Anda di halaman 1dari 31

Dosen Pengampu

Arif Marsal Lc., M.A

TUGAS STUDI AL-QURAN


MAKALAH TAFSIR, TAWIL, DAN TERJEMAH

Disusun Oleh :
KELOMPOK 7
Insanul kamila (11653201531)
Regita cahyani prihandari (11653201356)
Siti syahidatul helma (11653201493)

JURUSAN SISTEM INFORMASI KELAS C


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT. yang karena anugerah dariNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Tafsir, Tawil dan Terjemah, serta Kitabkitab Tafsir dan Metode Penulisannya. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
baginda tercinta yakni nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Tafsir, Tawil dan
Terjemah, serta Kitab-kitab Tafsir dan Metode Penulisannya. yang kami sajikan berdasarkan
dari berbagai sumber islami. Makalah ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik
itu yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran
dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Walaupun
makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Studi Al-Quran yaitu Bpk. Arif
Marsal Lc.,M.A sebagai dosen pengampu dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Pekanbaru,

September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...
DAFTAR
ISI.
.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....
1.2 Rumusan Masalah............
1.3 Tujuan Pernulisan....
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tafsir, Tawil dan Terjemah.....
2.2 Macam-macam tafsir, tawil, dan terjemah.....
2.3 Perbedaan Tafsir dan Tawil
2.4 Sumber Tafsir..
BAB 3 PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan..
3.2 Saran..,.
DAFTAR PUSTAKA....

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG

Al-Quran merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Setidaknya itulah yang
diindikasikan oleh surat al Baqarah ayat 185. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama,
diinformasikan juga bahwa Al-Quran sekaligus menjadi penjelas (bayyinaat) dari petunjuk
tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan) antara yang baik dan yang
buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari Al-Quran. Manusia akan mengerjakan
yang baik dan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk AlQuran tersebut.
Al-Quran adalah kalaamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dengan
media malaikat Jibril AS. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, Al-Quran dijaga keasliannya oleh
Allah SWT. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian Al-Quran tersebut adalah
agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-benar menurut Sang
Pencipta Allah azza wa jalla sehingga kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana ,
di akhirat sana . Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan
selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan, ataupun
menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya?
Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas
agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Quran tidaklah sama,
padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan
daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam
hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global,
sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan
makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan
tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Quran mendapatkan perhatian besar
dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib
(aneh-ganjil) atau menTawil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa
yang mudah dipahami.

1.2

RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian Tafsir, Tawil dan Terjemah?
2.
Apa Macam-macam metode Tafsir, Tawil?
3.
Apa perbedaan Tafsir, Tawil dan Terjemah?

1.3

TUJUAN PENULISAN

Dengan adanya penjelasan dari hal-hal yang telah ditentukan pada rumusan masalah
diatas, diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menelaah lebih jauh tentang materi yang
telah dipelajari, yaitu tentang definisi tafsir, tawil, dan terjemah dan mengetahui pendapat ulama
tentang pentingnya pemahaman tafsir, tawil dan terjemah. Selain itu, mahasiswa juga
ditargetkan bisa mengkaji lebih dalam serta mengaplikasikan pemahaman yang telah didapat dari
materi yang berkaitan dangan kehidupan sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tafsir, Tawil, dan Terjemah
1.

TAFSIR

Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang semakna dengan awdhaha dan
bayyana, dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara semakna dengan ishah dan
tabyin.kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada menjelaskan atau menyatakan.
Al-Jarjani memaknai kata tafsir itu dengan al-kasyf wa al-izhhar (membuka dan
menjelaskan atau menampakkan).1 1 Istilah tafsir dalam makna membuka digunakan, baik
membuka secara konkret (al-hiss) maupun abstrak yang bersifat rasional. Al-Quran
menggunakan istilah tafsir dalam makna penjelasan, seperti yang terdapat dalam Surah
Al-Furqan (25) ayat 33:




Artinya: Tidakkah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.
Kata fassara merupakan tsulatsi mazid bi harf (kata dasarnya tiga kemudian
mendapatkan tambahan satu huruf; yaitu tasyidid atau huruf yang sejenis ain fiil-nya).
Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna, yaitu taktsir (banyak). Maka
dengan demikian secara harfiah, tafsir dapat diartikan kepada banyak memberikan
penjelasan. Maka menafsirkan Al-Quran berarti memberikan banyak komentar terhadap
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan pengertian atau makna yang dapat dijangkau oleh
seorang mufassir.
Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat Al-Quran, keadaan, kisah
dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna zahir.2
Secara simple Adz-Dzahabi mendefinikan tafsir itu kepada Penjelasan Kalam Allah,
atau menjelaskan lafal-lafal Al-Quran dan pengertian-pengertiannya.3
Di dalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan Keterangan atau
penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran.
1 Ali bin Muhammad Al-Jarjani, Kitab At-Tarifat, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1998, hlm. 63.
2 Ibid

Berdasarkan definisi di atas, maka tafsir secara umum dapat diartikan kepada penjelasan
atau keterangan yang dikemukakan oleh manusia mengenai makna ayat-ayat Al-Quran
sesuai dengan kemampuannya menangkap maksud Allah yang terkandung dalam ayatayat tersebut.
Menurut As-Sibagh, tafsir ialah Suatu ilmu yang berguna untuk memahami Kitab Allah,
yaitu menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya. 4 4Definisi ini terlihat
berbeda dengan definisi di atas. Dalam definisi As-Sibagh, tafsir di gambarkan sebagai
suatu alat yang digunakan untuk memahami Al-Quran. Ia bukan apa yang dipahami dari
Al-Quran, tetapi suatu ilmu yang digunakan untuk memahaminya. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Az-Zarkasyi, yaitu Tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk
memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan
maknanya, dan mengeluarkan hukum serta hikmahnya. Menurut Khalid Abdurrahman,
hal ini bukan tafsir, tetapi ushul at-tafsir {dasar-dasar tafsir).
Definisi di atas menggambarkan bahwa tefsir mempunyai dua arti, yaitu tafsir sebagai
ilmu alat untuk menjelaskan makna Al-Quran dan tafsir sebagai hasil pemahaman
terhadap Al-Quran berdasarka ilmu alat. Artinya, ketika seorangmufassir menafsirkan
Al-Quran, ia melalui proses menggunakan ilmu-ilmu alat yang disebut dengan tafsir, dan
kemudian menghasilakn sesuatu pemahaman yang juga disebut tafsir. Jadi, ada tafsir
sebagai ilmu alat dan ada pula tafsir sebagai hasil. Definisi Az-Zarkasyi dan As-Sibagh
lebih mengacu kepada tafsir sebagai alat dalam arti pertama,yaitu ilmu tafsir.
Menafsirkan Al-Quran berarti menangkap makna yang terkandung di dalamnya.
Dan karena Al-Quran itu merupakan pesan-pesan Ilahi (risalah ilahiyyah) yang datang
dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan yang dimilikinya
menangkap makna atau pengertian yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat tersebut.
Dengan demikian, seorang mufassir berarti menemui makna, bukan mengadakan makna.
Maka itulah sebabnya, tafsir yang semata-mata birrayi yang tidak mempunyai
tambatan dengan nash dan bahasa serta syarat lainnya tidak dapat diterima. Sebab, tafsri
birrayi dalam makna ini berarti mufassir mengadakan makna, bukan menemukan
makna. Padahal, ia akan menisbahkan penafsirannya itu kepada yang dimaksudkan Allah,
atau Al-Quran mengatakan demikian
Usaha menafsirkan Al-Quran sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. Ali ibn Abi Thlib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbs (w. 68 H), Abdullah Ibn
Masd (w. 32 H) dan Ubay ibn Kaab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang
3 Muhammad Husain Adz-dzahabi,At-Tafsir wa-Al-mufassirun, Kairo:Maktabah Wahbah,
1995, hlm. 187.

