oleh predikat tersebut, sedangkan objek tak langsung adalah objek yang
memperoleh manfaat dari tindakan itu. Umpamanya dalam kalimat Kakek membelikan nenek
sepatu baru, maka nenek adalah objek tak langsung, dan sepatu baru adalah objek langsung.
Unsur pelengkap, lazim juga disebut komplemen, adalah bagian dari predikat verba
(yang bukan verba transitif) yang melengkapi verba tersebut. Umpamanya, kata minyak
dalam kalimat Botol itu berisi minyak; contoh lain, kata guru dalam kalimat Dulu kakek ingin
menjadi guru. Pelengkap ini memang agak mirip dengan objek, tetapi bedanya jelas: objek
berada di belakang verba transitif, sedangkan pelengkap tidak berada di belakang verba
transitif itu. Objek dapat dijadikan subjek dalam kalimat pasif, sedangkan pelengkap tidak
dapat. Kata komik pada klausa Nenek membaca komik,misalnya, dapat menjadi subjek dalam
klausa pasif : Komik dibaca nenek. Sedangkan kata guru pada klausa Kakek ingin menjadi
guru, misalnya, tidak dapat didijadikan subjek, sebab konstruksi *Guru ingin dijadi kakek,
tidak berterima.
Keterangan merupakan bagian dari klausa yang memberi informasi tambahan,
misalnya, mengenai waktu terjadi tindakan, tempatnya, tujuannya, dan sebagainya, yang
disebutkan oleh predikat. Umpamanya frase di kamar dan tadi pagi dalam kalimat (81)
berikut:
(81) Nenek membaca komik di kamar tadi pagi.

Keterangan ini bersifat tidak wajib; kehadirannya apabila diperlukan. Letaknya bisa di
awal, di tengah, atau di akhir klasua. Perhatikan letak keterangan tadi pagi dan di kamar pada
klausa-klausa berikut:
(81a) Tadi pagi nenek membaca komik di kamar.
(81b) Tadi pagi di kamar nenek membaca komik.
(81c) Tadi pagi nenek di kamar membaca komik.
(81d) Di kamar nenek tadi pagi membaca komik.

Masalah berikutnya adalah di manakah tempat klausa di dalam sintaksis? Kalau kata
dan frase menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis, maka klausa menjadi “pengisi” kalimat.
Atau dengan kata lain, tempat klausa adalah dalam kalimat. Di dalam kalimat tunggal seluruh
bangun kalimat itu diisi oleh sebuah kalimat. Di dalam kalimat majemuk, baik yang
koordinatif maupun yang subordinatif, dua buah klausa atau lebih mengisi bangun kalimat
itu. Umpamanya di dalam kalimat majemuk koordinatif (82).

(82) Nenenk membaca komik sedangkan kakek membaca Lupus.

Terdapat dua buah klausa, yaitu klausa (a) nenek membaca komik dan (b) kakek
membaca Lupus. Di dalam kalimat kompleks (83).

(83) Kakek tidak jadi pergi karena hujan sangat lebat; tambahan pula nenek
sedang sakit gigi.

Terdapat tiga buah klausa, yaitu (a) kakek tidak jadi pergi, (b) hujan sangat lebat, dan
(c) nenek sedang sakit gigi.
Banyak juga klausa yang terletak di tengah kalimat karena disisipkan sebagai
keterangan tambahan. Misalnya, dalam kalimat (84).

(84) Gadis yang duduk di depan itu bukan cucu nenek.

Terdapat dua buah klausa, yaitu (a) gadis ini bukan cucu nenek, dan (b) gadis itu
duduk di depan. Pada kallimat (84) itu klausa gadis itu duduk di depan disisipkan ke dalam
klausa gadis itu bukan cucu nenek. Dalam hal ini, karena subjek kedua klausa itu mengacu
pada pesona yang sama, maka klausa yang kedua dalam kalimat tersebut, berperan sebagai
keterangann tambahan terhadap subjek. Di dalam kasus ini bisa juga klausa pertama yang
disisipkan ke dalam klausa kedua, sehingga kalimatnya akan menjadi kalimat (85).

(85) Gadis yang bukan cucu nenek itu duduk di depan.

Seperti pada contoh di atas bila unsur yang sama di dalam dua buah klasua atau lebih,
dan kedua klausa itu akan digabungkan, maka bagian klausa yang sama itu hanya ditampilkan
satu saja, dan yang lainnya dilesapkan. Pada contoh di atas yang sama adalah unsur subjek,
yaitu gadis itu. Hal lesap-melesapkan unsur klausa yang sama dalam proses
penggabungannya klausa menjadi sebuah kalimat luas adalah hal yang biasa. Namun, di
dalam studi linguistik akan muncul masalah lain. Umpamanya kalimat (86) berikut:

(86) Nenek membaca dan melipat komik itu.


Apakah terdiri dari satu klausa ataukah dua klausa?, sebab kalau dianggap dua klausa,
konstruksi kalimat itu bisa dianalisis berasal dari klausa (a) nenek mebaca komik itu, dan (b)
nenek melipat komik itu. Atau hanya satu klausa dengan predikat yang berupa gabungan
verba membaca dan melipat. Begitu juga dengan kalimat (87) berikut.

(87) Kakek memarahi Adi dan Ani.

Apakah berasal dari klausa (a) kakek memarahi Adi, dan (b) klausa kakek memarahi
Ani, yang kemudian digabungkan, ataukah hanya terdiri dari sebuah klausa dengan unsur
objek yang berupa gabungan nomina Adi dan Ani? Masalah itu memang bisa dipersoalkan.

