• Tafsir secara akar kata berasal dari kata ر-س-( فfa-sa-ra) atau( فَس ََّرfassara) yang
bermakna َ بَيَنbayana (menjelaskan), dan َّح
َ وضwaddhaha (menerangkan). Dari sisi
istilah, ada dua definisi.
• Menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, maksudnya adalah, "Tafsir
adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad ﷺyang menerangkan maknanya, menyingkap hukum
dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa Arab, seperti ilmu
Nahwu, tashrif, bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun nuzul, dan nasikh mansukh.
TA’WIL
Kata ta'wil berasal dari kata ‘ala yaulu ‘aulan yang berarti Kembali kepada asal. Ada yang
berpendapat ta'wil berasal dari kata iyalah yang berarti mengatur, seorang mu‘awwil
(penta'wil) seakan-akan sedang mengatur perkataan dan meletakkan makna sesuai dengan
tempatnya.”
Secara terminologi, ta'wil menurut ulama salaf dapat berarti
Pertama, menjelaskan kalam dan menerangkan maknanya.
Kedua,makna yang dimaksudkan dalam sebuah perkataan. Jika perkataannya
bernada talab (perintah) maka ta'wilnya adalah pekerjaan yang diminta.
Pertama, ulama salaf mengartikan ta’wil seperti yang
dikemukakan di atas. Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh para
pakar ilmu kalam dan filosof berpendapat bahwa ta'wil adalah memalingkan
makna dari makna aslinya ke makna yang lebih kuat.
b) Berahlak mulia
Seorang mufassir laksana guru, akhlak mulia tidak akan mencapai titik
puncaknya di dalam jiwa manakala seorang guru tidak menjadi
teladan di bidang akhlak dan keluhuran.
At-Ta’aarif wa At-Tanaakir adalah bentuk plural dari Ta’riif dan Tankiir. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Arab dan istilah ini biasa disebut dengan Ma’rifah dan
Nakirah. Kedua istilah ini adalah sebutan bagi al-Ism (kata benda). Yang pertama
menunjuk kepada sesuatu yang sudah jelas dan terbatas; sementara yang kedua
kebalikannya, yaitu menunjuk kepada suatu benda secara umum tanpa memberikan
batasan yang jelas dan tegas. Atau dengan ungkapan lain, Ma’rifah menunjuk
kepada individu secara khusus sedang Nakirah menunjuk kepada jenis dari individu
tersebut.
A. Ma’rifah (At-Ta’rif)
Yang dimaksud term Ma’rifah dalam sub bahasan ini, khusus mengenai Ma’rifah
yang menggunakan alif lam ()ال, bukan kata-kata yang Ma’rifah secara umum.
Untuk kajian ulum al-Quran, maka yang akan dikaji dalam bahasan kali ini adalah
faedah-faedah atau tujuan pemakaian kata-kata yang ma’rifah dan nakirah dalam
al-Quran.
Adapun para pakar ulum al-Qur’an, seperti Imam al-Zarkasyi dan al-Suyuthi menyimpulkan
sejumlah dari faedah dari pemakaian kata-kata yang Ma’rifah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
1. Menunjuk kepada kata yang sudah disebut sebelumnya, yaitu faedah الذكرى/ال للعهد الخارجى
seperti:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ۗ اِنَّٓا اَرْ َس ْلنَٓا اِلَ ْي ُك ْم َرسُوْ اًل ۙە َشا ِهدًا َعلَ ْي ُك ْم َك َمٓا اَرْ َس ْلنَٓا اِ ٰلى فِرْ عَوْ نَ َرسُوْ اًل
"Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul (Muhammad) kepada kamu, yang menjadi
saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir‘aun."QS. Al-
Muzzammil[73]:15
: ۚ خَذ ٰنهُ اَ ْخ ًذا َّوبِ ْياًل
ْ َ صى فِرْ عَوْ نُ ال َّرسُوْ َل فَا
ٰ “فَ َع
Namun Fir‘aun mendurhakai Rasul itu, maka Kami siksa dia dengan siksaan yang berat."QS. Al-
Muzzammil[73]:16
Kata ( )الرسولyang ketiga itu sama konotasinya dengan kata ( )رسوالyang disebut sebelumnya.
Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat
dipahami dari penggunaan ( )الpada kata ( )الرسولyang ketiga tersebut.
Menunjuk kepada sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara, yaitu
faedah ال للعهد الذهنىseperti:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
B. Nakirah (At-Tankir)
Apabila pemakaian الpada suatu kata (ism jenis) memberikan pengaruh terhadap
pengertian kata tersebut, maka tidak memakainya juga ada pengaruh terhadap konotasi
kata itu. Kata ism yang tidak memakai الseperti itulah yang dimaksud dengan ism
nakirah dalam sub bahasan ini. [[5]]
Ism Nakirah adalah ism yang menunjukkan kepada benda yang tidak tentu.
Di dalam al-Quran pemakaian ism NAKIRAH memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1) Untuk menunjukkan individu tertentu/ ism tunggal ()إرادة الوحدة, seperti kata ( )رجلdalam
Q.S. Al-Qashash (28):20 yang menunjuk kepada seorang laki-laki
2) Untuk menunjukkan ragam atau macam ()إرادة النوع, seperti kata ( )دابةdalam Q.S. An-
Nuur (24):45 yang mengandung pengertian beragam binatang dari air
3) Untuk mengagungkan atau memuliakan ()التعظيم, seperti kata ( )حربdalam Q.S. Al-
Baqarah (2):279 yang berarti peperangan yang dahsyat
4) Untuk menunjukkan jumlah yang banyak ()التكثير, seperti kata ( )أجراdalam Q.S. Al-
Syu’ara (26):42 yang berarti pahala yang banyak (cukup).
5) Untuk menghinakan atau merendahkan ()التحقير, seperti kata ( )شيءdalam Q.S. ‘Abasa
(80):19. Maksudnya adalah bahwa dalam ayat tersebut bermakna manusia diciptakan
Allah dari sesuatu yang hina.
6) Untuk menyatakan jumlah yng sedikit ()التقليل, seperti kata ( )رضوانdalam Q.S. At-
Taubah (9):72. Maksudnya adalah ridha Allah yang sedikit, itu lebih besar daripada
surga-surga yang ada karena merupakan pangkal kebahagiaan
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwasanya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah
Ma’rifah – Nakirah (At-Ta’rif wa At-Tankir), sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka
mengambil makna dari sebuah penafsiran al-Qur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah
bahasa Arab, secara umum juga berlaku dalam al-Qur’an, karena ia sebagaimana kita
ketahui memang diturunkan dalam bahasa Arab. Jika tanpa menguasai bahasa Arab
secara baik, seseorang akan sulit dalam memahami al-Qur’an.
Kaidah tentang ma’rifah dan nakirah (ta’rif dan tankir) mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam penafsiran. Penafsiran yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah ta’rif dan
tankir bisa menimbulkan kekeliruan. Di samping mengetahui definisi ta’rif dan tankir
bahwa kapan suatu kata disebut ta’rif dan kapan disebut tankir yang perlu diperhatikan
adalah kaidah-kaidah pengulangan ta’rif dan tankir itu.
Di antara sarana untuk memilih Al-Qur'an yang Mulia adalah yang mencapai proporsionalitas
fonemik dan keserasian komposisi ayat-ayat Al-Qur'an. Adopsinya untuk menggunakan
beberapa kata dalam bentuk tunggalnya dalam konteks, kemudian menggunakannya lagi dalam
bentuk jamaknya dalam konteks lain, dan ini hanya memperhitungkan pewarnaan fonetik kata-
kata ini, dan dengan maksud apa yang dimaksudkan di balik pewarnaan ini. konsekuensi
semantik dan estetika yang digunakan dalam konteks ini.
