Anda di halaman 1dari 18

PENDEKATAN TAFSIR

OLEH :

KELOMPOK 10

ARNIZA DWI FIBRI (1830403041)


KARIMATUL HAMDA (1830403051)
DIANTI UTAMI (1554400026)

DOSEN PEMBIMBING : MUSLIM, M.Pd. I

PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN


FAKULTAS ADAB & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Assamualaikum wr. wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah Studi Keislaman ini
yang Alhamdullilah tepat pada waktunya yang berjudul “Pendekatan Tafsir “

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
Pendekatan Tafsir. Jika dilihat dari berbagai aspek kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harap dan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhoi usaha kita.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Palembang, 1 Desember 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang iii


b. Rumusan Masalah iii

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tafsir 1


2.2 Fungsi Ilmu Tafsir 2
2.3 Syarat-syarat Mufasi 2
2.4 Sumber-sumber Penafsiran Al-Qur’an 3
2.5 Aliran-aliran Dalam Ilmu Tafsir 3
2.6 Metode Dalam Ilmu Tafsir 6
2.7 Corak Penafsiran 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 13

DAFTAR PUSTAKA 14

BAB I

PENDAHULUAN

3
1.1 Latar Belakang

Tafsir mempunyai arti menerangkan, menjelaskan atau membuka yang tertutup.


Sehingga dalam memahaminya pun dibutuhkan cara yang tepat agar dapat tercapai suatu
pemahaman yang utuh tentang tafsir. Di Indonesia tafsir masuk pertama kali sampai saat ini
telah timbul berbagai macam pemahaman yang berbeda mengenai tafsir.

Kehadiran agama islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat beberapa
ajaran tentang pendekatan tafsir secara bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.

Dengan penyajian yang demikian itu, makalah ini diharapkan dapat membantu
pembaca dalam memahami ajaran islam. Dengan demikian makalah ini menempati posisi
sebagai pengantar yang diharakan dapat menunjukan dengan jelas tentang bagaimana ajaran
islam itu seharusnya dipahami.

1.2 Rumusan Masalah

a) Apa pengertian ilmu tafsir ?


b) Apa fungsi ilmu tafsir ?
c) Apa syarat-syarat mufasi ?
d) Apa saja sumber penafsiran Al-Qur’an ?
e) Apa saja aliran dalam ilmu tafsir ?
f) Bagaimana metode dalam ilmu tafsir ?
g) Apa saja corak penafsiran ?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tafsir

4
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran, yang berarti penjelasan,
pemahaman, dan perincian. Muhammad Hin al-Dahabi dalam “Tafsir wa al-Mufassirun”
menerangkan arti etimologi tafsir dengan “al-idhah” (penjelasan) dan “al-bayan”
(keterangan), makna tersebut digambarkan dalam QS. Al Furqan ayat 33, sedangkan dalam
kamus yang berlaku tafsir berarti “al-ibadah wa kasyf mugtha” (menjelaskan atau membuka
yang tertutup).27

Syekh Manna’ Qaththan dalam “Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an” menjerlaskan kata tafsir
berasal dari wazan “taf’il”, dari kata fasara yang berarti menerangkan, membuka, dan
menjelaskan makna yang ma’qul. Dalam bahasa Arab term fasru, berarti membuka arti yang
sukar, sedang pengertian tafsir berarti membuka dan menjelaskan arti yang dimaksud dari lafal-
lafal yang sulit.

Sedangkan dalam arti terminologis tafsir, berarti penjelasan tentang kalamullah (Al-
Qur’an) karena itu yang dimaksud dengan ilmu tafsir adalah sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, tertib makiyah dan madaniyah, mukhkam dan mutasyabihat-nya,
nasikh dan mansukh-nya halal dan haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya,
dan mengenai ungkapan dan perumpamaan.

Sedang Abu Hayyan dalam “Bahr al-Muhith”mmenjelaskan, bahwa Ilmu Tafsir adalah
ilmu yang membahas bagaimana cara mengucapkan lafal-lafal Al-Qur’an, menerangkan apa
yang ditunjukkan dan hukumnya, baik secara fardiyah maupun tersusun, serta makna yang
terkandung dalam susunan kalimatnya.