44 Muhammad bin Luthfi As-sibagh, Lamhat fiulum Al-Quran wa ittijahat At-Tafsir.


Beirut: Al-kutub Al-Islami. Tt., hlm. 187

terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dibandingkan dengan sahabat-sahabat


yang lain.

2.

TAWIL

Kata tawil merupakan mashdar dari awwala, yaitu awwala, yuawwilu, tawil. Secara bahasa, ia
berarti ruju (kembali) kepada asal.5 Al-Jarjani mengartikan tawil itu kepada tarji (mengembalikan).6
Selain makna ini, at-tawil juga berarti penjelaskan. Dalam arti yang terakhir ini, misalnya terdapat
dalam firman Allah SWT.

Artinya: Apakah mereka menunggu penjelasannya (kebenaran Al-Quran). Pada hari datang
penjelasannya (kebenaran Al-Quran) itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya; sesungguhnya
telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa kebenaran. (QS. AL-Araf (7): 53).
Analisis di atas menggambarkan bahwa istilah tafsir dan takwil secara harfiah mempunyai makna
yang sama, yaitu penjelasan. Maka menafsirkan atau menakwilkan Al-Quran berarti menjelaskan
makna yanga terkandung dalam lafal dan ayat-ayatnya.
Tawil menurut istilah berarti Memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang
zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-Kitab dan
sunnah.7 Tawil menurut ulama mutaakkhirin adalh memalingkan makna suatu lafal dari yang rajih

55 Ar-Raghib Al-Isfihani, Al-Mufradat fi Garib Al-Quran. Beirut: Dar Al-marifah.


2001, hlm.40
6 Ali bin Muhammad Al-Jarjani, Kitab Attarifat, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1988, hlm.50

kepada yang marjuh, karena ada dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan. 8 Berdasarkan
definisi ini, ditegaskan bahwa menjelaskan makna ayat AL-Quran yang didasarkan makna zahir atau
makna rajih tidak disebut dengan tawil, sebab tidak terjadi padanya pemalingan makna.
Menurut ulama salaf, tawil itu mempunyai dua arti; pertama, menafsirkan suatu ungkapan dan
menjelaskan maknanya, baik sesuai dengan makna zahir maupun tidak. Maka tawil daam arti ini
semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif (sama). Dan makna kedua adalah sesuatu
yang di kehendaki oleh suatu ungkapan; jika ungkapan itu perintah melakukan sesuatu maka takwilnya
adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkapan itu dalam bentuk berita maka takwilnya adalah berita
yang disampaikan itu.9

Adapun pengertian Tawil menurut para ulama yaitu sebagai berikut:


1) Menurut Al-Jurzani Tawil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya
terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai
dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
2) Menuurut ulama khalaf Tawil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih
pada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.
3) Menurut sebagian ulama lain Tawil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat
diterima oleh lafazh.

3.

TERJEMAH

Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: Memindahkan
bahasa Al-Quran ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini
kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga dapat
memahami kitab Allah SWT, dengan perantaraan terjemahan.

2.2 MACAM-MACAM TAFSIR, TAWIL, DAN TERJEMAH


A. TAFSIR

1. Perkembangan Tafsir
7 ibid., hlm. 50
8 Muhammad Husain Adz-Dzahabi At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, hlm. 20.
9 Ibid.,

I.

Tafsir bi al-Matsur
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi s.a.w. secara musyafahat
(dan mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin
(pembukuan) ilmu-ilmu islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-2 H. cara penafsiran
serupa itulah, yang merupakan cikal-bakal apa yang disebut dengan tafsir bi almatsur atau disebut juga dengan tafsir bi-al-riwayat. Para ulama tidak sepakat
mengenai batasan tafsir bial-matsur. Al-Zarqani, misalnya, membatasi pada tafsir
yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Quran, sunnah Nabi dan para sahabat.
Keengganan al-Zarqani memasukkan penafsiran tabiin ke dalam al-matsur dilatar
belakangi oleh kenyataan : banyak di antara tabiin itu yang terlalu terpengaruh oleh
riwayat-riwayat israiliyyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya.
Israiliyyat : Segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau
Nasrani, baik yang termaktub di dalam Taurat, Injil dan penafsiran-penafsirannya,
maupun pendapat-pendapat orang-orang Yahudi atau Nasrani mengenai ajaran agama
mereka.
Tafsir bi al-matsur tetap menjadikan riwayat sebagai dasar; sedangkan tafsir bi
al-ray berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari argument berupa ayat-ayat
Al-Quran, sunnah Nabi, dsb. untuk mendukung penafsiran tersebut.

II.

Tafsir bi al-ray
Sekitar abad ke-3 H, berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masingmasing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham
mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Quran dan
hadits-hadits Nabi s.a.w, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka
anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi alray (tafsir melali
pemikiran atau ijtihad).
Meskipun tafsir bi al-ray berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya
para ulama terbagi dua : ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya.
Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat
lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran
yang berdasarkan ray (pemikiran) semata-mata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah
dan criteria yang berlaku. Adapun hadis-hadis yang menyatakan bahwa para ulama
salaf lebih suka diam dari pada menafsirkan Al-Quran, sebagaimana dapat dipahami
dalam ucapan Abu Bakar yang dikutip di muka, tidak dapat dijadikan dalil dalam
melarang tafsir bi al-ray sebab sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: Mereka
senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal
yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang, ia harus diam kalau tidak
tahu, dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya.

