Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PERTAMA MUHAMMAD RIDHO

TA’WIL DAN TAFSIR


Definisi Tafsir :

• Tafsir secara akar kata berasal dari kata ‫ر‬-‫س‬-‫( ف‬fa-sa-ra) atau‫( فَس ََّر‬fassara) yang
bermakna َ‫ بَيَن‬bayana (menjelaskan), dan ‫َّح‬
َ ‫ وض‬waddhaha (menerangkan). Dari sisi
istilah, ada dua definisi.
• Menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, maksudnya adalah, "Tafsir
adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬yang menerangkan maknanya, menyingkap hukum
dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa Arab, seperti ilmu
Nahwu, tashrif, bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun nuzul, dan nasikh mansukh.

Adapun menurut Az-Zarqani, "Tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-


Qur'an dengan menyingkap maknanya (dilalah), dengan maksud yang diinginkan
Allah SWT, sebatas kemampuan manusia."
• Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab
Allah yang diturunkan kepada nabi ‫ﷺ‬, berikut penjelasan maknanya
serta hikmah-hikmahnya.
• Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai
dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai
penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh kata.

TA’WIL

Kata ta'wil berasal dari kata ‘ala yaulu ‘aulan yang berarti Kembali kepada asal. Ada yang
berpendapat ta'wil berasal dari kata iyalah yang berarti mengatur, seorang mu‘awwil
(penta'wil) seakan-akan sedang mengatur perkataan dan meletakkan makna sesuai dengan
tempatnya.”
Secara terminologi, ta'wil menurut ulama salaf dapat berarti
Pertama, menjelaskan kalam dan menerangkan maknanya.
Kedua,makna yang dimaksudkan dalam sebuah perkataan. Jika perkataannya
bernada talab (perintah) maka ta'wilnya adalah pekerjaan yang diminta.
Pertama, ulama salaf mengartikan ta’wil seperti yang
dikemukakan di atas. Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh para
pakar ilmu kalam dan filosof berpendapat bahwa ta'wil adalah memalingkan
makna dari makna aslinya ke makna yang lebih kuat.

PERBEDAAN TAFSIR DAN TA’WIL


Ar-Raghib al-Ishfahani menganggap tafsir lebih umum daripada ta'wil dan biasanya tafsir
lebih banyak digunakan dalam lafazh dan mufradatnya dan ta'wil lebih dititikberatkan
kepada makna dan kalimat serta sering dikenakan kepada kitab-kitab suci, berbeda halnya
dengan tafsir yang digunakan pada selain kitab suci.
Ta’wil difahami sebagai kaedah-kaedah penafsiran berdasarkan akal terhadap ayat-ayat
yang bertujuan menyingkap sebanyak mungkin makna yang
terkandung di dalam suatu teks serta memilih yang paling tepat. Sedangkan
tafsir difahami sebagai penjelasan yang semata-mata bersumber dari
khabar benar yang diriwayatkan secara mutawatir oleh para perawi yang adil
dan dhabith hingga kepada para sahabat dan Nabi SAW.
Tafsir diartikan juga dengan kegiatan mengurai untuk mencari pesan
yang terkandung dalam teks, sedangkan ta'wil berarti menelusuri kepada
orisinalitas atau ide awal yang terbungkus dalam teks. Di sini, tafsir dan
takwil saling terkait, meskipun karakteristik ta'wil lebih liberal dan
imajinatif.
Tafsir Al-Qur’an berdasarkan riwayat yang meliputi ayat dengan ayat, penafsiran ayat
dengan sunnah Rasul dan penafsiran dengan riwayat sahabat. Tafsir bi al ma’sur dari Al-
Qur’an dan sunnah yang sahih dinilai marfu’ harus diterima. Menurut Ibnu Katsir tafsir
dalam bentuk Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah adalah merupakan tafsir yang paling
tinggi nilainya karena sebagian ayat Al-Qur’an yang global maka pada bagian lainya ada
uraian yang relatif rinci. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an maka sunnah Rasul sebagai
penjelas dan pensyarah Al-Qur’an.

KEUNGGULAN TAFSIR DAN TA’WIL


Tafsir Al-Qur’an berdasarkan riwayat yang meliputi ayat dengan ayat, penafsiran ayat
dengan sunnah Rasul dan penafsiran dengan riwayat sahabat. Tafsir bi al ma’sur dari Al-
Qur’an dan sunnah yang sahih dinilai marfu’ harus diterima. Menurut Ibnu Katsir tafsir
dalam bentuk Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah adalah merupakan tafsir yang paling
tinggi nilainya karena sebagian ayat Al-Qur’an yang global maka pada bagian lainya ada
uraian yang relatif rinci. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an maka sunnah Rasul sebagai
penjelas dan pensyarah Al-Qur’an.
Pertama, mempunyai ruang lingkup yang luas. Karena ta'wil yang masuk pada tafsir bi al-
Ra’yi, sehingga dia dapat dikembangkan dalam berbagai corak sesuai dengan keahlian
masing-masing penafsir. Ahli bahasa, mendapat peluang yang luas untuk menafsirka al-
Quran dari segi kebahasaan, seperti tafsir al-Nasafi karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat
seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak penafsirannya. Dan dapat
menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirka al-Quran.
Kedua, memuat berbagai ide. Penafsir relatif mempunyai kebebasan dalam memajukan
ide-ide dan gagasan gagasan baru dalam penafsiran al-Quran.

MAKALAH KEDUA BANG HAIDI P

A. SYARAT DAN ADAB MUFASSIR


Penelitian ilmiah yang masih bersih adalah asas pengetahuan yang sebenarnya,
yang akan memberikan manfaat bagi para pencari pengetahuan. Buah dari
penelitian ilmiah yang bersih termasuk hidangan paling enak bagi pikiran dan
perkembangan akal. Karena itulah, manakala factor-faktor penelitian yang bersih
terpenuhi oleh setiap peneliti, tentu akan menjadi nilai tersendiri bagi kematangan
hasil dari penelitian yang dilakukan. Studi di bidang ilmu-ilmu syariat secara umum
dan di bidang ilmu tafsir secara khusus adalah salag satu studi paling wajib untuk
dperhatikan, harus diketahui apa saja syarat-syarat dan adab-adabnya, agar sumber
pemahamannya jernih, bisa memahami keindahan dan keluhuran wahyu.

1. Syarat – syarat ahli tafsir (Mufassir)


Para ulama menyebutkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir. Berikut akan kami sebutkan secara garis besar :

a. Aqidah yang benar


Karena aqidah sangat berpengaruh di dalam jiwa penganutnya, dan
swring kali aqidah mendorong seseorang untuk menyelewengkan
nash-nash dan berkhianat dalam menukil kabar, akan menakwilkan
ayat-ayat yang berseberangan, lalu mengartikan secara batil

b. Melepaskan diri dari hawa nafsu


Karena hawa nafsu akan mendorong seseorang untuk membela paham
yang dia anut, seperti kelompok qadariayah, rafidhah dan mutazilah

c. Mulailah terlenih dahulu menafsirkan Al Quran dengan Al Quran


Karena jika ada ayat yg bersifat global maka penjelasannya pasti
disebutkan di tempat lain, begitu juga jika ada ayat yang disebut
secara ringkas di suatu tempat, maka penejelasannya disampaikan di
tempat lain secara luas

d. Mencari tafsir dari As-sunnah


Karena As-sunnah adalah penjelas Al-Quran, sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nisa : 105
Allah menyebutkan bahwa As-Sunnah menjelaskan Al-Quran. Allah
SWT berfirman dalam surat An-Nahl : 44

Karena itulah, Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah! Sungguh aku


diberi Al- Quran dan yang seperti bersamanya.” Maksudnya As-
Sunnah, Asy-Syafi’I berkata “Semua putusan yang ditetapkan
Rasulullah SAW adalah pemahaman beliau terhadap Al-Quran.”

e. Ketika tidak menemukan penafsiran dari As-Sunnah, merujuk kepada


perkataan sahabat, karena mereka lebih tahu
Para sahabat menyaksikan peyunjuk dan kondisi-kondisi pada saat Al-
Quran turun, selain itu, karena mereka memiliki pemahaman yang
sempurna, ilmu yang sahih, dan amal saleh

f. Manakala tidak menemukan penafsiran di dalam Al-Quran, As-


Sunnag, ataupun perkataan sahabat, sebagian besar kalangan imam
merujuk pada perkataan tabi’in
Diantara tabi’in adalah seperti mujahid bin jabr, said bin jubair,
ikrimah maula ibnu abbas, atha bin abu rabbah, hasan Al-bashri,
masruq bin ajda, said bin musayyib, rabi bin anas, qatadah dhahhak
bin muzahim, dll.
Diantara tabi’in ada yang mempelajari tafsir Al-Quran secara
keseluruhan dari sahabat dan ada juga yang menafsirkan Al-Quran
berdasarkan istinbath dan istidlal

g. Menguasai bahasa arab dan cabang-cabangnya


Karena Al-Quran turun dengan bahasa arab, sehingga untuk
memahami Al- Quran harus mengetahui penjelasan kosakatanya dan
displin ilmu bahasa arab Mujahid berkata “ Tidak halal bagi seorang
beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara tentang Kitab Allah
ketika ia tidak mengetahui bahasa-bahasa bangsa arab”. Makna suatu
lafal berbeda-beda, oleh karena itu displin ilmu tafsir memerlukan
ilmu nahwu dan sharaf untuk mengetahui suatu kata. Kata yang tidak
jelas bisa diketahui melalui sumber dan asal-usulnya. Kata – kara
idiom bisa di ketahui melalui peyunjuk makna, dari sisi keindahan
kalam ada riga displin ilmu, ilmu balaghah: Ma’ani, Bayan, dan Badi.
Kemukjizatan Al-Quran hanya bisa diketahui melalui disiplin-disiplin
ilmu ini.

