Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puja dan puji serta rasa syukur yang sedalam-
dalamnya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul: “CORAK PENAFSIRAN” ini disusun dalam
rangka tugas presentasi kelompok mata kuliah TAFSIR ADABI IJTIMAI
Penulis menyampaikan dan mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat
bagi penulis, mahasiswa dan para pembaca semuanya. Namun makalah ini tidak
lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Tangerang, 01 September 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasulullah. Rasulullah beserta para
sahabatnya mentradisikan, menguraikan, dan menafsirkan Al-Qur’an sesaat setelah
turunnya. Tradisi ini terus berlangsung sampai beliau wafat. Al Qur’an yang dalam
memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut
dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala
sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas
yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an
bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan
meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini
juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi
sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam
kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an.

Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan


perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al
Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut
terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena
bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti
untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat
dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan
bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai
dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian
dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu
pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses
yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian corak tafsir?
2. Pembagian corak tafsir?
3. Kelebihan dan kekurangan dari berbagai corak penafsiran?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Corak Tafsir


Kata corak dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa makna,
Pertama bermakna bunga atau gambar (ada yang berwarna-warna) pada kain
(tenunan, anyaman dan sebagainya), misalnya kalimat “Corak kain sarung itu
kurang bagus”, “Besar-besar corak kain batik itu”. Kedua bermakna berjenis-jenis
warna pada warna dasar (kain, bendera dan lain-lain), misalnya kalimat “Dasarnya
putih, coraknya merah. Ketiga bermakna sifat (paham, macam, bentuk) tertentu,
contohnya kalimat “Perkumpulan itu tidak tentu coraknya”, “Corak politiknya
tidak tegas”.
Kata corak jika disambungkan dengan kata lain maka memiliki makna
tersendiri, misalnya “Corak Bangunan” maka artinya adalah desain bangunan,
demikian juga kalimat “Corak Kasual” maka berarti corak yang sederhana, hal ini
terlihat pada kalimat “Untuk memunculkan corak kasual, dipilih kerah yang
berkancing dan berwarna cerah.1 Maka makna “corak” dalam pembahasan ini
adalah warna (bukan makna sebenarnya), jenis, macam dan bentuk. Kata corak
adalah terjemahan dari Bahasa Arab yaitu kata “alwan/‫” ألوان‬, ia merupakan
bentuk jama’(plural) dari kata ‫( الون‬al-laun) yang berarti warna. Ibnu Mandzur
dalam Lisaan Al-Arab menyebutkan : “Dan warna adalah setiap sesuatu yang
dapat membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti kata
warna dalam bahasa Arab juga bermakna jenis dan kekhasan dalam sesuatu”.2
Sedangkan kata tafsir berasal dari kata al fasr yang artinya adalah
menjelaskan dan mengungkapkan makna.3 Secara etimologi kata tafsir merupakan
bentuk mashdar dari kata “‫تفسيرا‬-‫ يفسّر‬-‫( ”فسّر‬fassara yufassiru), yang mengandung
banyak pengertian:
Pertama, ia berarti menerangkan dan menjelaskan ‫( اإليضاح والتبيين‬al-idhah
wa al-tabyin), yakni ada sesuatu yang semula tidak ada atau belum ada dan
memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang. Contohnya
firmanAllah ta’ala dalam Al-Qur’an :

ً ‫سنَ ت َ ْف ِس‬
‫يرا‬ ِ ّ ‫َو ََل يَأْتُونَكَ بِ َمث َ ٍل إِ اَل ِجئْ َٰنَكَ بِ ْٱل َح‬
َ ْ‫ق َوأَح‬

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)


sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan
yang paling baik penjelasannya. (QS Al-Furqan : 33).”
Ath-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa makna “tafsira” dalam
ayat ini adalah penjelasan dan perincian. Hal ini juga disebutkan oleh Jalaludin As-
Suyuti dalam tafsirnya.4

