Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur‟an
Dosen pengampu: Dr. H. Ali Imran, M.A
Disusun Oleh :
Khoirul Rahman
Susi Sukma
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci yang Allah SWT turunkan kepadaa Nabi
Muhammad SAW untuk umat islam, Oleh karena itu yang paling memahami arti,
tafsir dan ta‟wil secara sempurna hanyalah Nabi Muhammad SAW, karena beliau
langsung diajarkan oleh Allah SWT mealalui perantara malaikat Jibril AS, kemudian
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada para sahabat, dan para sahabat
mengajarkan kepada para tabi‟iin, dan tabi‟iin mengajarkan kepada tabi‟ut taabi‟iin
dan seterusnya hingga sampai saat ini, dan itulah yang disebut rantai sanad keilmuan,
sehinggan ilmu dan fatwa seorang „ulama bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangannya, timbul permasalahan yang terjadi, banyak orang yang
menafsirkan dan menta‟wilkan Al Quran secara sembarangan, tanpa memahami
disiplin ilmu yang harus dikuasai sebelum menafsirkan Al Quran, seperti ilmu nahwu,
shorof, qiraat, ma‟aani, asbabun nuzuul dan lain-lain. Hal ini disebabkan mereka tidak
mengetahui apa pengertian sebenarnya dari tafsir dan ta‟wil, kebanyakan mereka
memahami tafsir dan ta‟wil adalah ilmu menterjemahkan Al Quran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir dan ta‟wil Al Quran ?
2. Apa macam-macam metode tafsir ?
3. Apa perbedaan tafsir dan ta‟wil ?
4. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir dan ta‟wil Al Quran ?
5. Siapa saja tokoh-tokoh mufassir ? dan apa saja syarat-syarat menjadi mufassir ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir dan ta‟wil Al Quran
2. Untuk mengetahui macam-macam metode tafsir
3. Untuk mengetahui perbedaan tafsir dan ta‟wil
4. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir dan ta‟wil
5. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh mufassir dan apa saja syarat-syarat
menjadi seorang mufassir
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Siddiq Amien, buku pintar Al-Qur’an(Jakarta:QultumMedia,2008),h.43-44.
2
3
........ حسيت ػهيكى انًيتت ٔاندو ٔنحى انخُزيس ٔيا احم تّ نغيس هللا
Artinya : Diharamkan untuk kalian memakan bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS Al Maidah (5): 3).
Contoh penafsiran Al Quran dengan hadits :
ٔانضقف انًسفٕع
Artinya : Dan atap yang ditinggikan. (QS. Atthur (52): 5) Ayat ini ditafsirkan oleh
sahabat Ali bin Abi Thalib dengan „langit‟. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat Al Anbiya :
merupakan tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra‟yu semata, yang hal ini
adalah dilarang.
Contoh tafsir bil isyari:
Syeikh Manna Khalil Al Qattan mengemukakan contoh untuk Ibnu Abbas yang
mengatakan :
Ummar Ra mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran ada
diantara mereka yang keberatan dan berkata mengapa engkau mengajak anak kecil
ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang
sesuai dengannya.Ummar menjawab ia adalah orang yang engkau kenal
kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok
mereka, Ibnu Abbas berkata aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-
mata untuk diperkenalkan keapada mereka, Umar berkata apa pendapat kalian
tentang firman Allah dalam surat al-Nashr ayat 1 yaitu :
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka
dengan kezaliman……(Q.S. al An’am:82)
Ayat di atas sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada
Rasulullah, „Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap
dirinya ?‟ Beliau menjawab : „Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami.
Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh
(Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang
besar (Luqman : 13). Jadi, sesungguhnya kezaliman di sini maksudnya adalah syirik.‟
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki ketika
diperlukan. Dari Uqbah Ibn „Amir, ia berkata: „Saya pernah mendengar Rasulullah
mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat, Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al Anfal:60). Ketahuilah, “kekuatan” di
sini adalah memanah.