Teks Al-Qur’an tidak selalu menggunakan beberapa kata kecuali kelompok, jadi jika perlu
menggunakan bentuk tunggal dari kata kelompok, itu berubah dari bentuk tunggal ini menjadi
penggunaan sinonim. Di antaranya adalah apa yang kita lihat dalam Al-Qur'an penggunaan tidak
menggunakan kata (bubur) dalam bentuk tunggal, karena tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
kecuali dalam koleksi permanen, dan itu disebutkan dalam (16 enam belas ayat)
(1) di antaranya: firman Yang Mahakuasa: {Sesungguhnya yang demikian itu adalah peringatan
bagi orang-orang yang berakal}
(2), dan berfirman: {dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang.
adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal}
(3), dan mengatakan: {Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang berakal agar kamu
beruntung}
(4), dan mengatakan: {dan Atqon, hai inti}
(5). Dan ketika konteks Al-Qur'an mengharuskan penggunaan bentuk tunggal dari kata ini, Al-
Qur'an berubah menjadi penggunaan kata (hati). Al Rafie berkata:
Panduan estetika yang luar biasa dari pihak Al-Rafi'i, di mana ia mengandalkan data rasa murni
dari suara kata (bubur), dan apa yang menyebabkannya dari ketidakmungkinan menggunakan
bentuk tunggalnya dan transisinya. ke jamak dalam konteks pekerjaan Al-Qur'an, karena
pertemuan laam yang diperburuk dengan b lisan yang parah, yang menyebabkan Semacam berat
verbal dan pendengaran menyebabkan penolakan ini, dan penggunaan kata ( hati) sebagai
gantinya.
Menurut pendekatan ini, kita melihat dalam Al-Qur'an kata-kata kerja yang datang berkelompok
tanpa menggunakan bentuk tunggalnya, termasuk kata (cangkir) dalam firman Yang Mahakuasa:
{Dan bejana perak dan cangkir yang berupa termos diedarkan di antara mereka}
(9), terbatas, dan tidak memiliki rasa manis dan lembut yang dikandungnya
(10).Berbeda dengan penggunaan kata-kata ini dalam kasus jamak tanpa bentuk tunggalnya, kita
menemukan Al-Qur'an menggunakan kata-kata dalam bentuk tunggal tanpa naik ke bentuk
jamak, dan seperti yang kita perhatikan dalam penggunaan kata (tanah) yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur'an kecuali selalu tunggal di semua tempat yang disebutkan di dalamnya dan
jumlah itu (461) Empat ratus enam puluh satu tempat
(11) dalam segala bentuknya; Dari definisi, penyangkalan dan berbagai kasus sintaksis.
Bahkan jika kata (surga) disebutkan sebagai suatu kelompok, kata (bumi) dibawa secara tunggal
di setiap tempat, dan ketika Al-Qur'an perlu menggunakan bentuk jamak dari kata (bumi), ia
mengubahnya menjadi ungkapan yang menguntungkan bentuk jamak, tetapi bukan bentuk
jamaknya, dan itu adalah dalam firman Yang Mahakuasa: {Tuhan yang menciptakan tujuh
Langit dan bumi seperti itu}
(12), Dia tidak mengatakan (tujuh bumi ), dan cukup dengan bentuk jamak dari kata (seperti
mereka).
Dan kata (tanah) jika saya ingin mengumpulkannya menurut pluralitas fraksi, akan dikatakan
(tanah) sebagai total, atau (tanah) sebagai uang. Namun, hal ini memberatkan, karena jamak dari
kata (bumi) dengan cara ini “tidak mengandung kefasihan, keindahan dan manisnya kata surga,
dan Anda menemukan mendengar meriwayatkan tentang itu sebanyak kata surga menyetujui. )
Dia tidak boleh mendengarkan kecuali dia tidak menyukainya. Oleh karena itu mereka
menghindari menggabungkannya jika mereka menginginkannya dengan tiga kata yang
menunjukkan pluralitas, sebagaimana firman Allah SWT: {tujuh langit dan bumi seperti itu},
semua ini untuk hindari disebut tanah dan bumi
(13).Adapun kata surga, muncul sebagai kelompok dan tunggal dalam banyak ayat Al-Qur'an,
dan apa yang menentukan tujuan diversifikasi fonetik dalam ekspresi kata menurut (angka)
adalah konteks di mana ia disebutkan. Misalnya, ayat: dan apa yang luput dari Tuhanmu sedikit
pun di bumi atau di surga}
(14), dan mengatakan: {dunia gaib tidak luput darinya sedikit pun di langit atau di bumi}
(15). Dia menyilangkan dengan kata (langit) secara tunggal dalam konteks ayat pertama, dan
kelompok dalam konteks ayat kedua, jadi apa rahasia keadilan numerik itu untuk menggunakan
bentuk tunggal dalam dua ayat?
