Anda di halaman 1dari 20

TAFSIR DAN TA’WIL AL-QURAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur‟an
Dosen pengampu: Dr. H. Ali Imran, M.A

Disusun Oleh :

Rachmah Shintiawaty Subang

Raihan Muhamad Iqbal

Khoirul Rahman

Susi Sukma

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT PERGURUAN TINGGI
ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
1442/2020 M
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“tafsir dan ta‟wil Al Quran” ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Ulumul Quran yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami jauh dari
sempurna, Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena
itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan, Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khusus nya dan
pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Senin, 20 november 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................. i


Daftar Isi........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
A. Pengertian tafsir dan ta‟wil Al Quran ................................................................. 2
B. Macam-macam metode tafsir ............................................................................. 3
C. Perbedaan tafsir dan ta‟wil................................................................................. 7
D. Sejarah perkembangan tafsir dan ta‟wil ............................................................. 8
E. Tokoh-tokoh mufassir ....................................................................................... 11
F. Syarat jadi mufassir .......................................................................................... 13

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 15


A. Kesimpulan ....................................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci yang Allah SWT turunkan kepadaa Nabi
Muhammad SAW untuk umat islam, Oleh karena itu yang paling memahami arti,
tafsir dan ta‟wil secara sempurna hanyalah Nabi Muhammad SAW, karena beliau
langsung diajarkan oleh Allah SWT mealalui perantara malaikat Jibril AS, kemudian
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada para sahabat, dan para sahabat
mengajarkan kepada para tabi‟iin, dan tabi‟iin mengajarkan kepada tabi‟ut taabi‟iin
dan seterusnya hingga sampai saat ini, dan itulah yang disebut rantai sanad keilmuan,
sehinggan ilmu dan fatwa seorang „ulama bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangannya, timbul permasalahan yang terjadi, banyak orang yang
menafsirkan dan menta‟wilkan Al Quran secara sembarangan, tanpa memahami
disiplin ilmu yang harus dikuasai sebelum menafsirkan Al Quran, seperti ilmu nahwu,
shorof, qiraat, ma‟aani, asbabun nuzuul dan lain-lain. Hal ini disebabkan mereka tidak
mengetahui apa pengertian sebenarnya dari tafsir dan ta‟wil, kebanyakan mereka
memahami tafsir dan ta‟wil adalah ilmu menterjemahkan Al Quran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir dan ta‟wil Al Quran ?
2. Apa macam-macam metode tafsir ?
3. Apa perbedaan tafsir dan ta‟wil ?
4. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir dan ta‟wil Al Quran ?
5. Siapa saja tokoh-tokoh mufassir ? dan apa saja syarat-syarat menjadi mufassir ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir dan ta‟wil Al Quran
2. Untuk mengetahui macam-macam metode tafsir
3. Untuk mengetahui perbedaan tafsir dan ta‟wil
4. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir dan ta‟wil
5. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh mufassir dan apa saja syarat-syarat
menjadi seorang mufassir

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafisr dan Ta’wil


1. Pengertian tafsir
Tafsir menurut bahasa adalah bayan, izhar, idhah yang mengandung arti jelas.
Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang bisa menyempurnakan pemahaman
tentang Al Quran, menjelaskan makna-maknanya, menyingkap hukum-hukumnya,
dan menghilangkan permasalahan-permasalahan di dalam ayat-ayatnya.
Sedangkan menurut Imam Adz-Dzahaby adalah ilmu yang membahas tentang
maksud-maksud Allah SWT ( dalam Al Quran ), berdasarkan kemampuan
manusia. Ilmu itu mencakup segala sesuatu yang menerangkan tentang pemahaman
maknanya, penjelasannya, dan maksud kandungannya. Menurut Abu Hayyan tafsir
adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al Quran serta cara
mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum dan makna yang
terkandung di dalamnya.
2. Pengertian ta‟wil
Ta‟wil menurut bahasa adalah ruju‟ yang mengandung arti kembali. Menurut
istilah adalah memberikan penjelasan mengenai hakikat suatu lafadz. Jadi, jika
tafsir itu menerangkan dzahir lafadznya, seperti menafsirkan lafadz “as shiroot”
dengan “at thoriq” (jalan) atau “as shoyyib” dengan “al mathor” (hujan).
Sedangkan ta‟wil menerangkan tentang hakikat suatu lafadz. Contoh firman Allah
SWT, “ sesungguhnya tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS Al Fajr (89): 14)
ta‟wil nya adalah peringatan bagi siapa saja yang meremehkan perintahnya,
bersiaplah bahwa Allah akan menampakannya. Namun, ada juga para ulama yang
berpendapat bahwa makna tafsir dan ta‟wil mempunyai pengertian yang sama
sehingga tidak ada perbedaan diantara keduanya 1. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa ta‟wil adalah suatu usaha untuk memahami lafadz-lafadz (ayat-
ayat) Al Quran melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai
kandungan dari lafadz itu.

