Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TAFSIR, TA’WIL, TERJEMAH DAN HERMENEUTIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi al-Qur’an dan Hadits
Dosen Pengampu: Mayadina Rohmi Musfiroh, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh:
Ervina Dwi Rahayu (201420000469)
Yuni Safaatin (201420000490)
Alfiatur Rohmaniyah (201420000498)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Tafsir .................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian Tafsir ............................................................................. 3
2.1.2 Bentuk-bentuk Tafsir Alquran ...................................................... 4
2.1.3 Sejarah dan Perkembangan Tafsir di Nusantara ........................ 6
2.2 Ta’wil ................................................................................................. 10
2.2.1 Pengertian Ta’wil .......................................................................... 10
2.2.2 Syarat-syarat Ta’wil ..................................................................... 11
2.2.3 Bentuk-bentuk Ta’wil ................................................................... 12
2.2.4 Kriteria bagi Seseorang yang Melakukan Ta’wil ...................... 12
2.3 Terjemah............................................................................................ 13
2.3.1 Pengertian Terjemah .................................................................... 13
2.3.2 Jenis Terjemah .............................................................................. 13
2.3.3 Metode Terjemah .......................................................................... 13
2.4 Hermeneutik ...................................................................................... 15
2.4.1 Pengertian Hermeneutik .............................................................. 15
2.4.2 Cara Kerja Hermeneutik sebagai Metode Penafsiran .............. 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19
3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu,
dibutuhkan sebuah metode untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung
dalam lafaz-lafaz kitab suci tersebut. Metode itu dikenal dalam tradisi Islam
dengan tafsir, sebuah metode kajian yang bertujuan untuk memahami ayat-ayat
al-Qur'an. Di samping itu, lafazh al-Qur'an terkadang diungkapkan secara
tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam
ayat-ayat Mutasyabihat, sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan
lafadz.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan
Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikan gamblang dan ayat-
ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah
suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat
memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara
global. Sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat
menyimpulkan pula dari padanya makna-makna yang menarik. Di antara dua
kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah
mengherankan jika Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui
pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata gharib (aneh,
ganjil) atau menta’wilkan tarkib (susunan kalimat).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian tafsir, bentuk-bentuk tafsir Alquran, dan sejarah dan
perkembangan tafsir di nusantara?
2. Bagaimana pengertian ta’wil, syarat-syarat ta’wil, bentuk-bentuk- ta’wil,
dan kreteria bagi seseorang yang melakukan ta’wil?
3. Bagaimana pengertian terjemah, jenis-jenis, metode dan pentingnya
terjemahan al-Qur’an?

1
4. Bagaimana pengertian hermeneutik dan cara kerja hermeneutik sebagai
metode penafsiran?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian tafsir, dan sejarah dan
perkembangan tafsir di nusantara
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian ta’wil, syarat-syarat ta’wil,
bentuk-bentuk- ta’wil, dan kreteria bagi seseorang yang melakukan ta’wil
3. Untuk mengetahui dan memahami pengertian terjemah, jenis-jenis, metode
dan pentingnya terjemahan al-Qur’an.
4. Untuk mengetahui dan memahami pengertian hermeneutik dan cara kerja
hermeneutik sebagai metode penafsiran.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tafsir
2.1.1 Pengertian Tafsir
Secara etimologi, kata “tafsir” berasal dari akar kata ‫ر‬-‫س‬-‫ف‬
yang berarti suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
“Al-Tafsirah” adalah suatu alat yang digunakan dokter untuk
mendeteksi dan mengetahui sesuatu yang terdapat dalam air.
Dalam buku-buku ulumul Quran diperoleh informasi bahwa
kata “tafsir” arti dasarnya ialah ,ُ‫ضا ُح َوالت َّ ْب ِي ْين‬
َ ‫اإل ْي‬yaitu keterangan dan
penjelasan. Dalam al-Quran kata “tafsir” hanya sekali disebut, yaitu
pada surah al-Furqan/25:33.