Dari definisi diatas tersebut menggambarkan bahwa cakupan Ilmu Tafsir sangat banyak,
yang meliputi berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran. Misalnya, Ilmu-
Qira’ah, Ilmu Tashrif, Ilmu I’rob, Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani, Ilmu Ushul,, dan sebagainya

2.2 Fungsi Ilmu Tafsir

Tafsir mempunyai fungsi tersendiri yang tidak kalah pentingnya dengan ilmu-ilmu lain.
Fungsi yang dimaksud mengacu pada asumsi, bahwa dalam Al-Qur’an banyak memakai
ungkapan yang sesuai dengan tingkat kepandaian manusia, dan Al-Qur’an tidak bisa diketahui

27
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah 1976), hlm. 13.

5
maksudnya dengan sekadar mendengar, karena itu dibutuhkan tafsir Al-Qur’an untuk
mengeluarkan (istimbath) hukum-hukum dan ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya,
dengan begitu, maka tafsir berfungsi untuk mengetahui apa yang disyariatkan Allah kepada
hambanya, baik berkaitan dengan perintah larangan sebatas kemampuan manusia, begitu juga
dapat diketahui dengan petunjuk Allah mengenai akidah, ibadah, dan akhlak agar manusia
dapat hidup bahagia dunia akhirat, serta untuk mengetahui segi kemukjizatan Al-Qur’an agar
dapat menambah kepercayaan kepadanya, dan lebih penting bagi untuk mengantarkan
pelaksanaan ibadah yang lebih baik. Sebab tafsir berarti mencakup upaya membaca,
memahami, dan mengamalkan isi kandungannya.

2.3 Syarat-syarat Mufasir

Untuk mencapai yang objektif, maka seorang mufasir dibutuhkan beberapa syarat. Abd al-
Hayy al-Farmawi dalam “al-Bidayah fi Tafsir Maudhu’i” menjelaskan beberapa syarat bagi
mufasir ,22 yaitu:

1. Mempunyai kemurnian iktikad dan konsisten terhadap ajaran agama. Sebab jika tidak
demikian, maka berarti ia seorang ilhad (theism) yang hasil penafsirannya dapat
menimbulkan fitnah besar, menyesatkan manusia, serta mengacaukan isi kandungan
Al-Qur’an.
2. Mempunyai kemurnian dan ketelusan tujuan menfsirkan Al-Qur’an, dengan indikasi
bahwa mufasir tersebut selalu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, berbuat baik
pada manusia, mempunyai sikap dan etika yang baik, sebab jika seseorang yang tidak
mempunyai prasarat tersebut, maka Allah menutup jalannya, sebaliknya jika ia usaha
(QS. Al-Ankabut: 69), dan isi kandungan Al-Qur’an tidak akakn diperoleh seseorang,
kecuali dengan ketulusan dan kesucian hati (QS. Al-Waqi’ah: 79).
3. Berpegang teguh pada Sunnah Nabi, atsar para sahabat, dan pada generasi berikutnya.
Bukan berpegang pada orang senang melakukan bidah.
1

4. Mempunyai berbagai disiplin Ilmu Tafsir, Ilmu Bahasa, Ilmu Istyqaq, Ilmu Ma’ani,
Ilmu Bayan, Ilmu Badi’, Ilmu Qira’ah, Ilmu Ushul al-Din, Nasikh-Mansukh, Ilmu

1 22 Nasrudin Baidah, ibid, hlm .69.

6
5. Hadits yang berkaitan dengan muhkam, mubham, mujmal, dan Ilmu muhibah yang
didapat seseorang setelah mengamalkan ilmunya.
2.4 Sumber-sumber penafsiran Al-Qur’an

Sumber penafsiran ada 8 macam, yaitu Al-Qur’an karim sendiri, Hadits-hadits Nabi
berkaitan dengan topik penafsiran, riwayat para sahabat dan para tabiin, kaidah-kaidah bahasa
Arab seperti ilmu-ilmu alat dan ilmu bahasa, cerita israiliyat dari ahli kitab, teori dan ilmu
pengetahuan, serta mendapat pada mufasir terdahulu.