1
Siddiq Amien, buku pintar Al-Qur’an(Jakarta:QultumMedia,2008),h.43-44.

2
3

B. Macam Macam Metode Tafsir


1. Tafsir Bil Ma‟tsur
Tafsir Bil Ma‟tsur adalah metode manfsirkan Al Quran dengan Al Quran,
hadits atau perkataan para sahabat, karena para sahabatlah yang lebih faham
maksud kandungan Al Quran. Selain itu, mereka langsung mendenganrkan
penjelasan dari Rosulullah SAW dan merupakan saksi atas turunya ayat-ayat Al
Quran. Sahabat yang paling ahli dalam bidang ini sekaligus yang paling banyak
dijadikaan rujukan adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin
Mas‟ud.
Hukum tafsir bil-ma‟tsur adalah harus diikuti dan dijadikan pedoman, karena
merupakan jalan pengetahuan yang benar, serta merupakan cara paling aman untuk
menjaga diri dari tergelincir dan kesesatan dalam memahami kitabullah.
Contoh penafsiran Al Quran dengan Al Quran :
Seperti firman Allah SWT

...... ‫ ٔ احهت نكى االَؼاو اال يا يتهى ػهيكى‬....


Artinya : Dan telah dihalalkan bagi kalian semua binatang ternak, terkecuali
yang diterangkan kepadamu keharamannya. (QS Al Hajj (22): 30).
Kata ‫ اال يا يتهى ػهيكى‬ditafsirkan dengan ayat lain, yaitu pada ayat :

........ ‫حسيت ػهيكى انًيتت ٔاندو ٔنحى انخُزيس ٔيا احم تّ نغيس هللا‬
Artinya : Diharamkan untuk kalian memakan bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS Al Maidah (5): 3).
Contoh penafsiran Al Quran dengan hadits :

ٍ‫ٔاقيى انصالج ٔ اتٕا انزكاج ٔ ازكؼٕ يغ انساكؼي‬


Artinya : Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama
orang-orang yang rukuk.
Sholat seperti apa yang dimaksud oleh Allah SWT pada ayat ini, apakah
sembarang sholat dengan tidak memperhatikan gerakan dan bacaan yang benar ?
maka Rosulullah menjelaskan dan merinci bagaimana mendirikan sholat dalam
hadits nya :

‫صهٕ كًا زايتًَٕي اصهي‬


Artinya : Sholatlah kalian seperti kalian melihat aku sholat (HR.Bukhari).
4

Contoh penafsiran Al Quran dengan qoul sahabat :

‫ٔانضقف انًسفٕع‬
Artinya : Dan atap yang ditinggikan. (QS. Atthur (52): 5) Ayat ini ditafsirkan oleh
sahabat Ali bin Abi Thalib dengan „langit‟. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat Al Anbiya :

ٌٕ‫ٔجؼهُا انضًاء صقفا يحفٕظا ْٔى ػٍ ايتٓا يؼسض‬


Artinya : Dan kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang
mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat
padanya. (QS. Al Anbiya (21):32)
2. Tafsir Bir Ra‟yi
Tafsir ini terbagi dua :
a. Tafsir bir-ra‟yi al mahmud (diperbolehkan)
Adalah metode penafsiran Al Quran dengan cara ijtihad yang disandarkan
kepada ilmu-ilmu ushul, baik dari ilmu lughoh atau ilmu syar‟i dan juga ilmu
„ulumul Quran. Metode ini berdasarkan firman Allah SWT :

‫افال يتدتسٌٔ انقساٌ او ػهى قهٕب افقانٓا‬


Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati
mereka terkunci ? (QS Muhammad (47): 24).
Contoh tafsir bir-ra‟yi al mahmud :