‫سنَ ت َ ْف ِسيْرا‬ ِ ِّ ‫َوالَ يَأْت ُ ْونَكَ بِ َمث َ ٍل اِالَّ ِجئْنـكَ بِ ْال َح‬
َ ْ‫ق َواَح‬

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu


yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar
dan yang paling baik penjelasannya”.
Kata “tafsir” dalam ayat tersebut berarti penjelasan.
Secara terminologi, kata “tafsir” didefinisikan oleh para ulama
tafsir yang cukup beragam, di antaranya:

1. Imam Jalaluddin al-Suyuthiy (911 H/1505 M)


“Tafsir ialah suatu ilmu yang membahas tentang turunnya ayat-ayat
dan hal ihwalnya, kisah-kisah dan sebab-sebab turunnya, tertib
makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan
mansukh, khusus dan umum, mutlak dan muqayyad, mujmal dan
dan mufassar, halal dan haram, janji dan ancaman, perintah dan
larangan, ungkapan-ungkapan, dan perumpamaan-
perumpamaannya.”
2. Imam al-Zarkasyiy (794 H)

3
Tafsir ialah suatu ilmu untuk memahami al-Quran yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw dan menjelaskan arti-artinya serta
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya”.
3. Imam al-Dzarqaniy
Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari
segi petunjuk-petunjuknya terhadap makna yang dikehendaki Allah
sesuai dengan kapasitas kemampuan manusia”.
Semua definisi di atas, pada dasarnya menunjukkan bahwa
pengertian tafsir ialah ilmu yang membahas ayat-ayat al-Quran dengan
tujuan untuk menjelaskan maksud Allah di dalam kitab-Nya itu yang
meliputi pemahaman arti dan penjelasan maksud-maksudnya.
2.1.2 Bentuk-bentuk Tafsir Alquran
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur’an yang dihasilkan secara garis
besar dapat dibagi menjadi tiga:
1. Tafsir bi al-Ma`tsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah,
hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran
seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari
generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada
kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai
penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah
yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan
perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada
umumnya menerimanya dari para sahabat.
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu
Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur
fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun

4
Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya
Abu Ja’far An Nahhas).
2. Tafsir bi ar-Ra’yi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan
metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa
Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad
dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan
bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-
Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain
seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya
untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan
bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain: “khalaqal
insaana min ‘alaq” (Surat Al Alaq: 2). Kata ‘alaq disini diberi
makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah yang berarti
segumpal darah yang kental. Beberapa tafsir bir ra’yi yang
terkenal antara lain:
a. Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally
dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As
Sayuthi)
b. Tafsir Al Baidhawi
c. Tafsir Al Fakhrur Razy
d. Tafsir Abu Suud
e. Tafsir An Nasafy
f. Tafsir Al Khatib
g. Tafsir Al Khazin
3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang
zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami
oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat
yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh

5
ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-
ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari
limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang
biasa disebut tafsir Isyari. Tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan
batin.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah
pada ayat: ‘“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu
baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67). Yang mempunyai makna
zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi
makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih nafsu hewaniah...”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain:

a. Tafsir An Naisabury
b. Tafsir Al Alusy
c. Tafsir At Tastary
d. Tafsir Ibnu Araby
2.1.3 Sejarah dan Perkembangan Tafsir di Nusantara
Dalam perkembangannya Tafsir Al-Qur’an di nusantara dapat
di bagi menjadi Empat Periode:
1. Abad ke VII-XV (Klasik)
Pada periode pertama islam di Nusantara belum bisa
dikatakan sebagai sebuah tafsir, penafsiran al-Qur’an masih berada
pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat praktis
dan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman
pembawa ajarannya. Sebagaimana diketahui bahwa para ulama dan
penyebar islam melihat kondisi Nusantara pada saat itu, yang
dibutuhkan hanya sebatas penafsiran ayat-ayat untuk kebutuhan
dakwah Islamiyah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh bahasa
Arab terhadap huruf-huruf di Indonesia sangat besar, sehingga