1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. III; Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), hal-220
2
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Maktaba Syamila Juz 13 hal. 393.
3
Al-Itqaan Fi Ulum Al-Quran,
4
Imam Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Juz VI/ hal.387, Kairo : Maktabah Ibnu Taimiyah. Lihat
juga Tafsir Jalalain Al-Suyuti Maktabah Syamilah edisi Ketiga
Kedua, berarti keterangan sesuatu (al-syarh), artinya pengembangan dan
perluasan dari ungkapan ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga
menjadi lebih terperinci dan mudah dipahami dan dihayati.
Ketiga, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah, yang berarti alat-alat
kedokteran yang secara khusus digunakan untuk dapat mendeteksi atau mengetahui
segala penyakit yang diderita oleh pasien. Karena tafsirahadalah alat yang
digunakan untuk mengetahui penyakit yang menjangkit seorang penderita, maka
dalam hal ini tafsir adalah alat untuk mengeluarkan makna yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Quran.
Keempat, ia berasal dari kata al-fasr yang berarti penjelasan atau
keterangan. Maksudnya menjelaskan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas.
Adapun ilmu tafsir menurut Istilah adalah: Tafsir adalah Ilmu untuk memahami
kitabullah yang di turunkan kepada Nabi MuhammadShalallahu Alaihi
Wasalam untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya.
Al-Zarkasyi berkata “Tafsir adalah ilmu untuk memahami, menjelaskan
makna, dan mengkaji hukum-hukum serta hikmah hukum tersebut dalam al-
Qur’an5
Dari pengertian mengenai corak dan tafsir maka dapat disimpulkan bawa
corak tafsir adalah ragam, jenis dan kekhasan suatu tafsir. Dalam pengertian yang
lebih luas “Corak Tafsir’’ adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang
mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Penggolongan
suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti ia hanya memiliki satu ciri khas
saja. Setiap seorang mufasir menulis sebuah kitab tafsir sebenarnya telah
menggunakan banyak corak dalam tafsirnya tersebut, namun tetap saja ada corak
dominan yang ada pada hasil karyanya tersebut. Sehingga corak yang dominan
inilah yang menjadi dasar penggolongan tafsir tersebut.

B. Macam-macam Corak Tafsir


1. Tafsir Falsafi
a. Pengertian
Tafsir Falsafi atau disebut juga dengan tafsir Aqli adalah Tafsir al-Qur’an
yang beraliran filsafat atau rasional. Pada umumnya penafsiran ayat-ayat difouskan
kepada bidang filasafat dengan menggunakan jalan pemikiran secara filsafat.6
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan
persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-
teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan
menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-
persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.7

5
Manna Al-Qathan, Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an, hal. 317
6
Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN IB Press Padang, 2010) h. 84-85
7
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung: Rosda Karya, 2000), h. 15
b. Karakteristik
Latar belakang lahirnya tafsir corak filsafat karena tokoh-tokoh Islam yang
membaca buku-buku falsafat. Dalam memahami filsafat tersebut para ulama trbagi
kepada dua golongan, sebagai berikut: pertama,golongan yang menolak falsafat,
karena mereka menemukan adanya pertentangan anatara falsafat dan agama.
Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan berupaya menjauhkan
umatnya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Imam al-Ghazali dan al-Fakr al-
Razi. Dalam tafsirnya membeberkan ide-ide falsafat yang dipandang berentangan
dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, akhirnya ia dengan tegas menolak
falsafat berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Diantara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat
adalah Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Karena ia mengaran
kitab Al-Isyarat untuk menolak paham mereka, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Imam Al-
Fakhr Al-Razy dalam kitab tafsirnya megemukakan paham mereka kemudian
membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena dinilai bertentangan dengan
agamadan Al-Qur’an.
Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, kelompok ini
berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama
serta berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan.
Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi, yaitu
golongan pertama yang menolak falsafat, adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghiaib, oleh
al-Fakhr al-Razi (w. 606 H.). sedangkan golongan kedua adalah Tasir al-Farabi (w.
239 H) dan Tafsir Ikhwanus Shafa.8Tafsir yang menggunakan analisis disiplin
ilmu-ilmu filsafat. Al-Dzahabi ketika mengomentari perihal tafsir falsafi antara lain
menyatakan bahwa mnurut penyelidikannya dalam banyak segi pembahasan-
pembahasan filsafat bercampur dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Di antara
contohnya ia menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari
kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya.
Mereka hanya meyakini kemungkinanmi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan
ruh tanpa jasad. Contoh kitab tafsirnya adalah Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-
Din al-Razi.
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-
kebudayaan Islam berkembang kepada gerakan penerjemahan buku-buku yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Hal ini pula yang membawa Islam kepada
pengenalan terhadap filsafat terutama dari buku-buku karangan Aristoteles dan
Plato. Filsafat dianggap sebagai hal baru yang dapat mengeksplor pemikiran
mereka dan oleh karena mereka sangat gandrung akan model pemikiran semacam
ini, maka dari sinilah mengapa sebagian orang Islam menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan pendekatan filsafat atau yang disebut dengan tafsir falsafi. (Journal
Menimbang Tafsīr Al-falsafī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel
Surabaya voll –34-79).
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an
adalah bagaimana para filosof membawa pikiran-pikiran filsafat dalam memahami

8
Nailul Rahmi, Ibid h. 84-85
ayat-ayat al-Qur’an. Diantara tokohnya adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina.
Sedang Thaba’ Thaba’i sendiri memasukkan pembahasan filsafat sebagai
tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang
bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan
9
filsafat hanya pada sebagian ayat saja.