Rahasia estetis dalam pelanggaran ini terletak pada kenyataan bahwa kehendak (keabsolutan)
dalam Surat Yunus itulah yang membenarkan penyebutan kata yang menunjukkan gambaran
menyeluruh, dan keunggulan mutlak tanpa kehendak untuk menentukan langit tertentu. Al-
Suhaili mengatakan: “Kata surga dapat digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang di atas
langit dan di atas untuk Arsy, dan arti lain yang lebih tinggi yang khusus untuk Ketuhanan,
sehingga kata itu dalam bentuk tunggal, seperti deskripsi bahwa dikaitkan dengan yang
dijelaskan"
(16).Adapun ayat Surat Saba, kesebandingan antara konotasi yang mengharuskan bentuk jamak
dari kata (langit), karena sebelumnya, Yang Mahakuasa menyebutkan kapasitas raja, dan seluruh
tempat adalah miliknya, dan seluruh bumi adalah cengkeramannya. Oleh karena itu, makna ini
mengabaikan bentuk jamak dari kata (langit) dengan kehendak yang menyeluruh dan meliputi
raja ini, dan jika disingkirkan, dia akan mengira bahwa keputusan darinya, Maha Suci Dia, ada di
atas. satu kata ini saja - Tuhan melarang -. Kehendak acara di sini adalah pembenaran utama
untuk kombinasi ini.
Kami juga mencatat bahwa setiap kali Al-Qur'an mengungkapkan kata (surga) secara tunggal, ini
dalam konteks yang membutuhkan singularitas ini, seperti yang kita lihat berikut ini:
• Keinginan untuk membuktikan sifat keagungan-Nya, Maha Suci-Nya , dalam firman-Nya Yang
Mahakuasa: .
Kehendak kaum umum dalam firman Yang Mahakuasa: {Demi Tuhan langit dan bumi, benar
apa yang kamu katakan}
(18). Indikasi umum ketentuan dalam firman Yang Mahakuasa: {Dan di surga adalah ketentuan
Anda dan apa yang dijanjikan kepada Anda}
(19). Kejadian tempat itu, sebagaimana firman Yang Mahakuasa: {Allah-lah yang mengirimkan
angin, dan angin itu menimbulkan awan, dan Dia membentangkan-Nya di langit sesuai dengan
kehendak-Nya}
(20)dalam Al-Qur'an.Al-Qur’an yang mulia boleh meninggalkan ungkapan dalam kata tunggal,
karena tidak mengandung manisnya ciri jamaknya, dengan mempertimbangkan timbre kata,
ringan alirannya, dan alirannya di lidah. Kita melihat sekilas hal ini dalam penggunaan kata
(penghakiman) Al-Qur’an, suatu kelompok tanpa bentuk tunggal, seperti dalam firman Yang
Mahakuasa: Mungkin alasan ditinggalkannya penggunaan kata tunggal ini adalah bobot dalam
bentuk tunggal ini karena konvergensi dua huruf dekat dalam keluaran fonetis, yaitu (dal) dan
(thea), dan ketika dipisahkan oleh seribu pasang. dalam bentuk jamak, kata menjadi lebih ringan,
halus dan manis, dan karena itu bentuk tunggal ini ditinggalkan.
Bertemu jamak dengan jamak terkadang dimaksudkan bahwa setiap satuan dari jamak
yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Misalnya dalam ayat وإنّي كلما دعوتهم لتغفر لهم
جعلوا أصابعهم فى آذانهم واستغشوا ثيابهم ( Nuh: 7). Maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi
badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti ّوالوالدات يرضعن أوالدهن (al Baqarah: 233).
Maksudnya masing-masing ibu menyusui anaknya sendiri.
Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu ditetapkan atau diberlakukan bagi
setiap individu yang terkena hukuman, seperti: والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم
ثمانين جلدة (an Nur : 24). Maksudnya ialah deralah setiap orang dari mereka sebanyak bilangan
tersebut. Disamping itu terkadang kedua maksud tersebut dapat diterima, namun dalam hal ini
perlu ada dalil yang menentukan salah satunya.