Pendapat Ibn Taymiyat ini ada benarnya karenaa didukung oleh Al-Quran antara lain
terdapat di dalam ayat 187 dari Ali Imran :

(Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan tidak
menyembunyikannya) dan dipertegas lagi oleh hadis yang sahih dari Ibn Umar:
(Barang siapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka ia akan
dikekang pada hari kiamat dengan kekang dari api neraka).
Jadi dalam ulama salaf tentang penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau
menafsirkannya dan bukan pula karena dilarang menafsirkannya, melainkan karena
kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut dengan
takhmin (perkiraan, terkaan) dalam menafsirkan Al-Quran. Apabila ini terjadi,
ancamannya amat berat: masuk neraka, sebagaimana yang dimaksud oleh hadis
riwayat al- Tirmidzi dari Ibn Abbas.
Untuk menghindarkan terjadinya spekulasi dalam penafsiran, maka para ulama
tafsir menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang mufasir serta
kaedah-kaedah yang harus dikuasainya.
Jadi, secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah
melalui dua jalur, yaitu bi al-matsur (melalui riwayat) dan bi al-ray (melalui
pemikiran atau ijtihad).
2. METODE-METODE TAFSIR

Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau
jalan. Di dalam bahasa Inggris kata ini itulis method. Di dalam pemakaian bahasa
Indonesia kata tersebut mengandung arti : cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dsb.); cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.
Metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dalam kaitan ini maka studi tafsir Al-Quran tidak lepas dari
metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat AlQuran yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w
Definisi ini memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Al-Quran
tersebut berisi kaidah-kaidah atau cara-cara yang harus ditempuh ketika menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran. Apabila seseorang menafsirkan Al-Quran tanpa menerapkan
metode, tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut bi al-ray
al-mahdh (tafsir berdasarkan pemikiran semata) yang dilarang oleh Nabi; bahkan Ibn

Taymiyat menegaskan bahwa penafsiran serupa itu adalah haram sebagaimana telah
disebut di muka.
Adapun metodologi tafsir ialah ilmu tentang metode menafsirkan Al-Quran.
Dengan demikian kita dapat membedakan antara dua istilah itu, yakni metode tafsir
menganalisis kaedah atau cara menafsirkan Al-Quran, sementara metodologi tafsir
ilmu tentang kaedah atau cara tersebut. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai
Metode Komparatif, misalnya, disebut analisis metodologis; sebaliknya, jika
pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadap ayat-ayat yang
beredaksi mirip, ini disebut pembahasan metodik. Jadi metode tafsir merupakan
karangka atau kaedah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran; dan
seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaedah yang telah
terulang di dalam metode.

A. Metode Komparatif (muqaran)


Yang dimaksud dengan Metode Komporatif ialah :
Membandingkan teks (nashsh jamaknya nushush) ayat-ayat Al-Quran yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau di duga sama
Membandingkan ayat Al-Quran dengan hadis Nabi s.a.w yang pada lahirnya terlihat
bertentangan; dan
Membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Quran.
Dari definisi tersebut jelas terlihat bahwa tafsir Al-Quran dengan menggunakan
metode ini mempunyai cakupan yang amat luas; tidak terbatas hanya pada
memperbandingkan ayat dengan ayat, melainkan juga memperbandingkan ayat dengan
hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan dan memperbandingkan pendapat pada
mufasir dalam menafsirkan suatu ayat. Jadi ada tiga hal yang dibahas didalam metode
Komparatif, yaitu:
1) Membandingkan ayat dengan ayat
2) Membandingkan ayat dengan hadis
3) Membandingkan berbagai pendapat mufasir
Perbandingan adalah ciri utama bagi metode komparatif. Dalam menerangkan
metode ini, musafir seyogianya meninjau pendapat para ulama tafsir. Sebaliknya dengan
menerapkan tiga metode lainnya, peninjauan serupa itu tidak dituntut. Disinilah salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan met de-metode yang lain. Hal itu
disebabkan karena dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat
dengan hadis, adalah pendapat dari para ulama tersebut; dan bahkan dalam aspek yang
ketiga, sebagaimana telah disbutkan, pendapat para ulama tafsir itulah yang menjadi
sasaran perbandingan.oleh sebab itu, jika penafsiran dilakukan tanpa membandingkan

berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak
dapat disebut metode komparatif. Dalam konteks inilah, al-Farmawi menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan al-tafsir al-muqaran [tafsir komparatif] ialah menjelaskan ayatayat Al-Quran berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir.
Selanjutnya langkah-langkah yang harus diterapkannya untuk mencapai tujuan itu
ialah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, lalu melacak berbagai
pendapat para mufasir tentang ayat tersebut; baik yang klasik (salaf), maupun yang
ditulis kemudia (khalaf), serta membandingkan pendapat yang mereka kemukakan untuk
mengetahui kecenderungan mereka, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka, serta
keahlian yang mereka kuasai, dsb.
Dari uraian yang dikemukakan itu diperoleh gambaran bahwa dari segi sasaran
(objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji di dalam tafsir perbandingan yaitu
perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, dan pendapat para ulama tafsir dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Apabila perbandingan ayat dengan ayat yang dijadikan sasaran pembahasan,
maka metodenya ialah:
1) Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat yang beredaksi mirip di dalam
Al-Quran; sehingga diketahui mana yang mirip dan mana yang tidak.
2) Membandingkan ayat-ayat yang beredaksi mirip itu, yang membicarakan satu
kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
3) Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang
mirip; baik perbedaan tersebut mengenai konotasi ayat, maupun redaksinya
seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalamayat, dsb.
4) Membandingkan pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek
bahasan.
Apabila perbandingan ayat dengan hadis dijadikan sasaran pembahasan, maka
metodenya ialah:
1) Menghimpun ayat-ayat yang pada lahirnya bertentangan dengan hadis-hadis
Nabi s.a.w; baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan
ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan ayat-ayat lain atau
tidak.
2) Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam
kedua redaksi ayat dan hadis itu.
3) Membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dan hadis
tersebut.

Apalagi perbandingan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat,
maka metodenya ialah:
a. Menghimpun sejumlah ayat Al-Quran yang dijadikan objek studi tanpa
menoleh kepada redaksinya: mempunyai kemiripan atau tidak.
b. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c. Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan informasi
berkenaan dengan identitas dan pola berpikir dari masing-masing mufasir.
KELEBIHAN :
dapat mengetahui perkembangan corak penafsiran para ulama salaf,
sampai masa kini sehingga menambah wawasan pengetahuan dan
pengalaman bahwa al-quran dapat ditinjau dari berbagai aspek.
KEKURANGAN :
karena sifatnya yang hanya membandingkan maka pembahasan ayat
kurang mendalam
B. Metode Analitis (Tahlily)
Metode tahlily adalah suatu metode tafsir yang dimaksud menjelaskan ayat alquran dari
seluruh aspeknya dan menjelaskan kosa kata ayat demi ayat. Susunan tafsir model ini dimulai
sesuai dengan susunan alquran itu sendiri. Metode tafsir ini juga menafsirkan al-quran secara
global(umum) dan mencamtumkan munasabah ayat, asbabunnuzul. Disamping itu metode ini
juga mencantumkan hadis Rasulullah saw, sahabat bahkan pendapat para penafsir sendiri untuk
memperkaya isi tafsir itu sendiri.
KELEBIHAN :
Banyak digunakan oleh para mufassir, terutama pada zaman klasik dan
pertengahan, sekalipun ragam dan coraknya bermacam-macam.
Penafsiran terhadap suatu ayat dapat dilakukan seluas mugkin, dengan
tinjauan dari berbagai sudut dan aspeknya, sehingga terlihat bahwa ayat
memiliki makna cakupan yang amat luas.
Penafsiran suatu ayat dapat dilakukan secara tuntas, dapa dikatakan semua
bagian dari ayat dapat ditafsirkan dan tidak ada yang ditinggalkan.
Pada saat melakukan penafsiran, mufassir dapat memfokuskan perhatian
kepada ayat itu saja, tanpa harus mencari atau menghubungkannya dengan
ayat-ayat lain yang membicarakan masalah yang sama, dengan demikian
foku perhatian menjadi terarah.
Dapat memberikan kontribusi terhadap metode-metode tafsir lain, sebagai
pijakan dalam menghimpun ayat-ayatyang mengacu pada suatu topic, dan
dapat diibaratkan sebagai bahan baku bagi tafsir maudhui
KEKURANGAN :
Tidak dapat menyelesaikan secara tuntas suatu pokok bahasan