2.5 Aliran-aliran dalam Ilmu Tafsir

Dalam Ilmu Tafsir ada tiga macam aliran yaitu, tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, dan
tafsir bi al-isyari.20
Pertama, tafsir bi al-mamnqul, yaitu tafsir yang penjelasannya diambil dari ayat-ayat Al-
Qur’an sendiri, dari Hadits Nabi, atsar para sahabat, ataupun dari perkataan para tabiin.
Misalnya, penafsiran ayat ditafsirkan dengan ayat seperti kata “zulm” pada ayat 82 surat al-
An’am, maka secara maksud dari kata tersebut sirik sebagaimana dalam surat Luqman ayat 13.
Atau juga penafsiran ayat ditafsirkan dengan ayat, seperti kata-kata “maghlib” dan kata “al-
dhallin” dalam QS. Al-Fatihah ayat 7, menurut tafsir bil al-ma’tsur, maka yang dimaksud
dengan kedua kata tersebut adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Aliran tafsir bil Ma’tsur banyak yang dipergunakan oleh para mufasir, diantaranya adalah:
1. Jami’ al-Bayan Tafsir Qur’an al-Karim, oleh Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 310 H)
2. Mu’alim al-Tanzil, oleh al-Baghawi (wafat 516 H)
3. Dar al-Mantsur Tafsir bi al-Maatsur, oleh al-Syuyuti (wafat 911 H)
4. Al-Khasu wal al-Bayan’an Tafsir Al-Quran, oleh Imam al-Thalabi (wafat 427 H)
5. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, oleh Imam Abu Fida’Ibnu Katsir (wafat 774 H)

Perkembangan tafsir ma’tsur dibagi menjadi dua periode, yaitu:

1. Periode riwayah, pada periode ini para sahabat menukil sabda Nabi, atau dari apara
sahabat sendiri dan tabiin menukil dari para sahabat atau dari tabiin sendiri untuk

1 20 Abu al-Hayy Al-Farmawy, Ibid, hlm.45

7
menjelaskan tafsir Al-Qur’an, dan pengambilan tersebut dilakukan dengan teliti,
waspada, menjaga kesalehan isnad penukilan sehingga dapat menjaga kemurnian apa
yang diambil.
2. Periode tadwin, pada periode ini para sahabat atau tabiin mencatat dan menghimpun
penukilannya yang sudah dianggap sahih setelah diadakan penelitian, sehingga
himpunan tersebut membentuk ilmu sendiri.

Kedua, tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan tafsir dirayah atau tafsir bi al-ma’qul, yaitu
tafsir yang penjelasannya diambil dari ijtihad dan pemikiran musafir setelah mengetahui bahasa
Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran asbabun nuzul,
nasikh, mansukh, dan sebagainya.

Sebab-sebab munculnya tafsir bi al-ra’yi adalah ketika masa kebangkiatn ilmu-ilmu dalam
Islam, dimana para musafir tidak hanya menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat atau hadits,
melaikan dengan disiplin, ilmu yang dimiliki, disiplin ilmu yang dimiliki tersebut digunakan
untuk menafsirkan Al-Qur’an sehingga muncul berbagai corak penafsiran. Misalnya, Imam al-
Zmakhsyari menekankan aspek balaghah, al-Qurthubi menekankan aspek Hukum Syariat, Abu
Su’ud menekankan aspek keindahan bahasa dan susunan, al-Naisaburi dan Imam Nasafi
menekankan aspek bacaan, Imam al-Razi menekankan aspek Ilmu Kalam dan filsafah dan
sebagainya.

Dasar tafsir bi al-ta’yi adalah Al-Qur’an sendiri dan as-Sunnah dan atas sahabat, pengalian
bahasa asli Al-Qur’an serta penggunaa makna asli bahasa Arab dan didukung dalil sara’, tanpa
dasar tersebut memung-kinkan kekeliruan dalam pelaksanaan penafsiran. Karena itu ada lima
ketentuan kebolehannya menerima tafsiran ini, yaitu:

1. Mengacu pada maksud Al-Qur’an


2. Mufasir menyelami ilmu-ilmu Allah sebagai bekal penafsiran
3. Tidak memegangi hawa nafsu atau membuat hal-hal yang baru
4. Penafsiran tidak disertai dengan pendapat atau aliran yang sesat
5. Penafsiran disertai dalil bukan hanya sekedar pemikiran. 38
1