h. Pemahaman yang mendalam


Pemahaman mendalam yang memungkinkan seorang mufassir
menguatkan sutu makna atas makna lain, atau menyimpilkan suatu
makna yang selaras dengan nash-nash syar’i

2. Adab – adab Mufassir


a) Niat baik dan tujuan yang benar
Setiap amalan tergantung niatnya, tujuan mempelajari ilmu syari
adalah menggapai kemaslahatan umat, serta untuk memberikan
kebaikan bagi islam, seorang mufassir harus bersih dari berbagai
kepentingan duniawi agar Allah meluruskan jalannya.

b) Berahlak mulia
Seorang mufassir laksana guru, akhlak mulia tidak akan mencapai titik
puncaknya di dalam jiwa manakala seorang guru tidak menjadi
teladan di bidang akhlak dan keluhuran.

c) Penerapan dan praktik nyata


Sesungguh praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari lebih diterima
banyak orang, daripada hanya sekedar teori, riwayat hidup seorang
mufassir menjadi teladan dalam persoalan-persoalan agama yang ia
sampaikan, sebalik perilaku buruk dan ilmu yang diamalkan oleh
seorang alim sering kali menjadi penghalang bagi banyak orang untuk
menimba ilmu dari samudera pengetahuan yang meluap.

d) Jujur dan valid dalam menukil


Sehingga ia tidak berkata ataupun menulis tanpa mengecek kebenaran
nash- nash yang ia sampaikan, agar terhindar dari kekeliruan.

e) Rendah hati dan ramah


Karena kalimat yang congkak atau sok berilmu adalah dinding
penghalang antara orang alim dengan orang -orang yang ingin
memetik manfaat dari ilmu yang ia miliki.

f) Menjaga harga diri


Seoarnga alim wajib menjauhi perkara-perkara rendah dan tidak
bernilai, tidak mendatangi pintu para pejabat dan sultan layaknya
seorang pengemis

g) Lantang menyampaikan kebenaran


Karena jihad terbaik adlah menyampaikan kebenaran di hadapan
penguasa zalim
h) Mendahulukan orang yang lebih utama
Sehingga seorang mufassir tidak mengajarkan tafsir di hadapan orang-
orang yang lebih utama darimya sementara mereka masih hidup, juga
tidak mengurangi hak-hak mereka setelah mereka meninggal dunia.
Sebaliknya ia menyarankan orang-orang untuk berguru kepada mereka
dan membaca kitab- kitab mereka

i) Persiapan dengan metode yang baik


Misalnya, lebih dulu menyebutkan sababun nuzul, lalu menyebutkan
makna kosakata, berikutnya menjelaskan rangkaina kata, menjelaskan
sisi – sisi balaghah dan I’rab yang diperlukan untuk menentukan
makna, lalu menjelaskan makna hukum dan mengaitkan dengan
kehidupan yang dialami orang-orang pada masanya, selanjutnya
menarik kesimpulan dan hukum.

MAKALAH KETIGA MUHAMMAD ALIEF

Filenya dilainkan karena gambar ribet masukinnya

MAKALAH KEEMPAT ANGGA H

Pengertian At-Ta’rif wa At-Tankir

 At-Ta’aarif wa At-Tanaakir adalah bentuk plural dari Ta’riif dan Tankiir. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Arab dan istilah ini biasa disebut dengan Ma’rifah dan
Nakirah. Kedua istilah ini adalah sebutan bagi al-Ism (kata benda). Yang pertama
menunjuk kepada sesuatu yang sudah jelas dan terbatas; sementara yang kedua
kebalikannya, yaitu menunjuk kepada suatu benda secara umum tanpa memberikan
batasan yang jelas dan tegas. Atau dengan ungkapan lain, Ma’rifah menunjuk
kepada individu secara khusus sedang Nakirah menunjuk kepada jenis dari individu
tersebut.

A. Ma’rifah (At-Ta’rif)
Yang dimaksud term Ma’rifah dalam sub bahasan ini, khusus mengenai Ma’rifah
yang menggunakan alif lam (‫)ال‬, bukan kata-kata yang Ma’rifah secara umum.
Untuk kajian ulum al-Quran, maka yang akan dikaji dalam bahasan kali ini adalah
faedah-faedah atau tujuan pemakaian kata-kata yang ma’rifah dan nakirah dalam
al-Quran.
Adapun para pakar ulum al-Qur’an, seperti Imam al-Zarkasyi dan al-Suyuthi menyimpulkan
sejumlah dari faedah dari pemakaian kata-kata yang Ma’rifah dalam al-Qur’an sebagai berikut:

1. Menunjuk kepada kata yang sudah disebut sebelumnya, yaitu faedah ‫الذكرى‬/‫ال للعهد الخارجى‬
seperti:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ۗ اِنَّٓا اَرْ َس ْلنَٓا اِلَ ْي ُك ْم َرسُوْ اًل ۙە َشا ِهدًا َعلَ ْي ُك ْم َك َمٓا اَرْ َس ْلنَٓا اِ ٰلى فِرْ عَوْ نَ َرسُوْ اًل‬
"Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul (Muhammad) kepada kamu, yang menjadi
saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir‘aun."QS. Al-
Muzzammil[73]:15
: ۚ ‫خَذ ٰنهُ اَ ْخ ًذا َّوبِ ْياًل‬
ْ َ ‫صى فِرْ عَوْ نُ ال َّرسُوْ َل فَا‬
ٰ ‫“فَ َع‬

Namun Fir‘aun mendurhakai Rasul itu, maka Kami siksa dia dengan siksaan yang berat."QS. Al-
Muzzammil[73]:16
Kata (‫ )الرسول‬yang ketiga itu sama konotasinya dengan kata (‫ )رسوال‬yang disebut sebelumnya.
Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat
dipahami dari penggunaan (‫ )ال‬pada kata (‫ )الرسول‬yang ketiga tersebut.
 Menunjuk kepada sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara, yaitu
faedah ‫ ال للعهد الذهنى‬seperti:
 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫احبِ ٖه اَل تَحْ ز َْن اِ َّن هّٰللا َ َم َعن َۚا‬


ِ ‫ص‬َ ِ‫َار اِ ْذ يَقُوْ ُل ل‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ص َرهُ ُ اِ ْذ اَ ْخ َر َجهُ الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ثَانِ َي ْاثنَ ْي ِن اِ ْذ هُ َما فِى ْالغ‬ َ َ‫صرُوْ هُ فَقَ ْد ن‬ ُ ‫اِاَّل تَ ْن‬
‫هّٰللا‬ ۗ ‫هّٰللا‬ ٰ ‫هّٰللا‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫َه َعلَ ْي ِه َواَيَّد َٗه بِ ُجنُوْ ٍد لَّ ْم تَ َروْ هَا َو َج َع َل َكلِ َمةَ الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوا ال ُّس ْفلىۗ َو َكلِ َمةُ ِ ِه َي ْالع ُْليَا َو ُ ع‬šٗ ‫فَا َ ْن َز َل ُ َس ِك ْينَت‬

"Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya


(yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari
dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya,
“Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan
ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-
malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu
rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana."QS.
At-Taubah[9]:40
[643] Maksudnya: orang-orang kafir telah sepakat hendak membunuh Nabi SAW, Maka
Allah s.w.t. Memberitahukan maksud jahat orang-orang kafir itu kepada Nabi SAW.
Karena itu Maka beliau keluar dengan ditemani oleh Abu Bakar dari Mekah dalam
perjalanannya ke Madinah beliau bersembunyi di suatu gua di bukit Tsur.
 Kata (‫ )الغار‬dalam ayat itu menunjuk kepada gua Tsur, tempat Rasulullah bersama Abu
Bakar bersembunyi ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy sewaktu hijrah ke
Madinah. Itu sebabnya kata (‫ )الغار‬diterjemahkan dengan gua Tsur di Lereng bukit Tsur
 Menunjuk kepada waktu (sekarang) ketika peristiwa yang dimaksud terjadi, yaitu faedah
‫ ال للعهد الحضرى‬seperti: (‫ األن‬,‫ )اليوم‬dan lain sebagainya.
Sebagai contoh seperti dalam ayat ketiga surah al-Maidah (5):
...‫ أليوم أكملت لكم دينكم‬....
Artinya:
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, ….”.
Kata hari yang dimaksud dalam ayat ini ialah hari Arafah. Hal ini dipahami dari (‫ )ال‬yang
digunakan pada kata tersebut karena ayat tersebut memang diturunkan pada hari Arafah ketika
Nabi bersama para sahabatnya menunaikan ibadah haji.‫ال‬

B. Nakirah (At-Tankir)
Apabila pemakaian ‫ ال‬pada suatu kata (ism jenis) memberikan pengaruh terhadap
pengertian kata tersebut, maka tidak memakainya juga ada pengaruh terhadap konotasi
kata itu. Kata ism yang tidak memakai ‫ ال‬seperti itulah yang dimaksud dengan ism
nakirah dalam sub bahasan ini. [[5]]
Ism Nakirah adalah ism yang menunjukkan kepada benda yang tidak tentu.