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kandungan al Qur‟an terdapat ayat-ayat yang
tidak dapat diketahui ta‟wilnya kecuali melalui penjelasanRasulullah. Misalnya, rincian
tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang di-
fardlu-kannya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah,
sungguh telah diturunkan kepadaku Qur‟an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa
dengannya......”.
Dengan demikian, kendatipun Rasulullah tidak mengintrodusir suatu metode yang
baku, namun secara langsung Beliau sendiri telah mempraktekkan dua cara
pendekatan (two approaches) dalam kajian al Qur‟an. Yang pertama adalah
pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu).
Pada era shahabat, kedua cara pendekatan tersebut tetap dipakai, meskipun
kecenderungan pada pendekatan naqliy (nash al Qur‟an dan al Sunnah) terasa lebih
dominan. Jelasnya, para sahabat dalam menerangkan berpegang pada:
1. Al-Qur‟anu al Karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat
dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang
dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul ayat lain yang membatasi
atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan denga “tafsir Qur‟an dengan
Qur‟an”,
2. Penjelasan Rasulullah, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al
Qur‟an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika
mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, dan
10
3. Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al
Qur‟an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu
dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan
nalar.
Di sini perlu dijelaskan bahwasanya ijtihad mereka pada umumnya berpijak pada:
a. Penguasaan bahasa Arab yang luas dan alami,
b. Pengenalan adat istiadat bangsa Arab,
c. Pengenalan latar belakang sosio-kultural ketika al Qur‟an diturunkan, termasuk
keadaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan,
d. Kemampuan intelektual masing-masing.
Diantara sahabat yang terkenal banyak menafsirkan la Qur‟an adalah empat
khalifah, Ibnu Mas‟ud, Ibnu „Abbas, Ubai Ibn Ka‟b, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al
Asy‟ari, Abdullah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Umar, Jabir Ibn Abdullah,
Abdullah Ibn „Amr Ibn „Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau
banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada
mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat.
Tidak jauh beda dengan masa sahabat adalah pada masa tabi’in, dimana metode
pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan al Qur‟an tidak jauh berbeda dengan apa
yang dipakai shahabat. Mereka bersandar kepada para pendahulunya disamping juga
melakukan ijtihad dan pandangan tersendiri. Jelasnya, menurut Muhammad Husein al
Dzahaby, sebagaimana disitir oleh Said Agil, para penafsir dari kalangan tabi’in dalam
pemahamannya bersandar kepada Allah itu sendiri. Juga dari sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabat yang merupakan penafsiran mereka sendiri. Mereka juga mengambilnya
dari ahli kitab sesuatu yang terdapat dalam kitab mereka. Begitupun di era
sesudah tabi’in, baik periode mutaqaddimun maupun muta’akhirun, pendekatan yang
digunakan dalam upaya penafsiran al Qur‟an sudah dibakukan dalam bentuk tafsir
ma’tsur (riwayat) dan tafsir ra’yu (akal).
Namun di zaman modern, penafsir sedikit mengalami perubahan, dimana
para mufassir menempuh pola dan langkah baru dengan memperhatikan
keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-
aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir
yang bercorak “sastera sosial”. Di antara mufasir kelompok ini adalah Muhammad
11
3
Manna’, Khalil al-Qottan, ‘’studi Ilmu-ilmu Al-Qur’’an, (Bogor: 2013), cet.6, Hlm. 522.
12
mufassir dikalangan tabi‟in, Mujjahid bin jabr mengambil tafsir dari riwayat Ibn
Abbas.
3. At Tabari
At Tabari atau dengan nama lengkap Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid
bin Kasir Abu Ja‟far At Tabariat-Tabari. At Tabari mempunyai dua karya
besar,yaitu kitab Tarikhul umam wal muluk tentang sejarah dan Jami‟ul bayan fi
tafsiril Qur‟an.
4. Asy-Syaukani
Nama lengkapnya adalah Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani
as-San‟ani,seorang mujtahid,pembela sunnah dan pembasmi bid‟ah.kitab yang
ditafsirnya ialah Fathul Qadir.
