PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara bahasa mufassir adalah bentuk isim fa’il dari kata fassaara yang artinya
menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian diikutkan pada wazan isim fa’il mufa’ilun menjadi
mufassirun yang artinya orang menafsirkan, mengomentari dan interpretasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mufassir ?
2. Apa saja syarat mufassir ?
3. Apa saja adab mufassir ?
4. Apa saja perangkat ilmu yang dibutuhkan mufassir ?
5. Apa itu Qawaid al Tafsir ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mengetahui pengertian dari mufassir
2. Agar mahasiswa dapat memahami syarat mufasssir
3. Agar mahasiswa mengerti adab dari mufassir
4. Agar mahasiswa paham tentang perangkat ilmu yang dibutuhkan mufassir
5. Agar mahasiswa mengetahui apa itu Qawaid al Tafsir
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mufassir
Secara bahasa mufassir adalah bentuk isim fa’il dari kata fassaara yang artinya
menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian diikutkan pada wazan isim fa’il mufa’ilun menjadi
mufassirun yang artinya orang menafsirkan, mengomentari dan interpretasi.
Sedangkan menurut istilah mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna
yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan
kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak
pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan
mengajarkannya atau menuliskannya.”1
B. Syarat Mufassir
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap musaffir sebagai
berikut :
1. Akidah yang benar, sebab akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa
pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam
penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka
dita’wilkannya ayat kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari
mengikuti golongan salaf dari jalan petunjuk.
2. Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan madzhabnya, sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan
keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariyah. Syi’ah Rafidhah, Mu’tazilah
dan para pendukung fanatic
3. Menafsirkan, lebih dahulu, Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karena sesuatu yang masih
global pada suatu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu dikemukakan secara
ringkas di suatu tempat telah diarahkan di tempat lain.
1
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah
Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
2
4. Mencari penafsiran dari Sunnah, karena Sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an
dan penjelasnya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hukum Rasulullah
berasal dari Allah, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu.” (An-Nisa’:105).
Allah menyebutkan bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Kitab “Dan Kami turunkan
kepadamu Adz-Dzikir (Al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl:44).
Rasulullah dalam sabdanya: “Ketahuilah bahwa tealh diberikan kepadaku Al-Qur’an dan
bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya,“ yakni Sunnah.
Berkenaan dengan ini Asy-Syafi’I berkata, “Segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah
adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an.” Contoh-contoh penafsiran Al-Qur’an
dengan Sunnah ini cukup banyak jumlahnya. Penulis Al-Itqan telah mendokumentasikan
secara tertib bersama surat-surat yang ditafsirkan dalam pasal terakhir kitabnya. Misalnya
penafsiran as-sabil dengan az-zad wa ar-rahilah (bekal dan kendaraan), azh-zhulm
(kezaliman) dengan as-syirk (kemusyrikan) dan al-hisab al-yasir (hisab yang ringan)
dengan al-‘ardh.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam Sunnah, hendaklah melihat bagaimana
pendapat para sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur’an,
merekalah yang terlibat dalam kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan, di samping mereka
mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shaleh.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Al-Qur’an, Sunnah dan pandangan para
sahabat, maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada pendapat tabi’in,
seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas, ‘Atha bin Abi
Rabah, Hasan al-Basri, Masruq bin Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyib, Ar-Razi’ bin Anas,
Qatadah, Adh-Dahhak bin Muzahim dan tabi’in lainnya. Di antara tabi’in ada yang
menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara
tentang tafsir ini dengan istinbath dan istidlal (penalaran dalil)nya sendiri. Tetapi yang
harus dipegangi adalah penukilan yang shahih. Untuk itu Imam Ahmad berkata, “Tiga
kitab yng tidak ada dasarnya; maghazi (tempat-tempat terjadinya suatu pertempuran),
3
malahim (kisah peperangan) dan tafsir.” Maksudnya, tafsir yang tidak bersandar pada
riwayat-riwayat shahih dalam penukilannya.
7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karenaAl-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
Pemahaman yang baik terhadap Al-Qur’an amat bergantung pada penguraian mufradat,
lafazh-lafazh dan pengertian-pengertian yang ditunjukannya sesuai dengan struktur
kalimat. Tentang syarat ini Mujahid berkata, “Tidak diperkenankan bagi orang yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berbicara tentang Kitabullah apabila ia tidak
mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.”
Makna suatu kata itu berbeda-beda disebabkan perbedaan i’rab (fungsi kata dalam
kalimat). Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu nahnu dan
ilmu tasrif yang mana dengan ilmu ini akan diketahui bentuk-bentuk dan perubahan kata.
Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya akan segera jelas dengan mengetahui
kata dasar (mashdar) dan derivasinya (musytaq). Demikian juga segi penunjukannya
kepada makna, dari segi perbedaan maksudnya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran
penunjukan makna dan dari sisi keindahan susunan kalimat – yakni tiga cabang ilmu
balaghah (retorika); ma’ani, bayan ,dan badi’. Semua itu merupakan syarat penting yang
harus dimiliki seorang mufassir, sebab dalam tafsir harus memperhatikan atau menyelami
maksud-maksud kemukjizatan Al-Qur’an. Padahal kemukjizatantersebut hanya dapat
diketahui dengan ilmu-ilmu ini.
8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, seperti ilmu
qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafazh-
lafazh) Al-Qur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara beebagai ragam
bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid dengan ilmu ini diharapkan mufassir tidak
mena’’wilkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara
serampangan sehingga melampui hak-Nya, mengetahui ilmu ushul trerutama ushul at-
tafsir dan mendalami kaidah-kaidah yang dapat memperjelas sesuatu makna maksud-
maksud Al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbab an-nuzul, nasikh-mansukh dan
lain sebagainya.