4.4.2 Jenis Klausa


Jenis klausa dapat diperbedakan berdasarkan strukturnya dan berdasarkan kategori
segmental yang menjadi predikatnya. Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya
klausa bebas dan klausa terikat. Yang dimaksud dengan klausa bebas adalah klausa yang
mempunayi unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat; dan
karena itu, mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Umpamanya klausa nenekku
masih cantik dan kakekku gagah berani, yang masing-masing hanya dengan diberi intonasi
final sudah menjadi kalimat mayor. Nenekku masih cantik dan Kakekku masih gagah berani.
Berbeda dengan klausa bebas yang mempunyai struktur lengkap, maka klausa terikat
memiliki struktur yang tidak lengkap. Unsur yang ada dalam klausa ini mungkin hanya
subjek saja, mungkin hanya objeknya saja, atau juga hanya berupa keterangan saja. Oleh
karena itu, kalusa terikat ini tidak mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor.
Umpamanya, konstruksi tadi pagi yang bisa menjadi kalimat jawaban untuk kalimat tanya:
Kapan nenek membaca komik?; atau konstruksi membaca komik yang dapat menjadi kalimat
jawaban untuk kalimat untuk kalimat tanya: Apa yang dilakukan nenek di kamar? Klausa
terikat biasanya dapat dikenali dengan adanya konjungsi subordinatif di depannya.
Umpamanya klausa terikat ketika kami sedang belajar di dalam kalimat Dia pingsan ketika
kami belajar. Contoh lain, konstruksi kalau diizinkan oleh ibu dalam kalimat Saya akan ikut
serta kalau diizinkan oleh ibu.
Klausa terikat yang diawali dengan konjungsi subordinatif biasanya dikenal pula
dengan nama klausa sobordinatif, atau klausa bawahan. Sedangkan klausa lain yang hadir
bersama dengan klausa bawahan itu di dalam sebuah kalimat majemuk disebut klausa atasan
atau klausa utama. Dalam bahasa Inggris klausa utama lazim disebut main close atau
principal clouse; sedangkan klausa bawahan itu disebut subordinative clouse. Sebagai
subordinative clouse, klausa terikat ini tidak dapat berdiri sendiri. Kehadirannya dalam
kalimat sangat tergantung pada adanya principal clause.
Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan
adanya klausa verbal, klausa nominal, klausa ajektifal, klausa adverbial, dan klausa
preposisional. Klausa yang predikatnya bukan verbal lazim juga disebut klausa nonverbal.
Dalam berbagai bahasa fleksi, dan bahasa yang mengharuskan predikatnya berupa verbal,
klausa nonverbal ini tidak dikenal. Dalam bahasa Indonesia klausa nonverbal ini banyak kita
jumpai.
Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya berkatagori verba. Misalnya, klausa
nenek mandi, kakek menari, sapi itu berlari, dan matahari terbit. Kemudian sesuai dengan
adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya (1) klausa transitif, yaitu klausa yang
predikatnya berupa verba transitif, seperti nenek menulis surat, kakek membaca buku silat,
dan mahasiswa mengisi teka teki silang. (2) klausa intransitif, yaiitu klausa yang predikatnya
berupa veba intransitif, seperti nenek menangis; adik melompat-lompat; dan paman
berangkat ke Medan. (3) Klausa refleksif, yaitu klausa yang predikatnya berupa verba
refleksif, seperti nenek sedang berdandan; kakek sedang mandi; dan dia sudah bersolek. (4)
Klausa resiprokal, yaitu klausa yang predikatnya berupa verba resiprokal, seperti mereka
bertengkar sejak kemarin; Israel dan Palestina akan berdamai; dan keduanya bersalaman.
Klausa nominal adalah klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal,
misalnya petani, dosen linguistik, dan satpam bank swasta dalam klausa (88), (89), (90)
berilkut:
(88) Kakeknya petani di desa itu.
(89) Dia dulu dosen linguistik.
(90) Pacarnya satpam bank swasta.

Andaikata pada contoh klausa tersebut diberi kata adalah atau ialah, maka klausa-
klausa tersebut bukanlah klausa nominal, melainkan menjadi klausa verbal, sebab kata
adalah dan ialah termasuk kata kerja kopula, sepadan dengan kata kerja to be (yang menjadi
am, is, are, dan was) dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia verba kopula ini tidak
bersifat wajib kalau subjek dan predikat itu hanya berupa kata atau frase sederhana, sebab
dengan bantuan intonasi, batas subjek dan predikatnya sudah dapat diketahui. Kalau subjek
atau predikatnya berupa fase yang cukup panjang, maka kiranya verba kopula itu perlu
dipakai untuk menandai batas subjek dan predikatnya. Umpamanya, subjek pada kalimat (91)
berikut cukup panjang, maka sebaiknya perlu diberi kata adalah agar batas subjek dan
predikat itu menjadi jelas. Bandingkanlah, kalimat (91) itu dengan kalimat (91a) yang sudah
diberi kata adalah. Perhatikan mana yang lebih mudah dipahami?

(91) Yang perlu dikerjakan pada masa Orde Baru sekarang menjelang PJPT II
peningkatan kegiatan pembangunan.
(91a) Yang perlu dikerjakan pada masa Orde Baru sekarang menjelang PJPT II
adalah penigkatan kegiatan pembangunan.

Karena verba kopula adalah dan ialah dalam klausa atau kaliamat yang unsur
subjeknya atau predikatnya cukup panjang berlaku sebagai pembatas atau pemisah antara
subjek dan predikat, maka kata adalah dan ialah tersebut ada juga yang menyebutnya sebagai
kata pemisah.
Klausa ajektifal adalah klausa yang predikatnya berkatagori ajektifa, baik berupa kata
maupun frase. Umpamanya klausa-klausa bertikut

(92) Ibu dosen itu cantik sekali.


(93) Bumi ini sangat luas.
(94) Gedung itu sudah tua sekali.

Sama dengan klausa nominal, dalam bahasa-bahasa fleksi dan bahasa-bahasa yang
mengharuskan predikat harus berupa kategori verba, maka dalam bahasa-bahasa tersebut
tidak dikenal adanya klausa ajektival. Dalam bahasa Inggris, misalnya, antara subjek dan
predikat ajektival itu harus diletakkan verba to be. Jadi, konstruksi seperti *she very beautiful
tidak gramatikal; harusnya adalah she is very beautiful. Oleh karena ada verba to be di
dalamnya, maka klausa itu bukan klausa ajektival, melainkan klausa verbal.
Klausa adverbal adalah klausa yang predikatnya berupa adverbia. Misalnya, klausa
bandelnya teramat sangat. Dalam bahasa Indonesia klausa adverbial ini tampaknya sangat
terbatas, sejalan dengan jumlah kata atau frase adverbia yang memang tidak banyak.
Klausa preposisional adalah klausa yang prdikatnya berupa frase yang berkategori
preposisi. Umpamanya, nenek di kamar; dia dari Medan; dan kakek ke pasar baru. Dalam
bahasa Indonesia ragam tidak baku, klausa preposisional ini cukup produktif; tetapi dalam
ragam baku, kosnstruksi ini dianggap salah. Dalam ragam bahasa Indonesia baku ketiga
klausa di atas akan disusun menjadi nenek ada di kamar; dia datang dari Medan; dan kakek
pergi ke pasar baru. Jadi, klausa-klausa itu harus diberi verba ada, datang, dan pergi. Kalau
begitu, maka klausa itu bukan lagi klausa preposisional, melainkan klausa verbal yang
dilengkapi dengan keterangan.
Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata tau fase numeralia.
Misalnya, gajinya lima juta sebulan; anaknya dua belas orang; dan taksirannya delapan
buah. Dalam bahasa baku konstruksi klausa numeral itu dianggap salah yang benar ialah
kalau contoh-contoh di atas dibentuk menjadi, misalnya, gajinya adalah lima juta sebulan;
anaknya ada dua belas orang; dan taksirannya ada delapan buah. Dengan demikian, karena
kata adalah dan ada termasuk verba, maka klausa tersebut sebenarnya juga bukanlah klausa
numeral melainkan klasua verbal.
Akhirnya, perlu dicatat adanya istilah klausa berpusat dan klausa tak berpusat. Yang
dimaksud dengan klausa berpusat adalah klausa yang subjeknya terikat di dalam predikatnya,
meskipun di tempat lain ada nomina atau fase nominal yang juga berlaku sebagai subjek.
Klausa berpusat ini terdapat dalam beberapa bahasa fleksi, seperti bahasa Arab dan bahasa
Latin.dalam bahasa Arab, klasua (96a) adalah klausa berpusat yang subjeknya “terikat” pada
predikatnya;sedangkan pada klausa (96b) subjeknya secara eksplisit berada di depan
predikatnya; dan makna kedua klasua itu persis sama. Begitu juga dengan contoh (97a) dan
(97b) dalam bahasa Latin.
(96a) Aqra ul qur’an ‘saya membaca Quran’
(96b) Ana aqra ul qur’an ‘saya membaca Quran’
(97a) Amavi ‘saya sudah cinta’
(97b) Ego amavi ‘saya sudah cinta’

Dari sumber lain mungkin anda akan menemui istilah lain untuk jenis-jenis klausa ini.
Hal ini bisa saja terjadi karena berbagai teori linguistik lain dapat dikenakan sudut pandang
penamaan berbagai jenis klausa.