Di dalam al-Quran pemakaian ism NAKIRAH memiliki beberapa fungsi, antara lain:

1) Untuk menunjukkan individu tertentu/ ism tunggal (‫)إرادة الوحدة‬, seperti kata (‫ )رجل‬dalam
Q.S. Al-Qashash (28):20 yang menunjuk kepada seorang laki-laki
2) Untuk menunjukkan ragam atau macam (‫)إرادة النوع‬, seperti kata (‫ )دابة‬dalam Q.S. An-
Nuur (24):45 yang mengandung pengertian beragam binatang dari air
3) Untuk mengagungkan atau memuliakan (‫)التعظيم‬, seperti kata (‫ )حرب‬dalam Q.S. Al-
Baqarah (2):279 yang berarti peperangan yang dahsyat
4) Untuk menunjukkan jumlah yang banyak (‫)التكثير‬, seperti kata (‫ )أجرا‬dalam Q.S. Al-
Syu’ara (26):42 yang berarti pahala yang banyak (cukup).
5) Untuk menghinakan atau merendahkan (‫)التحقير‬, seperti kata (‫ )شيء‬dalam Q.S. ‘Abasa
(80):19. Maksudnya adalah bahwa dalam ayat tersebut bermakna manusia diciptakan
Allah dari sesuatu yang hina.
6) Untuk menyatakan jumlah yng sedikit (‫)التقليل‬, seperti kata (‫ )رضوان‬dalam Q.S. At-
Taubah (9):72. Maksudnya adalah ridha Allah yang sedikit, itu lebih besar daripada
surga-surga yang ada karena merupakan pangkal kebahagiaan
Kesimpulan
 Dapat disimpulkan bahwasanya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah
Ma’rifah – Nakirah (At-Ta’rif wa At-Tankir), sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka
mengambil makna dari sebuah penafsiran al-Qur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah
bahasa Arab, secara umum juga berlaku dalam al-Qur’an, karena ia sebagaimana kita
ketahui memang diturunkan dalam bahasa Arab. Jika tanpa menguasai bahasa Arab
secara baik, seseorang akan sulit dalam memahami al-Qur’an.
Kaidah tentang ma’rifah dan nakirah (ta’rif dan tankir) mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam penafsiran. Penafsiran yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah ta’rif dan
tankir bisa menimbulkan kekeliruan. Di samping mengetahui definisi ta’rif dan tankir
bahwa kapan suatu kata disebut ta’rif dan kapan disebut tankir yang perlu diperhatikan
adalah kaidah-kaidah pengulangan ta’rif dan tankir itu.

MAKALAH KELIMA DIKI EKATAMARA


Kata Al-Qur'an antara tunggal dan jamak,

Di antara sarana untuk memilih Al-Qur'an yang Mulia adalah yang mencapai proporsionalitas
fonemik dan keserasian komposisi ayat-ayat Al-Qur'an. Adopsinya untuk menggunakan
beberapa kata dalam bentuk tunggalnya dalam konteks, kemudian menggunakannya lagi dalam
bentuk jamaknya dalam konteks lain, dan ini hanya memperhitungkan pewarnaan fonetik kata-
kata ini, dan dengan maksud apa yang dimaksudkan di balik pewarnaan ini. konsekuensi
semantik dan estetika yang digunakan dalam konteks ini.
Teks Al-Qur’an tidak selalu menggunakan beberapa kata kecuali kelompok, jadi jika perlu
menggunakan bentuk tunggal dari kata kelompok, itu berubah dari bentuk tunggal ini menjadi
penggunaan sinonim. Di antaranya adalah apa yang kita lihat dalam Al-Qur'an penggunaan tidak
menggunakan kata (bubur) dalam bentuk tunggal, karena tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
kecuali dalam koleksi permanen, dan itu disebutkan dalam (16 enam belas ayat)

(1) di antaranya: firman Yang Mahakuasa: {Sesungguhnya yang demikian itu adalah peringatan
bagi orang-orang yang berakal}

(2), dan berfirman: {dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang.
adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal}

(3), dan mengatakan: {Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang berakal agar kamu
beruntung}
(4), dan mengatakan: {dan Atqon, hai inti}

(5). Dan ketika konteks Al-Qur'an mengharuskan penggunaan bentuk tunggal dari kata ini, Al-
Qur'an berubah menjadi penggunaan kata (hati). Al Rafie berkata:
Panduan estetika yang luar biasa dari pihak Al-Rafi'i, di mana ia mengandalkan data rasa murni
dari suara kata (bubur), dan apa yang menyebabkannya dari ketidakmungkinan menggunakan
bentuk tunggalnya dan transisinya. ke jamak dalam konteks pekerjaan Al-Qur'an, karena
pertemuan laam yang diperburuk dengan b lisan yang parah, yang menyebabkan Semacam berat
verbal dan pendengaran menyebabkan penolakan ini, dan penggunaan kata ( hati) sebagai
gantinya.
Menurut pendekatan ini, kita melihat dalam Al-Qur'an kata-kata kerja yang datang berkelompok
tanpa menggunakan bentuk tunggalnya, termasuk kata (cangkir) dalam firman Yang Mahakuasa:
{Dan bejana perak dan cangkir yang berupa termos diedarkan di antara mereka}

( 7) karena tidak ada kata di dalamnya Dalam pengucapan penampilan, kelembutan,


pengungkapan dan proporsi yang baik, apa yang ada di kata (cangkir), yang jamak 
Al-Qur'an juga menggunakan kata "arraa" sebagai kelompok tanpa menggunakan bentuk
tunggalnya di satu-satunya tempat dalam Al-Qur'an, dalam firman Yang Mahakuasa: {Dan Yang
Berdaulat atas semua bagiannya dan menyandang singgasana Tuhanmu di atas mereka adalah
kata "tolong" karena (maka) itulah

(9), terbatas, dan tidak memiliki rasa manis dan lembut yang dikandungnya

(10).Berbeda dengan penggunaan kata-kata ini dalam kasus jamak tanpa bentuk tunggalnya, kita
menemukan Al-Qur'an menggunakan kata-kata dalam bentuk tunggal tanpa naik ke bentuk
jamak, dan seperti yang kita perhatikan dalam penggunaan kata (tanah) yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur'an kecuali selalu tunggal di semua tempat yang disebutkan di dalamnya dan
jumlah itu (461) Empat ratus enam puluh satu tempat

(11) dalam segala bentuknya; Dari definisi, penyangkalan dan berbagai kasus sintaksis.
Bahkan jika kata (surga) disebutkan sebagai suatu kelompok, kata (bumi) dibawa secara tunggal
di setiap tempat, dan ketika Al-Qur'an perlu menggunakan bentuk jamak dari kata (bumi), ia
mengubahnya menjadi ungkapan yang menguntungkan bentuk jamak, tetapi bukan bentuk
jamaknya, dan itu adalah dalam firman Yang Mahakuasa: {Tuhan yang menciptakan tujuh
Langit dan bumi seperti itu}

(12), Dia tidak mengatakan (tujuh bumi ), dan cukup dengan bentuk jamak dari kata (seperti
mereka).
Dan kata (tanah) jika saya ingin mengumpulkannya menurut pluralitas fraksi, akan dikatakan
(tanah) sebagai total, atau (tanah) sebagai uang. Namun, hal ini memberatkan, karena jamak dari
kata (bumi) dengan cara ini “tidak mengandung kefasihan, keindahan dan manisnya kata surga,
dan Anda menemukan mendengar meriwayatkan tentang itu sebanyak kata surga menyetujui. )
Dia tidak boleh mendengarkan kecuali dia tidak menyukainya. Oleh karena itu mereka
menghindari menggabungkannya jika mereka menginginkannya dengan tiga kata yang
menunjukkan pluralitas, sebagaimana firman Allah SWT: {tujuh langit dan bumi seperti itu},
semua ini untuk hindari disebut tanah dan bumi

(13).Adapun kata surga, muncul sebagai kelompok dan tunggal dalam banyak ayat Al-Qur'an,
dan apa yang menentukan tujuan diversifikasi fonetik dalam ekspresi kata menurut (angka)
adalah konteks di mana ia disebutkan. Misalnya, ayat: dan apa yang luput dari Tuhanmu sedikit
pun di bumi atau di surga}