Adapun mengimbangi jamak dengan mufrad maka pada umumnya tidak dimaksudkan
untuk menunjukkan keumuman mufrad tersebut, tetapi kadang-kadang hal demiakin dapat saja
terjadi. Misalnya وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين (al Baqarah : 184(. maksudnya ialah setiap
orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada seorang miskin setiap
hari.
ِAda beberapa kata dengan pengertian yang sama dengan الخائفmutarâdifnya Kata “ الخوف و
“الخشيةyang keduanya diterjemahkan dengan takut adalah berdasarkan pemahaman sementara
ulama yang menilai kedua kata itu sinonim tanpa perbedaan. Menurut mereka, penggunaan
keduanya untuk tujuan penganekaragaman redaksi. Namun ada juga ulama yang
membedakannya. Yakni kata الخشيةadalah takut yang disertai dengan penghormatan dan
pengagungan, lahir dari adanya pengetahuan tentang yang ditakuti, iaitu Allah, sedangkanالخوف
adalah sekedar takut yang boleh jadi disertai dengan kebencian atau tanpa mengetahui yang
ditakuti.
Perkataan الخشيةmenurut al-Asfihanî: “ketakutan yang membawa kepada mengagungkan yang
ditakuti disebabkan pengetahuannya tentang yang ditakuti (Allah) . Sebagaimana firman Allah :
َ صلُونَ َما أَ َم َر هّللا ُ بِ ِه أَن ي
ُوص َل َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَخَافُونَ سُو َء ال ِح َساب ِ ََوالَّ ِذينَ ي
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Q.S. ar-Ra’d: 21).
Kata الخشيةmenunjukkan makna takut kepada keagungan Allah, walaupun pelakunya seorang
yang kuat. Sebagaimana ayat lain disebutkan:
َق أَن ت َْخ َشوْ هُ ِإن ُكنتُم ُّم ُؤ ِمنِين
ُّ أَت َْخ َشوْ نَهُ ْم فَاهّلل ُ أَ َح
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika
kamu benar-benar orang yang beriman (Q.S. at-Tawbah: 13).
Kata الخشيةjika diikuti dengan sebuah perkara, maka perkara itu adalah perkara yang penting,
seperti tentang alam ghaib, terjadinya kiamat dan hari akhirat.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar. (Q.S. Al-Isra: 31).
Kata الخوفberarti dalam keadaan takut, yakni Allah menyiksa mereka dengan keadaan diliputi
oleh rasa takut sebelum turunnya siksa. Seseorang yang mengetahui siksa, ia akan diliputi oleh
kecemasan yang meresahkan dan menyiksanya sebelum jatuhnya siksa. Firman Allah:
ِ ُْوع َو ْالخَ و
ف بِ َما ِ اس ْالج
َ َت بِأ َ ْنع ُِم هّللا ِ فَأ َ َذاقَهَا هّللا ُ لِب ٍ ط َمئِنَّةً يَأْتِيهَا ِر ْزقُهَا َر َغدًا ِّمن ُكلِّ َم َك
ْ ان فَ َكفَ َر ْ َت آ ِمنَةً ُّم
ْ ب هّللا ُ َمثَالً قَرْ يَةً َكان
َ ض َر
َ َو
ْ
ََكانُوا يَصْ نَعُون
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi
tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan
dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl: 112)
Perkataan تخوفyang berarti mereka ditakuti dengan penyiksaan sedikit demi sedikit. Siksa
pertama adalah kelaparan, kekurangan harta, jiwa disusul dengan masa paceklik, dan lain-lain.
Demikian silih berganti, terus menerus dan sedikit demi sedikit tapi tanpa henti hingga akhirnya
binasa. Sebagaimana firman Allah:
َّحي ٌم
ِ ُوف ر ٍ أَوْ يَأْ ُخ َذهُ ْم َعلَى تَخَ ُّو
ٌ ف فَإ ِ َّن َربَّ ُك ْم لَرؤ
Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa. Maka sesungguhnya
Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nahl: 47)
ِ س َوالثَّ َم َرا
ت ِ ص ِّمنَ األَ َم َو
ِ ُال َواألنف ِ خَوف َو ْالج
ٍ ُوع َونَ ْق ْ َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم بِ َش ْي ٍء ِّمنَ ْال
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi
mereka disediakan surga-surga (Q.S. al-Baqarah: 25).