38
Muhammad Husain al-Dzahabi, Op. Cit., h. 274-275.

8
Bila tidak memenuhi syarat tersebut, maka tafsir bi al-ra’yi tertolak, bahkan diancam oleh
islam. Penjelasan tersebut dapat diklasifikasikan bahwa tafsir bi al-rayi dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:

1. Diterima, dan hal itu tentunya ada persesuaian dengan tafsir bi al-ma’tsur mengingat
qathi’ dalam tafsir bi al-ma’tsur tidak mungkin bertentangan dengan hukum logika atau
tafsir bi al-ra’yi lebih kuat dari pada tafsir bi al-ma’tsur, karena yang qath’i dapat
mengalahkan yang zhanni.
2. Ditolak jika bertentanga dengan tafsir bi al-ma’tsur yang qath’i mengingat tafsir bi al-
ra’yi subjektif kebenarannya.

Ketiga tafsir bi al-isyari, disebut juga tafsir sufi, yaitu model tafsir yang penjelasannya
diambil dari takwil ayat-ayat Al-Qur’an yang sama isinya tidak sesuai dengan teks ayat,
sehingga yang dikutif hanya isyarat atau teks ayat, berdasarkan pengalaman suluknya.39

Tafsir bi al-isyari mempunyai kedudukan sama dengan tafsir bi al-ra’yi karena


panggilannya tidak hanya berdasarkan penukilan-penukilan tertentu melainkan ada faktor lain,
hanya saja tafsir bil al-ra’yi lebih menekankan pada fungsi akal pikiran sedang tafsir bi al-
isyari lebih menekankan pada fungsi al-qalb (perasaan) melalui pengalaman yang dikerjakan
(suluk).

Tafsir bi al-isyari dapat diterima jika mempunyai empat syarat, yaitu:

1. Tidak menghilangkan teks Al-Qur’an dari susunan aslinya


2. Mufasir mengetahui syara’yang dapat memperkuat tafsirannya
3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal sehat
4. Tidak menyatakan bahwa penafsirannya paling benar, bahkan ia mewajibkan mengerti
arti tekstual dahulu sebelum melakukan tafsirannya.

39
Abd Hayyi al-Farmawati, Op. Cit., hlm. 30.

9
2.6 Metode dalam Ilmu Tafsir

Metode yang berkembang dalam penafsiran Al-Qur’an terdapat empat macam, yaitu tahlili,
motode muqarin, dan metode maudhu’i. Masing-masing metode tersebut mempunyai kriteria
tersendiri.

Pertama, metode tahlili yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
menjelaskan ayat Al-Qur’an dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung
di dalamnya sehingga kegiatan mufasir hanya menjelaskan per ayat, surat per surat, makna
lafal terntu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain, asbabun nuzul yang
berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. 40

Metode tahlili disebut juga dengan tajzi’i atau (parsial) yang banyak dilakukan oleh para
mufasir salaf dan metode ini oleh sebagian pengamat dinyatakan sebagai metode yang gagal
mengingat cara penafsirannya yang parsial juga tidak dapat menemukan substansi Al-Qur’an
secara integral, dan ada kecenderungan masuknya pendapat mufasi sendiri mengingatkan
pemaknaan ayat tidak dikaitkan dengan ayat lain yang membahas topik yang sama.

Tafsir ini tidak banyak melibatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan penafsiran
bahkan praktis dilakukan, diantara modal tafsir tahlili adalah:

1. Tafsir al-Maraghi, oleh Musthafa al-Maraghi (wafat 1952 H)


2. Tafsir Al-Qur’an, oleh Abu Fida Ibnu Katsir (wafat 774 H).

Kedua motede tafsir ijmali yaitu metode penafsiran ayat- ayat Al-Qur’an dengan
menunjukan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global.

Metode ini diterapkan agar orang awam mudah menerima maksud kandungan Al-Qur’an
tanpa berbelit-belit, sehingga dengan sedikit penjelasannya seseorang dapat mengerti
penjelasan hasil tafsir ini. Kitab tafsir yang tergolong menggunakan metode ijmal adalah:

1. Tafsir Al-Qur’an al-karim, oleh Muhammad Farid Wajdi;


2. Tafsir al-Wasith, yang dikeluarkan oleh Majma’ul Buhust Islamiah.

40
Ibid., hlm. 24.

10
Ketiga, metode muqarin yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
perbandingan (komparatif), dengan menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara
unsur-unsur yang diperbandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar antara yang
kurang benar, atau untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah
yang dibahas dengan jalan penggabungan (sintesis), unsur-unsur yang berbeda itu.