(14), dan mengatakan: {dunia gaib tidak luput darinya sedikit pun di langit atau di bumi}
(15). Dia menyilangkan dengan kata (langit) secara tunggal dalam konteks ayat pertama, dan
kelompok dalam konteks ayat kedua, jadi apa rahasia keadilan numerik itu untuk menggunakan
bentuk tunggal dalam dua ayat?
Rahasia estetis dalam pelanggaran ini terletak pada kenyataan bahwa kehendak (keabsolutan)
dalam Surat Yunus itulah yang membenarkan penyebutan kata yang menunjukkan gambaran
menyeluruh, dan keunggulan mutlak tanpa kehendak untuk menentukan langit tertentu. Al-
Suhaili mengatakan: “Kata surga dapat digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang di atas
langit dan di atas untuk Arsy, dan arti lain yang lebih tinggi yang khusus untuk Ketuhanan,
sehingga kata itu dalam bentuk tunggal, seperti deskripsi bahwa dikaitkan dengan yang
dijelaskan"

(16).Adapun ayat Surat Saba, kesebandingan antara konotasi yang mengharuskan bentuk jamak
dari kata (langit), karena sebelumnya, Yang Mahakuasa menyebutkan kapasitas raja, dan seluruh
tempat adalah miliknya, dan seluruh bumi adalah cengkeramannya. Oleh karena itu, makna ini
mengabaikan bentuk jamak dari kata (langit) dengan kehendak yang menyeluruh dan meliputi
raja ini, dan jika disingkirkan, dia akan mengira bahwa keputusan darinya, Maha Suci Dia, ada di
atas. satu kata ini saja - Tuhan melarang -. Kehendak acara di sini adalah pembenaran utama
untuk kombinasi ini.
Kami juga mencatat bahwa setiap kali Al-Qur'an mengungkapkan kata (surga) secara tunggal, ini
dalam konteks yang membutuhkan singularitas ini, seperti yang kita lihat berikut ini:
• Keinginan untuk membuktikan sifat keagungan-Nya, Maha Suci-Nya , dalam firman-Nya Yang
Mahakuasa: .
Kehendak kaum umum dalam firman Yang Mahakuasa: {Demi Tuhan langit dan bumi, benar
apa yang kamu katakan}

(18). Indikasi umum ketentuan dalam firman Yang Mahakuasa: {Dan di surga adalah ketentuan
Anda dan apa yang dijanjikan kepada Anda}

(19). Kejadian tempat itu, sebagaimana firman Yang Mahakuasa: {Allah-lah yang mengirimkan
angin, dan angin itu menimbulkan awan, dan Dia membentangkan-Nya di langit sesuai dengan
kehendak-Nya}
(20)dalam Al-Qur'an.Al-Qur’an yang mulia boleh meninggalkan ungkapan dalam kata tunggal,
karena tidak mengandung manisnya ciri jamaknya, dengan mempertimbangkan timbre kata,
ringan alirannya, dan alirannya di lidah. Kita melihat sekilas hal ini dalam penggunaan kata
(penghakiman) Al-Qur’an, suatu kelompok tanpa bentuk tunggal, seperti dalam firman Yang
Mahakuasa: Mungkin alasan ditinggalkannya penggunaan kata tunggal ini adalah bobot dalam
bentuk tunggal ini karena konvergensi dua huruf dekat dalam keluaran fonetis, yaitu (dal) dan
(thea), dan ketika dipisahkan oleh seribu pasang. dalam bentuk jamak, kata menjadi lebih ringan,
halus dan manis, dan karena itu bentuk tunggal ini ditinggalkan.

MAKALAH KEENAM KHAIRUL TMM


Bertemunya Jamak dengan Jamak atau dengan Mufrad

Bertemu jamak dengan jamak terkadang dimaksudkan bahwa setiap satuan dari jamak
yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Misalnya dalam ayat  ‫وإنّي كلما دعوتهم لتغفر لهم‬
‫جعلوا أصابعهم فى آذانهم واستغشوا ثيابهم‬  ( Nuh: 7). Maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi
badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti  ّ‫والوالدات يرضعن أوالدهن‬ (al Baqarah: 233).
Maksudnya masing-masing ibu menyusui anaknya sendiri.
Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu ditetapkan atau diberlakukan bagi
setiap individu yang terkena hukuman, seperti:  ‫والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم‬
‫ثمانين جلدة‬ (an Nur : 24). Maksudnya ialah deralah setiap orang dari mereka sebanyak bilangan
tersebut. Disamping itu terkadang kedua maksud tersebut dapat diterima, namun dalam hal ini
perlu ada dalil yang menentukan salah satunya.
Adapun mengimbangi jamak dengan mufrad maka pada umumnya tidak dimaksudkan
untuk menunjukkan keumuman mufrad tersebut, tetapi kadang-kadang hal demiakin dapat saja
terjadi. Misalnya  ‫وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين‬ (al Baqarah : 184(. maksudnya ialah setiap
orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada seorang miskin setiap
hari.

MAKALAH KETUJUH ALFARIZIK P


B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mutarâdif
Perkataan ‫ الردف‬mashdar dari kata ‫ ردف‬-‫ يردف‬dengan arti: 1) mengikuti sesuatu, 2) tiap-tiap
benda mengikuti yang benda lain. ‫( مردفين‬Q.S. Al-Anfal: 9) diartikan dengan datang berturut-
turut. Apabila saling mengikuti, maka disebut dengan ‫الترادف‬. Perkataan mutarâdif adalah ism
fâ’il (lil musyârakah). Beberapa kata yang senada dengan perkataan taraduf antara lain:
‫تكاوس‬-‫تكاتف‬-‫انتظم‬-‫اتسق‬-‫ألح‬-‫استدر‬-‫تراكم‬-‫تواتر‬-‫توالى‬-‫تتابع‬-‫تواصل‬
Mutarâdif adalah beberapa kata dengan satu arti, berbeda dengan kata musytarak, karena kata ini
menunjukkan kesatuan lafazh dengan berbagai pengertian. Menurut al-Jurjânî, mutarâdif adalah;
beberapa kata yang sama mempunyai kesatuan pengertian dengan ciri-ciri tertentu. Menurut
Muhammad at-Tunjî dan Râjî al-Asmar, mutarâdif adalah perbedaan kata dengan satu
pengertian, seperti kata ‫ األسد والليث وضرغام و أسامة‬dan ‫ المسكن والمنـزل والدار والبيت‬kedua kata tersebut
masing-masing mempunyai satu pengertian.
As-Suyûthî mendefinisikan mutarâdif adalah beberapa kata dengan satu arti, namun beliau lebih
berhati-hati terhadap beberapa kata yang mempunyai batasan tertentu, seperti kata ‫اإلنسان والبشر‬
dan ‫ السيف والصارم‬kedua kata ini mempunyai batasan dari segi zat dan sifatnya.
1. Pendapat Ulama Bahasa Tentang Mutarâdif
Para ulama bahasa mengkategorikan mutarâdif salah satu dari keagungan bahasa dan
keistemewaannya, walaupun sebahagian mereka berselisih pendapat tentang keberadaan
mutarâdif ada yang berpendapat setuju dan tidak setuju adanya mutarâdif dalam al-Qur’an dan di
antara mereka ada yang mengambil sikap berhati-hati dalam memahami kata mutarâdif dalam al-
Qur’an.
Para ulama yang mendukung adanya mutarâdif dalam al-Qur’an adalah ulama bahasa dan
sastrawan, di antaranya:
a. ‘Alî Abd al-Wâhid Wâfî, beliau berpendapat bahwa kebanyakan dalam al-Qur’an juga terdapat
kata-kata mutarâdif, sebagaimana juga terdapat dalam ungkapan sastra Arab.
b. Ibn al-‘Arabî, cenderung berpendapat bahwa mutarâdif terdapat dalam al-Qur’an,
sebagaimana beliau tidak membedakan perkataan ‫ الشح والبخل‬walaupun sebahagian ulama
membedakan kedua kata tersebut.
c. Abû Bakr al-Husaynî berpendapat bahwa mutarâdif terdapat dalam al-Qur’an, di antara tujuan
dari kata mutarâdif adalah menjelaskan ungkapan yang berbeda dengan menggunakan kata-kata
mutarâdif. Sebagai contoh kata ‫( السنة والعام‬Q.S. al-‘Ankabût 29/14).
d. Ibrâhîm Anîs berpendapat bahwa banyak sekali perkataan mutarâdif dalam al-Qur’an,
walaupun ada usaha dari para mufassir memberikan makna tertentu bagi perkataan mutarâdif,
menurut beliau usaha tersebut datang dari pendapat mereka untuk membedakan antara kata
mutarâdif.
Adapun pendapat ulama bahasa yang mendukung adanya perbedaan arti untuk kata-kata
mutarâdif berdasarkan pengamatan terhadap konteks ayat. Di antara ulama tersebut adalah:
a. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa kata mutarâdif tidak banyak ditemukan dalam bahasa
Arab, bahkan dalam al-Qur’an jarang sekali ditemukan kata mutarâdif, jika ditemukan kata-kata
yang mempunyai persamaan arti, maka tidak bisa pengertiannya menjadi satu, tetapi hanya
mendekati kesamaan artinya saja.
b. Ar-Râghib al-Ashfihanî menolak adanya mutarâdif dalam al-Qur’an, dengan alasan bahwa
perbedaan kata membawa kepada perbedaan arti dan perbedaan ungkapan pada masing-masing
kata mutarâdif. Arti sebuah kata bisa menunjukkan beberapa pengertian.
c. Ibn ‘Athiyyah cenderung menolak mutarâdif dalam al-Qur’an, beliau berpendapat bahwa
kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian bahasa dan kata-katanya sesuai dengan ungkapannya,
kesempurnaan dan keindahan bahasanya menandingi sastra Arab.
d. Az-Zamakhsyarî dalam tafsirnya cenderung menolak adanya mutarâdif sebagaimana beliau
menafsirkan dua kata dalam ayat: ‫ إنما أشكو بثي وخزني‬beliau membedakan antara kedua kata batstsî
dan huznî, kata pertama kesedihan yang amat berat, tak sabar memikulnya sendiri, sehingga
dengan cara mengungkapkan kepada orang lain agar beban kesedihan terasa ringan.
e. Al-Khathâbî juga menolak adanya mutarâdif dalam al-Qur’an, sebab setiap kata mempunyai
tempat masing-masing dalam sebuah ungkapan. Al-Khathâbî mencontohkan, jika beberapa kata
mutarâdif menggantikan dengan kata yang ada pada al-Qur’an, maka tidak mungkin meletakkan
kata tersebut, sebab setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna dan ketinggian bahasanya.
Sebagai contoh kata ‫ قعد‬dan ‫ جلس‬arti kata pertama adalah keadaan duduk dari posisi berdiri dan
kata kedua duduk dari posisi berbering.
f. Abû Bakr al-Anbarî berpendapat bahwa tidak mungkin beberapa kata mempunyai satu arti,
kemungkinan orang-orang Arab menuturkan bahasanya sesuai dengan kondisi dan tradisi
mereka, perbedaan ini membawa kepada berbagai macam pemahaman sehingga terjadilah
sebuah penta’wilan.
1. Beberapa Contoh Mutarâdif dalam al-Qur’an
Beberapa contoh di bawah ini penulis uraikan tentang kata mutarâdif dan perbedaan arti sesuai
dengan ungkapan sebelum dan sesudah kata mutarâdif.