4
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang
lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari’at.2
C. Adab Mufassir
Ada beberapa etika yang harus dimiliki mufassir. Apabila tidak memiliki salah satunya
hendak ia diam dan tidak menafsirkan Al-Qur’an sama sekali. Etika-etika tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, baik ibadah maupun muamalah,
agar mufassir dapat menyusun tafsirnya secara sistematis.
2. Mengetahui pendapat-pendapat yang disampaikan oleh ulama salaf dan ulama khalaf.
3. Berperangai baik dan cerdas.
4. Dapat membedakan antara ilham dari Allah SWT dan bisikan dari Setan.
5. Mampu membedakan antara mashalahat dan mudhadat.
6. Selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT dan serta selalu mendekatkan diri
kepadanya.
7. Tidak berbangga diri serta tidak mengandalkan kemampuan akalnya, karena mufassir
harus ikhlas dan tawakal kepada Allah SWT.
8. Mufassir hendaknya bersikap zuhud (kekosongan hati dari cinta dunia ) dan selalu
mencintai Akhirat.3
H. Aunur Rafiq el-Mazni, Lc. MA, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta Timur : PUSTAKA AL-
2
5
enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan terkadang dapat
mematahkan jalan pikirannya.
3. Taat dan amal. Illmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya
daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan menjadikan
mufassir sebagai panutan yang baik dari segi pengamalan masalah-masalah agama yng
ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang luas
pengetahuannya hanya karena orang tersebut berperilaku buruk dan tidak mengamalkan
ilmunya.
4. Jujur dan teliti dalam penukilan. Ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah
menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini akan terhindar dari kesalahan
dan kekeliruan.
5. Tawadhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh
yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6. Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh
serta, tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan kekuasaaan bagai peminta-minta
yang buta.
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa lalim.
8. Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat
dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan,
namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
9. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tenang dalam berbicara, tidak terburu-
buru, mantap serta jelas dan kata demi kata.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya. Seorang mufassir hendaknya tidak
gegabah untuk mentafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka
masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat. Tetapi
hendaknya ia menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.
6
11. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran seperti memulai
dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan struktur kalimat,
menjelaskan segi-segi balaghah dan i’rab yang padanya berganung penentuan makna.
Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan konteks
kehidupan umum yang sedang dialami, kemudian mengambil kesimpulan dan penetapan
hukum. 4
H. Aunur Rafiq el-Mazni, Lc. MA, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta Timur : PUSTAKA AL-
4
7
E. Qawa’id Al-Tafsir
1. Pengertian Qawa’id Al-Tafsir
Menurut bahasa Qawa’id artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir.
Sedangkan yang dimaksud Qawa’id Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang
diperlukan oleh para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Kaidah-kaidah
yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-
uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah
kebahasaan.
8
1) Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang menjadi
muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas,
Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.
2) Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi
yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin Aslam, Abu
‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
3) Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal).
9
ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu
ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain.
Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut.
Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan
meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk
menafsirkan ayat alquran, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar
tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat,
diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti. Ada beberapa macam Qawaid Tafsir,
seperti :
10
4. Mujmal dan Mubayyan
a. Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak
terang dan tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang
memerlukan penafsiran yang lebih jelas.
b. Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain.
5
Diakses dari http://datukimam.blogspot.com/2011/05/kaidah-kaidah-tafsir-qawaid-al-tafsir.html, pada
tanggal 12 Oktober 2018 pukul 20:31
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dalam makalah ini dapat kami ambil kesimpulam
diantaranya sebagai berikut:
1. Pengertian Syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seorang menafsirkan Al-Qur'an,
syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apa lagi
menafsirkan Al-Qur'an secara keseluruhan.
2. Kaedah keilmuan yang disyaratkan bagi seorang mufassir antara lain adalah meliputi
ilmu Nahwu, llmu sharaf, llmu Lughah, llmu Isytiqaq, llmu ma'ani, llmu Bayaan, llmu
Badi' llmu Qira'at, llmu Kalam, llmu Ushul Fiqih, llmu Qashas, llmu Nasikh mansukh,
llmu Hadits dan llmu Mauhibah, ilmu Science dan Teknologi, ilmu-ilmu
3. Syarat Berakidah yang benar, Mampu mengekang hawa nafsu, menafsirkan ayat dengan
ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat sahabat, merujuk pendapat tabi'in, menguasai
bahasa Arab, dll
4. Adab-adab Mufassir diantaranya adalah: Niatnya harus bagus, Berakhlak mulia,
Mengamalkan ilmunya, Hati-hati dalam menukil sesuatu, Berani dalam menyuarakan
keben tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.
B. Saran
Dengan mempelajari materi mufassir kita dapat mengetahui apa yang dimksud dengan
mufassir tersebut. Sehingga bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Adapun saran dan
kritikan yang membangun makalah ini kami sangat harapkan dan apabila makalah ini jauh
dari kesempurnaan kami mohon maaf.
12
DAFTAR PUSTAKA
El-Mazni, Aunur Rafiq. 2006, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta Timur : Pustaka Al-
Kautsar)
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah
Nazhâriyyah Tathbîqiyyah (Riyadh : Dâr al-Qâsim)
Samsurrohman. 2014, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta : Prima Sentosa)
http://datukimam.blogspot.com/2011/05/kaidah-kaidah-tafsir-qawaid-al-tafsir.html
13