Tafsir muqarin dilakuakn dengan membanding-bandingkan ayat satu dengan yang lain,
yaitu dengan ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang
berbeda atau lebih, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus yang sama atau yang
diduga sama,atau membandingkan ayat dengan hadist yang tampak bertentangan, serta
membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Metode muqarin mempunyai kelebihan khusus dari pada metode yang lain diantaranya
adalah:
1. Dapat memusatkan perhatian pada penggalian hikmah dibalik variasi redaksi ayat untuk
kasusyang sama dan pemilihan redaksi yang miripuntuk kasus yang berbeda,dengan
begitu metode ini dapat menguras isi kandungan Al-Qur’an, membuktikan komposisi
ayat Al-Qur’an yang tidak sembarang, sekaligus mendemonstrasikan ijaz
(kemujizatannya). 18
2. Mengaitkan hubungan Al-Qur’an dengan hadits yang dibandingkan.
3. Mengetahui orisinalitas penafsiran seseorang mufasir, sebab dimungkinkan mufasir,
mazhab apa yang dianut, dapat mengungkap kekeliruan mufasir dahulu dan mencari
pendapat yang lebih benar dan jalan tarjih (memilih yang terbaik dan terkuat), dapat
mengungkap sumber-sumber perbedaan pendapat dikalangan mufasir, dapat dijadikan
sebagai sarana pengkompromian aliaran ulama tafsir. Dan dapat memperoleh
pemahaman yang lebih lengkap mengenai kandungan Al-Qur’an.

Macam-macam variasi ayat yang dilakukan dengan metode muqarin adalah sebagaimana
yang ditulis oleh al-Zarkasyi sebagai berikut:

1 18 Abu Jalal, Ibid, hlm. 3

11
1. Variasi letak kata dalam kalimat, seperti kata “udzkhul al-Bab” dalam QS. Al-Baqarah:
58 dengan al- A’raf: 161;
2. Variasi jumlah huruf, seperti kata “sawaun” dalam QS. Al-Baqarah: 6 dan yasin: 10;
3. Variasi keterdahuluan, seperti kata “syafatun” dalam QS. al-Baqarah; 48 dan al-
Baqarah; 123;
4. Variasi makrifat dan nakirah, seperti kata “al-Haq” dalam QS. al-Baqarah; 61 dan Ali
imrah: 24;
5. Variasi pemilihan huruf, seperti kata “Wakula”atau”Fakula”dalam QS.al-Baqarah: 36
dan al Araf; 19.
6. Variasi pemilihan kata, seperti kata “Ma- alfauna” dengan “ma wajadna” dalam QS.
al-Baqarah; 170 dan luqman: 21; dan
7. Variasi idgom, seperti “yatadharra’u” dalam QS al-An’am: 42 al-A’raf: 49.

Keempat, metode maudhu’i yaitu metode penafsiran AL-Qur’an yang di lakukan dengan
cara memilih topik tertentu yang hendak dicarikan pen-jelasannya dalam Al-Qur’an yang
berhubungan dengan topik ini lalu dicarikan kaitan antarara berbagai ayat ini agar satu sama
lain bersifat menjelas-kan, kemudian ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman
mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.

Metode maudhu’i mempunyai dua keunggulan, yaitu:

1. Dapat memeperoleh pemahaman AL-Qur’an lebih untuk dan autentik mengenai satu
topik tertentu, sehingga sulit memasukkan ide mufasir.
2. Relevan dengan kebutuhan orang muslim yang perlu penyelesaian kasus berdasarkan
pendekatan tematik ayat AL-Qur’an.