a. Perkataan‫ الخوق و الخشية‬artinya: takut, ketakutan.

ِAda beberapa kata dengan pengertian yang sama dengan ‫ الخائف‬mutarâdifnya Kata “ ‫الخوف و‬
‫ “الخشية‬yang keduanya diterjemahkan dengan takut adalah berdasarkan pemahaman sementara
ulama yang menilai kedua kata itu sinonim tanpa perbedaan. Menurut mereka, penggunaan
keduanya untuk tujuan penganekaragaman redaksi. Namun ada juga ulama yang
membedakannya. Yakni kata ‫ الخشية‬adalah takut yang disertai dengan penghormatan dan
pengagungan, lahir dari adanya pengetahuan tentang yang ditakuti, iaitu Allah, sedangkan‫الخوف‬
adalah sekedar takut yang boleh jadi disertai dengan kebencian atau tanpa mengetahui yang
ditakuti.
Perkataan ‫ الخشية‬menurut al-Asfihanî: “ketakutan yang membawa kepada mengagungkan yang
ditakuti disebabkan pengetahuannya tentang yang ditakuti (Allah) . Sebagaimana firman Allah :
َ ‫صلُونَ َما أَ َم َر هّللا ُ بِ ِه أَن ي‬
‫ُوص َل َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَخَافُونَ سُو َء ال ِح َساب‬ ِ َ‫َوالَّ ِذينَ ي‬
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Q.S. ar-Ra’d: 21).
Kata ‫ الخشية‬menunjukkan makna takut kepada keagungan Allah, walaupun pelakunya seorang
yang kuat. Sebagaimana ayat lain disebutkan:
َ‫ق أَن ت َْخ َشوْ هُ ِإن ُكنتُم ُّم ُؤ ِمنِين‬
ُّ ‫أَت َْخ َشوْ نَهُ ْم فَاهّلل ُ أَ َح‬
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika
kamu benar-benar orang yang beriman (Q.S. at-Tawbah: 13).
Kata ‫ الخشية‬jika diikuti dengan sebuah perkara, maka perkara itu adalah perkara yang penting,
seperti tentang alam ghaib, terjadinya kiamat dan hari akhirat.

ِ ‫الَّ ِذينَ يَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُم بِ ْال َغ ْي‬


َ‫ب َوهُم ِّمنَ السَّا َع ِة ُم ْشفِقُون‬
(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya,
dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. (Q.S. Al-Anbiya: 21).
Kata ‫ الخشية‬terkadang didapati berhubungan dengan kehidupan dunia sebagai sarana ujian dan
cobaan hidup untuk lebih meningkatkan ma’rifah dan mengagungkan Allah SWT.
ْ ‫إن قَ ْتلَهُ ْم َكانَ ِخ‬
‫ط ًءا َكبِيرًا‬ ٍ ‫وا أَوْ ال َد ُك ْم خَ ْشيَةَ إِ ْمال‬
َّ ‫ق نَّحْ نُ نَرْ ُزقُهُ ْم َوإِيَّا ُكم‬ ْ ُ‫َوالَ تَ ْقتُل‬

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar. (Q.S. Al-Isra: 31).

Kata‫ الخوف‬berarti dalam keadaan takut, yakni Allah menyiksa mereka dengan keadaan diliputi
oleh rasa takut sebelum turunnya siksa. Seseorang yang mengetahui siksa, ia akan diliputi oleh
kecemasan yang meresahkan dan menyiksanya sebelum jatuhnya siksa. Firman Allah:

ِ ْ‫ُوع َو ْالخَ و‬
‫ف بِ َما‬ ِ ‫اس ْالج‬
َ َ‫ت بِأ َ ْنع ُِم هّللا ِ فَأ َ َذاقَهَا هّللا ُ لِب‬ ٍ ‫ط َمئِنَّةً يَأْتِيهَا ِر ْزقُهَا َر َغدًا ِّمن ُكلِّ َم َك‬
ْ ‫ان فَ َكفَ َر‬ ْ ‫َت آ ِمنَةً ُّم‬
ْ ‫ب هّللا ُ َمثَالً قَرْ يَةً َكان‬
َ ‫ض َر‬
َ ‫َو‬
ْ
َ‫َكانُوا يَصْ نَعُون‬
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi
tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan
dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl: 112)
Perkataan ‫ تخوف‬yang berarti mereka ditakuti dengan penyiksaan sedikit demi sedikit. Siksa
pertama adalah kelaparan, kekurangan harta, jiwa disusul dengan masa paceklik, dan lain-lain.
Demikian silih berganti, terus menerus dan sedikit demi sedikit tapi tanpa henti hingga akhirnya
binasa. Sebagaimana firman Allah:
‫َّحي ٌم‬
ِ ‫ُوف ر‬ ٍ ‫أَوْ يَأْ ُخ َذهُ ْم َعلَى تَخَ ُّو‬
ٌ ‫ف فَإ ِ َّن َربَّ ُك ْم لَرؤ‬
Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa. Maka sesungguhnya
Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nahl: 47)

Ujian Allah SWT dijelaskan dalam firman-Nya:

ِ ‫س َوالثَّ َم َرا‬
‫ت‬ ِ ‫ص ِّمنَ األَ َم َو‬
ِ ُ‫ال َواألنف‬ ِ ‫خَوف َو ْالج‬
ٍ ‫ُوع َونَ ْق‬ ْ ‫َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم بِ َش ْي ٍء ِّمنَ ْال‬

َ‫َوبَ ِّش ِر الصَّابِ ِرين‬


Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah: 155).
Kata‫ الخوف‬menunjukkan ketakutan seseorang, walaupun yang ditakuti itu perkara yang mudah.
َ‫ْك َو َجا ِعلُوهُ ِمنَ ْال ُمرْ َسلِين‬
ِ ‫َواَل تَخَافِي َواَل تَحْ َزنِي ِإنَّا َرا ُّدوهُ إِلَي‬
‫يا موسى ال تخف إني ال يخاف لدي المرسلون‬
Perkataan‫ الخوف‬menurut al-Ashfihanî: “perasaan takut terhadap hal-hal yang dibenci dan
seringkali digunakan dalam siksa dunia dan akhirat”.
Seringkali perkataan ‫ الخوف‬diikuti dengan perkataan ‫الح َز ِن‬, perasaan takut kepada hal yang
dibenci dan bersedih dengan akibat yang ditimbulkannya. (Fushshilat: 30).
‫تتنـزل عليهم المالئكة أال تخافوا وال تخزنوا‬
Selain kata‫ الخوف‬dan ‫ الخشية‬kata ‫ الشفقة‬bermakna takut, disertai dengan rasa kasihan yang
menghantar kepada munculnya perhatian sungguh-sungguh.
Ar-Râzî menjelaskan bahwa syafaqah mempunyai maksud:
a. Takut jangan sampai amalan baik tidak diterimanya.
b. Takut terhadap hamba-hamba Allah kerana mengetahui kadar kedudukan mereka.
c. Takut menyangkut waktu, jangan sampai digunakan secara sia-sia.
d. menyangkut hati, jangan sampai dikotori oleh minta balasanb.
Perkataan‫ الفعل و العمل‬artinya: mengerjakan, melakukan, menjalankan.
Firman Allah:
َ‫لِيَأْ ُكلُوا ِمن ثَ َم ِر ِه َو َما َع ِملَ ْتهُ أَ ْي ِدي ِه ْم أَفَاَل يَ ْش ُكرُون‬
Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka.
Maka mengapakah mereka tidak bersyukur. (Q.S. Yâsîn: 35)
Kata “‫ ” َع ِملَت‬terambil dari kata ‫ عمل‬yang biasa diterjemahkan mengerjakan. Kata ini berbeda
dengan kata‫ فعل‬yang juga diterjemahkan demikian. Al-Ashfihanî menyebutkan kata ‫ عمل‬biasanya
suatu pekerjaan yang diikuti dengan maksud tertentu oleh pelakunya. Kerana itu pelaku ‫عمل‬
biasanya adalah manusia, bukan binatang atau benda mati.
Sebagaimana firman Allah:
ٍ ‫ت أَ َّن لَهُ ْم َجنَّا‬
‫ت …األية‬ ْ ُ‫وا َو َع ِمل‬
ِ ‫وا الصَّالِ َحا‬ ْ ُ‫َوبَ ِّش ِر الَّ ِذين آ َمن‬

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi
mereka disediakan surga-surga (Q.S. al-Baqarah: 25).
Menurut imam as-Suyûthî: “perkataan ‫ فعل‬dan ‫ عمل‬mempunyai perbedaan dari segi masa
pelaksanaan: ‫ فعل‬untuk masa yang terbatas sedangkan ‫ عمل‬untuk masa yang lama”.