6
huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa melayu pada awalnya
adalah huruf-huruf Arab.
Pada periode Klasik ini sangat sulit bagi para ulama
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, pertama; bahwa
tulisan pada masa itu belum begitu penting bagi masyarakat
indonesia, kedua; masyarakat Indonesia pada masa itu lebih
memilih penjelasan-penjelasan praktis terhadap isi kandungan al-
Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di negeri
Arab, ketiga; masyarakat pribumi masih membutuhkan waktu
untuk belajar membaca huru-huruf Arab. Sejarah kajian tafsir al-
Qur’an hanya mampu dibuktikan paling sejak abad ke-17 sampai
ke masa-masa kontemporer.
2. Abad ke-15 hingga Abad ke-17 (Abad pertengahan)
Tafsir Al-Qur’an pada masa ini lebih berkembang dan lebih
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena tidak
didasarkan pada kekuatan ingatan semata sebagaimana periode
klasik. Pada abad ini sudah ada seorang penulis bernama Hamzah
al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 melakukan
penerjamahan sejumlah ayat al-Qur’an yang terkait dengan tasawuf
dalam bahasa melayu yang indah meskipun tidak dalam bentuk
yang sempurna 30 juz. Salah satu contohnya ketika menafsirkan
surah al-ikhlas dengan mengatakan:
Laut itu indah bernama Ahad
Terlalu lengkap pada asy'us-samad
Olehnya itulah lam yalid wa lam yulad
Wa lam yakun lahu kufu'an ahad
Di antara pengikut Hamzah al-Fansuri atau bahkan konon dia
adalah teman Hamzah al-Fansuri adalah syamsuddin al-Sumatrani
yang muncul sebagai ulama terkemuka di istana Sultan Iskandar
Muda. Pada masa Sultanah Safiyat al-Din, penerus Sultan Iskandar
II, Abd Rauf al-Singkily menulis karya tafsirnya dalam bentuk

7
lengkap 30 juz pada tahun 1661 dengan judul Tarjuman al-
Mustafid. Modelnya singkat, jelas, dan elementer.
3. Abad ke-18 dan 19 (Abad Pra Modern)
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama-ulama yang menulis
dalam berbagai disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling
menonjol adalah karya yang terkait mistik ilmu atau ilmu tasawuf.
Diantara ulama tersebut adalah Abd Shamad al-Palimbani,
Muhammad Arsyad al- Banjari, Abd Wahhab Bugis, Abd Rahman
al-Batawi dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas
Jawa.
Namun memasuki abad ke-19, perkembangan tafsir di Indonesia
tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal itu
terjadi karena beberapa faktor, diantara pengkajian tafsir al-Qur'an
selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan
memahami kitab yang ada, sehingga merasa cukup dengan kitab-
kitab Arab atau Melayu yang sudah ada. Disamping itu, adanya
tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada
abad tersebut, sehingga mayoritas ulama mengungsi kepelosok dan
mendirikan pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaaan
generasi sekaligus tempat konsentrasi perjuangan.
Sebenarnya ada karya tafsir lengkap 30 juz yang di tulis oleh
seorang ulama asal banten, al-Nawawi al-Bantani (1813-1879 M)
pada abad ke-19 dalam bahasa Arab yaitu Tafsir al-Nunir li Ma'alim
al-Tanzil. Namun demikian karya tafsir ini ditulis dan dicetak di luar
Nusantara, yaitu di Makkah.
4. Abad ke-20 dan 21 M (Abad Modern-Kontemporer)
Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan
Al-Qur'an dalam bentuk perjuz, bahkan seluruh isi Al-Qur'an mulai
bermunculan. Kondisi penerjemahan Al-Qur'an semakin kondisif
setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang
menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.

8
Tafsir al-Furqon misalnya adalah tafsir pertama yang di terbitkan
pada tahun 1928. Selanjutnya atas bantuan pengusaha yaitu Saad
Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya di lanjutkan
kembali hingga akhirnya tulisan tafsir al-Furqon secara keseluruhan
30 juz dapat di terbitkan pada tahun 1956.
5. Abad ke-20 dan 21 M (Abad Modern-Kontemporer)
Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan
Al-Qur'an dalam bentuk perjuz, bahkan seluruh isi Al-Qur'an mulai
bermunculan. Kondisi penerjemahan Al-Qur'an semakin kondisif
setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang
menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.
Tafsir al-Furqon misalnya adalah tafsir pertama yang di terbitkan
pada tahun 1928. Selanjutnya atas bantuan pengusaha yaitu Saad
Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya di lanjutkan
kembali hingga akhirnya tulisan tafsir al-Furqon secara keseluruhan
30 juz dapat di terbitkan pada tahun 1956.
Pada tahun 1938 Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamat Al-
Qur'anul Karim. Kemudian pada tahun 1942, Mahmud Aziz
menyusun sebuah tafsir dengan judul Tafsir Qur'an Bahasa
Indonesia. Proses terjemahan semakin baju pasca kemerdekan RI
pada tahun 1945 yaitu munculnya beberapa terjemahan seperti Al-
Qur'an dan terjemahannya yang didukung oleh Menteri Agama saat
itu.
Pada tahun 1963 perkembangan terjemahan mulai tampak
dengan munculnya Tafsir Al-Qur'an karya Zainuddin Hamidi dan
Fakhrudin HS. Tafsir Al-Azhar yang ditulis oleh Hamka pada saat
dalam tahanan di era pemerintahaan Soekarno dan diterbitkan untuk
pertama kalinya 1966. Tafsir Al-Bayan dan pada tahun 1973 Tafsir
Al-Qur'an al-Madjied an-Nur, di cetak juz perjuz yang keduanya
disusun oleh Hasbi as-Shiddiqy di samping menterjemahkan secara
harfiah dengan mengelompokkan ayat-ayatnya juga menjelaskan