Contoh metode maudhu’i (tematik) adalah seperti penyelesaian kasus riba yang dilakukan
oleh Ali al-Shabuni adalah “Tafsir Ayat Ahkam” yang secara hierarki menentukan urutan ayat.
pertama QS. ar-Rum ayat 39 yang menjelaskan kebencian Allah kepada riba walaupun belum
diharamkan. kedua, QS. An-Nisa ayat 130 yang menjelaskan keharaman riba secara tersirat
(ta’wil) belum tersurat (tashrih). ketiga, QS. al-Baqarah ayat 278 yang dijelaskan keharaman
riba secara mutlak. 42

1 42 Al Aridi, Ibid, hlm. 16

12
Proses pemggunaan metode maudhu’i dapat di lakukan dengan jalan:

1. Mencari topik (maudhu’i) yang hendak dibahas


2. Menginventarisir ayat-ayat bekaitan dengan topik
3. Memberikan urutan ayat menurut hierarkinya, baik mengenai turunnya, makiyah dan
madinah sesuai dengan riwayat sebab-sebab turunnya
4. Menjelaskan persesuaian atau ralevansi antaran ayat yang satu dengan ayat yang lain
atau antara surat yang satu dengan yang lainnya
5. Menyempurnakan bahasa dengan jalan membagi masalah menurut klasifikasinya
6. Melengkapi penjelasan dengan Hadits, riwayat sahabat sehingga semakin jelas
7. Mempelajari ayat-ayat yang satu topik secara tematik,dengan penyesuaian antara
yang umum dan yang khusus,yang mutlak dan yang muqayyad, yang global atau
yang terperinci, dan memadukan ayat yang tampaknya bertentangan serta
menentukan nasikh dan mansukh. 43
Tafsir maudhu’i mendapat tempat tersendiri dari metode penafsiran yang ada. Mahmud
Syaltut menganggap bahwa metode maudhu’i merupakan metode yang relevan untuk
digunakan pada masa kini, karena dapat memberi keterangan pada umat manusia dengan
ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuai dengan kasus yang terjadi, lagi pula topik dalam Al-Qur’an
belum tersistematisasi sehingga satu topik dibahas dalam berbagai ayat yang berbeda-beda
tempatnya.

Perbedaan tafsir ijmali dengan tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut:

1. Tafsir ijmali berkaitan dengan penjelasan ayat secara global menurut tertib mushaf,
sedang tafsir maudhu’i menerangkan satu topik dari berbagai ayat, apakah ayat
Makiyah atau Madaniyah.
2. Tafsir ijmali menerangkan ayat tidak sampai tuntas, apalagi menuntaskan kasus
tertentu, sedang tafsir maudhu’i dapat menuntaskan kasus dari berbagai ayat tanpa
menghiraukan tertib mushaf.

1 43 Thameem Ushama, Ibid, hlm.7

13
Sedang perbedaan tafsir muqarin dengan tafsir maudhu’i adalah bahwa tafsir tidak
menerangkan topik tertentu melainkan menerangkan persesuaian redaksi ayat walaupun
diambil dari beberapa surat tanpa menghiraukan tertib mushaf, sedang tafsir maudhu’i
menerangkan satu topik tertentu dan mencari ayat-ayat yang sesuai dengan topik tanpa
menghiraukan tertib mushaf.

Kitab tafsir yang berkembang dewasa ini banyak menggunakan metode maudhu’i dia
antaranya adalah:

1. Al-Bayan fi Aqsam Al-Qur’an, oleh Ibnu Qayyim;


2. Majaz Al-Qur’an, oleh Abu Hurairah;
3. Mufradat Al-Qur’an, oleh al-Raghib;
4. Nasikh wa Mansukh min Al-Qur’an, oleh Abu Ja;fa al-Nuhas
5. Asbab al-Nuzul, oleh al-Wahidi
6. Ahkam Al-Qur’an, oleh al-Jashshash

2.7 Corak Penafsiran dan Ilmu Tafsir

Pertama, corak kalami, yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang bahasanya mengacu pada
penjelasan ilmu kalam. Model ini dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah. Kitab tafsir yang
tergolong corak kalami adalah tafsir Anwar al-Tanzil, oleh al-Baidhawi 1( wafat 692 H).

Kedua, corak fiqhi, yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang menerangkan hukum-hukum
yang di-istimbath-kan dari hukum syara’; melalui ijtihad ulama karena itu dalam model ini
banyak diterangkan masalah-masalah ibadah, muamalah,jinayat, munakahat,dan
sebagainya.Kitab yang tergolong corak fiqhi adalah:

1. Ahkam Al-Qur’an oleh Abu bakar al- jashshash (wafat 370 H dari Mazhab Hanafi)
2. Ahkam Al-Qur’an, oleh Abu bakar al-‘Arabi (wafat 543 H)dari Mazhab Maliki
3. Ahkam Al-Qur’an, oleh al-Harasyi (wafat 503 H) dari Mazhab Maliki
4. Tafsir Ibnu Taimiyah, oleh Ibnu Taimiyah dari Mazhab Hambali.