4.5 Kalimat
Pada umumnya yang dibicarakan oleh buku-buku tata bahasa tradisional dalam bab
sintaksis hanyalah satuan yang kita sebut kalimat. Oleh karena itu, tak jarang kita jumpai
pernyataan yang mengatakan bahwa sintaksis adalah ilmu tentang kalimat, atau ilmu
mengenai penataan kalimat. Hal ini mudah dipahami karena kalimat merupakan satuan
bahasa yang “langsung” digunakan sebagai satuan ujaran di dalam komunikasi verbal yang
hanya dilakukan oleh manusia. Masalah kita di sini, apakah kalimat itu.

4.5.1 Pengertian Kalimat


Karena kalimat itu merupakan satuan yang langsung digunakan dalam berbahasa,
maka para tata bahasawan tradisioanal biasanya membuat definisi kalimat dengan
mengaitkan peranan kalimat itu sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang
akan disampaikan. Oleh karean itu, definisi seperti “Kalimat adalah susunan kata-kata yang
teratur yang berisi pikiran yang lengkap “merupakan definisi umum yang biasa kita jumpai.
Malah dalam pelajaran bahasa Arab di madrasah atau pesantren definisi kalimat yang
berbunyi “Kalimat adalah lafal yang tersusun dari dua buah kata atau lebih yang mengandung
arti, dan disengaja serta berbahasa Arab” dianggap sebagai definisi yang sudah baku (Lihat
Djuha, 1989).
Berbagai definisi mengenai kalimat memang telah banyak dibuat orang. Anda tentu
dapat melihatnya sendiri dalam berbagai buku tata bahasa yang ada. Di sini dalam kaitannya
dengan satuan-satauan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kita akan mengikuti
konsep, bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konsituten dasar, yang
biasanya berupa klausa, diilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan
intonasi final (Bandingkan dengan Djoko Kentjono 1982).
Dari rumusan itu bisa disimpulkan, bahwa yang penting atau yang menjadi dasar
kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sebab konjungsi hanya ada kalau
diperlukan. Konstituen dasar itu biasanya berupa klausa. Jadi, kalau pada sebuah klausa
diberi intonasi final, maka akan terbentuklah kalimat itu. Dari rumusan itu, bisa disimpulkan
pula, bahwa konstituen dasar itu bisa juga tidak berupa klausa (karena dikatakan biasanya
berupa klausa), melainkan bisa juga berupa kata atau frase. Hanya mungkin status
kekalimatannya tidak sama. Kalimat yang konstituen dasarnya berupa klausa tentu saja
menjadi kalimat mayor atau kalimat bebas. Sedangkan yang konstituen dasarnya berupa kata
atau frase tidak dapat menjadi kalimat bebas, melainkan hanyalah menjadi kalimat terikat.
(Tentang jenis kalimat lihat subbab 6.5.2). Berdasarkan keterangan di atas, maka contoh-
contoh berikut adalah kalimaat yang baik dalam bahasa Indonesia.
(98) Nenek membaca komik di kamar.
(99) Nenek membaca komik di kamar, sedangkan kakek membaca buku
Lupus di kebun.
(100) Ketika nenek membaca di kamar, kakek merokok di kebun.
(101) Nenek saya! (sebagai kalimat jawaban terhadap kalimat tanya: Siapa
yang duduk di sana?)
(102) Komik! (sebagai kalimat jawaban terhadap kalimat tanya: Buku apa
yang dibaca nenek?)

Konstituen dasar kalimat (98) berupa sebuah klausa, kalimat (99) berupa dua buah
klausa bebas, kalimat (100) berupa sebuah klasua terikat dan sebuah klausa bebas, klaimat
(101) berupa sebuah frase, dan kalimat (102) berupa sebuah kata.
Perlu dicatat di sini. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah,
yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik; intonasi
interogatif, yang dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya, dan intonasi seru, yang
dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda seru. (Tentang intonasi kalimat lebih jauh lihat
6.5.3).

4.5.2 Jenis Kalimat


Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai kriteria atau sudut pandang. Oleh
karena itulah, dalam kepustakaan linguistik dan berbagai buku tata bahasa kita dapati banyak
sekali istilah untuk menanamkan jenis-jenis kalimat itu. Di sini kita coba membedakan dan
membicarakan berdasarkan beberapa dikotomi pembagian, yang juga biasa dilakukan orang.

4.5.2.1 Kalimat Inti dan Kalimat Non-Inti


Kalimat ini, biasa juga disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari
klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afimatif. Dalam bahasa
Indonesia paling tidak, kita dapati kalimat inti dengan pola atau struktur sebagai berikut:

(103) a. FN + FV : Nenek datang.


b. FN + FV + FN : Nenek membaca komik.
c. FN + FV + FN + FN : Nenenk membacakan kakek komis.
d. FN + FN : Nenenk dokter.
e. FN + FA : Nenek cantik.
f. FN + FNum : Uangnya dua juta.
g. FN + FP : Uangnya di dompet.
Keterangan :

a) FN = Frase Nominal.
FV = Frase Verbal .
FA = Frase Ajektifal.
FNum = Frase Numeral.
FP = Frase Preposisi.
b) FN dapat diisi oleh sebuah nominal, FV dapat diisi oleh sebuah kata verbal, FA
dapat diisi oleh sebuah kata ajektifal, dan FNum dapat diisi oleh sebuah kata
numeralia.

Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai proses
transformasi, seperti transformasi pemasifan, trasnsformasi pengingkaran, trasnformasi
penanyaan, trasnformasi pemerintahan, trasnformasi penginversian, trasnsforamsi pelesapan,
transformasi penambahan. Umpamanya dari kalimat inti (103b) Nenek membaca komik, dapat
diperlakukan proses penafsiran menjadi Komik dibaca nenek; diingkarkan menjadi Nenek
tidak membaca komik; dijadikan kalimat perintah menjadi Bacalah komik itu!; dijadikan
kalimat tanya menjadi Apakah nenek membaca komik?; dijadikan kalimat inversi menjadi
Membaca komik nenek; dan jika diperluas, maka, misalnya menjadi Nenek ku yangsudah tua
itu suka sekali membaca komik-komik pewayangan. Dengan demikian, dapat dikatakan
kalimat inti + proses trasnformasi = kalimat noninti jika dibagankan menjadi:

(104)
+ KALIMAT = PROSES KALIMAT
INTI TRANSFORM NONINTI
ASI
Di dalam praktek berbahasa boleh dikatakan lebih banyak digunakan kalimat noninti
daripada kalimat inti, sebab informasi yang harus disampaikan melalui bahasa biasanya
sangat luas, mencakup pelbagai segi informasi kehidupan. Umpamanya kalimat inti Nenek
datang, mungkin akan menjadi Nenekku baru datang dari Paris; Nenek Si Udin tidak akan
datang karena sedang sakit gigi;Nenekmu yang genit itu pasti akan datang ke pesta ini;
Apakah nenekmu yang datang ke sini tadi pagi!? Masih banyak kemungkinan lain bisa dibuat
dari kalimat inti itu. Barangkali anda ingin mencobanya. Silahkan!

4.5.2.2 Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk


Perbedaan kaliamt tunggal dan kalimat majemuk berdasarkan banyaknya klausa yang
ada di dalam kalimat itu. Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebutkalimat
tunggal. Berikut ini didaftarkan sejumlah contoh kalimat tunggal dalam bahasa Indonesia.