5. Ibn Katsir
Ia adalah Isma‟il bin Amr al-Quraisyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi
„Imamuddin Abul Fida‟ al-Hafiz al-Muhaddis asy-Syafi‟i.Ia adalah seorang ahli fiqh
yang sangat ahli,ahli hadist yang sangat cerdas,sejarahwan ulung dan muffasir
paripurna diantara karya tulis nya ialah:
a. AL-bidayah wan Nihayah
b. Al-Kawakibud Darari
c. Tafsirul Qur‟an,al-Ijtihad fi talabil jihad
d. Jamiul masanid,as-sunanul hadi li Aqwami sunanal
e. Al-Wadihun nafis fi manaqibil imam Muhammad Ibn Idris
6. Fakhruddin ar-Razi
Ia adaah Muhammad bin Umar bin At-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-Tabaristani
ar-Razi Fakhrudin,terkenal dengan nama Ibnu Khatib asy-Syafi‟I al-Faqih. Iya
mempelajari ilmu ilmu diniah dan aqliahi hingga sangat menguasai ilmu Logika dan
filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam.
Ilmu-ilmu aqliah sangat mendominasi pemikiran ar-Razi di dalam tafsirnya.
sehingga ia mencampuradkuan ke dalamnya berbagai kajian mengenai
kedokteran,logika,filsafat,dan hikmah.diantara karangan nya ialah al-Kasysyaf ,al-
Fai‟iq,al-Minhaj,al-Muffasal,dll.
7. Az-Zamakhsyari
13
F. Syarat Mufasir
Seorang mufasir Alquran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi mufasir yang diakui, maka
harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Para ahli telah memformulasikan
tentang syarat-syarat dasar yang diperlukan bagi seorang mufasir.
Untuk dapat menafsirkan Alquran, maka diperlukan oleh seorang mufasir. ialah
Orang yang dapat menafsirkan Alquran hanya orang yang memiliki keahlian dan
menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang Alquran)sedangkan orang yang belum
banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan Alquran dan tidak menguasai
ilmu Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan Alquran, hal ini dimaksudkan agar jangan
sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu keinginan
mufasir,sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-
Nya.
Berikut ini ayat Larangan menafsirkan al-qu‟ran tanpa ilmu dasar pengetahuan
tentang Al- Qur‟an‟, terdapat dalam (QS,Al-A‟raf : 33 )
ٍْ ص ِؼي ِد َػ
َ ٍِْ ي َػثَّاس ات ٍِْ َػ ٍْ ُجثَيْس ت
َ ض َّ صٕ ُل قَا َل قَا َل َػ ُْ ُٓ ًَا
ِ ّللاُ َز َّ صهَّى
ُ ّللاِ َز َّ ِّ َػهَ ْي
َ ُّللا
صهَّ َى
َ َٔ ٍْ فِي قَا َل َي
ِ ازقَا َل ِي ٍْ َي ْق َؼدَُِ فَ ْهيَتَثَ َّٕأْ ِػ ْهى ِتغَي ِْس ْانقُ ْس
ٌآ ِ َُّضى أَتُٕ ان
َ َحدِيث َْرَا ِػي34 ٍض
َ ص ِحيح َح
َ
Artinya:Dari said bin jubair, dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
barangsiapa yang mengatakan tentang Alquran tanpa dasar ilmu pengetahuan, maka
tempat yang paling layak baginya adalah neraka.
Adapun persyaratan bagi seorang mufasir sebagaimana menurut Muhammad Husein
Adz-Dazhabi, adalah beraqidah lurus dan benar, menguasai ilmu Nahwu, Ilmu sharaf,
Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma‟ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi‟ Ilmu Qira‟at, Ilmu
Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadist dan Ilmu
Mauhibah (Ilmu karunia dari Allah).