1 1 Taufik Adnan. Ibid. hlm. 15

14
Ketiga, corak tashawwufi yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang keterangannya
cenderung pada isyarat–isyarat atau menerangkan arti di balik yang nyata, sedang sumber
penafsiran itu dari pengalaman ibadah yang ditempuh.

Corak tashawwufi dibagi menjadi dua macam :


1. Tasawuf nazhari
2. Tasawuf ‘amali
Keempat, corak ‘ilmi, yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan hukum
pikir ilmiah, sehingga model penafsirannya ini menggunakan persyaratan ilmiah jika
penafsiran Al-Qur’an. Misalnya, menafsirkan ayat tentang kawuniyah (fenomena alam)
didasarkan atas ilmu biologo, dan kimia, astronomi, geologi, geofisika, botani, antropologi,
dan sebagainya

Kelima, corak falsafi, yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
filsafat dengan cara merenungkan dan menghayati ayat yang ditafsirkan, kemudian
mengkajinya secara radikal (mengakar) sistematis dan objektif.

Keenam, corak adabi ijtima’i, yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang membahasnya
dikupas berdasarkan sosiokultural masyarakat, sehingga bahasannya lebih mengacu pada
sosiologi. Kitab yang masuk tergolong model ini adalah:

1. Tafsir al-Manar, oleh Rasyid Ridha (wafat 135 H)


2. Tafsir al-Maraghi, oleh Mushtafa al-Maraghi (wafat 1945 M)
3. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, oleh Syekh Mahmud Syaltu.

Ketujuh, corak lughawi, yaitu model tafsiran Al-Qur’an yang lebih menekankan aspek
kebahasaan, kaidah, dan sastranya, untuk menerangkan arti atau maksud ayat. Kitab yang
tergolong model ini adalah: 46

1. Tafsir Bahr al-Mukhid, oleh Hayyan (wafat, 754 H)


2. Tafsir al-Kasysyaf, oleh al-Zamahsyari (wafat, 528 H
1

1 46 Abd Rahman Dahlan,ibid, hlm. 39

15
Kedelapan, corak tarikhi, yaitu model penafsiran yang keterangan penafsiran yang lebih
menekankan aspek penjelasan kisah-kisah Al-Qur’an. Kitab yang tergolong model ini adalah
“Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil” oleh Imam Khazin (wafat 741 H). 6

Kesembilan, corak siyasi, yaitu model penafsiran Al-Qur’an yang keterangan-nya


mengaitkan paham politik masing-masing. Kitab yang tergolong model ini adalah:

1. Tanzil Al-Qur’an ‘an Matha’in, oleh al-Qadhi Abd al-Jabar (wafat 451 H) dari
golongan Mu’tazilah.
2. Durras al-Anwar,oleh Abd al- Lathif al-Khazirani dari golongan syiah.

Berbagai corak penafsiran tersebut merupakan khazanah dan kekayaan dalam islam,
mengigat isi kandungan Al-Qur’an memuat berbagaimacam masalah hidup dan kehidupan,
sehingga dapat ditafsirkan menurut dimensi keahlian mufasir masing-masing.

1 6 Umar Shihab, Ibid, hlm. 104

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, maka dapat di simpulkan bahwa, cakupan Ilmu Tafsir sangat
banyak, yang meliputi berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran. Misalnya,
Ilmu-Qira’ah, Ilmu Tashrif, Ilmu I’rob, Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani, Ilmu Ushul,, dan
sebagainya Tafsir adalah (menjelaskan atau membuka yang tertutup).
Ilmu Keislaman adalah segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Pada
awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian
menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi
kemajuan masyarakat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata. 2012. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Abd Rahman Dahlan. 1998. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran. Jakarta: Riora Cipta.

Ali Hasan Al Aridi. 1992. Sejarah dan Metodelogi Tafsir. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhaimin. 2003. Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syafrudin. 2009. Paradigma Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Umar Shihab. 2005. Kontekstualitas Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pemadani.

18

Anda mungkin juga menyukai