ِ ‫وا فَ َسيَ َرى هّللا ُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُولُهُ َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو َستُ َر ُّدونَ إِلَى عَالِ ِم ْال َغ ْي‬
‫ب َوال َّشهَا َد ِة فَيُنَبِّئُ ُكم‬ ْ ُ‫َوقُ ِل ا ْع َمل‬

َ‫بِ َما ُكنتُ ْم تَ ْع َملُون‬


Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Q.S. At-Tawbah: 105)
Biasanya yang disifati dengan baik atau buruk adalah menggunakan kata ‫عمل‬.
َ َ‫ و َمن يَ ْع َملْ ِم ْثق‬,ُ‫فَ َمن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة خَ ْيرًا يَ َره‬
ُ‫ًًّرا يَ َره‬šƒ ‫ال َذ َّر ٍة َش‬
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya pula.(Az-Zalzalah: 7-8).
Kata ‫ العمل‬jika menggunakan fi’il amr menunjukkan tahdid (gertakan).
‫وا َعلَى َم َكانَتِ ُك ْم إِنِّي عَا ِم ٌل َسوْ فَ تَ ْعلَ ُمونَ َمن يَأْتِي ِه َع َذابٌ ي ُْخ ِزي ِه َو َم ْن ه َُو‬
ْ ُ‫َويَا قَوْ ِم ا ْع َمل‬
ْ ‫َكا ِذبٌ َوارْ تَقِب‬
ٌ‫ُوا إِنِّي َم َع ُك ْم َرقِيب‬
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun
berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang
menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya akupun
menunggu bersama kamu.” (Q.S. Hud: 93)

َ‫َعلَ ْيهَا َماَل ئِ َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَل يَ ْعصُونَ هَّللا َ َما أَ َم َرهُ ْم َويَ ْف َعلُونَ َما ي ُْؤ َمرُون‬
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim: 6)
Menurut al-Ashfihanî: : Penyebutan “‫ “ يفعلون‬bukan‫ يعملون‬pada ayat di atas adalah “para malaikat
melaksanakan perintah tanpa maksud tertentu, mereka melakukan berdasarkan perintah Allah,
bukan kehendak dan kemauan mereka”.
Perkataan ‫ الفعل‬lebih khusus menunjukkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh manusia,
binatang dan lain-lain.
َ‫ال بَلْ فَ َعلَهُ َكبِي ُرهُ ْم هَ َذا فَاسْأَلُوهُ ْم إِن َكانُوا يَن ِطقُون‬
َ َ‫ق‬
Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (Q.S. Al-Anbiya: 63)
Penggunaan kata ‫ الفعل‬juga pada perbuatan baik dan buruk:
‫صاَل ِة َوإِيتَاء ال َّز َكا ِة َو َكانُوا‬ ِ ‫َو َج َع ْلنَاهُ ْم أَئِ َّمةً يَ ْه ُدونَ بِأ َ ْم ِرنَا َوأَوْ َح ْينَا إِلَ ْي ِه ْم فِ ْع َل ْالخَ ْي َرا‬
َّ ‫ت َوإِقَا َم ال‬
َ‫لَنَا عَابِ ِدين‬
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah. (Q.S.
Al-Anbiya: 73)

Ayat lain sebagai dalil tentang perbedaan kata ‫ الفعل و العمل‬adalah firman Allah swt. Tentang Nabi
Musa membunuh salah seorang suku al-Qibthy, apakah ada kesesuaian kata itu yang dilakukan
tanpa tujuan dan yang melakukan adalah seorang manusia.

Menurut Fadhlî Hasan ‘Abbâs dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs: “perbuatan Nabi Musa tidak ada
mempunyai maksud untuk membunuh dan tidak datang dari kehendak Nabi Musa (salah seorang
kaumnya minta pertolongan). Perkataan ‫ الوكز‬dalam firman Allah bermakna pukulan yang dalam
kebiasaanya tidak sampai kepada membunuh.
Menurut Thabathaba’î; ‘maksud ucapan Nabi Musa itu adalah “aku melakukan pembunuhan itu,
sedang aku ketika itu dalam keadaan tidak mengetahui sisi kemaslahatannya serta tidak
mengetahui pula kebenaran yang harus kuikuti sehingga aku membela siapa yang meminta
bantuan kepadaku, dan ketika itu aku tidak tahu bahwa pembelaan itu mengakibatkan
meninggalnya seseorang dan mengakibatkan aku terpaksa mengungsi bertahun-tahun”. Musa
menyesal atas kematian orang itu disebabkan pukulannya, karena dia bukanlah bermaksud untuk
membunuhnya, hanya semata-mata membela kaumnya.
Thâhir ibn ‘Asyûr mengemukakan dua kemungkinan makna di atas. Pertama, seakan-akan Nabi
Musa as. Berkata: “amarah telah melengahkan aku sehingga aku tidak memperhatikan kewajiban
memelihara jiwa manusia”.

a. ‫الصراط و السبيل‬

Kata ‫ الصراط‬berbeda dengan kata‫ السبيل‬diterjemahkan dengan jalan. Penggunaan kata sabîl dan
perubahannya dalam al-Qur’an sebanyak 147 tempat, kata ‫ السبيل‬ada yang berbentuk jamak
seperti subul as-salâm (jalan-jalan kedamaian) ada juga yang berbentuk tunggal dan ini ada yang
disandarkan kepada Allah seperti sabîl Allâh atau kepada orang bertakwa, seperti sabîl al-
muttaqîn dan ada juga yang disandarkan kepada setan dan tirani seperti sabîl ath-thâghût atau
jalan orang-orang berdosa sabîl al-mujrimîn.
‫واأَوْ لِيَاء ال َّش ْيطَان‬
ْ ُ‫ت فَقَاتِل‬
ِ ‫يل الطَّا ُغو‬ ْ ‫يل هّللا ِ َوالَّ ِذينَ َكفَر‬
ِ ِ‫ُوا يُقَاتِلُونَ فِي َسب‬ ْ ُ‫الَّ ِذينَ آ َمن‬
ِ ِ‫وا يُقَاتِلُونَ فِي َسب‬
ِ ‫ض ِعيفًا‬
َ َ‫إِ َّن َك ْي َد ال َّش ْيطَا ِن َكان‬
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di
jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya
syaitan itu adalah lemah. (Q.S. An-Nisa: 76).
Firman Allah:
‫ق بِ ُك ْم عَن َسبِيلِ ِه َذلِ ُك ْم َوصَّا ُكم بِ ِه‬ ْ ‫ص َرا ِطي ُم ْستَقِي ًما فَاتَّبِعُوهُ َوالَ تَتَّبِع‬
َ ‫ُوا ال ُّسبُ َل فَتَفَ َّر‬ ِ ‫َوأَ َّن هَ َذا‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’âm:
153).

Penggunaa kata‫ الصراط‬di atas menunjukkan hanya satu jalan dan selalu bersifat benar dan hak.
Berbeda dengan ‫ السبيل‬yang bisa jalan kebenaran dan kesalahan, bisa merupakan jalan orang-
orang bertakwa dan bisa juga jalan orang-orang durhaka. Shirâth adalah jalan yang luas, semua
orang dapat melaluinya, tanpa berdesak-desakan, berbeda dengan sabîl, yaitu jalan kecil dan
banyak jalan.