‫( اذ انشًش كٕزت ) نففت ٔ ذْة تُٕزْا ( ٔاذا انُجٕو اَكدزت ) اَقضت‬


‫ٔ تضاقطت ػهى االزض‬
Tafsir jalalain : (Apabila matahari digulung) dilipat dan sinarnya menjadi
lenyap, (Dan apabila binatang-binatang berjatuhan) menukik (terjun)
berjatuhan ke bumi. (QS At takwir (81): 1-2 ).
b. Tafsir bir ra‟yi al madzmum (Tercela)
Adalah penafsiran Al Quran tanpa berdasarkan ilmu atau mnegikuti hawa
nafsu dan kehendak pribadi, tanpa disandarkan kepada kaidah-kaidah bahasa
dan „ulumul Quran. Atau menafsirkan ayat berdasarkan mazhab yang rusak
maupun bid‟ah yang tersesat seperti syi‟ah, mu‟tadzilah, khawarij dan lain-
lain. Hukum tafsir ini adalah haram, sesuai dengan firman Allah SWT :
5

..... ‫ٔال تقف يا نيش نك تّ ػهى‬


Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. (QS Al Isra (17): 36)
Contoh tafsir bi ra‟yi al madzmum adalah orang yang mengambil kesimpulan
ayat secara lahir dari firman Allah SWT :

‫ٔيٍ كاٌ في ْرِ االػًى فٕٓ في االخسج اػًى ٔ اضم صثيال‬


Artinya : Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akherat
(nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (QS Al
Isra (17): 72)
Kemudian orang tersebut menafsirkan bahwa setiap orang yang buta adalah
celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud
buta disini bukanlah buta mata, tetapi buta hati, berdasarkan alasan firman
Allah SWT :

‫ فآَا ال تؼًى االتصس ٔنكٍ تؼًى انقهٕب انتي في انصدٔز‬........


Artinya : Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada. (QS Al Hajj (22): 46)
3. Tafsir Bil Isyarah
Adalah tafsir yang menggunakan metode panafsiran melalui isyarat suci yang
timbul dari riyadhah ruhiyah, ketika seorang sufi meyakini bahwa riyadhah
ruhiyah bisa mengantarkan seseorang ke dalam derajat yang bisa membuka isyarat-
isyarat suci. Tafsir ini biasa disebut tafsir sufi atau tasawuf. Hukum tafsir ini adalah
ikhtilaf, ada yang melarang, namun ulama yang memperbolehkan mengajukan
beberapa syarat sehinggan tafsir ini bisa diterima, di antara syarat-syaratnya
adalah:
1. Tidak bertentangan dengan makna (dzahir) ayat
2. Maknanya sendiri adalah shahih
3. Pada lafadz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut
4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.
Apabila keempat syarat ini dipenuhi maka tafsir mengenai isyarat itu (tafsir
isyari) merupakan istinbat yang baik dan dapat diterima. Dan apabila syarat di atas
tidak dipenuhi, maka tafsir isyari tidaklah dapat diterima, yang juga berarti
6

merupakan tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra‟yu semata, yang hal ini
adalah dilarang.
Contoh tafsir bil isyari:
Syeikh Manna Khalil Al Qattan mengemukakan contoh untuk Ibnu Abbas yang
mengatakan :
Ummar Ra mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran ada
diantara mereka yang keberatan dan berkata mengapa engkau mengajak anak kecil
ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang
sesuai dengannya.Ummar menjawab ia adalah orang yang engkau kenal
kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok
mereka, Ibnu Abbas berkata aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-
mata untuk diperkenalkan keapada mereka, Umar berkata apa pendapat kalian
tentang firman Allah dalam surat al-Nashr ayat 1 yaitu :

‫اذا جاء َصس هللا ٔ انفتح‬


Artinya : Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.(QS,An
nashr (110):1).
Dianatara mereka ada yang menjawab: kami diperintahkan untuk memuji dan
meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. “Sahabat
yang lain tidak mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku:
“begitukah pendapatmu Ibnu Abbas?” Aku menjawab, “ ayat itu menunjukkan
tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah kepadanya”.
Dalam alquran surat al-Nashr ayat 3 yaitu:

‫فضثح تحًد زتك ٔاصتغفسِ اَّ كاَتا ٔاتا‬


Artinya : maka bertasbihlah dengan memuji tuhanmu dan memohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha penerima taubat. (QS. An
nashr (101):3).
Umar menjawab: “aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang
engkau jelasakan” (hadits riwayat Bukhari) 2
Berdasarkan riwayat di atas jelaskan menunjukkan bahwa pemahaman ibnu
Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya
hanyalah Umar RA dan Ibnu Abbas sendiri. Inilah bentuk tafsir isyari yang
2
Kholid Abdurrahman al-‘AK, Ushul Tafsir wa Qowaa’iduhu,(Damaskus: Dar anNaghais),h.208.
7

diilhamkan Allah pada makhluk-Nyayang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada


hamba-hamba lainnya, yakni surat al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi
SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.

C. Perbedaan Tafsir dan Takwil


Tentang perbedaan tafsir dan Takwil ini banyak pendapat ulama yang pendapat
tentang ini,dan pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu
sama lain, diantara pendapat-pendapat tersebut adalah Ibnu Faris yang dikutip
Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak lepas dari
tiga hal; makna, tafsir, dan Takwil. Meskipun berbeda dari segi istilah, namun maksud
dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud dan tujuan dari
sebuah perkataan. Sedangkan tafsir, menyingkap maksud yang tersembunyi dari sebuah
ayat. Adapun Takwil, mengalihkan lafazh dari suatu makna kepada makna lain yang
dikandungnya
Menurut Abdurrahman Mardafi sendiri Takwil adalah hakekat luar (haqiqah
kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah
mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza wa Jalla
menurunkan Al-Qur'an agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan dipikirkan baik
ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui Takwilnya.
Takwil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari
sebuah lafazh, maka Takwil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah tabir
tersingkap. Jadi, Takwil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning)
dari tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat (implisit)
sedangkanTakwil menemukan makna batin (esoteris) dari lafazh yang eksplisit
(tersurat) atau ambigu (mutasyabih).
Mengenai perbedaan ini ada yang menyimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan
takwil adalah sebagai berikut:
1. Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih
banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
2. Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan Takwil apa-apa
yang bersangkutan paut dengan dirayah.
8

3. Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan Takwil hanya menjelaskan secara


global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
4. Takwil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir
menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan
para ulama dalam penafsiran itu.
5. Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya
secara majazi sedangkan Takwil menjelaskan lafas secara batin atau yang
tersembunyi yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.

D. Sejarah perkembangan tafsir dan takwil


Tafsir sebagai upaya sistematis dan bermetode untuk menguak, menjelaskan dan
mengaktualisasikan kandungan ayat-ayat al Qur‟an telah mengalami perkembangan yang
sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan semenjak Rasulullah masih hidup sampai sekarang
kaum Muslim tidak pernah berhenti mengkaji Kitab Suci ini, meskipun kajian tersebut
tentunya mengalami fluktuasi. Pernah suatu ketika pengkajian al Qur‟an begitu intens
dan marak, sehingga menghasilkan karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan
kualitatif. Dan pada saat yang lain, pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran,
sehingga kajian-kajian yang ada hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan atau
tambahan ulasan terhadap kajian sebelumnya.
Pada era Rasulullah SAW, belum dikenal adanya metode tafsir, karena tafsir sendiri
–sebagaimana yang dipahami sekarang- belum ditemukan waktu itu. Hal demikian
dikarenakan ayat-ayat dalam al Qur‟an, yang diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam
situasi serta kondisi sosio-kultural Arab, pada umumnya tidak selalu membutuhkan
penjelasan rinci dan detail untuk dapat dipahami dan ditangkap makna-maknanya oleh
para sahabat. Meski begitu, Rasul sendiri memberikan penjelasan-penjelasan terhadap
ayat-ayat tertentu yang memang sulit untuk “dicerna” dan diamalkan tanpa dijelaskan
Beliau. Penjelasan atau penafsiran Rasul terhadap ayat-ayat al Qur‟an terkadang dalam
bentuk wahyu “tersurat” dari Tuhan, wahyu “tersirat” dalam keterangan Beliau,
ataupun ijtihad sendiri.
Dari Ibnu Mas‟ud diriwayatkan, ia berkata: ketika turun Q.S. al An‟am: 82 yang
berbunyi:

) :‫ظ ْهى (األَؼاو‬ ُ ‫انَّرِيٍَ آَ َيُُٕا َٔنَ ْى يَ ْه ِث‬


ُ ‫ضٕا ِإي ًَاََ ُٓ ْى ِت‬
9

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka
dengan kezaliman……(Q.S. al An’am:82)
Ayat di atas sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada
Rasulullah, „Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap
dirinya ?‟ Beliau menjawab : „Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami.
Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh
(Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang
besar (Luqman : 13). Jadi, sesungguhnya kezaliman di sini maksudnya adalah syirik.‟
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki ketika
diperlukan. Dari Uqbah Ibn „Amir, ia berkata: „Saya pernah mendengar Rasulullah
mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat, Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al Anfal:60). Ketahuilah, “kekuatan” di
sini adalah memanah.
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kandungan al Qur‟an terdapat ayat-ayat yang
tidak dapat diketahui ta‟wilnya kecuali melalui penjelasanRasulullah. Misalnya, rincian
tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang di-
fardlu-kannya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah,
sungguh telah diturunkan kepadaku Qur‟an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa
dengannya......”.
Dengan demikian, kendatipun Rasulullah tidak mengintrodusir suatu metode yang
baku, namun secara langsung Beliau sendiri telah mempraktekkan dua cara
pendekatan (two approaches) dalam kajian al Qur‟an. Yang pertama adalah
pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu).
Pada era shahabat, kedua cara pendekatan tersebut tetap dipakai, meskipun
kecenderungan pada pendekatan naqliy (nash al Qur‟an dan al Sunnah) terasa lebih
dominan. Jelasnya, para sahabat dalam menerangkan berpegang pada:
1. Al-Qur‟anu al Karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat
dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang
dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul ayat lain yang membatasi
atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan denga “tafsir Qur‟an dengan
Qur‟an”,
2. Penjelasan Rasulullah, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al
Qur‟an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika
mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, dan
10

3. Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al
Qur‟an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu
dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan
nalar.

Di sini perlu dijelaskan bahwasanya ijtihad mereka pada umumnya berpijak pada:
a. Penguasaan bahasa Arab yang luas dan alami,
b. Pengenalan adat istiadat bangsa Arab,
c. Pengenalan latar belakang sosio-kultural ketika al Qur‟an diturunkan, termasuk
keadaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan,
d. Kemampuan intelektual masing-masing.
Diantara sahabat yang terkenal banyak menafsirkan la Qur‟an adalah empat
khalifah, Ibnu Mas‟ud, Ibnu „Abbas, Ubai Ibn Ka‟b, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al
Asy‟ari, Abdullah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Umar, Jabir Ibn Abdullah,
Abdullah Ibn „Amr Ibn „Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau
banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada
mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat.
Tidak jauh beda dengan masa sahabat adalah pada masa tabi’in, dimana metode
pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan al Qur‟an tidak jauh berbeda dengan apa
yang dipakai shahabat. Mereka bersandar kepada para pendahulunya disamping juga
melakukan ijtihad dan pandangan tersendiri. Jelasnya, menurut Muhammad Husein al
Dzahaby, sebagaimana disitir oleh Said Agil, para penafsir dari kalangan tabi’in dalam
pemahamannya bersandar kepada Allah itu sendiri. Juga dari sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabat yang merupakan penafsiran mereka sendiri. Mereka juga mengambilnya
dari ahli kitab sesuatu yang terdapat dalam kitab mereka. Begitupun di era
sesudah tabi’in, baik periode mutaqaddimun maupun muta’akhirun, pendekatan yang
digunakan dalam upaya penafsiran al Qur‟an sudah dibakukan dalam bentuk tafsir
ma’tsur (riwayat) dan tafsir ra’yu (akal).
Namun di zaman modern, penafsir sedikit mengalami perubahan, dimana
para mufassir menempuh pola dan langkah baru dengan memperhatikan
keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-
aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir
yang bercorak “sastera sosial”. Di antara mufasir kelompok ini adalah Muhammad
11

Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthafa al Maraghi, Sayid


Qutub, dan Muhammad „Izzah Darwazah.
Namun demikian, pembagian jenis tafsir secara dikotomis ma’tsur-ra’yu akhir-
akhir ini sudah mulai ditinggalkan. Demikian pula pembagian secara trikotomis dengan
memasukkan jenis tafsir isyariy sebagai unsur ketiga, juga tidak lagi populer. Disamping
karena menimbulkan kerancuan, juga karena sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir yang
benar-benar murni ma’tsur atau hanya berdasar ra’yu, ataupun semata-
mata isyariy. Kitab-kitab tafsir yang ada, khusunya yang ditulis oleh para penafsir
modern lebih banyak merupakan perpaduan sintesa
dari ma’tsur atau riwayah dan ra’yu atau dirayah sehingga ada yang menamakannya
sebagai metode izdiwaj (campuran). Namun, istilah yang terakhir ini pun tidak luput dari
kerancuan karena bisa menimbulkan konotasi yang bermacam-macam.
Disebabkan adanya kesulitan seperti ini, timbul upaya baru untuk membuat
pengelompokan lain dari metode tafsir. Abd al Hayy al Farmawiy, misalnya, membuat 4
(empat) kelompok besar jenis tafsir berdasarkan metode yang digunakan, yaitu:
metode tahliliy, metode ijmaliy, metode muqarin, dan metode mawdluiy.

E. Tokoh-tokoh mufassir dan kitab tafsir bill ma’sur


1. Ibn Abbas
Ibn Abbas adalah putra dari paman Rasullah yang bernama Abdul Muttalib.Ibn
Abbas dikenal dengan julukan turjumanul Qur‟an (Juru tafsir Qur‟an), habrul
ummah (tokoh ulama ummat), dan ra‟isul mufassirin (Peminpin para mufassir). 3
Tafsir-tafsir yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas telah dikumpulkan menjadi satu
buku,yang dicetak di mesir dengan nama kitab Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn
Abbas. Dan dihimpun oleh Ibn Tahir Muhammad bin Ya‟kub al Fairuzabadi asy
Syafi‟I.
2. Mujahid bin Jabr
Mujjahid bin Jabr nama lengkap Mujahid bin Jabr al Makki Abul Hajjaj
Makhzumi al Muqri‟, maula as SA‟ib bin Abu Sa‟ib. Mujjahid Bin Jabr adalah

3
Manna’, Khalil al-Qottan, ‘’studi Ilmu-ilmu Al-Qur’’an, (Bogor: 2013), cet.6, Hlm. 522.
12

mufassir dikalangan tabi‟in, Mujjahid bin jabr mengambil tafsir dari riwayat Ibn
Abbas.
3. At Tabari
At Tabari atau dengan nama lengkap Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid
bin Kasir Abu Ja‟far At Tabariat-Tabari. At Tabari mempunyai dua karya
besar,yaitu kitab Tarikhul umam wal muluk tentang sejarah dan Jami‟ul bayan fi
tafsiril Qur‟an.

4. Asy-Syaukani
Nama lengkapnya adalah Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani
as-San‟ani,seorang mujtahid,pembela sunnah dan pembasmi bid‟ah.kitab yang
ditafsirnya ialah Fathul Qadir.
5. Ibn Katsir
Ia adalah Isma‟il bin Amr al-Quraisyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi
„Imamuddin Abul Fida‟ al-Hafiz al-Muhaddis asy-Syafi‟i.Ia adalah seorang ahli fiqh
yang sangat ahli,ahli hadist yang sangat cerdas,sejarahwan ulung dan muffasir
paripurna diantara karya tulis nya ialah:
a. AL-bidayah wan Nihayah
b. Al-Kawakibud Darari
c. Tafsirul Qur‟an,al-Ijtihad fi talabil jihad
d. Jamiul masanid,as-sunanul hadi li Aqwami sunanal
e. Al-Wadihun nafis fi manaqibil imam Muhammad Ibn Idris
6. Fakhruddin ar-Razi
Ia adaah Muhammad bin Umar bin At-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-Tabaristani
ar-Razi Fakhrudin,terkenal dengan nama Ibnu Khatib asy-Syafi‟I al-Faqih. Iya
mempelajari ilmu ilmu diniah dan aqliahi hingga sangat menguasai ilmu Logika dan
filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam.
Ilmu-ilmu aqliah sangat mendominasi pemikiran ar-Razi di dalam tafsirnya.
sehingga ia mencampuradkuan ke dalamnya berbagai kajian mengenai
kedokteran,logika,filsafat,dan hikmah.diantara karangan nya ialah al-Kasysyaf ,al-
Fai‟iq,al-Minhaj,al-Muffasal,dll.
7. Az-Zamakhsyari
13

Ia adalah Abdul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari.A-


Zamakhsyari adalah seorang imam dalam bidang Bahasa,ma‟ani,dan bayan,ia
termasuk orang yang mempunyai sendiri pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak
masalah Bahasa Arab.salah satu karya tafsirnya ialah al-Kasysyaf an Haqa‟iqi
Gawamidit Tanzil wa Uyunil Aqwil fi Wjuhit Ta‟wil.