Menurut imam as-Suyûthî: “perkataan فعلdan عملmempunyai perbedaan dari segi masa
pelaksanaan: فعلuntuk masa yang terbatas sedangkan عملuntuk masa yang lama”.
ِ وا فَ َسيَ َرى هّللا ُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُولُهُ َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو َستُ َر ُّدونَ إِلَى عَالِ ِم ْال َغ ْي
ب َوال َّشهَا َد ِة فَيُنَبِّئُ ُكم ْ َُوقُ ِل ا ْع َمل
ََعلَ ْيهَا َماَل ئِ َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَل يَ ْعصُونَ هَّللا َ َما أَ َم َرهُ ْم َويَ ْف َعلُونَ َما ي ُْؤ َمرُون
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim: 6)
Menurut al-Ashfihanî: : Penyebutan “ “ يفعلونbukan يعملونpada ayat di atas adalah “para malaikat
melaksanakan perintah tanpa maksud tertentu, mereka melakukan berdasarkan perintah Allah,
bukan kehendak dan kemauan mereka”.
Perkataan الفعلlebih khusus menunjukkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh manusia,
binatang dan lain-lain.
َال بَلْ فَ َعلَهُ َكبِي ُرهُ ْم هَ َذا فَاسْأَلُوهُ ْم إِن َكانُوا يَن ِطقُون
َ َق
Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (Q.S. Al-Anbiya: 63)
Penggunaan kata الفعلjuga pada perbuatan baik dan buruk:
صاَل ِة َوإِيتَاء ال َّز َكا ِة َو َكانُوا ِ َو َج َع ْلنَاهُ ْم أَئِ َّمةً يَ ْه ُدونَ بِأ َ ْم ِرنَا َوأَوْ َح ْينَا إِلَ ْي ِه ْم فِ ْع َل ْالخَ ْي َرا
َّ ت َوإِقَا َم ال
َلَنَا عَابِ ِدين
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah. (Q.S.
Al-Anbiya: 73)
Ayat lain sebagai dalil tentang perbedaan kata الفعل و العملadalah firman Allah swt. Tentang Nabi
Musa membunuh salah seorang suku al-Qibthy, apakah ada kesesuaian kata itu yang dilakukan
tanpa tujuan dan yang melakukan adalah seorang manusia.
Menurut Fadhlî Hasan ‘Abbâs dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs: “perbuatan Nabi Musa tidak ada
mempunyai maksud untuk membunuh dan tidak datang dari kehendak Nabi Musa (salah seorang
kaumnya minta pertolongan). Perkataan الوكزdalam firman Allah bermakna pukulan yang dalam
kebiasaanya tidak sampai kepada membunuh.
Menurut Thabathaba’î; ‘maksud ucapan Nabi Musa itu adalah “aku melakukan pembunuhan itu,
sedang aku ketika itu dalam keadaan tidak mengetahui sisi kemaslahatannya serta tidak
mengetahui pula kebenaran yang harus kuikuti sehingga aku membela siapa yang meminta
bantuan kepadaku, dan ketika itu aku tidak tahu bahwa pembelaan itu mengakibatkan
meninggalnya seseorang dan mengakibatkan aku terpaksa mengungsi bertahun-tahun”. Musa
menyesal atas kematian orang itu disebabkan pukulannya, karena dia bukanlah bermaksud untuk
membunuhnya, hanya semata-mata membela kaumnya.