Perkataan ‫ الصراط‬ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk


tunggal, dan di antaranya dirangkaikan dengan kata-kata seperti as-sawy, al-mustaqim dan hanya
satu ayat dirangkai dengan al-jahîm.
‫اط ْال َج ِح ِيم‬ ِ ‫ ِمن دُو ِن هَّللا ِ فَا ْهدُوهُ ْم ِإلَى‬، َ‫احْ ُشرُوا الَّ ِذينَ ظَلَ ُموا َوأَ ْز َوا َجهُ ْم َو َما َكانُوا يَ ْعبُ ُدون‬
ِ ‫ص َر‬
Selanjutnya bila ‫ الصراط‬disandarkan kepada sesuatu maka adalah kepada Allah swt. Seperti kata
shirâthaka (jalan-Mu) atau shirâthî (jalan-Ku) atau shirâtha al-‘azîz al-hamîd, (jalan Tuhan Yang
Maha Perkasa lagi Maha Terpuji), dan juga kepada orang-orang mukmin yang mendapat
anugerah nikmat ilahi seperti dalam ayat al-Fâtihah.

b. Perkataan ‫ اإلعطاء و اإليتاء‬artinya: memberi

Beberapa ulama memberikan maksud kedua kata ini iaitu: Perkataan ‫ اإليتاء‬lebih utama dari
perkataan ‫ اإلعطاء‬dari segi benda yang diberikan, seperti nilai barang yang diberikan adalah
banyak, apa yang diberikan adalah suatu kemuliaan. ‫ك تُ ْؤتِي ْال ُم ْلكَ َمن تَ َشاء‬ ِ ‫ك ْال ُم ْل‬َ ِ‫قُ ِل اللَّهُ َّم َمال‬
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki…. (Q.S. Âlî ‘Imrân: 25). ‫ يُؤتِي ْال ِح ْك َمةَ َمن يَ َشاء‬Allah menganugerahkan al-
hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Baqarah: 269). Perkataan ‫ اإليتاء‬bermaksud kepada pemberian yang
dikeluarkan dengan hati yang ikhlas. ‫صاَل ةَ َوي ُْؤتُوا‬ َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَاء َويُقِي ُموا ال‬ ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
‫ ال َّز َكاةَ َو َذلِكَ ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. Al-
Bayyinah: 5).Sedangkan perkataan ‫ اإلعطاء‬lebih kepada apa yang diberikan nilainya sedikit dan
perkara biasa.‫"أَفَ َرأَيْتَ الَّ ِذي تَ َولَّى َوأَ ْعطَى قَلِياًل َوأَ ْكدَى‬Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling
(dari Al-Quran)? Serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi". (Q.S. an-Najm: 34).
Sedangkan ‫ اإلعطاء‬seringkali diungkapkan kepada pemberian orang-orang munafik dengan tanpa
keikhlasan. َ‫ُوا َوإِن لَّ ْم يُ ْعطَوْ ْا ِمنهَا إِ َذا هُ ْم يَ ْس َخطُون‬ ْ ُ‫ت فَإ ِ ْن أُ ْعط‬
ْ ‫وا ِم ْنهَا َرض‬ ِ ‫ص َدقَا‬
َّ ‫ك فِي ال‬ َ ‫ َو ِم ْنهُم َّمن يَ ْل ِم ُز‬Dan di antara
mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari
padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan
serta merta mereka menjadi marah. (Q.S. at-Tawbah: 58).