F. Syarat Mufasir
Seorang mufasir Alquran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi mufasir yang diakui, maka
harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Para ahli telah memformulasikan
tentang syarat-syarat dasar yang diperlukan bagi seorang mufasir.
Untuk dapat menafsirkan Alquran, maka diperlukan oleh seorang mufasir. ialah
Orang yang dapat menafsirkan Alquran hanya orang yang memiliki keahlian dan
menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang Alquran)sedangkan orang yang belum
banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan Alquran dan tidak menguasai
ilmu Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan Alquran, hal ini dimaksudkan agar jangan
sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu keinginan
mufasir,sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-
Nya.
Berikut ini ayat Larangan menafsirkan al-qu‟ran tanpa ilmu dasar pengetahuan
tentang Al- Qur‟an‟, terdapat dalam (QS,Al-A‟raf : 33 )

‫ي َح َّس َو ِإََّ ًَا قُ ْم‬


َ ّ‫ش َز ِت‬ َ ‫اح‬ِ َٕ َ‫ظ َٓ َس َيا ْانف‬
َ ‫طٍَ َٔ َيا ِي ُْ َٓا‬َ ‫اْلثْ َى َت‬ َ ‫ق ِتغَي ِْس َٔ ْانثَ ْغ‬
ِ ْ َٔ ‫ي‬ ِ ّ ‫َٔأَ ٌْ ْان َح‬
ِ َّ ‫يُُ ِ َّز ْل نَ ْى َيا ِت‬o ِّ ‫طا ًَا ِت‬
‫اّلل ت ُ ْش ِس ُكٕا‬ َ ‫ص ْه‬
ُ ٌْ َ‫ّللا َػهَى تَقُٕنُٕا َٔأ‬ ِ َّ ‫تَ ْؼهَ ًٌَُٕ َال َيا‬

Artinya: Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik


yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui".
Selain itu terdapat hadis Nabi yang juga melarang menafsirkan Alquran tanpa
didasari ilmu pengetahuan (terkait dengan Alquran) dengan pemberian ancaman masuk
neraka.
14

ٍْ ‫ص ِؼي ِد َػ‬
َ ٍِْ ‫ي َػثَّاس ات ٍِْ َػ ٍْ ُجثَيْس ت‬
َ ‫ض‬ َّ ‫صٕ ُل قَا َل قَا َل َػ ُْ ُٓ ًَا‬
ِ ‫ّللاُ َز‬ َّ ‫صهَّى‬
ُ ‫ّللاِ َز‬ َّ ِّ ‫َػهَ ْي‬
َ ُ‫ّللا‬
‫صهَّ َى‬
َ َٔ ٍْ ‫فِي قَا َل َي‬
ِ ‫ازقَا َل ِي ٍْ َي ْق َؼدَُِ فَ ْهيَتَثَ َّٕأْ ِػ ْهى ِتغَي ِْس ْانقُ ْس‬
ٌ‫آ‬ ِ َُّ‫ضى أَتُٕ ان‬
َ ‫ َحدِيث َْرَا ِػي‬34 ٍ‫ض‬
َ ‫ص ِحيح َح‬
َ