9
fungsi surat atau ayat tersebut, menulis munasabah dan diakhiri
dengan kesimpulan.
Bentuk karya Hamka lebih ensklopedis karena dia seorang
novelis dan orator sedangkan as-Shiddiqy menggunakan bahasa
prosa. Disamping tafsir Al-Qur'an, muncul juga berbagai ilmu yang
terkait dengan Al-Qur'an, baik itu sejarah Al-Qur'an/tafsir, ulum Al-
Qur'an maupun ilmu yang secara tidak langsung terkait dengan Al-
Qur'an dan tafsirnya.
Tidak kalah pentingnya adalah tafsir yang menggunakan bahasa
daerah. Diantara tafsir dalam bahasa daerah adalah seperti upaya
yang dilakukan KH. Muhammad Ramli dengan al-Kitab al-Mubin,
yang diterbitkan pada tahun 1974 dalam bahasa Sunda. Sedangkan
dalam bahasa Jawa antara lain Kemajuan Islam Yogyakarta dengan
tafsirnya Qur’an Kejawen dan Qur’an Sandawiyah, KH. Bisyri
Mustafa Rembang dengan tafsir al-Ibriz pada tahun 1950. AG. Daud
Ismail menulis tafsir dalam bahasa bugis Tafsire al-Qur’an Bahasa
Ugi. Bahkan pada 1942, Perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala
menerbitkan terjemah al-Qur’an 30 juz basa jawi huruf Arab Pegon.
2.2 Ta’wil
2.2.1 Pengertian Ta’wil
Secara etimologi, kata takwil berasal dari kata dasar ‫أَ َّو َل – ي َُؤ ِّ ِو ُل‬
‫ ت َأْ ِو ْي ٌل‬-yang berarti ,‫ر َج َع‬yakni
َ kembali. Al-Jurjaniy dalam kamusnya al-
Ta`rifât, menyebutkan bahwa takwil pada asalnya bermakna ‫اَلتَّ ْر ِج ْي ُع‬
(mengembalikan). Sedangkan al-Asfahaniy menambah keterangan
bahwa kata takwil ini berasal dari kata ‫اَأل َ ْو ُل‬yang berarti ُ‫لر ُج ْوع‬
ُّ َ‫ا‬
(mengembalikan), yakni mengembalikan kepada asalnya, dalam artian
mengembalikan sesuatu kepada tujuan yang dimaksud, baik dalam hal
pengetahuan berupa konsep ataupun berupa aksi (perbuatan). Al-
ُّ َ ‫ا‬mengembalikan), dengan
Shabuniy memaknai takwil sebagai ( ُ‫لر ُج ْوع‬
pengertian mengembalikan makna ayat-ayat itu kepada beberapa
kemungkinan arti.

10
Di samping itu, ada juga informasi lain menyebutkan bahwa
kata “takwil” berasal dari kata ‫اَألَيَلَة‬yang berarti , ُ‫سة‬ ِّ ِ ‫ا َل‬yakni mengatur,
َ ‫سيَا‬
seakan-akan mengatur-atur kalimat, menimbang-nimbangnya,
membolakbalikkannya untuk memperoleh arti dan maksudnya. Dalam
َ ‫ َمأْال‬berarti َّ‫ ِإ ْرت َـد‬yakni balik kembali.
kamus disebutkan ‫أ َ ْوال‬-‫آ َل‬dan ِ ُ‫ع ْنه‬
Sedangkan bentuk muta`addi-nya (transitif) ialah ‫ أ َ َّو َل ْال َكالَ َم‬.ٌ‫ت َأ ْ ِو ْيل‬-‫أَ َّو َل‬
berarti mengembalikan (kata) kepada konteks yang ada dalam
rangkaian kalimat. Atau ‫ت َأْ ِو ْي ُل ْال َكالَ ِم‬berarti mengatur kalimat,
menetapkannya, dan menerangkannya. Jadi, takwil di sini berarti
ungkapan atau penjelasan mengenai suatu pandangan.
2.2.2 Syarat-syarat Ta’wil
Adapun syarat-syarat Ta’wil antara lain:
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhabir dan lafaz hash
serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena
lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan
untuk di-ta’wail. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada
makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti:
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan
diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dahlil yang
lebih tinggi dari dahlil itu. Contohnya: suatu hadis menyalahi
maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan
untuk di ta’wil kan, maka hadis itu di ta’wil kan saja ketimbang
ditolak sama sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya.
Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhabir diperuntukan
untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam
bentuk nash.