c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Falsafi


Dari penjelasan diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa kelebihan
dan kekurangan Tafsir Falsafi adalah:
Kelebihan Tafsir Falsafi:
1. Membangun khazanah keislaman sehingga nantinyaakanmampu mengetahui
maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat.
2. Membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang
diangkat dari teks kitab suci untu dikomunikasikan lebih luas lagi kepada
masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Kekurangan Tafsir Falsafi:
Cendrung membangun proposisi universal yang hanya berdasarkan logika
dan karena peran logika begitu mendominasi, maka corak ini kurang
memperhatikan aspek historisitas kitab suci.

2. Tafsir Fiqhi
a. Pengertian
Tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu
madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran
madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai
madzhab yang berbeda.10
Tafsir al-Fiqh yaitu penafsiran ayat-ayat Al-Qur’anyang khusus
mengandung hukum-hukum amaliyah bagi seorang muslim dalam kehidupannya
sehari-hari. Tafsir al-fiqh muncul bebarengan dengan lahirnya tafsir al-ma’tsur, dan
sama-sama dinukilkan oleh Nabi SAW tanpa perbedaan antara keduanya.

b. Karekteristik
Tafsir al-Fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al-Ma’tsur,
dan sama-sama dinukilkan oleh Nabi SAW tanpa perbedaan antara keduanya. Pada
masa lahirnya mazhab fikih yang empat dan lainnya. Tatkala menemukan
kemskilan dalam memahami Al-Quran, para sahabat bertanya kepada Nabi pun
menjawab dengan dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur juga dikategorikan
sebagai tafsir fiqih. Tafsir Fiqih semakin berkembang seiring dengan majunya
itensitas ijtihad.
Pada masa lahirnya mazhab fikih banyak muncul masalah-masalah baru
yang belum ada ketentuan hukumnya pada masa ulama terdahulu. Karena hal
tersebut belum pernah terjadi pada zaman mereka, maka para imam pada zaman ini

9
(http:www.ziddu.com/download/10281685/tafsirfalsafi.rar.html )
10
Mana’ul Quthan, Op Cit , h.198
terpaksa harus memecahkan persoalan-persoalan baru tersebut dengan merujuk
langsung kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah serta sumber hukum lainnya.
Oleh karena itu kita menemukan beberapa karya tafsir al-quran di kalangan
Ahl Sunnah yang semula obyektif kemudian terpengaruh juga oleh fanatisme
mazhab. Di kalangan mazhab al-zhahir terdapat pula tafsir al-fiqhi yang
berdasarkan kepada pengertian zhahir ayat-ayat al quran.
Tafsir Fiqhi ini tersebar luas di berbagai kitab fikih yang dikarang oleh
tokoh berbagai mazhab. Setelah masa kodifikasi, banyak ulama menulis karya tafsir
fiqhi sesuai dengan pandangan mazhab mereka. Diantara kitab-kitab tafsir yang
bercorak fiqhi ini adalah: Ahkam al-Quran, oleh al-Jash-shash (w. 370 H), Ahkam
al-Qur’an, karya Ibn al-Aarabi w.543 H) dan Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, oleh
al-Qurthuby (w. 671 H).11

c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqih


Dari penjelasan diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa kelebihan
dan kekurangan Tafsir Fiqih adalah:
Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan
penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran
lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
1. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at
yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat
bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang
bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan
tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah
atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’akan tetapi telah
menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu
mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
2. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk
mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum
Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan
mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3. Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang
terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap
memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk
aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun social tetap harus
tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia
kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal
sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah
beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
a. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-
ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran,
pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.

11
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Penerbit CV Pustaka Setia, 2008) h. 167-168
b. Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah
intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam
bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan
kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.

Kelemahan Tafsir Fiqhi


Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam
bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir
bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian
juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya
adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak
namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara
kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan
sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan
menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada
berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an
(penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan
sistem, teori dan praktek yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran
secara universal.
3. Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan
menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan
nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an
(rahmatan li al-’alamin).
Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa
lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran
terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini
tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan
berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.12

3. Tafsir Lughawi
a. Pengertian
Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-
Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin
menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang
digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang
terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan
ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at)
sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat
tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.