Artinya:Dari said bin jubair, dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
barangsiapa yang mengatakan tentang Alquran tanpa dasar ilmu pengetahuan, maka
tempat yang paling layak baginya adalah neraka.
Adapun persyaratan bagi seorang mufasir sebagaimana menurut Muhammad Husein
Adz-Dazhabi, adalah beraqidah lurus dan benar, menguasai ilmu Nahwu, Ilmu sharaf,
Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma‟ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi‟ Ilmu Qira‟at, Ilmu
Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadist dan Ilmu
Mauhibah (Ilmu karunia dari Allah).
Kemudian menurut Manna‟ al-Qaththan syarat seorang mufasir dan tata cara
menafsirkan adalah bebas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan Alquran dengan
Alquran, mencari tafsir dari al-Sunnah, pendapat dari tabi‟in, mengetahui bahasa Arab
dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan
ilmu Alquran, dan memiliki ketajaman berpikir.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang
mufasir adalah beraqidah lurus, mengetahui bahasa Arab dan kaidahkaidah bahasa (ilmu
tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi).
Menurut Imam al-Zarqani, bahwa keharusan memenuhi semua, syarat-syarat
tersebut adalah untuk dapat mencapai tingkatan tafsir yang tertinggi, untuk mengetahui
dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Alquran dan membuat konklusi kandungan
hukum-hukumnya.
Adz-Zahabi berpendapat, bahwa jika seorang mufasir tidak terpenuhi pada diri
penafsir, tentu saja bisa berdampak sangat fatal sehingga menurunkan kualitas
tafsirnya.Dampak bilamana seorang mufasir tidak memahami Ilmu tersebut adalah:
1. Seorang mufasir akan cenderung fanatik dengan pemikirannya.
2. Seorang mufasir akan terpengaruh oleh situasi lingkungannya.
Penulis lebih cendrung dengan pendapat adz-Zahabi, karena seorang mufasir harus
mempunyai ilmu yang berkaitan dengan tafsir, ilmu tentang tafsir adalah alat yang
dipakai untuk mengupas tuntas apa dan bagaimana Alquran dikaji, seorang petani tidak
akan bisa membajak sawahnya apabila tidak mempunyai alat untuk membajak dan
mencangkul sawahnya, sama halnya bagi seorang mufasir Alquran harus memenuhi
syarat-syarat mufasir. Hazim Sa‟id Al-Haidar menambahkan, untuk mendapatkan
penafsiran yang berkualitas, selain menguasai ilmu-ilmu tersebut mufasir juga harus
memahami cabang-cabang ilmu pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tafsir menurut bahasa adalah bayan, izhar, idhah yang mengandung arti jelas.
Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang bisa menyempurnakan pemahaman tentang
Al Quran, menjelaskan makna-maknanya, menyingkap hukum-hukumnya, dan
menghilangkan permasalahan-permasalahan di dalam ayat-ayatnya.
Ta‟wil menurut bahasa adalah ruju‟ yang mengandung arti kembali. Menurut istilah
adalah memberikan penjelasan mengenai hakikat suatu lafadz. Jadi, jika tafsir itu
menerangkan dzahir lafadznya, seperti menafsirkan lafadz “as shiroot” dengan “at
thoriq” (jalan) atau “as shoyyib” dengan “al mathor” (hujan). Sedangkan ta‟wil
menerangkan tentang hakikat suatu lafadz. Contoh firman Allah SWT, “ sesungguhnya
tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS Al Fajr (89): 14) ta‟wil nya adalah peringatan
bagi siapa saja yang meremehkan perintahnya, bersiaplah bahwa Allah akan
menampakannya.
Perbedaan tafsir dan takwil adalah sebagai berikut:
1. Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih
banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
2. Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan Takwil apa-apa yang
bersangkutan paut dengan dirayah.
3. Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan Takwil hanya menjelaskan secara global
tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
4. Takwil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir
menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan
para ulama dalam penafsiran itu.

15
16

5. Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara
majazi sedangkan Takwil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi
yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.
Untuk dapat menafsirkan Alquran, maka diperlukan oleh seorang mufasir. ialah
Orang yang dapat menafsirkan Alquran hanya orang yang memiliki keahlian dan
menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang Alquran)sedangkan orang yang belum
banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan Alquran dan tidak menguasai
ilmu Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan Alquran, hal ini dimaksudkan agar jangan
sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu keinginan
mufasir,sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-
Nya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang
mufasir adalah beraqidah lurus, mengetahui bahasa Arab dan kaidahkaidah bahasa (ilmu
tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi).

B. SARAN

Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir dan takwil. Makalah inipun
tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun
kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada
makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Amien, Siddiq. 2008. Buku Pintar Al-Qur’an. Jakarta:QultumMedia


al-„AK, Kholid Abdurrahman. Ushul Tafsir wa Qowaa’iduhu. Damaskus: Dar anNaghais
al-Qottan, Manna‟, Khalil . 2013. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’’an. Bogor

17

Anda mungkin juga menyukai