Kemudian menurut Manna‟ al-Qaththan syarat seorang mufasir dan tata cara
menafsirkan adalah bebas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan Alquran dengan
Alquran, mencari tafsir dari al-Sunnah, pendapat dari tabi‟in, mengetahui bahasa Arab
dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan
ilmu Alquran, dan memiliki ketajaman berpikir.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang
mufasir adalah beraqidah lurus, mengetahui bahasa Arab dan kaidahkaidah bahasa (ilmu
tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi).
Menurut Imam al-Zarqani, bahwa keharusan memenuhi semua, syarat-syarat
tersebut adalah untuk dapat mencapai tingkatan tafsir yang tertinggi, untuk mengetahui
dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Alquran dan membuat konklusi kandungan
hukum-hukumnya.
Adz-Zahabi berpendapat, bahwa jika seorang mufasir tidak terpenuhi pada diri
penafsir, tentu saja bisa berdampak sangat fatal sehingga menurunkan kualitas
tafsirnya.Dampak bilamana seorang mufasir tidak memahami Ilmu tersebut adalah:
1. Seorang mufasir akan cenderung fanatik dengan pemikirannya.
2. Seorang mufasir akan terpengaruh oleh situasi lingkungannya.
Penulis lebih cendrung dengan pendapat adz-Zahabi, karena seorang mufasir harus
mempunyai ilmu yang berkaitan dengan tafsir, ilmu tentang tafsir adalah alat yang
dipakai untuk mengupas tuntas apa dan bagaimana Alquran dikaji, seorang petani tidak
akan bisa membajak sawahnya apabila tidak mempunyai alat untuk membajak dan
mencangkul sawahnya, sama halnya bagi seorang mufasir Alquran harus memenuhi
syarat-syarat mufasir. Hazim Sa‟id Al-Haidar menambahkan, untuk mendapatkan
penafsiran yang berkualitas, selain menguasai ilmu-ilmu tersebut mufasir juga harus
memahami cabang-cabang ilmu pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tafsir menurut bahasa adalah bayan, izhar, idhah yang mengandung arti jelas.
Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang bisa menyempurnakan pemahaman tentang
Al Quran, menjelaskan makna-maknanya, menyingkap hukum-hukumnya, dan
menghilangkan permasalahan-permasalahan di dalam ayat-ayatnya.
Ta‟wil menurut bahasa adalah ruju‟ yang mengandung arti kembali. Menurut istilah
adalah memberikan penjelasan mengenai hakikat suatu lafadz. Jadi, jika tafsir itu
menerangkan dzahir lafadznya, seperti menafsirkan lafadz “as shiroot” dengan “at
thoriq” (jalan) atau “as shoyyib” dengan “al mathor” (hujan). Sedangkan ta‟wil
menerangkan tentang hakikat suatu lafadz. Contoh firman Allah SWT, “ sesungguhnya
tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS Al Fajr (89): 14) ta‟wil nya adalah peringatan
bagi siapa saja yang meremehkan perintahnya, bersiaplah bahwa Allah akan
menampakannya.
Perbedaan tafsir dan takwil adalah sebagai berikut:
1. Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih
banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
2. Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan Takwil apa-apa yang
bersangkutan paut dengan dirayah.
3. Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan Takwil hanya menjelaskan secara global
tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
4. Takwil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir
menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan
para ulama dalam penafsiran itu.
15
16
5. Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara
majazi sedangkan Takwil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi
yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.
Untuk dapat menafsirkan Alquran, maka diperlukan oleh seorang mufasir. ialah
Orang yang dapat menafsirkan Alquran hanya orang yang memiliki keahlian dan
menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang Alquran)sedangkan orang yang belum
banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan Alquran dan tidak menguasai
ilmu Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan Alquran, hal ini dimaksudkan agar jangan
sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu keinginan
mufasir,sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-
Nya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang
mufasir adalah beraqidah lurus, mengetahui bahasa Arab dan kaidahkaidah bahasa (ilmu
tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi).
B. SARAN
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir dan takwil. Makalah inipun
tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun
kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada
makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
17