12
http://putralalamping.blogspot.com/2013/05/tafsir-fiqhi.html
b. Karakteristik
Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui
bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak
akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
1) Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait
dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-
Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
2) Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain
seperti hukum, theology dan sejenisnya, sepertiTafsir al-Thabary li Ibn Jarir
al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar
tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun
oleh Quraish Shihab. Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki
beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu,
munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan
mengkelaborasikan bersama corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan
dijelaskan sebagai berikut:
1) Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus
membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitabal-Tibyan
fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
2) Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir lughawi
yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata
seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam
al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
3) Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek
korelasi antar ayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat
wa al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya
Quraish Shihab, dll.
4) Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos
perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-
Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-
Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w.
450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
5) Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti
kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrahkarya Muhammad
bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
6) Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni
bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-
Qur’an min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
7) Dan tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-
Hijaiyyah dll.13

13
http://makalahratih.blogspot.com/2013/02/macam-macam-corak-tafsir.html
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Lughawi
Tafsir al-Qur’an melalui pendeketan bahasa tentu tidak akan lepas dari nilai
positif atau negatif. Di antara nilai positifnya adalah:
1) Mengukuhkan signifikansi linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-
Qur’an karena al-Qur’an merupakan bahasa yang penuh dengan makna.
2) Mengukuhkan signifikansi linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-
Qur’an karena al-Qur’an merupakan bahasa yang penuh dengan makna.
3) Menyajikan kecermatan redaksi teks dan mengetahui makna berbagai ekspresi
teks sehingga tidak terjebak dalam kekakuan berekspresi pendapat.
4) Memberikan gambaran tentang bahasa arab, baik dari aspek
penyusunannya, indikasi huruf, berbagai kata benda dan kata kerja dan semua
hal yang terkait dengan linguistik.
5) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an sehingga
membatasinya dari terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.

Tafsir Lughawi juga memiliki beberapa nilai negatif, antara lain:


1) Terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele sehingga terkadang melupakan
makna dan tujuan utama al-Qur’an.
2) Mengabaikan realitas sosial dan asbab al-Nuzul serta nasikh mansukh sehingga
akan mengantarkan kepada kehampaan ruang dan waktu yang akibatnya
pengabaian ayat Makkiyah dan Madaniyah
3) Menjadikan bahasa sebagai objek dan tujuan dengan melupakan manusia
sebagai objeknya.
4) Peniruan lafzhiah (kata), otoritas historis yang berseberangan dan keragaman
pendapat pakar bahasa arab akan menguras pikiran sehingga melupakan tujuan
utama tafsir yaitu pemahaman al-Quran.

4. Tafsir Shufi
a. Pengertian
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi atau ahli tasawuf.
Tasawuf itu sendiri secara harfiah berarti mensucikan.Benci kepada kesenangan
duniawi dengan berlaku zuhud, berpakaian buruk – buruk dan kotor.
b. Karakteristik
Corak tafsir sufistik ini terdiri dari dua cabang yaitu penafsiran aliran
tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis.
1. Aliran tasawuf teoritis, para ulama mencurahkan waktunya meneliti, mengkaji,
memahami dan mendalami al Quran dengan sudut pandang yang sesuai dengan
teori-teori tasawuf mereka. Para ulama ini menakwilkan ayat-ayat al Qur’an
tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Penjelasan mereka menyimpang dari
pngertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil-dalil syara’ yang
telah terbukti kebenarannya bila dilihat dari sudut pandang bahasa.
2. Aliran tasawuf praktis, adalah cara hidup yang sederhana, zuhud dan sifat
meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. ulama aliran ini menamai karya
tafsirnya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan alquran dengan penjelaskan
yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang
hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk(perjalanan
menuju Allah), namun terdapat kemungkinan untuk menggabungkan antara
penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat.
Di antara kitab-kitab tafsir sufistik ini adalah: Tafsir Al Qur’an Al Azhim,
karya Imam al Tusturi (w. 283 H), Haqa iq al tafsir, karya al allamah al Sulami (w.
412 H), dan Arais Al Bayan fi Haqa iq al Qur’an,karya Imam al Syirazi (w. 283
H).14 Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa
yang dkemukakan oleh tokoh-tokoh shufy tentang al Qur’an adalah termasuk
kedalam babisyarat terhadap pengertian rumit yang berhasil dingkapkan oleh
orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah
dan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk
kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa
pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Tokoh-tokoh shufy
kita tidaklah sampai bersikap demikian, karena mereka menganjurka agar tetap
terpelihara penafsiran dan pengertian tekstual”. Lebih jauh Al-Alusy berkata:
”Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya
belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur’an mempunyai bagian-
bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang maha pencipta dan maha pelimpah
kepada batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki. Al-Alusy berkata tentang Isyarat
yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45), yang artinya sebagai berikut: Dan
mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat)
dengan sabar dan shalat. Dan shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusuk.
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsestrasikan
hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah hal ini sangat berat, kecuali
orang-orang yang luluh dan lunak hatinya utuk menerima cahaya-cahaya
dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang
perkasa.15 Tafsir Sufistik dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Quran
2. Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ yang lain
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara’ ataupun rasio
4. Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang
dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
Diantara kitab-kitab Tafsir Sufistik adalah:
1. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tusturi (w. 283 H).
2. Haqa ‘iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H).
3. Arais Al-Bayan fi Haqa ‘iq Al-Qur’an, karya Imam Syirazi (w. 283 H.)16

c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir sufistik


Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Sufi Tafsir sufi termasuk dalam kategori
tafsir Ilmy. Oleh karenanya, pemakalah mengambil kelebihan dan kekurangan dari
tafsir Ilmy agar mencakup keseluruhan.