a. ‫ الشح والبخل‬diartikan dengan kikir. Perkataan ‫ الشح‬menunjukkan sifat


terlalu kikir dibandingkan dengan perkataan ‫ البخل‬Muhammad bin Ali
Asy-Syaukani mengartikan ‫ البخل‬Yaitu kikir dengan apa yang ada pada
dirinya, sedangkan ‫ الشح‬sifat kikir dan iri terhadap milik orang lain dan
berusaha untuk memilikinya dengan cara apapun. Menurut Imam Al-
Raghib, “‫ البخل‬sifat kikir dengan harta, sedangkan ‫ الشح‬sifat kikir dengan
harta dan kebajikan. ‫ ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون‬Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang
beruntung (Q.S. Al-Hasyr: 9). ‫ ومن يبخل فإنما يبخل عن نفسه‬dan siapa yang
kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri.
(Muhammad: 38). Menurut Nur al-din al-Jazairy, perkataan ‫الشح‬
merupakan tabiat yang muncul sejak manusia dilahirkan, seperti ‫الشهوات‬
(Q.S. Ali Imran: 14), sifat ini bisa dikendalikan dan sebagai ujian dan
cobaan bagi manusia apakah ia mampu mengendalikannya.
‫ ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون‬Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr: 9).
‫ وأحضرت األنفس الشح‬،‫ والصلح خير‬dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir (Q.S. Al-Nisa:
128). Sifat ‫البخل‬merupakan sifat yang tercela dan mungkin mudah untuk
menghindarinya, sebab sifat ‫ البخل‬muncul akibat pengaruh dari luar. َ‫الَّ ِذين‬
‫اس بِ ْالب ُْخل َو َمن يَتَ َو َّل فَإ ِ َّن هَّللا َ هُ َو ْال َغنِ ُّي ْال َح ِمي ُد‬ َ َّ‫( يَ ْب َخلُونَ َويَأْ ُمرُونَ الن‬yaitu) orang-orang
yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-
lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-Hadid: 24) ibnu
Mas’ud meriwayatkan sebuah hadist: ‫ كان النبي صلى هللا عليه‬،‫عن ابن مسعود قال‬
‫ يتعوذ من خمس من البخل والجبن وسوء العمر وفتنة الصدر وعذاب القبر‬:‫ وسلم‬f.
Perkataan ‫ جاء و أتى‬datang, tiba Perkataan ‫ جاء‬seringkali digunakan untuk
sesuatu yang dibawa adalah benda, manusia, binatang dan sebagainya
sedangkan ‫ أتى‬lebih kepada sesuatu yang abstark dan menunjukkan waktu
tertentu.. Firman Allah: ‫ق َوإِنَّا‬ ِّ ‫وا فِي ِه يَ ْمتَرُونَ َوأَتَ ْينَاكَ بَ ْال َح‬
ْ ُ‫وا بَلْ ِج ْئنَاكَ بِ َما َكان‬
ْ ُ‫قَال‬
ُ
َ‫صا ِدقون‬ َ
َ ‫ ل‬Para utusan menjawab: “Sebenarnya kami ini datang kepadamu
dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan kami datang
kepadamu membawa kebenaran dan Sesungguhnya kami betul-betul
orang-orang benar. ِ (Q.S. al-Hijr: 63-64). Ayat pertama objeknya adalah
azab dari Allah (azab bisa disaksikan), ayat kedua adalah kebenaran yang
datang dari Allah. ‫ص ْب ٌر‬ َ َ‫ت لَ ُك ْم أَنفُ ُس ُك ْم أَ ْمرًا ف‬ْ َ‫ب قَا َل بَلْ َس َّول‬ ِ ‫َو َجآؤُوا َعلَى قَ ِمي‬
ٍ ‫ص ِه بِد ٍَم َك ِذ‬
َ‫صفُون‬ ِ َ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ‫ان‬ ‫ع‬ َ ‫ت‬‫س‬ْ ‫م‬
َ ُ ُ َ ِ َ ْ
‫ال‬ ‫هّللا‬ ‫و‬ ‫ل‬
ٌ ‫ي‬ ‫م‬‫ج‬ Mereka datang membawa baju gamisnya
(yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya
dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu;
Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan (Q.S.
Yûsuf: 12). Menurut al-Ashfihanî: “Perkataan ‫ أتى‬lebih kepada seuatu
yang datang dengan mudah, subjek yang datang berupa perintah,
larangan, memikirkan sesuatu dalam hal kebaikan dan kejahatan. ‫َولَقَ ْد‬
‫ك َس ْبعًا ِّمنَ ْال َمثَانِي َو ْالقُرْ آنَ ْال َع ِظي َم‬ َ ‫" آتَ ْينَا‬Dan sesungguhnya Kami telah berikan
kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang
agung". (Q.S. An-Nahl: 87). Adapun firman Allah di bawah ini tidak
menggunakan kata ‫أتى‬. Ayat pertama disebabkan telah datang azab dan
diselamatkannya Nabi Shaleh, dan ayat kedua kematian merupakan
sebuah kenyataan. Oleh sebab itu Al-Qur’an mengungkapkan keduanya
dengan sesuatu yang nyata, bukan sesuatu yang abstrak. ‫فلما جاء أمرنا نجينا‬
‫ صالحا والذين آمنوا معه فإذا جاء أجلهم ال يستأخرون ساعة وال يستقدمون‬Maka tatkala
datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang
beriman bersama dia (Q.S. Hud: 66) maka apabila telah datang waktunya
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat
(pula) memajukannya. (Al-A’raf: 34). g. Perkataan ‫ الشك و الريب‬Firman
Allah: َ‫ْب فِي ِه هُدًى لِّ ْل ُمتَّقِين‬ َ ‫ َذلِكَ ْال ِكتَابُ الَ َري‬Kitab (al-Quran) itu tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. al-
Baqarah: 2). Penggunaan kata ‫ الريب‬dalam al-Qur’an biasanya dalam
perkara yang berkenaan dengan keyakinan/aqidah, seperti tentang al-
Qur’an, hari kiamat, keimanan, ahli kitab dan lain-lain. Sedangkan
perkataan‫ الشك‬jika berbicara tentang orang-orang kafir selalu diiringi
dengan perkataan ‫ب‬ ٍ ‫ ُم ِري‬disebabkan mereka selalu dalam kesesatan dan
َ ‫ورثُوا ْال ِكت‬ ُ
perbuatan jahat. sebagaimana firman Allah: ‫َاب ِمن بَ ْع ِد ِه ْم‬ ِ ‫َوإِ َّن الَّ ِذينَ أ‬
ٍ ‫ لَفِي شك ِّم ْنهُ ُم ِري‬Dan Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada
‫ب‬
mereka al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada
dalam keraguan yang menggoncangkan tentang Kitab itu. (Q.S. asy-
Syûrâ: 14).
g. Kata ‫ الريب‬biasa diartikan ragu. Ragu yang dimaksudkan bukan hanya dalam arti syak, tetapi
syak dan sangka buruk. Kalau sekedar syak atau keragunan yang mendorong untuk berpikir
positif, maka al-Qur’an tidak melarangnya, kerana keraguan semacam itu akan dapat mengantar
seseorang menemukan kebenaran. ‫ك‬ َ ‫ك لَقَ ْد َجاء‬ َ ‫ك ِّم َّما أَن َز ْلنَا ِإلَ ْيكَ فَاسْأ َ ِل الَّ ِذينَ يَ ْق َر ُؤونَ ْال ِكت‬
َ ِ‫َاب ِمن قَ ْبل‬ ٍّ ‫فَإِن ُكنتَ فِي َش‬
َ‫ك فَالَ تَ ُكون ََّن ِمنَ ْال ُم ْمت َِرين‬
َ ِّ‫ق ِمن َّرب‬ُّ ‫ ْال َح‬Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang
apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab
sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu
janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Q.S. Yunus: 94). Menurut al-
Ashfihanî: Perkataan ‫ الشك‬digunakan kepada orang yang ragu-ragu tentang keadaan sesuatu. ‫الشك‬
merupakan bagian dari sifat kebodohan. Setiap orang yang (syak) adalah bodoh, dan tidaklah
orang yang bodoh itu ragu (syak).
h. Perkataan ‫ السنة والعام‬Perkataan ini terdapat dalam Q.S al-‘Ankabût ayat 14 ‫َولَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا نُوحًا إِلَى‬
‫ث فِي ِه ْم أَ ْلفَ َسنَ ٍة إِاَّل خَ ْم ِسينَ عَا ًما‬
َ ِ‫ قَوْ ِم ِه فَلَب‬Dan Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya,
Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa
banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. Dalam satu ayat terdapat dua arti yang
mempunyai maksud tahun, namun ternyata mempunyai perbedaan dari segi pengertiannya. Kata ‫ا‬
‫ لسنة‬digunakan untuk ungkapan ketika masa krisis dan kesusahan. Sedangkan perkataan ‫ العام‬lebih
kepada waktu lapang dan senang. Ayat di atas juga menggambarkan bahwa cobaan kepada Nabi
Nuh sangat besar dalam waktu yang lama.Ayat lain yang mendukung pendapat di atas adalah: ‫ثُ َّم‬
ِ ‫َاث النَّاسُ َوفِي ِه يَع‬
َ‫ْصرُون‬ ُ ‫ك عَا ٌم فِي ِه يُغ‬ َ ِ‫ يَأْتِي ِمن بَ ْع ِد َذل‬Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur. (Q.S. Yûsuf: 49).
Perkataan ‫ أكمل و أتم‬Firman Allah: ‫اإل ْسالَ َم‬ ِ ‫يت لَ ُك ُم‬
ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬hari ini
telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. al-Mâ’idah: 3). Menurut Thabathaba’î
bahwa ayat di atas menggunakan kata ‫ أكمل‬Ku-sempurnakan untuk agama dan ‫ أتم‬Ku-cukupkan
untuk nikmat-nikmat. Kita boleh bertanya mengapa untuk agama dinyatakan ‫ أكمل‬dan untuk
nikmat ‫? أتم‬. Persoalan ini dikemukakan bahwa pemilihan ‫ أكمل‬untuk agama memberi isyarat
bahwa petunjuk-petujjuk agama yang beraneka ragam itu kesemuanya dan masing-masingnya
telah disempurnakan. Jangan sangka petunjuk agama tentang shalat, zakat, nikah, jual beli,
kewarisan dan lain-lain mempunyai kekurangan. Semuanya telah sempurna dan telah dihimpun
dalam satu wadah yang dinamai dîn yakni agama Islam. Adapun nikmat, digunakan kata ‫ أتم‬Dia
cukupkan, memang banyak sekali nikmat Allah swt. misalnya kesehatan, kekayaan, keturunan,
kedudukan dan lain-lain, tetapi kesemuanya walau banya, belumlah sempurna, ia baru sempurna
apabila dihimpun bersama dengan petunjuk-petunjuk agama. Petunjuk-petunjuk itulah yang jika
digabungkan dengan nikmat-nikmat di atas, menjadikan nikmat tersebut sempurna. Kerana itu,
bila anda memperoleh kekayaan atau kesehatan tanpa memperoleh petunjuk agama, maka nikmat
itu-betapapun banyaknya- adalah nikmat yang masih kurang, belum cukup.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (Q.S.
al-‘Alaq: 1-3). Dalam al-Qur’an surah ke-96 ayat 1 dan 3 disebutkan kata “iqra’” dari
kata dasar qara’a, kata qara’a terulang juga terdapat dalam surah ke-17 ayat 14.
Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut dalam berbagai bentuknya terulang
sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali. Menurut al-
Ashfihanî dalam al-Mufradât-nya: “Perkataan ‫ تلى‬lebih khusus penggunaannya
berbanding dengan perkataan ‫قرأ‬, setiap tilâwah adalah qirâ’ah dan bukan setiap tilâwah
adalah qirâ’ah, perkataan ‫ تلى‬khusus digunakan untuk bacaan kitab-kitab suci yang telah
diturunkan Allah yang mengandung perintah, larangan, targhîb dan tarhîb”. Perkataan ‫قرأ‬
dalam Q.S. al-‘Alaq dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan
redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud adalah umum,
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Oleh itu kata qara’a
digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya dan kerana
objeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup
segala yang dapat dijangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang
bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga
mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat, dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an,
majalah, ahkbar dan sebagainya. k. Perkataan ‫ قعد و جلس‬Kata q’ada ‫ قعد من القائم‬digunakan
untuk arti duduk dari posisi berdiri, sedang jalasa ‫ جلس من النائم‬digunakan untuk arti duduk
dari posisi berbaring. Menurut Fadhlî Hasan ‘Abbâs dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs dalam I’jaz
al-Qur’an al-Karim: “Kata‫ قعد‬digunakan untuk duduk bertahan dengan masa yang lama,
sedangkan jalasa digunakan sebaliknya. Sebagaimana firman Allah: ‫وا‬ ْ ‫ُوج ألَ َع ُّد‬
َ ‫ُوا ْال ُخر‬
ْ ‫َولَوْ أَ َراد‬
ِ َ‫ُوا َم َع ْالق‬
َ‫اع ِدين‬ ْ ‫ لَهُ ُع َّدةً َولَ ِكن َك ِرهَ هّللا ُ انبِ َعاثَهُ ْم فَثَبَّطَهُ ْم َوقِي َل ا ْق ُعد‬Dan jika mereka mau berangkat, tentulah
mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan
kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (Q.S. at-
Tawbah: 46). ‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم َوإِ َذا قِي َل ان ُش ُزوا فَان ُش ُزوا‬ ِ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوا فِي ْال َم َجال‬
ِ ‫س فَا ْف َسحُوا يَ ْف َس‬
ٍ ‫ يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬Hai orang-orang beriman
‫ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬
apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujâdalah: 11) Makna
majalis dalan ayat di atas bermaksud duduk dengan tidak memerlukan waktu yang lama,
sedangkan ‫ قعد‬seringkali digunakan untuk duduk dengan waktu yang lama. l. Perkataan
‫ الحمد والشكر‬Perkataan ‫ الحمد والشكر‬diartikan dengan pujian. ‫ الحمد‬sering digunakan dalam
pembuka surah, dan bermaksud pujian kepada Allah atas karunia-Nya dan kepada
ungkapan pujian secara umum, sedangkan perkataan ‫ الشكر‬lebih banyak disebutkan dalam
pertengahan ayat dalaM al-Qur’an dan digunakan dalam hal pujian kepada nikmat yang
ْ ‫فَ ْاذ ُكرُونِي أَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر‬
diberikan oleh Allah SWT Firman Allah SWT: ‫ُوا لِي َوالَ تَ ْكفُرُو ِن‬
Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu [98], dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. al-Baqarah: 152)
Sebagian ulama ada yang tidak membedakan pengertian kedua kata ini, namun ada juga
yang membedakannya dari segi cara mengungkapkan pujian. Perkataan ‫ الحمد‬digunakan
dengan perantara lisan, sedangkan ‫ الشكر‬boleh dengan perantara lisan, hati dan anggota
badan. Ada juga sebahagian ulama yang menyebutkan bahwa kata ‫ الشكر‬digunakan untuk
kenikmatan dan kata ‫ الحمد‬digunakan untuk sesuatu yang dianggap kebaikan, sebagaimana
kita gunakan (kata al-hamd) bagi orang yang berani dan bersifat pemurah sedangkan kita
tidak mendapatkan dari keberanian dan kemurahannya. Oleh sebab itu digunakan kata al-
hamd di permulaan surah-surah dalam Al-Qur’an

Anda mungkin juga menyukai