Thâhir ibn ‘Asyûr mengemukakan dua kemungkinan makna di atas. Pertama, seakan-akan Nabi
Musa as. Berkata: “amarah telah melengahkan aku sehingga aku tidak memperhatikan kewajiban
memelihara jiwa manusia”.
a. الصراط و السبيل
Kata الصراطberbeda dengan kata السبيلditerjemahkan dengan jalan. Penggunaan kata sabîl dan
perubahannya dalam al-Qur’an sebanyak 147 tempat, kata السبيلada yang berbentuk jamak
seperti subul as-salâm (jalan-jalan kedamaian) ada juga yang berbentuk tunggal dan ini ada yang
disandarkan kepada Allah seperti sabîl Allâh atau kepada orang bertakwa, seperti sabîl al-
muttaqîn dan ada juga yang disandarkan kepada setan dan tirani seperti sabîl ath-thâghût atau
jalan orang-orang berdosa sabîl al-mujrimîn.
واأَوْ لِيَاء ال َّش ْيطَان
ْ ُت فَقَاتِل
ِ يل الطَّا ُغو ْ يل هّللا ِ َوالَّ ِذينَ َكفَر
ِ ُِوا يُقَاتِلُونَ فِي َسب ْ ُالَّ ِذينَ آ َمن
ِ ِوا يُقَاتِلُونَ فِي َسب
ِ ض ِعيفًا
َ َإِ َّن َك ْي َد ال َّش ْيطَا ِن َكان
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di
jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya
syaitan itu adalah lemah. (Q.S. An-Nisa: 76).
Firman Allah:
ق بِ ُك ْم عَن َسبِيلِ ِه َذلِ ُك ْم َوصَّا ُكم بِ ِه ْ ص َرا ِطي ُم ْستَقِي ًما فَاتَّبِعُوهُ َوالَ تَتَّبِع
َ ُوا ال ُّسبُ َل فَتَفَ َّر ِ َوأَ َّن هَ َذا
َلَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’âm:
153).
Penggunaa kata الصراطdi atas menunjukkan hanya satu jalan dan selalu bersifat benar dan hak.
Berbeda dengan السبيلyang bisa jalan kebenaran dan kesalahan, bisa merupakan jalan orang-
orang bertakwa dan bisa juga jalan orang-orang durhaka. Shirâth adalah jalan yang luas, semua
orang dapat melaluinya, tanpa berdesak-desakan, berbeda dengan sabîl, yaitu jalan kecil dan
banyak jalan.
Beberapa ulama memberikan maksud kedua kata ini iaitu: Perkataan اإليتاءlebih utama dari
perkataan اإلعطاءdari segi benda yang diberikan, seperti nilai barang yang diberikan adalah
banyak, apa yang diberikan adalah suatu kemuliaan. ك تُ ْؤتِي ْال ُم ْلكَ َمن تَ َشاء ِ ك ْال ُم ْلَ ِقُ ِل اللَّهُ َّم َمال
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki…. (Q.S. Âlî ‘Imrân: 25). يُؤتِي ْال ِح ْك َمةَ َمن يَ َشاءAllah menganugerahkan al-
hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Baqarah: 269). Perkataan اإليتاءbermaksud kepada pemberian yang
dikeluarkan dengan hati yang ikhlas. صاَل ةَ َوي ُْؤتُوا َّ صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَاء َويُقِي ُموا ال ِ َِو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل
ال َّز َكاةَ َو َذلِكَ ِدينُ ْالقَيِّ َم ِةPadahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. Al-
Bayyinah: 5).Sedangkan perkataan اإلعطاءlebih kepada apa yang diberikan nilainya sedikit dan
perkara biasa."أَفَ َرأَيْتَ الَّ ِذي تَ َولَّى َوأَ ْعطَى قَلِياًل َوأَ ْكدَىMaka apakah kamu melihat orang yang berpaling
(dari Al-Quran)? Serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi". (Q.S. an-Najm: 34).
Sedangkan اإلعطاءseringkali diungkapkan kepada pemberian orang-orang munafik dengan tanpa
keikhlasan. َُوا َوإِن لَّ ْم يُ ْعطَوْ ْا ِمنهَا إِ َذا هُ ْم يَ ْس َخطُون ْ ُت فَإ ِ ْن أُ ْعط
ْ وا ِم ْنهَا َرض ِ ص َدقَا
َّ ك فِي ال َ َو ِم ْنهُم َّمن يَ ْل ِم ُزDan di antara
mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari
padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan
serta merta mereka menjadi marah. (Q.S. at-Tawbah: 58).