Terkesan agak mengulang-ngulang sehingga menghambat perkembangan


pemikiran islam disamping juga akan menghabiskan waktu yang sangat
lama.
Para mufassir umumnya pasif. Karena Al-Quran hanay ditonjolkan arti
harfiahnya, mencatat sejauh kemampuannya, membatasi dirinya terhadap
pengungkapan arti ayat-ayat AlQuran secara rinci.
Sering digunakan oleh mufassir sebagai alat untuk melegitimasi pendapatpendapatnya sendiri dengan ayat-ayat Al-Quran.
Tidak mampu memberikan jawaban yang Tuntasdan menyeluruh terhadap
berbagai probem yang dihadapi umat dan tidak banyak member ramburambu yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.
Pembahasan yang dilakukan seakan-akan mengikat generasi berikutnya.
Biasanya menghasilkan pandangan-pandagan persial serta kontradiktif
dalam kehidupan umat islam.

C. Metode Global (Ijmaly)


Secara harfiah, kata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak
terperinci.10 Maka tafsir ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat Alquran secara
umum dengan tidak memperincinya, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi yang
terkandung dalam suatu ayat. Para mufassir yang menggunakan metode ini menyajikan
kepada pembaca isi kandungan ayat, tanpa mengulas secara luas sehingga mudah dipahami
oleh para pembaca dan mereka merasa penafsiran tidak jauh dari konteks.
Tafsir ijmali, biasanya, menjelaskan makna ayat secara berurutan; ayat demi ayat
dan surah demi surah sesuai dengan urutan dalam Mushaf Utsmani. Dan terkadang mufassir
juga menjelaskan sebab turun ayat. Diantara buku tafsir yang menggunakan metode ini
adalah tafsir al-jalalayn karya Jalaluddin As-sayuti dan Jalaluddin Al-Mahalli, Shafwa AlBayan li Maani Al-Quran karya Husnain Muhammad Makhlut, dan At-tafsir Al-Wadhih
karya Muhammda Mahmud Hijazi.

KELEBIHAN :
dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat
penjelasannya ringkas
KEKURANGAN :
uraiannya hanya bersifat global saja, sehingga maksud ayat secara luas tidak bisa
terungkap dengan tuntas, sesuai dengan perkembangan zaman.
D. Metode Tematik (Maudhui)
Tafsir mawdhui (tematik) ialah menafsirkan ayat Alquran tidak berdasarkan atas urutan ayat
dan surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufassir,
dengan menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan dicari jawabannya

dalam Alquran. Kemudian, ia mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tersebut
yang tersebar dalam berbagai surah.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh seorang mufassir ketika menggunakan teknik
penafsiran ini, yaitu sbb:
a. Menentukan permasalahan atau topic yang akan dikaji
b. Menentukan kata kunci mengenai permsalahan itu dan padanannya dalam Alquran
c. Mengumpulkan ayat-ayat yang berbicara mengenai topic tersebut, yang tersebar
dalam berbagai surah.
d. Menyusun ayat-ayat itu sesuai dengan kronologis turunnya.
e. Menjelaskan maksdu ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ayat yang lain,
10
perkataan Nabi SAW, sahabat, dan analisis bahasa.
f. Membuat seuatu kesimpulan tentang jawaban permasalahan yang terkandung dalam
topik yang dibahas.
Tafsir tematik dapat pula didasarkan atas suatu surah , seperti tafsir Surah Al-Baqarah (2).
Artinya, nama surah itu dijadikan tema yang akan diperbincangkan dalam suatu kerya tafsir.
Karena nama surah diangkat menjadi suatu tema, maka ayat-ayat yang terdapat didalamnya
memperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan nama surah tersebut, dan ia saling berkaitan
antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, penafsiran ini harus ditunjang oleh ilmu
munasabah yang dapat membantu mufassir melihat hubungan atau keserasian ayat-ayat tersebut.
Musthafa Muslim menegaskan bahwa ilmu munasabah mempunyai hubungan yang erat dengan
tafsir mawdhuI khususnya tema suatu surah. Sebab, ayat-ayat itu turun dalam waktu dan latar
belakang yang berbeda, kemudian dimasukkan dalam satu surah. Akan tetapi, ketika dibca
terlihat ayat-ayat itu berbeda dalam suatu tema yang sama. 11

KELEBIHAN :
Dapat memecahkan problem sosial dengan bimbingan Al-Quran
Menafsirkan ayat dengan ayat, atau dengan hadist Nabi SAW, merupakan salah
satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran.
Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
Memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam Al-Quran, ia sekaligus dapat dijadikan bukti, bahwa ayatayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
KELEMAHAN:
Tidak begitu mudah bagi mufassir untuk menerapkannya, karena metode ini
menuntut mufassir untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan topik
1010 Luis Maluf, Al-Munjid, hlm.102
1111 Musthafa Muslim, Mabahits fi At-Tafsir Mawdhui, Damaskus: Dar Al-Qalam,
1997, hlm. 57

yang dituju. Dengan demikian ia harus menguasai korelasi, pemahaman, dan


penguasaan kosa kata yang cukup.
Seorang mufassir harus mengetahui macam-macam metode tafsir, kemudian dapat
menerapkannya sesuai kebutuhan.
Said Agil al-Munawar mengutip pendapat M.Quraish Shihab, bahwa tidak ada metode
tafsir yang terbaik. sebab masing-masing mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Kelebihan dan
kekurangan sangat tergantung kebutuhan dan kemampuan mufassir menerapkannya. Jika kita
ingin membangun topik utuh maka jawabannya ada pada metode tafsir maudhui. jika kita ingin
menerapkan kandungan suatu ayat, maka jawabannya ada pada metode tahlili. Jika kita ingin
mengetahui pendapat mufassir tentang suatu ayat atau surat sejak periode awal sampai periode
sekarang, maka metode yang dapat dipakai adalah metode muqaran, namun ketika kita ingin
mengetahui arti suatu ayat secara global, maka jawabannya ada pada metode ijmali.
3. CORAK-CORAK TAFSIR
Tafsir merupakan karya manusia dan hasil pemahamannya terhadap Kalam Ilahi. Menafsirkan Alquran
berarti bahwa manusia berusaha menangkap ide, gagasan, dan makna yang terkandung dalam ayat. Disini
akan dibahas lima corak tafsir.
1. Tafsir shufi
Yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoretis
(at-tashawuf an-nazhari) maupun tasawuf praktis (at-tashawuf al-amali). Yang dimaksud dengan
tasawuf teoretis adalah tasawuf teori yang didasarkan atas pengkajian dan teori-teori tasawuf
seperti wahdah al-wujud, al-hulul, dan al-ittihad. Sedangkan tasawuf praktis adalah tasawuf yang
didasarkan atas zuhud dan menghabiskan waktu dalam rangka ketaatan kepada Allah, seperti
kesungguhan dalam melawan hawa nafsu dan berdzikir kepada Allah serta segala sesuatu yang
dapat mendukung kedua hal tersebut. Adz-Dzahabi, selain menggunakan istilah tafsir tasawuf
praktis (at-tashawuf al-amali), menyebutnya pula dengan istilah tafsir shufi faydhi atau isyari.
Dia mendefinisikannya kepada menakwilkan ayat-ayat Alquran yang berbeda dari makna zahir
ayat, sesuai dengan isyarat yang tersembunyi yang muncul dalam hati, dan bisa disesuaikan
dengan makna zahir yang dikehendaki.
Kedua macam tasawuf ini selalui mewarnai suatu karya tafsir, terutama pengarang tafsir yang
menekuni hal tersebut. Tafsir tasawuf nazhari selalu mengaitkan penafsirannya dengan teori tasawuf
untuk mendukung teorinya itu, seperti penafsiran Ibnu Arabi terhadap ayat 1 Surah An-Nisa (4) yang
dikutip oleh Adz-Dzahabi, yaitu :



Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ibnu Arabi menafsirkan kata dalam ayat ini kepada Jadikanlah zahirmu
perlindungan bagi Tuhanmu, dan jadikanlah batinmu -yaitu Tuhanm u- perlindungan bagi kamu.

Sesungguhnya suatu urusan itu ada ketercelaannya dan ada pula sisi keterpujiannya, maka
jadilah kamu perlindungan Tuhan dalam ketercelaan dan jadikanlah Tuhan itu perlindungan
kamu dalam pujian
Tafsir shufi dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyimpangan dalam tafsir, karena
cenderung menjustifikasikan teori-teori dan ajaran kesufian yang belum tentu benar seluruhnya,
bahkan da yang bertentangan dengan syariat Islam terutama tasawuf falsafi atau teoretis. Namun
demikianm juga diakui bahwa ALquran itu mempunyai makna zahir dan batin. Maka untuk
membedakan mana tafsur shufi yang boleh diikuti dan mana pula yang tidak, Adz-Dzahabi
membuat dua persyaratan bagi keabsahannya. Pertama, secara zahir sesuia dengan bahasa Arab.
Dan kedua, terdapat nash syarI lain (selain ayat yang ditafsirkan) yang dapat dijadikan sebagai
syahid (saksi) atas keabsahan penafsirannya.

2. Tafsir falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercoraj filsafat. Artinya, dalam menjelaskan makna suatu ayat,
mufassir mengutip atau merujuk pendapat para filsuf. Persoalan yang diperbincangkan dalam
suatu ayat dimaknai atay didefinisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna suatu
ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini seperti penafsiran Ibnu
Sina terhadap Surah An-Nur (24) ayat 35 berikut:


Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampirhampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ibnu Sina menafsirkan kata kepada akal hayula,
kepada akal malakah, akal faal,
ia maknai dengan akal mustafad, dan
ia artikan pula kepada pikir.12
Penafsiran ini digunakan sebagai justifikasi terhadap pandangannya mengenai pembagian
akal manusia.
3. Tafsir fiqhi
Yaitu penafsiran Alquran yang bercorak fiqh.diantara isi kandungan Alquran adalah
penjelesan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Ketentuan-ketentuan hukum
tersebut harus harus ditaati oleh manusia. Dalam penafsiran Alquran, ada diantara mufassir
yang lebih tertarik dengan ayat-ayat hukum tersebut, sehingga ayat-ayat hukum mendapat
perhatian dan komentar yang lebih banyak dari ayat lainnya. Bahkan ada diantara mereka
yang menulis tafsir khusu ayat-ayat hukum, seperti Muhammad Ali Ash-Shabuni dengan
12 Ibnu sina, Al-Isyarat wa At-Tanbihat: Al-Qism Ats-Tsani At-Taiiah, t-tp., Isa Al-Babi
Al-Halabi, 1948, hlm. 369-379.

karyanya rawaiu Al-Bayan: Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, dan Al-jashas dengan
karyanya Ahkam Al-Quran.
Tafsir fiqhi ini selain lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum, ia juga kadangkadang diwarnai oleh taashshub (fanatik) penulisnya terhadap mazhab yang dianut sehingga
coraknya tidak hanya fiqh, tetapi juga mazhabi. Hal itu, antara lain seperti yang terlihat
dalam buku tafsir Ahkam Al-Quran karya Ibnu Arabi; buku tafsir ini menggambarkan
pembelaan penulisnya terhadap mazhab Maliki yang dianutnya. Sebagai contoh hal itu dapat
dilihat dalam perbincangannya mengenai persoalan basmalah, apakah bagian dari surah
Alfatihah atau bukan, dan hukum membacanya dalam shalat. Dengan demikian, buku-buku
tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain, yaitu tafsir Fiqhi hanafi, Maliki,
SyafiI, dan Hanbali.

4. Tafsir ilmi
Yaitu penafsiran Alquran yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains
eksakta. Penafsiran Alquran yang bercorak ilmi ini selalu mengutip teori-teori ilmiah yang
berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Alquran memang banyak berbicara tentang
fenomenaalam yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan modern, seperti biologi,
embriologi, geologi, astronomi, pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Ada di antara
mufassir yang tertarik menjelaskan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hal tersebut.
Dan dalam menjelaskan ayat Alquran sesuai dengan teori ilmiah yang merupakan hasil
penemuan para ilmuan dengan menjelaskan ayat Alquran sesuai dengan teori yang
merupakan hasil penemuan para ilmuan melalui penelitian yang mereka lakukan. Diantara
buku yang bercorak ilmu (at-Tafsir Al-ilmi) ini adalah al-Jawahir fi Tafsir Al-Quran AlKarim karya Thaantawi Jauhari dan Mafatih Al-gaib karya Ar-razi. Selain ituy terdapat pula
karya tafsir yang khusus menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan dains, seperti khalaq
Al-Insan Bayna Ath-Thibb wa AlQuran karya Muhammad Ali Al-Barr.

5. Corak Al-Adabi wa Al-ijtimai


Istilah Al-Adabi wa Al-ijtimaI gterdiri dari dua kata, yaitu Al adabi dan Al ijtimai.
secara harfiah Al-adabi bermakna sastra dan kesopanan, sedangkan Al-IjtimaI bermakna
social. Dengan cara ini, mufassir mengungkap keindahan dan keaggungan Alquran yang
meliputi aspek balaghah, mukjizat, makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha
menjelaskan masalah-masalah social yang diperbincangkan dalam Alquran dan
mengaitkan dengan fenomena social yang terjadi dimasyarakat. Ia berusaha memberikan
memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan umat islam umumnya, sesuai
petunjuk Alquran yang dipahaminya.

B. Tawil

1. BENTUK-BENTUK TAWIL
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat
Al-Quran, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka
lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian
para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari
pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk tawil, diantaranya
mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak
(taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi,
atau dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
1. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa
ushul disebut takhshish al-umum () . Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:
228, yang menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus
menjalani iddah (masa tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah
quru). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh,
monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang
lain dalam QS.Al-Ahzab:49, yang menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak
memiliki iddah (masa tunggu).
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas
(muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq () . Seperti firman Allah
tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3, menggunakan lafazh mutlak (muthlaq)
kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata mengalir (masfuhan) dalam ayat yang lain
yaitu QS.Al-Anam: 145, sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada
firman Allah dalam QS.An-Nisa: 2 yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta
milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka
baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa: 6 yang menerangkan
untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan
dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh
yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang
tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan
dewasa.
4. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang
sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang
bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang
mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.

C. Terjemah
Para ulama membagi terjemah itu kepada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Terjemah harfiah, yaitu memindahkan suatu ungkapan dari satu bahasa ke bahasa lain
dimana dalam pemindahan itu tetap dan terpelihara susunan, tertib dan semua makna
bahasa yang diterjemahkan. Terjemahan harfiah ini dapat dikategorikan ke dalam dua
bentuk, yaitu kandungan terjemah persis sama dengan kandungan ungkapan yang
diterjemahkan dan kandungan terjemahan tidak persis sama dengan kandungan
bahasa yang diterjemahkan. Yang pertama tidak mungkin dilakukan terhadap AlQuran. Sebab, bahsa Al-Quran itu merupakan mukjizat yang tidak mungkin dapat
ditandingi dan disamakan dengan bahasa apa pun juga. Ayat-ayatnya sarat dengan
makna, di mana tidak ada bahasa yang dapat mewakilinya untuk menyampaikan
semua makna yang terkandung di dalamnya. Adz-Dzahabi menjelaskan, Terjemah
harfiah Al-Quran tidak mungkindapat menempati atau menggantikan bahasa aslinya
dalam hal menghasilkan segala maksudkan oleh bahasa asli tersedut.
b. Terjemah tafsiriah, yaitu menjelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang terdapat
dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain, tanpa menjaga atau
memelihara susunan serta tertib bahasa aslinya, dan juga tidak pula mengungkapkan
semua makna yang dimaksudkan oleh bahasa lainnya.
Sebagai Kitab Suci dan pedoman hidup bagi setiap umat Islam. Al-Quran perlu
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, kendatipun bahasa terjemahan tidak dapat
mewakili bahasa Al-Quran. Hal itu menjadi pemting karena tidak semua umat Islam
dapat menguasai bahasa Al-Quran, padahal mereka harus membaca, mempelajari,
memahami, serta mengenalkan semua isinya. Oleh karena itu, masyarakat awam
mengenai bahasa Al-Quran perlu dibantu melalui terjemahan tersebut. Jadi, terjemahan
merupakan sarana penyampaian isi kandungan Al-Quran kepada umat manusia, baik
muslim maupun nonmuslim.
Walaupun menerjemahkan Al-Quran itu sesuatu yang sangat urgen, namun ia tidak
boleh sembarang terjemah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh penerjemah.
Syarat-syarat itu menyangkut dua hal, yaitu pribadi terjemah dan pekerjaan
menerjemah.13
a. Syarat yang menyangkut pribadi penerjemah. Hal ini meliputi:
Penerjemah haruslah seorang muslim. Maka terjemahan nonmuslim tidak
boleh diterima secara mutlak, tetapi perlu kehati-hatian dan meragukan
terjemahannya.
Penerjemah harus seorang yang adil dan terpercaya. Maka terjemahan
seorang muslim yang fasiq tidak dapat diterima.
13 Khalid Abdurrahman Al-Ak, Ushul At-Tafsir wa Qawaiduh. Beirut: Dar An-Nafais,
1994, hlm. 474.

Memenuhi adab mufassir, seperti keikhlasan dan tidak mengharapkan apaapa dari terjemahannya, kecuali penyebaran agama Islam.
b. Syarat yang menyangkut dengan pekerjaan menerjemah. Hal ini meliputi:
Penerjemah harus menguasai syarat-syarat tafsir.
Terjemah itu haruslah lafal dan makna Al-Quran, bukan susunannya.
Sebab, susunan lafal dan ayat Al-Quran (an-nuzhum al-quraniyyah)
adalah mukjizat; manusia tidak mungkin membuat seperti itu dengan
bahasanya sendiri.
Terjemahan itu harus menggunakan bahasa yang mudah, memilih makna
lafal yang sesuai, dan menyebutkan makna ayat secara sempurna jika ayat
itu berbicara mengenai topik yang sama. Selain itu, penerjemah juga
seharusnya memita bantuan kepada orang yang lebih tau bahasa
terjemahan.
Penerjemah harusb merujuk kepada karya para ufassir. Hal ini berguna untuk
memberikan kemudahan kepada penerjemah.
Penerjemah harus menyebutkan dalam kata pengantarnya bahwa terjemahannya
itu bukanlah Al-Quran; ia hanya sebagai terjemah tafsiriah.

2.3 Perbedaan Tafsir dan Tawil


Para ulama tidak sepandapat mengenai perbedaan tafsir dan tawil. Sebagian mereka
mengatakan bahwa tafsir dan tawil merupakan dua istilah yang mempunyai makna yang
sama, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Para ulama mutaqaddimin berpendapat
demikian, seperti Abu Ubaidah. Ia mengatakan, :Tafsir dan tawil mempunyai makna
yang sama. Dan sebagian lain berpendapat pula, kedua istilah itu mempunyai makna
yang berbeda.
Para ulama yang melihat tafsir dan tawil sebagai dua istilah yang berbeda, juga tidak
sependapat dalam menjelaskan perbedaan itu, yaitu sebagai berikut.
a. Sebagian mereka mengatakan, tafsir itu lebih umum dari dari tawil karena ia
dipakai dalam Kitab Allah dan lainnya. Sedangkan tawil lebih banyak digunakan
dalam Kitab Allah14.
b. Tafsir pada umumnya digunakan pada lafal dan mufradat (kosakata), sedangkan
tawil pada umumnya digunakan untuk menunjukkan makna dalam kalimat
(jumlah)15.
c. di kalangan ulama mutaakhkhirin, tawil diartikan kepada Memalingkan
makna suatu lafal dari makna yang kuat (ar-rajih), kepada makna yang kurang
14 Badaruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Quran.
Jilid II, Beirut:Dar Al-Jayl, 1988, hlm. 149.

kuat (al-marjuh) karena disertai oleh dalil yang menunjukkan demikian. 16


Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat
(ar-rajih).
d. Diantara para ulama ada pula yang mengatakan bahwa tafsir adalah penjelasan
yang berdasarkan riwayah, sedangkan tawil penjelasan yang didasarkan atas
dirayah.
2.4 SUMBER TAFSIR
Dalam memahami Al-Quran terdapat dua sumber utama, yaitu ayat-ayat Al-Quran
itu sendiri (tafsir Al-Quran bi Al-Quran) dan sunnah Rasul (tafsir Al-Quran bi alhadits). Selain itu, keterangan para sahabat dan tabiin mengenai makna suatu ayat juga
dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan Al-Quran. Penafsiran seperti ini disebut
dengan tafsir bi ar-riwayah, yaitu tafsir yang didasarkan atas riwayat.
Riwayat bukan satu-satunya sumber tafsir, ia juga bisa bersumberkan dari pendapat
mufassir itu sendiri berdasarkan pemahaman kebahasaannya dan ilmu pengetahuan
lainnya. Inilah yang disebut dengan tafsir bi ad-dirayah. Bahkan, tafsir juga kadangkadang didasarkan atas makna yag dapat ditangkap oleh mufassir di balik makna zahir
suatu ayat berdasarkan apa yang terlintas dalam jiwanya sebagai anugrerah Allah
ketekunannya beribadah. Penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir isyari.
1. Menafsirkan Ayat dengan Ayat
Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat dalam suatu ayat, kadangkadang dijelaskan oleh ayat lain, baik ayat sesudahnya secara berurutan maupun
ayat lain yang tedapat dalam surah yang sama atau surah yang berbeda. Hal ini,
misalnya dapat dilihat dakam Surah Al-Baqarah (2) ayat 2. Ayat ini ditutup
dengan lafal al-muttaqin (orang-orang yang bertakwa); dalam ayat 2 tersebut
tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan al-muttaqin itu. Maka ayat 3-5 surah
yang sama menjelaskan maksudnya, selain itu pengertian al-muttaqin juga
dijelaskan oleh Surah Ali Imran (3) ayat 134-135. Contoh lain dapat pula dilihat
pada kata yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2)
ayat 37:

15 Jalaluddin Abdurrahman As-Sayuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, Jilid II, Mesir: AlBabi Al-Halabi, tt., hlm.173.
16 Muhammad bin Lutfi As-Sibagh, op.cit., hlm. 189.



Artinya : kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka
Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha
Penyayang.
Maksud kata kalimat dalam ayat ini adalah doa yang Allah ajarkan kepada Nabi Adam dan
Hawa, sebagai ungkapan penyesalan dan tobat kepada-Nya karena nenek moyang manusia
ini telah melanggar larangan Allah memakan buah terlarang. Doa tersebut dijelaskan dalam
Surah Al-Araf (7) ayat 23 :


Artinya : Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang rugi.
Adz-Dzahabi membagi tafsir Al-Quran dengan Al-Quran ini kepada beberapa bentuk 17,
yaitu sebagai berikut.
a. Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan keterangan lebih luas yang dijelaskan
dalam ayat lain.
b. Menyamakan suatu ungkapan mujmal yang terdapat dalam suatu ayat dengan mubayyan
yang terdapat dalam ayat lain. Hal ini seperti yang terlihat dalam contoh di atas; di mana
kata kalimat dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 37 itu masih mujmal, kemudian ditafsirkan
dengan Surah Al-Araf (7) ayat 23. Contoh lain dapat pula dilihat dalam Surah AlMaidah (5) ayat 1; kata ma yutla alaykum (apa yang akan dibacakan kepadamu) dalam
ayat itu masih mujmal, kemudian dijelaskan maknanya oleh ayat 3 surah yang sama.
c. Menyamakan ayat yang masih muthlaq dengan ayat lain yang muqayyad. Hal ini seperti
ungkapan

dalam Surah Alyang menjelaskan persoalan tayammum 18. Kata


dalam ayat ini disamakan maksudnya dengan ungkapan
Maidah

(5)

ayat

6,

17 Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op.cit., hlm. 43.

dalam ayat yang sama, yang menjelaskan tentang


wudhu.
d. Mengkompromikan (aljamu) ayat-ayat yang diduga berbeda antara satu dengan yang
lain.
e. Menggunakan suatu qiraat untuk menjelaskan makna ungkapan dalam qiraat lain yang
berbeda.
f. Men-takhshish-kan ayat yang umum (al-am), baik takhshish muttashil maupun
munfashil, seperti penafsiran pemberian syafaay kelak pada hari kiamat secara umum
dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 253. Keumuman ayat itu di-takhshish-kan oleh Surah
An-Najm (53) ayat 26, sehingga Surah Al-Baqarah (2) ayat 253 dapat dipahami bahwa
syafaat (bantuan) pada hari kiamat tidak akan ada, kecuali atas izin Allah.
2. Menafsirkan Ayat dengan Hadis
Menafsirkan Al-Quran dengan hadis Nabi adalah menjelaskan makna suatu ayat
berdasarkan keterangan Nabi, baik secara langsung maupun tidak. Nabi Muhammad diutus untu
menyampaikan risalah Allah kepada manusia; menyampaikan wahyu-Nya dan menjelaskan
makna, hikmah, serta ajaran yang terkandung di dalam wahyu tersebut. Dalam Surah An-Nahl
(16) ayat 44 ditegaskan:


Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Jadi, Nabi Muhammad adalah sebagai muallim Al-Quran dan sumber tafsir. Ia lebih
tahu maksud dan isi kandungan Al-Quran karena Allah telag mengajarkan kepadanya. Kami
telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepadamu sesuatu yang
belum kamu ketahui (QS. An-Nisa (4): 113). Karena Nabi mendapatkan pengajaran dari Allah,
18 Kata aydikum (tanganmu) dalam persoalan tayammum itu mutlak; tidak
dijelaskan sampai bagian mana tangan itu haus disapu dalam melakukan
tayammum. Maka kemutlakan ayat tersebut ditafsirkan dengan ayat muqayyad,
yaitu wa aydikum ila al-murafiq yang terdapat dalam ayat mengenai wudhu.
Sehingga kata aydikum dalam ayat mengenai tayammum itu dapat ditafsirkan
kepada sapulah tanganmu hingga siku

maka eliaulah yang lebih tahu tentang Al-Quran. Dan penafsiran Al-Quran yang didasarkan
atas keterangan darinya merupakan penafsiran yang tidak diragukan lagi kebenarannya.

Penafsiran Al-Quran yang didasarkan atas keterangan Rasulullah ialah seperti


penjelasannya mengenai makna

yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 59:



Mereka (Bani Israil) disuruh mengungkapkan kata
mengatakan bahwa mereka mengganti ungkapan itu dengan
makna ungkapan

(bebaskanlah dari dosa). Nabi


(biji gandum). 19 Maka menjelaskan


berdasarkan keterangan hadis di atas disebut dengan tafsir al-quran bi al-hadits.

Ada beberapa bentuk penafsiran Al-Quran dengan hadits, yaitu sebagai berikut.
a. Hadis menjelaskan ungkapan Al-Quran yang masih mujmal, seperti menafsirkan perintah shalat
dalam Al-Quran; dimana Al-Quran tidak menjelaskan secara detail tetang waktu shalat, jumhlah
rakaat, dan cara mengerjakannya. Akan tetapi, sunnah menjelaskan itu.
b. Hadis menjelaskan hal-hal yang sulit (musykil), seperti kesulitan para sahabat memahami kata
khayth al-abyadh (benang putih) dan khayth al-aswad (benang hitam) yang terdapat dalam ayat:

Artinya : Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah
(2): 187)
Nabi menjelaskan maksud kata tersebut, yaitu benang putih itu siang dan benang hitam itu
malam.
19 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surat At-Tirmizi, Sunan At-Tirmidzi: Wahuwa AlJami Ash-Shahih, Jilid IV, Bandung: Maktabah Dahlan, tt., hlm. 273, hadis ke-4032

c. Men-takhshish-kan lafal yang masih umum, seperti umumnya lafal zhulm dalam Surah Al-Anan
(6) ayat 82:


Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orangorang yang mendapat petunjuk.
Para sahabat merasa kesulitan dengan penjelasan ayat ini. Siapa di antara kami yang tidak
menzalimi diri sendiri? Maka Nabi menjawab bahwa pengertian ayat itu bukanlah seperti yang kamu kira.
Yang dimaksudkan dengan zhulm dalam ayat ini adalah syirik, seperti yang dijelaskan dalam Surah
Luqman (31) ayat 1320:



d. Hadis meng-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e. Hadis yang menjelaskan naskah.
f. Hadis menguatkan penjelasan Al-Quran.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan perkataan sahabat


Sahabat adalah generasi pertama yang menerima pembelajaran Al-Quran secara langsung dari
Nabi. Sebagai orang Arab, mereka dapat memahami ayat-ayat Al-Quran dengan baik. Apalagi ada di
antara ayat atau lafal yang tidak di pahami, mereka menanyakan kepada Nabi. Hal itu tentu saja di kala
Nabi masih hidup. Setelah Nabi wafat, para sahabat dalam menafsirkan suatu ayat merujuk kepada ayatayat lain yang ada kaitan dan kesamaannya dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Jika tidak ditemukan
juga, barulah mereka berijtihad memahaminya. Hasil ijtihad mereka inilah yang juga dapat dijadikan
dalam menafsirkan Al-Quran oleh para tabiin dan umat Islam setelah mereka.
Terdapat empat hal yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad
mereka menafsirkan Al-Quran. Keempat hal itu adalah sebagai berikut.
a. Pengetahuan mereka tetang bahasa Arab.
b. Pengetahuan mereka mengenai adat kebiasaan orang Arab.
c. Pengetahuan meteka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu
turunnya Al-Quran.
d. Kemampuan pemahaman mereka yang cukup luas.
20 Khalid Abdurrahman Al-Ak, Shafwah Al-Bayan li Maani AL-Quran Al-Karim,
Beirut: Dar Al-Basyair, 1994, hlm. 138.

Keempat hal ini cukup membantu mereka dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hasil ijtihad
para sahabat itu memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Para mufassir boleh dijadikan hasil ijtihad mereka
ini sebagai sumber dan berpegang kepadanya sesuai dengan yang diyakini oleh mufassir itu sendiri. Di
antara tokoh tafsir di kalangan sahabat ini adalah khulafa ar-rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, dan
Ubay bin Kaab.
Para sahabat ini mentransfer ilmu tafsirnya pula kepada para tabiin, sehingga mereka menjadikan
perkataan para sahabat sebagai sumber tafsir ketiga setelah Al-Quran dan sunnah. Disamping itu, mereka
juga berijtihad dalam memahami suatu ayat, terutama jika tidak mereka temukan penjelasan para sahabat
mengenai makna suatu ayat. Di antara tokoh tafsir dari kalangan tabiib itu adalah Ikrimah, Mujahid, dan
Qatadah. Para mufassir berikutnya sampai ke zaman sekarang ini menjadikan pula hasil ijtihad tabiin
sebagai sumber tafsir keempat setelah Al-Quran, hadis, dan perkataan sahabat.
Menafsirkan Al-Quran dengan popla di atas, yaitu menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, atau
berdasarkan hadis, atau perkataan sahabat dan tabiin disebut dengan tafsir bi ar-riwayah.

BAB III
PENUTUPAN
3.1

KESIMPULAN
Tafsir al Quran ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan
hikmah dan hukum-hukumnya.
Metode tafsir ada 4, yaitu : metode ijmali (global), metode tahlily (analitis),
metode maudluI (tematik), dan metode Muqaran (komperatif). Adapun macammacam corak tafsir yaitu; corak shufi, corak falsafi, corak Fiqhi, corak ilmi, dan
corak Al Adabi wa al-Ijtimai.
Tawil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Quran
melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh
itu. Adapun beberapa bentuk tawil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang
umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq),
mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari
maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Terjemah terbagi menjadi dua,yaitu : Terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyah
Perbedaan antara Tafsir dan Tawil dapat dipaparkan di bawah ini.
TAFSIR
TAWIL
tafsir itu lebih umum dari tawil tawil lebih banyak digunakan dalam Kitab Allah
karena ia dipakai dalam Kitab Allah
dan lainnya

Tafsir pada umumnya digunakan pada


lafal dan mufradat (kosakata)
tafsir menjelaskan makna suatu ayat
berdasarkan makna yang kuat (arrajih)

tawil pada umumnya digunakan untuk menunjukkan


makna dalam kalimat (jumlah)
di kalangan ulama mutaakhkhirin, tawil diartikan
kepada Memalingkan makna suatu lafal dari makna
yang kuat (ar-rajih), kepada makna yang kurang kuat
(al-marjuh) karena disertai oleh dalil yang
menunjukkan demikian

Diantara para ulama ada pula yang


mengatakan bahwa tafsir adalah tawil penjelasan yang didasarkan atas dirayah.
penjelasan yang berdasarkan riwayah
Bersifat menerangkan petunjuk yang Menerangkan hakikat yang dikehendaki
dikehendaki.

3.2 SARAN
Demikianlah makalah kami yang berisika tentang Tafsir, Tawil dan Terjemah.
Makalah inpun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai.
Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada
makalah ini. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Nashruddin Baldan. Metode Pernafsiran Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip di Dalam Al-Quran.
Pekanbaru:Susqa Press, 1992.
Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag. studi Alquran. Jakarta: AMZAH, 2014
https://haniehisyam.wordpress.com/2013/06/02/tafsir-tawil-dan-terjemaha-pengertian-tafsirtawil-dan/
http://trimuerisandes.blogspot.co.id/2014/10/tafsir-tawil-dan-terjemah.html
http://muhammaddarussalam.blogspot.co.id/2010/03/makalah-tafsir-tawil-dan-terjemah.html
http://makalahatih.blogspot.co.id/2013/02/macam-macam-corak-tafsir.html

Anda mungkin juga menyukai