14
Nurhayati Zain, Pembaharuan Pemikiran dalam Tafsir, (Padang: Katalog Dalam
Terbitan, 2005) h. 21-23
15
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: CV Rajawali Pers,1992) h. 55-56
16
Rosihon Anwar, Ilmu Op Cit h. 167
Kelebihan Tafsir Sufi ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai
ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam
dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran
sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
Kekurangan Tafsir Sufi memuat berbagai ide: metode analitis relatif
memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide
dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode
ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir
termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya.

5. Tafsir Ilmi
a. Pengertian
Tafsir Ilmi yaitu tafsir al-Quran yang beraliran ilmiah. Artinya penafsiran
Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan, terutama penafsiran
terhadap ayat-ayat yang menyangkut masalah fisika atau ayat-ayat kauniah.
Penjelasan terhadap ayat-ayat dilakukan dengan menggunakan teori-teori beberapa
ilmu pengetahuan. Misalnya penjelasan terhadap ayat-ayat astronomi digunakan
teori astronomi dan pendapat astronomi.

b. Karakteristik
Lahirnya tafsir ilmi ini karena adanya ayat-ayat al-Qur’an yang berisi ajakan
ilmiah, yang didasarkan atas prinsip pembebasan akal tahayl dankemerdekaa
berfikir. Al Qur’an menyuru umat manusia memperhatikan alam. Allah SWT
disamping menyuruh umat manusia memperhatikan wahyu-Nya yang tertulis,
sekaligus menganjurkan kita agar memperhatikan wahyu-Nya yang tampak dan
tidak tertulis, yaitu alam.
Di antara para ulama yang gigih mendukung corak al-Tafsir al-‘Ilmi ini
adalah: al-Imam al-Fakhr al-Razi, melalui kitab tafsirnya yang besar,Malfatih al-
Ghaib, al-Imam al-Ghazali melalui kitabnya al-Itqan.
Meskipun sebagian ulama ada yang menolak, karya-karya tafsir corak ilmi,
namun corak tafsir ini mulai bermunculan,dan mendapat perhatian besar para
peneliti dan ilmuwan. Menurut kalangan ulama tafsir ilmi dinilai keliru, sebab Allah
tidak menurunan Al Quran sebagai kitab yang berbicara tentang teori-teori ilmu
pengtahuan, kajian tafsir ilmi dinilai keliru karena para penafsir dicap berlebih-
lebihan dalam menakwiklkan ayatt-aya tanpa ada rasa kagum akan aspek
kemukjizatan ayat dan tanpa perasaan yang benar lagi sehat.
Faktor yang menyebabkan ulama bersikap keras menolak al-Tafsir al-Ilmi.
Di antaranya menurut al-Ustazd Ahmad Hanafi, Pertama adanya warisan akidah
yang berakar kuat di dalam benak umat bahwa Al Quran itu semata-mata petnjuk
dan penuntun kehidupan manusia. Kedua,sebagian ulama beranggapan antara ayat-
ayat yang berbicara tentang alam secara terpisah-pisah tersebut tidak ada korelasi
dan berkaitan satu sama lainnya, walaupun semuanya berbicara satu masalah yang
sama.
Kajian al-Tafsir al-‘Ilmi ini, termasuk kedalam kategori kajian tafsir
Tematik (Al Tafsir al-Mawdhu’iy), yang membahas topik atau masalah-masalah
menarik dewasa ini, dan hukum membahasnya adalah sama dengan hukum
membahas tafsir tematik.
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah bukan
sebaliknya, dalam artian teori ilmiah memperkuat tafsir. Kajian aspek-aspek ilmiah
terdapat di dalam al-Qur’an, sebagai jalan untuk menemukan petunjuk dan metode
memahaminya.17
Sikap para ulama terhadap tafsir ‘Ilmy dapat dikelompokkan kepada dua, sebagai
berikut:
1. Mereka yang mendukung tafsir ‘Ilmi dan bersikap terbuka sehingga mereka
menjadikan Al-Qur’an sebagai mu’jizat ilmiah, karena ia mencangkup segala
macam penemuan dan teori-teori ilmiah moderen. Mereka berkata:”Al Quran itu
menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang
tidakkesemuanyadapat dijangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu ia
mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun dan yang akan terjadi.
2. Mereka yang menolak tafsir ‘Ilmi tidak melangkah jauh untuk memberikan
makna-makna yang tidak dikandung dan dimunginkan oleh ayat yang
mengharapkan Al Qur’am kepada teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti
tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, teori-teori itu bersifat relatif.
Selain dua sikap ulama diatas ada ulama yangbersikap moderat. Mereka
mengatakan; “kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang
mengungkapkan kepada kita hikmah-hiknah dan rahasia-rahasia yang dikandung
oleh ayat-ayat kawniyyah yang demikian itu tidak ada salahnya, mengingat ayat-
ayat itu tidak hanya dipahami seperti pemahaman bahasa arab, oleh karena Al
Qur’an untuk seluruh manusia.18