11
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi
menyalahi lafaz lain yang mufassar.
Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wil.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak
bertentangan dengan dahlil yang ada.
2.2.3 Bentuk-bentuk Ta’wil:
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan
ta’wil. Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua betuk ta’wil,
yaitu:
a. Ta’wil maqbul atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang
telah memenuhi persyaratan. Ta’wil dalam bentuk ini diterima
keberadaanya oleh ulama Ushul.
b. Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil
yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan
tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2. Dan segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil
dari makna zhahimnya, ta’wil di bagi kepada dua bentuk:
a. Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti
zhahir-nya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana data
dipahamimaksutnya.
Ta’wil qarib ini termasuk kedalam bentuk ta’wil yang maqbul.
b. Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz
yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan
dalil yang sederhana.
2.2.4 Kriteria bagi Seseorang yang Melakukan Ta’wil
Para ulama telah sepakat untuk menetapkan kriteria bagi
seseorang yang melakukan ta’wil, sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu tentang Al-Qur’an yaitu: mengetahui dan mengusai
ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat hukum dan tidak
disyaratkan harus menghafalnya.

12
b. Memiliki ilmu tentang As-Sunnah yaitu: mengetahui dan mengusai
hadith-hadith hukum dan mampu menyebutkannya, serta
membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif,
mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma’, dan perbedaan-
perbedaan pendapat para ulama.
c. Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
d. Mengusai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna
dari setiap katanya, karena ta’wil-ta’wil batil kebanyakan berasal
dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa Arab.
e. Mengetahui maqashid syari’ah dengan baik.
f. Beraqidah yang baik dan lurus
2.3 Terjemah
2.3.1 Pengertian Terjemah
Secara etimologi, terjemah berasal dari bahasa Arab (tarjama)
yang berarti menafsirkan dan menerangkan dengan bahasa lain. Secara
terminologi, terjemah adalah mengungkapkan makna sebuah perkataan
dari bahasa asal ke bahasa lain dengan tetap memerhatikan semua
makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa asalnya.
2.3.2 Jenis Terjemah
1. Terjamah Harfiyah
Terjamah harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan)
dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dengan mempertahankan
bentuk atau urutan kata-kata dan susunan kalimat aslinya.
2. Terjamah tafsiriyah
Terjamah tafsiriyah adalah menerjemahkan dari satu bahasa ke
bahasa lain, dengan memahami makna bahasa asal, lalu
mengungkapkannya kembali dalam bahasa terjemahan, sesuai
dengan susunan, struktur dan uslub bahasa yang digunakan untuk
menerjemahkan.
2.3.3 Metode Terjemah

13
Penerjemahan dapat dilakukan melalui tiga metode, metode tersebut
akan dijelaskan sebagai berikut;
a. Penerjemahan Tekstual
Penerjemahan tekstual adalah menerjemahkan setiap kata dari
bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-
susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah hingga akhir.
Terjemahan seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan
kata-kata yang sama, dengan kriteria-kriteria yang sama dalam dua
bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan
penerjemah, karena alasan ini, mengalami banyak kesulitan. Selain
itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak
bisa menjelaskan makna dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh
ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata
bahasa penerjemah.
b. Penerjemahan Bebas
Dalam metode ini, penerjemah berusaha memindahkan suatu
makna dari suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah
mencerminkan makna awal dengan sempurna. Maksud dari kalimat
awal bisa diartikan tanpa harus mengurangi makna dengan sedapat
mungkin menyesuaikan dengan makna dalam bahasa terjemah.
Terjemahan ini disebut dengan terjemahan maknawi karena
usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan pengertian-
pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Terjemahan
seperti ini, selama tidak merusak makna tidak harus mengikuti
susunan kata dalam teks aslinya.
c. Penerjemahan dengan Metode Penafsiran
Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak
bagus karena tidak mungkin digunakan dalam pembahasan panjang
dan buku-buku ilmiah. Demikian juga dengan penerjemahan dengan
metode penafsiran yang keluar dari batas, juga tidak dianggap
sebagai terjemahan yang baik. Penerjemahan yang bagus adalah