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (Q.S.
al-‘Alaq: 1-3). Dalam al-Qur’an surah ke-96 ayat 1 dan 3 disebutkan kata “iqra’” dari
kata dasar qara’a, kata qara’a terulang juga terdapat dalam surah ke-17 ayat 14.
Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut dalam berbagai bentuknya terulang
sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali. Menurut al-
Ashfihanî dalam al-Mufradât-nya: “Perkataan تلىlebih khusus penggunaannya
berbanding dengan perkataan قرأ, setiap tilâwah adalah qirâ’ah dan bukan setiap tilâwah
adalah qirâ’ah, perkataan تلىkhusus digunakan untuk bacaan kitab-kitab suci yang telah
diturunkan Allah yang mengandung perintah, larangan, targhîb dan tarhîb”. Perkataan قرأ
dalam Q.S. al-‘Alaq dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan
redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud adalah umum,
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Oleh itu kata qara’a
digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya dan kerana
objeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup
segala yang dapat dijangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang
bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga
mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat, dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an,
majalah, ahkbar dan sebagainya. k. Perkataan قعد و جلسKata q’ada قعد من القائمdigunakan
untuk arti duduk dari posisi berdiri, sedang jalasa جلس من النائمdigunakan untuk arti duduk
dari posisi berbaring. Menurut Fadhlî Hasan ‘Abbâs dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs dalam I’jaz
al-Qur’an al-Karim: “Kata قعدdigunakan untuk duduk bertahan dengan masa yang lama,
sedangkan jalasa digunakan sebaliknya. Sebagaimana firman Allah: وا ْ ُوج ألَ َع ُّد
َ ُوا ْال ُخر
ْ َولَوْ أَ َراد
ِ َُوا َم َع ْالق
َاع ِدين ْ لَهُ ُع َّدةً َولَ ِكن َك ِرهَ هّللا ُ انبِ َعاثَهُ ْم فَثَبَّطَهُ ْم َوقِي َل ا ْق ُعدDan jika mereka mau berangkat, tentulah
mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan
kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (Q.S. at-
Tawbah: 46). ح هَّللا ُ لَ ُك ْم َوإِ َذا قِي َل ان ُش ُزوا فَان ُش ُزوا ِ ِيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوا فِي ْال َم َجال
ِ س فَا ْف َسحُوا يَ ْف َس
ٍ يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجاHai orang-orang beriman
ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر
apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujâdalah: 11) Makna
majalis dalan ayat di atas bermaksud duduk dengan tidak memerlukan waktu yang lama,
sedangkan قعدseringkali digunakan untuk duduk dengan waktu yang lama. l. Perkataan
الحمد والشكرPerkataan الحمد والشكرdiartikan dengan pujian. الحمدsering digunakan dalam
pembuka surah, dan bermaksud pujian kepada Allah atas karunia-Nya dan kepada
ungkapan pujian secara umum, sedangkan perkataan الشكرlebih banyak disebutkan dalam
pertengahan ayat dalaM al-Qur’an dan digunakan dalam hal pujian kepada nikmat yang
ْ فَ ْاذ ُكرُونِي أَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر
diberikan oleh Allah SWT Firman Allah SWT: ُوا لِي َوالَ تَ ْكفُرُو ِن
Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu [98], dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. al-Baqarah: 152)
Sebagian ulama ada yang tidak membedakan pengertian kedua kata ini, namun ada juga
yang membedakannya dari segi cara mengungkapkan pujian. Perkataan الحمدdigunakan
dengan perantara lisan, sedangkan الشكرboleh dengan perantara lisan, hati dan anggota
badan. Ada juga sebahagian ulama yang menyebutkan bahwa kata الشكرdigunakan untuk
kenikmatan dan kata الحمدdigunakan untuk sesuatu yang dianggap kebaikan, sebagaimana
kita gunakan (kata al-hamd) bagi orang yang berani dan bersifat pemurah sedangkan kita
tidak mendapatkan dari keberanian dan kemurahannya. Oleh sebab itu digunakan kata al-
hamd di permulaan surah-surah dalam Al-Qur’an