c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ilmi


Dari sekilas pembacaan di atas, gagasan-gagasan yang berupaya
menghubungkan atau mencari relevansi antara berbagai ilmu pengetahuan dengan
pemahaman atau penafsiran al-Qur’an terus mengalami perkembangan hingga abad
14 H/ 20 M dengan berbagai motivasi dan latar belakang.
Sayangnya perhatian intelektual Islam terhadap pemikiran-pemikiran
tersebut sangat minim, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan
seperti yang ditunjukkan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang hewan, tumbuh-
tumbuhan, langit dan bumi juga tidak bisa dinafikan disamping kebutuhan terhadap
hukum dan sebagainya.19
Senada dengan hal itu, Az-Zahabi juga menunjukkan beberapa kelemahan
dalam dalam penafsiran model tafsir ilmi ini, diantaranya:
1. Aspek Bahasa: Bahasa selalu mengalami perkembangan, sehingga sebuah kata
tidak hanya memiliki satu makna akan tetapi memiliki berbagai makna
termasuk penggunaannya dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, pada
umumnya ayat-ayat al-Qur’an dipahami dengan tetap memperhatikan latar

17
Nailul Rahmi, Loc Cit h. 85-89
18
Ali Hasan Al-‘Aridl, Op Cit h. 62-65
19
Quraish Shihab. Biarkan Al-Qur’an Sendiri yang Bicara, hasil wawancara dalam UMMAT no.
24 thn 1, 27 Mei 1996
belakang pemaknaan pada saat ayat itu turun, yang di antaranya diketahui
melalui informasi para Sahabat dan masyarakat Arab pada waktu itu.
Memperluas pemaknaan sebuah ayat dengan istilah-istilah baru sains tanpa
memperhatikan latar belakang pemaknaan, sementara hal itu tidak pernah
dikenal sebelumnya dinilai merupakan sesuatu yang tidak rasional.
2. Aspek Retoris: Al-Qur’an dikenal memiliki nilai dan kualitas retorika yang
tinggi sehingga selalu terdapat korelasi dalam sebuah ayat dengan ayat-ayat
yang lainnya termasuk dari aspek pemaknaannya. Adanya anggapan bahwa al-
Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan, bahkan mengaitkan ayat-ayat al-
Qur’an dengan istilah-istilah sains dan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan
korelasinya dengan ayat-ayat yang lain adalah sesuatu yang mengurangi
ketinggian nilai al-Qur’an.
3. Aspek Aqidah: Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang diturunkan kepada
seluruh manusia secara sempurna, tidak akan pernah lekang dimakan waktu
sehingga selalu dapat di dipahami dan diaplikasikan sepanjang
masa. Sementara kebenaran temuan ilmiah adalah sesuatu yang bersifat tentatif
dan relatif, dalam arti bahwa teori-teori sains tersebut dapat diruntuhkan oleh
teori lain sebagaimana dikenal dalam dunia saintifik. Mensejajarkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan teori dan temuan-temuan saintifik dengan demikian
merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima karena jika teori-teori tersebut
runtuh maka kebenaran al-Qur’an seolah-olah juga runtuh.20

6. Tafsir Adabi Ijtima’i


a. Pengertian
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-
ijtima’iitutersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-
adaby merupakan bentuk kata yangdiambil dari fi’il madhi aduba, yang
mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’iy
yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa
diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.21

b. Karakteristik
Sebagai salah atu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak
tafsir yang mempunyai karakteristik tersendiri, berbeda dari corak tafsir lainnya dan
memiliki corak tersendiri yang benar-benar baru bagi dunia tafsir dengan cara:
1) Mengemukakan ungkapan al-Qur’an secara teliti.
2) Menjelaskan makna-makna yang dimaksud Al-Qur’an dengan menggunakan
gaya bahasa yang indah dan menarik.
3) Langkah berikutnya mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an
yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.

20
Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
21
Muhammad Abduh. Tafsir Juz Amma. tej. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan. 1999
Pembahasan tafsir dengan menggunakan corak ini sepi dari penggunaan
ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika
dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Muhammad Husain adz-Dzahabi
menyatakan bahwa tafsir yang bercorak al-Adabi al-Ijtima’iadalah tafsir yang
menyinggung segi balaghah, keindahan bahasa al-Qur’an, dan ketelitian segi
redaksinya, dengan menerangkan makna dan tujuan diturunkannya al-Qur’an.
Kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an itu dengan hukum alam
(sunnatullah) dan aturan kehidupan kemasyarakatan. Tafsir ini berusaha untuk
memecahkan problema kehidupan umat Islampada khususnya, dan umat manusia
pada umumnya.
Adapun Manna al-Qaththan memberikan batasanya dengan menyatakan
bahwa tafsir corak al-Adabi al-Ijtima’i adalah tafsir yang diperkaya oleh riwayat
dari salaf al-ummah dan uraian tentangSunatullah yang harus berlaku pada
masyarakat. Disamping itu, menguraikan gaya ungkapan al-Qur’an yang pelik
dengan menyinggung maknanya melalui ibarat-ibarat yang mudah dicerna. Serta
berusaha menerangkan masalah-masalah yang asing dengan maksud
mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam dan umatnya serta mengobati
penyakit-penyakit kemasyarakatan dengan pendekatan petujukan al-Qur’an.22
Corak penafsiran At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’iini meliputi beberapa hal
pokok sebagai berikut:
1. Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayat
mempunyai hubungan yang serasi
Salah satu segi yang menonjol dalam corak tafsir ini adalah berusaha
membuktikan bahwa ayat-ayat dalam surat Al-Qur’an merupakan kesatuan
yang utuh, sebab mustahil Al-Qur’an sebagai Kalamullah tidak memiliki
relevansi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Alasan ini sekaligus membantah
sementara orang yang berpendapat bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an itu
kacau, tidak sistematis, dan tidak ada relevansinya antara satu ayat dengan ayat
lainnya.

2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum.


Kandungan Al-Qur’an bersifat universal dan berlaku terus menerus
sepanjang masa sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran,
janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah akhlak
dan ibadah yang berlaku bagi semua umat dan bangsa di mana pun dan kapan
pun. Dengan universalitas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an itu, maka pendapat
yang membatasi pengertian dan kandungan Al-Qur’an hanya berlaku untuk
masa tertentu akan tertolak. Misalnya sifat orang munafik yang digambarkan
pada awal surat Al-Baqarah tidak hanya berlaku dan ditujukan kepada orang-
orang munafik pada masa Rasulullah SAW. saja, tetapi berlaku juga bagi setiap
orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut baik pada masa lampau, kini,
maupun yang akan datang.

22
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2004, hlm.
94.
3. Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum
Aliran corak tafsir ini berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama
ajaran akidah dan syari’at Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum
harus kembali kepada sumber yang utama, yakni Al-Qur’an. Dengan kata lain,
tidak mudah untuk dapat menerima pendapat dan gagasan seseorang tanpa
mengecek kebenaran yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.

4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an


Salah satu ciri yang dominan dan khas dari tafsir ini ialah penggunaan
interpretasi secara rasional berdasarkan akal pikiran. Dengan alasan bahwa
karena Al-Qur’an sangat menghargai akal-pikiran serta memosisikannya pada
kedudukan yang sangat terhormat. Karena itulah, maka banyak ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan untuk menggunakan akal pikiran seperti tuntutan-
tuntutan: ‫ َلفأ نوملعت‬،‫ َلفأ نولقعت‬، ّ‫ َلفأ نوركفتت‬، ّ‫ َلفأ نوربدتت‬dan tuntutan lainnya yang
senada agar manusia mau menggunakan akal pikirannya untuk berpikir atas
segala sesuatu, bahkan intuisi pun dituntut hal yang sama.

5. Menentang dan memberantas taqlid


Salah satu upaya yang intens dari corak tafsir ini adalah menghilangkan
praktik dan keyakinan taqlid buta dalam masyarakat Islam, karena taqlid
dianggap dapat menyebabkan kejumudan (kebekuan) pemikiran umat Islam
dan mengalami kemunduran. Muhammad Abduh sebagai ulama aliran ini
berkeyakinan bahwa Al-Qur’an sangat mencela orang-orang yang mengikuti
pendapat pendahulunya tanpa sikap kritis dan alasan yang jelas. Keyakinan ini
berdasarkan pada ayat 170 surat Al-Baqarah:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?

6. Mengkaitkan interpretasi Al-Qur’an dengan kehidupan sosial


Sesuai dengan nafas iafsir ini yang berorientasi kepada kehidupan sosial,
maka salah satu cirinya ialah mengkaitkan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan
problematika sosial pada saat mufassir menulis tafsirnya. Sebagai contoh
misalnya: Pada masa Syaikh Muhammad Abduh menulis Tafsir Al-Manar,
umat Islam Mesir berada dalam kondisi cengkeraman kolonialisme Barat
(Inggris), maka tafsir yang ditulis berusaha membangkitkan semangat juang
umat Islam Mesir untuk bangkit melawan penjajahan dan kembali mengkaji
nilai-nilai Al-Qur’an, sehingga dapat mendorong ke arah kemerdekaan,
kemajuan, dan kemakmuran bangsa Mesir.23

23
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hal 548-549.
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Adabi Ijtima’i
Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir adabi ijtima’i juga
mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri
Kelebihan At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i
1. dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek
balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan
keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi
perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah
untuk dipahami ole siapa saja (bukan hanya ulama saja).
2. corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di
zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh
pembaca/pendengarnya.
3. Disebabkan tafsir ini berangkat dari semangat bebas dalam menggunakan
akal pikiran, maka corak tafsir ini jauh dari pengaruh unsur-unsur fanatisme
madzhab-mazhab tertentu, jauh dari pengaruh kisah-kisah Israiliyat, dusta
khurafat, serta hadits-hadits dha’if dan maudhu’.
4. Tafsir ini tidak mengungkit-ungkit permasalahan yang samar (mutasyabihat)
dalam Al-Qur’an, dan tidak membicarakan rincian-rincian (juz’iyyat).
5. Tafsir ini mampu mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an, baik dari segi
risalah maupun linguistik dan keindahan bahasanya (balaghah).
6. Tafsir ini juga mampu menampilkan fenomena keagungan sunnatullah dan
aturan tata sosial kemasyarakatan yang sekaligus menunjukkan keagungan
penciptanya.

2. Kelemahan At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i


1. terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir
tinggal ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal). Sehingga bisa dipastikan
bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai dengan
keadaan yang ada pada masyarakat lain.Terlalu bebas dalam
mempergunakan akal pikiran, sehingga sering menakwilkan hakikat syariat
yang sudah baku dipalingkan ke majaz (bukan hakikat).
2. Dengan porsi kebebasan akal pikirannya itu pula, menyebabkan ajaran dan
aqidah Mu’tazilah memasuki tafsir ini.
3. Mudah mendha’ifkan dan memaudhu’kan hadits, padahal hadits tersebut
berada dalam Kitab Shahih Bukhari Muslim.24

d. Tokoh-tokoh At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i


Tokoh-tokoh Mufassirin At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’I dapat diketahui di
antaranya adalah Muhammad Abduh. Nama lengkapnya Syaikh Muhammad
Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-
Buhairah, Mesir pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya,
bukan pula keturunan bangsawan. Namun, ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan.25 Ia menulis beberapa kitab tafsirnya,
salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
dalam Tafsir Al-Manar,Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir Al-

24
Muhammad Husaian al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, (Beirut:Dar al-Fikr, 1976),.,
hal. 548-549.
25
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hlm.11
Maraghi, dan sebagainya. Tokoh lain ialah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon pada 27
Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan Arab yang
mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW. Gelar “sayyid” pada permulaan
namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan tersebut.
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat
beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan
sebutan “syaikh”.26
Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar
Pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam
perjalanan, beliau hanya membaca Al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman,
pada 23 Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.27
Karya-karya ilmiah Muhammad Rasyid Ridha di antaranya Al-Hikmah Asy-
Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-Azhar, Al-Manar, dan
sebagainya. Ciri-ciri pokok tafsir Rasyid Ridha terletak pada keluasan pembahasan
tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW. Keluasan
pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain. Penyisipan pembahasan-
pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk
agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-
problem yang berkembang. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan
redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

26
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hal 59
27
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hal 59
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa At-Tafsir Al-
Adabi Al-Ijtima’iadalah:
1. Salah satu bentuk dan corak dalam perkembangan penafsiran ayat-ayat al-
Qur›an, yang telah memperkaya khazanah Kitab-kitab Tafsir yang ada dan
mendorong kemajuan perkembangan pemikiran dalam Dunia Islam.
2. Tafsir yang telah berjasa dalam menjawab berbagai persoalan dalam kehidupan
sosial ummat Islam dan menangkis serangan-serangan kaum non Muslim atas
anggapan mereka bahwa Islam adalah agama yang tidak rasional, dengan hujjah-
hujjah yang relevan, rasional dan gaya bahasa yang indah dan mudah dipahami.

Anda mungkin juga menyukai