(105) Nenekku masih cantik.


(106) Burung-burung itu bernyanyi sepanjang hari.
(107) Bacalah keras-keras!
(108) Siapa nama dosen linguistik yang cantik itu ?
(109) Mereka bernyanyi dan menari sepanjang malam.

Kalimat (109) Mereka bernyanyi dan menari sepanjang malam mungkin akan
menimbulkan persoalan. Kalau konstruksi bernyanyi dan meanari dipandang sebagai hasil
proses perluasan bernyanyi ditambah dan menari, maka kaliamt tersebut dianggap hanya
terdiri dari satu klausa; tetapi kalau konstruksi tersebut dianggap sebagai hasil proses
penggabungan dua buah kalimat yang disertai pelesapan, maka diangap sebagai bukan
kalimat tunggal, melainkan kalimat majemuk; yang prosesnya terjadi sebagai berikut: kalimat
Mereka bernyanyi sepanjang malam digabungkan dengan kalimat Mereka manari sepanjang
malam, dengan pelesapan pada subjek dan kelerangan, maka jadilah konstruksi kalimat (109)
tersebut.
Kalau klausa di dalam sebuah kalimat terdaapat lebih dari satu, maka kalimat itu
disebut kalimat majemuk. Dalam hal ini, berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa di
dalam kalimat itu, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif ( lazim juga disebut
kalimat majemuk setara), kalimat majemuk subordinatif (lazim juga disebut kalimat majemuk
bertingkat), dan kalimat majemuk kompleks.
Kalimat majemuk koordinatif adalah kalimat majemuk yang klausa-klausanya
memiliki status yang sama, yang setara,atau yang sederajat. Klausa-klausa dalam kalimat
majemuk koordinatif secara eksplisit dihubungkan degnan konjungsi koordinatif, seperti
dan,atau, tetapi, dan lalu; namun, tak jarang hubungan itu hanya secara implisit, artinya
tanpa menggunakan konjungsi. Berikut ini beberapa contoh kaliamt majemuk koordinatif:
(110) Nenek melirik, kakek tersenyum, dan adik tertawa-tawa.
(111) Dia membuka pintu, lalu menyilakan kami masuk.
(112) Beliau membuka pintu itu, tetapi membiarkan kami berdiri di luar.
(113) Saya ingin turut serta, sayang, ibu tidak mengizinkan.
(114) Dia datang dan duduk di sebelah saya.
Apabila ada unsur klausa yang sama, maka biasanya unsur yang sama itu
disenyawakan atau dirapatkan. Misalnya, pada kaliamt (114), unsur subjek pada klausa kedua
tidak ditampikan lagi karena sama dengan subjek pada klausa pertama. Dalam buku tata
bahasa tradisional, konstruksi kalimat seperti (114) itu disebut kalimat majemuk rapatan.
Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang hubungan antara klausa-
klausanya tidak setara atau sederajat. Klausa yang satu merupakan klausa atasan, dan klausa
yang lain merupakan klausa bawahan. Kedua klausa itu biasanya dibuhungkan dengan
konjungsi subordinatif, seperti kalau, ketika, meskipun, dan karena; namun acapkali
hubungan itu dilakukan juga secara implisit. Berikut ini beberapa contoh kalimat majemuk
subordinatif.
(115) Kalau nenek pergi, kakek pun akan pergi.
(116) Nenek membaca komik ketika kakek tidak ada di rumah.
(117) Meskipun dilarang oleh kakek, nenek pergi juga ke salon.
(118) karena banyak yang tidak datang, rapat dibatalkan.
Proses terbentuknya kalimat majemuk subordinatif ini dapat dilihat dari dua sudut
yang bertentangan. Pertama, dipandang sebagai hasil proses menggabungkan dua buah
klausa atau lebih, dimana klausa yang satu ianggap sebagai klausa atasan atau lebih, dimana
klausa yang satu dianggap sebagai klausa atasan atau klausa utama(dalam peristilahan
tradisional disebut induk kalimat), sedangkan yang lain disebut klausa bawahan (dalam
peristilahan tradisional disebut anak kalimat). Umpamanya kalimat (116) di atas Nenek
membaca komik ketika kakek tidak ada di rumah berasal dari klausa Nenek membaca komik
dan klausa Kakek tidak ada dirumah. Lalu, kedua klausa itu digabungkan dengan klausa
nenek membaca komik sebagai klausa utama, dan kakek tidak ada dirumah sebagai klausa
bawahan; dan kedua mempunyai hubungan kewaktuan, yakni waktu yang sama.
Kemungkinan untuk menjadikan klausa kakek tidak ada dirumah menjadi klausa uatama dan
klausa nenek membaca komik menjadi klausa bawahan juga bisa. Jika demikian kalimatnya
akan menjadi kalimat (119) berikut:

(119) Kakek tidak ada dirumah ketika nenek membaca komik.

Hubungan kedua klausa itu dapat juga tidak menyatakan hubungan kewaktuan seperti
kalimat (119) dan (116) diatas, melainkan menyatakan sebab-akibat, seperti terlihat pada
kalimat
(120) Karena kakek tidak ada di rumah, nenek membaca komik.
(121) Nenek membaca komik karena kakek tidak ada di rumah.

Pandangan kedua, konstruksi kalimat subordinatif itu dianggap sebagai hasil proses perluasan
terhadap salah satu unsur klausanya. Umpamanya, klausa ketika kakek tidak ada dirumah
pada kalimat (116) Nenek membaca komik ketika kakek tidak ada dirumah adalah berasala
dari, misalnya fase tadi pagi dalam kalimat Nenek membaca komik tadi pagi. Jadi, jelasnya
frase tadi pagi diluaskan (lebih tepat dideskripsikan) menjadi ketika kakek tidak ada dirumah.
Konsep perluasan unsur kalimat ini dibicarakan secara luas oleh Alisjahbana (1983). Beliau
menyatakan semua unsur kalimat dapat diperluas untuk dijadikan anak kalimat,
sehinggamunullah istilah anak kalimat pengganti subjek, anak kalimat pengganti predikat,
anak kalimat pengganti objek, anak kalimat pengganti keterangan waktu, dan sebagainya.
Malah juga bagian dari anak kalimat itu dapat diperluas lagi, sehingga muncullah istilah cucu
kalimat. Perhatikan unsur objek Si Ali pada kalimat (122) yang di perluas menjadi anak
kalimat orang yang pernah menolong Ahmad pada kalimat (123); lalu, perluasan objek
Ahmad menjadi anaknya yang nomor dua pada kalimat (124) berikut!
(122) Dia menjumpai si Ali.
(123) Dia menjumpai orang yang pernah menolong ahmad.
(124) Dia menjumpai orang yang pernah menolong anaknya yang nomor dua.

Jenis kelimat mejemuk yang lain adalah kalimat majemuk kompleks. Kalimat
majemuk jenis ini terdiri dari tiga klausa atau lebih, dimana ada yang dihubungkan secara
koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi, kalimat majemuk ini
merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan kalimat majemuk subordinatif.
Oleh karena itu, ada juga yang menyebut kalimat macam ini dengan nama kalimat majemuk
campuran. Umpamanya kalimat (125) berikut:

(125) Nenek membaca komik karena kakek tidak ada di rumah dan tidak ada
pekerjaan lain yang harus diselesaikan.

Terdiri dari tiga buah klausa yaitu (1) nenek membaca komik, (2) kakek tidak ada di
rumah, dan (3) tidak ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Klausa (1) dan klausa (2)
dihubungkan secara subordinatif; klausa (2) dan klausa (3) dihubungkan secara koordinatif.
Perhatikan bagannya!
(126)
S P O K (sebab)
Klausa (1) Klausa (2) Klausa (3)

Contoh lain, dalam kalimat (127) berikut:

(127) Kakek mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil selembar uang ribuan


untuk membayar ongkos becak.

Terdapat tiga buah klausa, yakni (1) kakek mengeluarkan dompetnya, (2) (kakek)
mengambil selembar uang ribuan, dan (kakek) membayar ongkos becak. Klausa pertama dan
klausa kedua dihubungkan secara koordinatif dengan bantuan konjungsi lalu; klausa kedua
dan klausa ketiga dihubungkan secara subordinatif dengan menggunakan konjungsi untuk.
Bagannya adalah :

S P O
Kl
ausa (1)
S P O
Kl
ausa (2)
K
(tujuan)
Kl
ausa (3)

(127)
Dalam praktek berbahasa, lebih-lebih pada bahasa tulis, penggunaan kalimat
kompleks ini sangat umum; apalagi dalam karangan yang bersifat keilmuan. Jumlah klausa
yang digunakan dalam satu kalimat bukan hanya dua atau tiga buah, melainkan bisa lebih
dari itu. Perhatikanlah kalimat (128) berikut. Cobalah anda hitung ada berapa klausa di
dalamnya, dan tentukan juga bagaimana hubungan antara klausa yang satu dengan klausa
yang lainnya !
(128) Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan
ketakwaan terhadap tuhan yang maha esa, kecerdasan keterampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
besama sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

4.5.2.3 Kaliamat Mayor dan Kalimat Minor


Pembedaan kalimat mayor dan kalimat minor dilakukan berdasarkan lengkap dan
tidaknya klausa yang menjadi konstituen dasar kalimat itu. Kalau klausanya lengkap,
sekurang kurangnya memiliki unsur subjek dan prediakt, maka kalimat itu disebut kalimat
mayor. Berikut ini di daftarkan contoh kaliamt mayor
(129) Nenek berlari pagi.
(130) Kakeknya petani kaya di sana.
(131) Bu dosen itu cantik sekali.
(132) Irak dan Iran sudah berdamai.
(133) Banjir kiriman datang dari Bogor.
Kalau klausanya tidak lengkap, entah hanya terdiri dari subjek saja, predikat saja,
objek saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor. Kalimat
minor ini meskipun unsur unsurnya tidak lengkap, namun dapat dipahami adalah karena
konteksnya di ketahui oleh pendengar maupun pembicara. Konteks ini bisa berupa konteks
kalimat, konteks situasi, atau juga konteks topik pembicaraan. Jadi, kalimat kalimat jawaban
singkat, kalimat seruan, kalimat perintah, kalimat salam, dan sebagainya adalah termasuk
kalimat minor. Berikut ini adalah contoh contoh kalimat minor.
(134) Sedang makan! (sebagai kalimat jawaban dari kalimat tanya: Nenek sedang
apa?
(135) Halo!
(136) Cepat berangkat!
(137) Sialan!
(138) Dilarang merkok.
(139) Silahkan duduk!
Dari buku Ajip Rosidi Tahun-tahun Kematian ada percakapan berikut yang hampir
seluruhnya terdiri dari kalimat minor, namun dapat dipahami karena konteksnya.
(140) - Minah.
- Apa itu?
- Apa? Barangkali patroli.
- Patroli?
- Barangkali, kataku.
- Tak pernah ada patroli sampai kemari.
- Entahlah.
- Apa.
- Ah.
- Mengapa? Bukankah kita tak dapat apa-apa?
- Tidak, tidak kurasa.
- Ada ada, iyah?
- Entah
- Ada apa diluar?
- Orang
- Siapa ?
- Mana bisa tahu. Belanda, barangkali
- Hah? Apa?
- Barangkali. Saya tahu betul.
- Lekas bangun dan pergi!
- Mengapa?
- Belanda. Lekas!

4.5.2.4 Kalimat Verbal dan Kalimat Nonverbal


Dalam subbab 6.4 telah dibedakan adanya klausa verbal dan klausa nonverbal. Karena
konstituen dasar kalimat biasanya dalah klausa, maka sebenarnya pembicaraan mengenai
kalimat verbal dan kalimat nonverbal sejalan dengan pembicaraan mengenai klausa verbal
dan klausa nonverbal. Jadi, secara umum dapat dikatakan kalimat verbal adalah klaimat yang
dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang
berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata
atau frase verbal; bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.
Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal, maka biasanya dibedakan pula
adanya kalimat transitif, kalimat intransitif, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat dinamis,
kalimat statis, kalimat refleksi, kalimat resiprokal, dan kalimat ekuatif. Setiap bahasa tentu
mempunyai cara sendiri untuk membentuk jenis kalimat tersebut. Bagaimana wujud kalimat-
kalimat verbal tersebut, secara singkat kita bicarakan berikut ini, dengan terutama mengambil
contoh bahasa Indonesia.
Kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba
yang biasanya diikuti oleh sebuah objek kala verba tersebut bersifat monotransitif, dan diikuti
oleh dua buah objek kalau verba nya berupa verba bitransitif. Misalnya, yang monotransitif
adalah kalimat (141) dan yang bitransitif adalah kalimat (142).
(141) Dika menendang bola.
(142) Dika membelikan Mika kamus bahasa jepang.

Dalam bahasa Indonesia tampaknya ada sejumlah verba transitif yang tidak perlu
diikuti objek. Verba yang demikian adalah verba yang sudah menjadi kebiasaan atau biasa
dilakukan terhadap objek itu; sehingga tanpa disebutkan objeknya kalimat tersebut sudah
gramatikal dan bisa dipahami. Umpamanya kalimat (143) dan kalimat (144) berikut:
(143) Nenek belum makan.
(144) Nita sedang minum.

Jelas, pada kalimat (143) objeknya adalah nasi, dan untuk kalimat (144) objeknya
adalah air. Andaikata yang dimaksud bukan nasi dan air, misalnya, ketupat dan tuak, maka
ketupat dan tuak itu secara eksplisit harus disebutkan di belakang predikatnya. (Lihat
kembali subbab 6.1 dan 6.4).
Kalimat intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intrasitif, yaitu
verba yang tidak memiliki objek. Umpamanya, kalimat-kalimat (145), (146), dan (147)
adalah kallimat intrasitif, sebab verba menari, berlari, dan datang adalah verba intasitif.
(145) Nenek menari.
(146) Kakek berlari ke kamar mandi.
(147) Ayah belum datang.

Kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Dalam bahasa
indonesia verba aktif biasanya ditandai dengan prefiks me- atau memper-, Ketiga kalimat
berikut adalah contoh kalimat aktif.
(148)Kakek menulis surat.
(149)Nenek mendengarkan siaran sepak bola.
(150)Dika memperpanjang KTP-nya.

Kalimat aktif biasanya dipertentangkan dengan kalimat pasif, yaitu kalimat yang
predikatnya berupa verba pasif. Dalam bahasa Indonesia verba pasif biasanya ditandai
dengan prefiks di- atau diper-, Dengan demikian, contoh kalimat aktif diatas dapat dijadikan
kalimat pasif menjadi.
(148a) Surat ditulis kakek.
(149b) Siaran sepak bola didengarkan nenek.
(150a) KTP itu diperpanjang oleh Dika.

Dalam kepustakaan linguistik ada istilah kalimat aktif anti pasif dan kalimat pasif anti
aktif sehubungan dengan adanya sejumlah verba aktif yang tidak dapat dipasifkan, dan verba
pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif. Dalam bahasa Indonesia kalimat (151)
barangkali dapat jadi contoh kalimat pasif yang tidak dapat dijadikan kalimat aktif dan
kalimat (152) contoh kalimat aktif yang tidak dapat dipasifkan. Perhatikan!
(151)Kakek kecopetan tadi pagi.
(152)Dia tidak menyerupai ibunya.

Kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara
semantis menyatakan tindakan atau gerakan. Perhatikan contoh kalimat (153), (154), dan
(155). Sedangkan kalimat statis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara
semantis tidak menyatakan tindakan atau kegiatan. Kalimat (156), (157), dan (158) adalah
contoh dari kalimat statis itu.
(153) Mahasiswa itu pulang
(154) Dia pergi begitu saja
(155) Kami bercakap-cakap disana
(156) Anaknya sakit keras
(157) Dia tidur dikursi
(158) Kambing itu sudah mati
Di atas sudah disebutkan bahwa kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya
bukan verba; bisa nomina atau frase nomina, bisa ajektifa atau frase ajektifal, bisa kelas
numeral, dan bisa juga berupa frase preposisional. Kalimat-kalimat berikut adalah contoh
kalimat-kalimat nonverbal itu.
(159) Mereka bukan penduduk desa ini.
(160) Mereka rajin sekali.
(161) Penduduk Indonesia 185 juta jiwa.
(162) Mereka ke pengadilan.

4.5.2.5 Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat


Pembedaan adanya kalimat bebas dan kalimat terikat dilakukan dalam kaitan bahwa
kalimat adalah satuan-satuan yang membentuk wacana dan paragraf. Dalam suatu wacana
atau suatu paragraf, kalimat bukanlah merupakan satuan yang berdiri sendiri, terlepas yang
satu dari yang lain, tanpa mempunyai hubungan apa-apa, melainkan merupakan satuan yang
saling berkaitan, yang terikat satu dengan yang lainnya.
Dalam suatu paragraf kalimat-kalimat tersebut harus saling berkaitan, harus
mempunyai hubungan antara yang satu degnan yang lain, sehingga terbentuk suatu keutuhan
paragraf atau wacana yang berisi suatu “pesan” atau “amanat” yang lengakap. Oleh karena
itu, dalam kerangka hubung-menghubungkan ini akan terdapat kalimat yang bebas, yang
dapat dipersendirikan, dan ada pula kalimat yang terikat, yang tidak dapat dipersendikrikan,
melainkan harus selalu terikat dalam kaitannya dengan kalimat lain.
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap,
atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain
yang menjelaskannya. Sedangkan kaliamt terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri
sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan
konteks. Biasanya kalimat terikat ini menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti
penanda rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis. Perhatikan teks berikut yang
diangkata dari Djoko Kentjono (1982).
(163) Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan ikannya, telurnya
pun sangat sukar diperoleh (2). Kalau pun bisa diperoleh, harganya melambung selangit (3).
Makanya, ada kecemasan masyarakat nelayang di sana bahwa terubuk yang spesifik itu akan
punah (4).
Kalimat (1) pada teks di atas Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk adalah
satu contoh kalimat bebas. Tanpa harus diikuti kalimat (2), (3), dan (4), kaliamt tersebut
sudah dapat menjadi ujaran lengkap, yang bisa dipahami. Sedangkan kaliamt (2), (3), dan (4)
pada teks itu adalah kalimat terikat atau kalimat tidak bebas. Ketiga kalimat itu secara
sendiri-sendiri tidak dapat dipahami, sehingga karena itu tidak dapat berdiri sendiri sebagai
sebuah ujaran. Bukti keterkaitan kalimat (2) dari kaliamt (1) adalah adanya penanda anaforis-
nya pada kata ikannya dan telurnya, yang merujuk pada kalimat terubuk pada kaliamt (1).
Demikian juga kalimat (3) terikat dengan kalimat (1) dengan adanya penanda anafois-nya
pada kata harganya yang juga merujuk pada kata terubuk pada kalimat (1). Sedangkan
keterikatan kaliamt (4) dengan kalimat-kalimat sebelumnya adalah adanya penggunaan
konjungsi makanya, yang menyatakan kesimpulan terhadap isi kalimat-kalimat sebelumnya.
Bukti keterikatan sebuah kaliamat dengan kalimat lainnya, selain dengan penanda
anafonis berupa –nya (atau dia, mereka, dan beliau) dan konjungsi antarkalimat makanya,
oleh karena itu, dan jadi, lazim juga dengan struktur klausa yang tidak lengkap, yang bisa
terjadi karena dukungan konteks dan situasi. Umpamanya kalimat Belum ke mana-mana atau
Belum punya kenalan sebagai lanjutan dari kalimat Saya baru dua hari di Jakarta. Secara
utuh konteksnya adalah menjadi :
(164) Saya baru dua hari di Jakarta. Belum ke mana-mana. Belum punya kenalan.
Kalimat jawaban singkat termasuk juga kalimat, yakni terikat dengan kalimat
pertanyaannya. Umpamanya kalimat jawaban.
(165) Sebagai jawaban dari kalimat tanya (166).
(165) Main gaplek!
(166) Apa yang kamu lakukan di sana?
Dari pembicaraan mengenai kalimat terikat ini dapat disimpilkan bahwa sebuah
kalimat tidak harus mempunyai struktur fungsi secara lengkap. Kelengkapan sebuah kalimat
serta pemahamannya sangat tergantung pada konteks dan situasinya. (Lebih lanjut lihat
subbab 6.6 tentang wacana)

4.5.4. Modus, Aspek, Kala, Fokus, dan Diatesis


Keenam istilah tersebut bisa muncul dalam pembicaraan mengenai sintaksis. Dalam
kebanyakan bahasa keenam masalah itu ada, hanya barangkali cara mengungkapkannya tidak
sama. Ada yang mengungkapkan secara morfemis, tetapi ada pula yang mengungkapkan
secara leksikal. Keenamnya disini dibicarakan dalam satu subbab karena masalahnya tidak
terlalu luas, keenamnya saling berkaitan, dan seringkali dikelirukan.

4.5.4.1 Modus
Yang di maksud dengan modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana
psikologis perbuatan menurut tafsiran si pembicara atau sikap si pembicara tentang apa yang
di ucapkannya. Dalam beberapa bahasa tertentu, terutama bahasa-bahasa fleksi, modus di
nyatakan dalam bentuk morfemis, tetapi dalam bahasa lain ada juga yang secara leksikal. Ada
beberapa macam modus, antara lain (1) modus indikatif atau modus deklaratif, yaitu modus
yang menunjukkan sikap objektif atau netral; (2) modus optatif, yaitu modus yang
menunjukan harapan atau keinginan; (3) modus imperatif, yaitu modus yang menyatakan
perintah, larangan, atau tegahan; (4) modus interogatif, yaitu modus yang menytakan
pertanyaan; (5) modus obligatif, yaitu modus yang menyatakan keharusan; (6) modus
desideratif, yaitu modus yang menyatakan keinginan keinginan atau kemauan; dan (7) modus
kondisional, yaitu modus yang menyatakan persyaratan. Sebagai contoh, untuk modus
imperatif bahasa latin menggunakan bentuk morfemis seperti Amare! ‘biarkanlah dirimu
dicintai’ atau ama eum! ‘cintailah dia!’; bahasa jawa, antara lain, mengungkapkannya secara
morfemis dengan menggunakan sufiks -en, seperti tulisen ‘tulislah’ atau tatanen ‘aturlah’.
Bahasa Indonesia mengungkpkan modus imperatif dengan menggunakan verba dasar dan
partikel –lah (kalau perlu), atau verba derivatif dari dasar lain. Misalnya, baca!, atau
bacalah!; bangun!; dan berjuanglah! Untuk modus optatif, bahasa Indonesia menggunakan
unsur leksikal, seperti moga-moga, semoga, atau hendakknya.
Sebaga catatan, pembedaan kalimat menjadi kalimat deklaratif, interogatif, imperatif,
dan interjektif, sesungguhnya tidak lain berdasarkan modus ini.

4.5.4.2 Aspek
Yang di maksud dengan aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu
secara internal di dalam suatu situasi, keadaan, kejadian, atau proses. Dalam berbagai bahasa
aspek ini merupakan kategori gramatikal karena di nytakan secara morfemis. Dalam bahasa
Indonesia aspek tidak dinyatakan secara morfemis dengan bentuk kata tertentu, melainkan
dengan berbagai cara dan alat leksikal. Dari berbagai bahasa dikenal adanya berbagai macam
aspek, antara lain: (1) aspek kontinuatif, yaitu menyatakan perbuatan terus berlangsung; (2)
aspek inseptif, yaitu yang menyatakan peristiwa atau kejadian baru mulai; (3) aspek
progresif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sedang berlangsung; (4) aspek repetitif,
yaitu yang menyatakan perbuatan itu terjadi berulang-ulang; (5) aspek perfektif, yaitu yang
menyatakan perbuatan berlangsung sebentar, dan (8) aspek sesatif yaitu yang menyatakan
perbuatan berakhir.
Sebagai contoh, dalam bahasa Rusia aspek itu dinyatakan dalam bentuk morfemis,
berupa bentuk tertentu di dalam kata kerja. Umpamanya, verba pisal ‘menulis’ beraspek
imperfektif, perbuatan belum selsai; sedangkan verba napisal ‘telah selesai menulis’ beraspek
perfektif, perbuatan telah selesai. Perhatikan penggunaannya dalam kalimat-kalimat berikut
(diangkat dari Hardjatno 1986)
(178) Ya pisal statyu
Saya menulis karangan
(179) Ya napisal pismo
Saya telah selesi menulis surat
Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan aspek perfektif digunakan unsur leksikal
sudah seperti pada kalimat (180); untuk menyatakan aspek inseptif baru mulai, di gunakan
partikel pun dan lah seperti pada kalimat (181); dan untuk menyatakan aspek repetitif bisa di
lakukan secara morfemis, yaitu dengan surfiks - i seperti tampak pada kalimat (182) berikut.
(180) Dia sudah makan.
(181) Dia pun berjalanlah.
(182) Dia memukuli pencuri itu
Selain itu dalam bahasa Indonesia ada juga aspek yang sudah di nyatakan secara
inheren oleh tipe verbanya. Misalnya, verba mengiris seperti dalam kalimat (183) dan verba
memukul seperti dalam kalimat (184) sudah menyatakan aspek momentan, perbuatan
berlangsung sebentar.
(183) Ibu mengiris bawang itu.
(184) Ibu memkul adiknya.
Bandingkanlah verba mengiris dan memukul yang beraspek momentan. Kita dapat
mengatakan Dia membaca Selma setengah jam dan Adik menulis dari pagi sampai siang.
Tetapi kita todak dapat mengatakan *Ibu mengiris selama setengah jam dan *Adik memukul
dari pagi sampai siang.
Tentang aspek lebih jauh lihat Comrie (1976) dan Brinton (1988)

4.5.4.3 Kala
Kala atau tenses adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya
perbuatan, kejadian, tindakan, ataub pengalaman yang di sebutkan di dalam predikat. Kala ini
lazimnya menyatakan waktu sekarang, sudah lampau, dan akan datang. Bebrapa bahasa
menandai kala itu secara morfemis; artinya, pernyataan kala itu di tandai dengan bentuk kata
tertentu pada verbanya. Perhatikan contoh bahasa jepang berikut, yang di angkat dari Djoko
Kentjono 1982. Sebelah kiri berbentuk kala sekarang (present) dan sebelah kanan bentuk kala
lampau (past tense).
(185) Kala kini Kala lampau Makna
Arukimasu arukimsita berjalan
Ikimasu ikimasita pergi
Kimasu kimasita datang
Hairimasu hairimasita masuk

Dalam bahasa inggris untuk kala lampau verba yang regular di gunakan surfiks –ed,
dan untuk kala kini digunakan bentuk (be)- ing. Perhatikan contoh berikut!
(186) Nita worked there yesterday
Nita bekerja disana kemarin
(187) Dika is workig there
Dika sedang bekerja disana
Berikut ini data dari bahasa Swahili di afrika (diangkat dari Djoko Kentjono 1982).
Coba anda cari penanda morfologis yang menyatakan kala kini, kala lampau, dank ala akan
datang, dengan cara membandingkan terjemahannya.
(188) Atakupiga ‘ia akan memukulmu’
Anakupiga ‘ia sedang memukulmu’
Amekupiga ‘ia telah memukulmu’
Alikupiga ‘ia tadi memukulmu’
Nitakupiga ‘saya akan memukulmu’
Atanipiga ‘ia akan memukulku’
Atakulipa ‘ia akan membayarmu’

Bahasa Indonesia tidak menandai kala secara morfemis, melainkan secara lesikal.
Antara lain dengan kata sudah untuk kala lampau, sedang untuk kala kini, dan akan untuk
kala nanti. Perhatikan contoh (189) berikut!
(189) Pak lurah itu sudah mandi
Pak lurah itu sedang mandi
Pak lurah itu akan mandi
Dalam bahasa Indonesia banyak orang yang mengkelirukan konsep kala dengan
konsep keterangan waktu sebagai fungsi sintaksis; sehingga mereka mengatakan kata sudah,
sedang, dan akan pada contoh (189) di atas adalah keterangan waktu. Padahal keterangan
waktu, dan keterangan lainnya, sebagai fungsi sintaksis memberi keterangan terhadap seluruh
kalimat. Posisinya pun dapat di pindahkan ke awal kalimat atau ke tempat lain; sedangkan
kala terikat pada verbanya atau predikatnya. Penyebab kekeliruan disini barangkali karena
secara leksikal kata-kata seperti sudah, sedang, dan akan itu “sejenis” dengan kata-kata
seperti kemarin, tadi, dan besok yang memang menyatakan waktu; dan ketiga kata yang
terakhir ini memang dapat mengisi fungsi keterangan. Ada satu kekeliruan lain lagi yang
banyak di buat orang, yaitu, karena dalam kata bahasa tradisional istilah keterangan
digunakan untuk dua macam konsep, yaitu konsep fungsi sintaksis, dan konsep kategori
sintaksis, maka konstruksi seperti di rumah, kemarin dulu, dan nanti malam juga di sebut
berkategori kata keterangan (adverbial). Ketiga konstruksi itu memang dapat mengisi fungsi
keterangan, tetapi ketiganya bukan berkategori keterangan (adverbia). Untuk tidak
mengacukan barangkali, barangkali perlu di pertimbangkan pemakaian istilah seperti yang di
gunakan asmah (1980) untuk bahasa Malaysia, yaitu kata ajung untuk istilah fungsi sintaksis
dan kata adverba untuk istilah kategori sintaksis.

4.5.4.4 Modalitas
Yang dimaksud dengan modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan
sikap pembicara pada hal yang dibicarakan, yaitu mengenai perbuatan,keadaan, dan
peristiwa; atau juga sikap terhadap lawan bicaranya, sikap ini dapat berupa pernyataan
kemungkinan, keinginan, atau juga keizinan. Dalam bahasa Indonesia ,dan sejumlah bahsa
lain, modalitas ini dinyatakan dinyatakan secara leksial. Umpamanya dengan kata – kata
mungkin, barangkali, sebaliknya, seharusnya, tentu, pasti, boleh, mau, ingin, dan
seyogyanya. Berikut ini sejumlah contoh kalimat bahsa indonesia yang berisi keterangan
modalitas itu.
(190) Barangkali dia tidak akan hadir.
Petani Indonesia sebaiknya mendirikan koperasi.
Anda seharusnya tidak datang terlambat.
Kalian boleh tidur disini.
Saya ingin anda membantu anak – anak itu.
Dalam kepustakaan linguistik dikenal adanya beberapa jenis modalitas; antara lain (1)
modalitas intensional,yaitu modalitas yang menyatakan keinginan, harapan, permintaan, atau
juga ajakan; (2) modalitas epistemik, yaitu modalitas yang menyatakan kemungkinan,
kepastian, dan keharusan; (3) modalitas deontik, yaitu modalitas yang menyatakan keizinan
atau keperkenaan; dan (4) modalitas dinamik, yaitu modalitas yang menyatakan kemampuan.
Secara beruntun diberikan contoh keempat macam modalitas itu.
(191) Nenek ingin menunaikan ibadah haji.
(192) Kalau tidak hujan kakek pasti datang.
(193) Anda boleh tinggal di sini sampai besok.
(194) Dia bisa melakukan hal itu kalau diberi kesempatan.
Lebih jauh mengenai modalitas, untuk bahasa Indonesia lihat Alwi 1992, dan untuk
bahasa Inggris, antara lain, lihat Coates 1983.

4.5.4.5 Fokus
Yang dimaksud dengan fokus adalah unsur yang menonjolkan bagian kalimat
sehingga perhatian pendengar atau pembaca tertuju pada bagian itu. Ada bahasa yang
mengungkapkan fokus inni secara morfemis, dengan menggunakan afiks tertentu; tetapi ada
pula yang menggunakan cara lain. Dalam bahasa Tagalog di Filipina, unsur atau bagian
kalimat yang menjadi fokus untuk atau menmpati fungsi subjek ditandai dengan artikulus
ang. Untuk jelasnya, perhatikan contoh berikut (diangkat dari Verhaar 1978).
(195) Bumili ang Nanay ng saging sa tindahan para sa bata.
(196) Binili ng Nanay ang saging sa tindahan para sa bata.
(197) Binilhan ng Nanay ng saging ang tindahan para sa bata.
(198) Ibnili ng Nanay Ng saging sa tindahan ang bata.
Terjemahan untuk kalimat (195) adalah ‘Ibu membeli pisang di toko untuk anak’.
Kata pertama pada masing-masing kalimat adalah kata kerja. Arti kata lain : Nanay ‘ibu’,
saging ‘pisang’, tindahan ‘toko’, dan bata ‘anak’. Yang dicetak tebal pada masing-masing
kalimat adalah subjek; ang adalah artikel penanda subjek; yang bukan subjek berbentuk ng.
Bentuk verba pada masing-masing kalimat berbeda, karena disesuaikan dengan peran yang
menduduki tempat subjek. Pada kalimat (195) bentuk bumili sesuai dengan peran pelaku;
pada kalimat (196) bentuk binili sesuai dengan eran subjek tujuan; pada kalimat (197) bentuk
binilhan sesuai subjek tempat; dan pada kalimat (198) bentuk ibinili sesuai dengan subjek
penerima. Coba sekarang anda reka bagaimanakah terjemahan kalimat (196), (197), dan
(198) di atas mengingat yang di fokuskan berbeda.
Dalam bahasa Indonesia fokus kalimat dapat dilakukan dengan berbagai cara; antara
lain:
Pertama dengan memberi tekanan pada bagian kalimat yang difokuskan.
Umpamanya, dalam kalimat Dia menangkap ayam saya, kalau tekanan diberikan pada kata
dia, maka berarti yang melakukan adalah dia, bukan orang lain. Kalau tekanan diberikan pada
kata menangkap, maka berarti yang dilakukannya adalah menangkap, bukan mencuri atau
memotong. kalau tekanan diberikan pada ayam kata ayam,maka berarti yang ditangkap
adalah ayam, bukan itik atau kambing.
Kedua, dengan mengedepankan bagian kalimat yang difokuskan. Umpamanya,
kalimat Hal itu telah disampaikan kepada DPR oleh pemerintah adalah adalah susunan biasa;
kalau ingin difokuskan pada pelakunya, maka unsur pelaku itu, yaitu Oleh pemerintah hal itu
telah disampaikan pada kepada DPR.
Ketiga, dengan cara memakai partikel pun, yang, tentang, dan adalah pada bagian
kalimat yang di fokuskan. Perhatikan contoh berikut!
(199) membaca pun aku belum bisa.
(200) Yang tidak berkepentingan dilarang masuk .
(201) Tentang anak-anak itu, biarlah kami yang urus.
(202) Adalah tidak pantas kalau hal itu kaukatakan kepadanya.
Keempat, dengan mengontraskan dua bagian kalimat. Misalnya:
(203) Bukan dia yang datang, melainkan itrinya.
(204) Ini jendela, bukan pintu.
(205) anak Bapak bukan bodoh, melainkan kurang rajin.
Kelima, dengan menggunakan konstruksi posesif anafotis beranteseden. Misalnya:
(206) Bu dosen linguistik itu pacarnya seorang konglomerat.
(207) Ayah saya sepedanya bannya kempes.
Namun, perlu dicatat kontruksi kalimat (206) dam (207) ini sangat “diharamkan” oleh
banyak guru bahasa Indonesia. Konstruksi itu menurut mereka seharusnya adalah:
(206a) Pacar Bu dosen linguistik itu seorang konglomerat.
(207a) Ban sepeda ayah saya kempes.

4.5.4.6 Diatesis
Yang dimaksud dengan diatesis adalah gambaran hubungan antara pelaku atau peserta
dalam kalimat dengan perbuatan yang dikemukakan dalam kalimat itu. Ada beberapa macam
diatesis, antara lain, (1) diatesis aktif, yakni jika subjek yang berbuat atau melakukan suatu
perbuatan; (2) diatesis pasif, jika subjek menjadi sasaran perbuatan; (3) diatesis refleksif,
yaknijika subjek berbuat atau melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri; (4) diatesis
resiprokal, yakni jika subjek yang terdiri dari dua pihak berbuat tindakan berbalasan; dan (5)
diatesis kausatif, yakni jika subjek menjadi penyebab atas terjadinya sesuatu. Berikut ini
diberikan contoh diatesis dari (1) sampai (5). Perhatikan!
(208) Mereka merampas uang kami.
(209) Uang kami dirampasnya.
(210) Nenek kami sedang berhias.
(211) Kiranya mereka akan berdamai juga.
(212) Kakek menghitamkan rambutnya.

Anda mungkin juga menyukai