14
penerjemahan bebas. Sejak dahulu hingga kini terjemahan-
terjemahan Al-Qur’an, jika tidak diterjemahkan secara tekstual,
maka diterjemahkan dengan metode penafsiran.
2.3.4 Pentingnya Terjemahan al-Qur’an
Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain dengan
tujuan mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qurani
kepada bangsa-bangsa asing harus menjadi salah satu alasan keharusan
berdakwah. Hingga saat ini tak ada satupun ulama yang melarang
penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain. Tujuannya
adalah berdakwah tentang agama Islam dan memperkenalkan syari’at
dan hakikat al-Qur’an pada semua orang.
Penerjemahan al-Qur’an sejak dulu hingga sekarang sudah
menjadi bagian sejarah yang digeluti para ilmuwan muslim bahkan
nonmuslim. Meskipun al-Qur’an bukan untuk bangsa Arab saja, tidak
ada paksaan bagi bangsa-bangsa lain selain Arab untuk belajar bahasa
Arab. Meskipun mereka mau belajar hal itu adalah suatu keutamaan.
Oleh karena itu al-Qur’an sangat perlu diterjemahkan ke semua
bahasa-bahasa dunia untuk bisa mereka miliki agar mengambil manfaat
dari al-Qur’an secara langsung. Tentunya pekerjaan ini harus mendapat
bimbingan orang-orang ahli dan sholeh.
2.4 Hermeneutik
2.4.1 Pengertian Hermeneutik
Hermeneutik berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang
bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, dan bertindak
sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutik dengan
hermetik. Sedangkan hermetik merupakan pandangan filsafat yang
diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetik; suatu literatur ilmiah di
Yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus. Tulisan
ini disandarkan pada Hermes Trismegistus.
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan
kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan

15
keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh
mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam
menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Model ini dikenal
dengan ilmu tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak hanya mutlak
milik kaum penafsir Kitab Suci, ia berkembang pesat dalam pelbagai
disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada
teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik pada kajian
di atas mulai berkembang pada abad 17 dan 18.
Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/
interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada
umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno
(hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para
intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik
ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan
tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain
disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga
disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi
makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari.
2.4.2 Cara Kerja Hermeneutik sebagai Metode Penafsiran
Kalangan ilmuan klasik dan modern telah sepakat tentang
pengertian hermeneutik, yang diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pengertian
tersebut merupakan peralihan antara sesuatu yang abstrak dan gelap
kepada ungkapan yang jelas dalam bentuk bahasa yang dipahami
manusia. Hermeneutik juga diartikan dengan menerjemahkan dan
bertindak sebagai penafsir.
Dari perkembangan pengertian tentang hermeneutik di setiap
kurun yang berbeda, diskursus hermeneutik tidak lepas dari
perbincangan inti hermeneutik sendiri. Dalam definisi-definisi
hermeneutik hampir semuanya mempermasalahkan dan mengkaji
ulang prinsip hermeneutik, yaitu masalah penafsiran di mana seorang

16
penafsir mendekati subyek. Bila terdapat berbagai macam rumusan
pengertian mengenainya, maka hal itu lebih merupakan sebuah proses
penyusunan suatu tatanan dalam merespon problem penafsiran yang
dimunculkan oleh para penafsir. Jelasnya penafsiran merupakan
problem hermeneutik karena tindakan penafsiran terhadap fenomena
dan gejala alam atau terhadap segala ekspresi kehidupan manusia,
berusaha mengungkap arti di balik gejala alam atau makna di belakang
ungkapan komunikasi antar manusia yang tadinya tidak diketahui
menjadi diketahui dan dimengerti adalah batasan umum yang dianggap
benar, baik oleh hermeneutik klasik maupun modern.
Mudjia Rahardjo dalam tulisannya menerangkan bahwa
mempelajari herneneutik dan menggali makna yang terkandung dalam
Al Qur’an, perlu mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi
teks tersebut, yaitu teks, pengarang (pembawa teks) dan pembaca teks.
Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika
sangat memperhatikan 3 hal sebagai komponen pokok dalam upaya
penafsiran, yakni teks, konteks kemudian melakukan kontektualisasi.
Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat
terhadap suatu teks, keberadaan konteks diseputar teks tersebut tidak
bisa dinafikan. Sebab, kontekslah yang menentukan makna teks,
bagaimana teks tersebut harus di baca dan seberapa jauh teks tersebut
harus dipahami. Teks yang sama dalam waktu yang sama dapat
memiliki makna yang berbeda di mata “penafsir” yang berbeda.
Bahkan seprang penafsir yang sama sekalipun dapat memberikan
pemaknaan teks yang berbeda ketika ia berada dalam ruang waktu yang
berbeda. Dan disinilah fokus hermeneutika sebagai metode penafsiran.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks
Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem
karena keterbatasan bahasa, disamping karena jarak ang membentang
antara pemilik teks dan zaman sekarang. Karena, setiap usaha
menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks

17
klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan
pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran).
Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah
teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran,
sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Ricouer sebagaimana disitir oleh Mudjia Rahardjo
mengemukakan dengan panjang lebar tentang proses otonomi teks
dengan beberapa sudut pandang tentang penafsir melalui 3 tahapan,
yaitu:
a. Tahap pertama. Pre-undestanding, yaitu penafsir menghadapi teks
dengan hipotesis tertentu, sebab menurut hermeunt tidak mungkin
pembaca melakukan pembacaan yang sungguh murni, obyektif dan
netral.
b. Tahap kedua. Eksplanation, yaitu pengaitan-pengaitan secara
vertikal antara teks dengan latar belakangnya juga secara horizontal
antar teks dengan teks itu sendiri. Disinilah terjadi kontekstualisasi.
c. Tahap ketiga. Understanding, yaitu mengaitkan semua ini dengan
konteks baru pembaca sendiri, dengan wawasan pribadinya.
Kedati Ricoeur telah menawarkan gerak operasional langkah
memahami teks lewat lingkaran hermeunetiknya sebagaimana tahapan
di atas, hasil ahir dari penafsiran dipengaruhi oleh variabel berikut:
a. Corak literatur yang dibaca dan konteks sosialnya
b. setting sosial dal peranan sosial terutana tentang agenda dan fokus
masalah
c. latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu yang dikuasai terutana
saat melakukan proses interpretasi
d. pengalaman dan karakteristik personal, dan perubahan kondisi-
kondisi politik, ekonomi, sosio kultural.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tafsir, ta’wil, terjamah maupun hermeneutika berupaya untuk
memahami teks al- Qur’an yang sampai saat ini dan seterusnya masih dianggap
skaral dan otentitasnya masih belum ada yan mampu menggoyahkan. Yang
menjadi kecurigaan, keraguan bahkan ketakutan, adalah dengan munculnya
suatu metode baru yang mencoba ditawarkan oleh beberapa ilmuwan Islam
sendiri dengan berbagai variannya diantaranya metode hermeneutik sebagai
salah satu cara untuk memahami teks al- Qur’an. Yang menjadi masalahnya
adalah penerapan hermeneutika terhadap teks al- Qur’an dipahami akan
menngganti bangunan penafsiran yang selama ini mapan, yakni tafsir, ta’wil
dan tarjamah. Pada tahap berikutnya timbul kebingungan antara menerima dan
menolah metode baru itu. Jika hermeneutik dipresepsi akan memperkokoh
konstruk pemikiran tentang metode penafsiran selama ini, maka ia adalah
anugerah dan pintu untuknya sangat terbuka. Namun jika tidak, maka
malapetaka yang akan didapat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Muhammad Shalih (2016). Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah, ed.


Ushûl fi at- Tafsîr 2 (dalam bahasa Arab). Al-Maktabah al- Islamiyyah.
Ath-Thayyar, Musa’ad Sulaiman (2018). Fuşül fī Uşül al-Tafsīr 2 [Pasal-pasal dalam
Landasan Tafsir] (dalam bahasa Arab).
Riyadh, KSA: Darun Nasyr Addauli. Hamzah, Muchotob (2019). Studi Al-Qur’an
Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media. ISBN 979-95526-1-3.
Ridwan dan Zainuddin (2020). Tafsir, Ta’wil dan Terjemah. Al-Allam. Vol. 1 No. 1
Amzah, Dr. Kadar M. Yusuf, m.ag (2016). Studi al-Qur’an. Bumi Aksara: Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai