Anda di halaman 1dari 12

KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN SANADNYA

JURNAL

Dosen pengampu:

Dr. H. Yana Mulyana M,Ag

Disusun oleh:
Kelompok 7 :

1. Misbahul Munirin Hamzah (2021.01.016)


2. Naila Aulia Nisa (2021.01.039)
3. Nur Aisyiah Azzahra (2021.01.041)

4. Naufal Ridhwan Ahmad (2021.01.080)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FALAH
CICALENGKA - BANDUNG
2021
ABSTRAK
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW baik
mengenai perkataan, perbuatan taqrir dan sebagainya. Hadits merupakan sumber
tasyri’ kedua. Secara global para ulama mengakuinya tetapi secara terperinci mereka
berpendapat tentang kedudukan hadits sebagai dalil tasyri’, sebab hadits dilihat dari
jumlah perawi yang ada yang dinamakan hadits ahad dan hadits mutawatir, sedangkan
dilihat dari nilainya ada yang shahih dan ada yang dha’if Adapun sumber tasyri’
adalah dasar penetapan hukum islam. Metode yang digunakan dalam pembelajaran
Al-Qur‟an Hadits salah satunya adalah metode ceramah, yaitu metode di dalam
pendidikan dimana cara penyampaian materi pada anak didik dengan jalan
penerangan dan penafsiran secara lisan, dan metode ceramah ini tepat digunakan
apabila akan menyampaikan bahan atau materi pada orang yang banyak. Media yang
sangat membantu untuk memberikan materi pembelajaran salah satunya adalah media
teks. Media ini membantu pembelajar fokus pada materi yang disiswai karena
pembelajar cukup mendengarkan tanpa melakukan aktivitas lain yang menuntut
konsentrasi, serta sangat cocok bila digunakan sebagai media untuk memberikan
motivasi.

Kata kunci : Hadits, Hukum islam

A. Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap dunia islam
khususnya studi hadis. Perkembangan cepat yang dialami oleh banyak ilmu serta
pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat, memaksa kita
untuk mempelajari segala hal yang berkaitan dengan bidang ini. Dengan mengetahui
tentang studi hadis maka kita akan lebih memahami dan mempunyai wawasan yang
luas tentang seluk beluk yang berkaitan dengan studi hadis tersebut, sehingga kita
sebagai generasi penerus bangsa mampu meningkatkan dunia pendidikan terutama
yang berlandaskan hadis nabi.
Penulis memilih tema klasifikasi hadis ditinjau dari segi kwantitas dan kualitas
sanad serta status wurudnya pada makalah ini, karena disamping mengandung arti dan
masalah komplek yang perlu dicermati dan membutuhkan kreatifitas dalam
memecahkannya, tetapi juga dengan adanya pengkajian ini diharapkan akan
memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi eksistensi pendidikan
dalam bidang agama, khususnya pada studi hadis. Tentunya hal itu akan memperkaya
pengetahuan kita tentang segala hal yang menyangkut studi hadis, baik dimasa
lampau maupun dimasa yang akan datang.
Pembagian hadis diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadis,
dari sisi kuantitas pembagian hadis bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap
tingkatan sehingga muncul klasifikasi hadis mutawattir dan hadis ahad. Sedangkan
dari sisi kualitas bertujuan untuk mengetahui keontetikan hadis dilihat dari shahih,
hasan, dhaif dan sebagainya.

B. Pembahasan

Bagi kaum Muslimin, hadits diyakini sebagai sumber hukum pokok setelah
al-Qur’an. Ia adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya
semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan
penafsir al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen
sebagaimana al-Qur’an sendiri. Ini terkait dengan tugas Rasulullah S A W sebagai
pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung di dalamnya.
Berdasar hal ini umat Islam meyakini bahwa al-Quran dan hadits merupakan
sumber hukum Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam kepentingan istidlal dan
dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu nash. Keduanya saling menopang
secara sempurna dalam menjelaskan syari'ah.
Dalam konteks ini Imam Syatibi berkata: "Di dalam istinbath hukum, tidak
seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur‟an saja, tanpa
memperhatikan penjabaran (syarah) dan penjelasan (bayan), yaitu al-Hadits. Sebab
di dalam al-Qur‟an terdapat banyak hal-hal yang masih global seperti keterangan
tentang shalat, zakat, haji, puasa dan lain sebagainya, sehingga tidak ada jalan lain
kecuali menengok keterangan hadits."

Kendati demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat


berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus, baik
dari Rasulullah SAW maupun para sahabat, berkaitan dengan penulisannya. Bahkan
secara resmi kodifikasi itu kemudian dilakukan sejak masa khalifah Abu Bakar al-
Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang waktunya relatif dekat
dengan masa Rasulullah.
Demikian juga para sahabat selalu punya perhatian besar terhadap setiap
peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah. Peristiwa-persitiwa tersebut secara
otomatis akan terekam dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat. Ini karena para
sahabat terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika
itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian
terekam dalam bentuk hafalan.
Meski para sahabat menerima hadits dari Rasul SAW dengan jalan menghafal,
bukan berarti hadits yang diterima tersebut tidak ditulis oleh mereka. Banyak riwayat
yang sampai kepada kita bahwa di antara beberapa sahabat ada yang memiliki
catatan-catatan hadits. Salah satunya adalah Abdullah ibn ‘Amr, yang memiliki al-
Shahifah al-Shadiqah. Shahifah ini akhirnya berpindah tangan kepada cucunya, yaitu
‘Amr ibn Syu’aib. Imam Ahmad meriwayatkan sebagian besar isi shahifah ini dalam
Musnad-nya.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat kemudian saling meriwayatkan apa
yang pernah didengar dari beliau. Setiap berita yang datang dari seorang sahabat
yang mengaku mendengar atau berasal dari Rasulullah, mereka langsung
menerimanya.
Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga terjadi fitnah yang menyebabkan
kematian Khalifah Utsman bin ‘Affan radiallahuanhu, yang diikuti terjadinya
perpecahan dan perselisihan serta munculnya berbagai firqah. Masing-masing
kelompok kemudian mencari pembenaran terhadap bid’ah yang dibuatnya dengan
mencari nash-nash yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.
Dalam kondisi seperti inilah para sahabat mengambil sikap hati-hati dalam
meriwayatkan sebuah hadits. Mereka tidak menerima selain apa yang diketahui
jalurnya dan merasa yakin dengan ke-tsiqah-an (keterpercayaan) dan keadilan para
perawinya, yaitu melalui jalur sanad. Secara bahasa, sanad atau isnad artinya
sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi rawi
yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad merupakan istilah
ahli hadits dari sisi periwayatannya. Ia adalah rangkaian para periwayat yang
menyampaikan suatu khabar (berita) dari satu perawi kepada perawi berikutnya
secara berangkai, hingga sampai pada sumber khabar yang diriwayatkan itu.6 Sanad
dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang
sebelum Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam yakni sahabat. Misalnya al-Bukhari
meriwayatkan satu hadits, maka ia dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang
mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari
dikatakan awal sanad sedangkan sahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan
akhir sanad.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimah shahihnya dari Ibn Sirin
rahimahullah, yang berkata, Dulu mereka tidak pernah mempertanyakan tentang
sanad, namun tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, Tolong sebutkan kepada
kami para perawi kalian. Lalu dilihatlah riwayat ahlu al-Hadits lantas diterima hadits
mereka. Demikian pula, dilihatlah riwayat Ahli Bid‟ah, lalu ditolak hadits mereka.
Demikian pula generasi berikutnya, ketika mendengar sebuah hadits, tidak
langsung menerimanya. Mereka terlebih dulu menguji kebenaran hadits itu dengan
melihat dan mempelajari matan (isi) dan sanad-nya sekaligus. Perhatian kaum
Muslimin terhadap kedua hal ini begitu tinggi. Sebab melalui cara ini kemudian
mereka bisa menilai apakah sebuah hadits itu otentik dan akurat, atau tidak.
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa kajian sanad ternyata baru dilakukan
oleh umat Islam. Pada tradisi di luar Islam, semisal Yahudi dan Nasrani, tidak
mengenal kajian tersebut. Mereka hanya mengenal kajian isi (teks) semata dan tidak
mengenal kajian sanad. Ini membuktikan bahwa kajian tentang sanad atau
periwayatan merupakan salah satu keistimewaan umat Islam yang tidak dimiliki
umat-umat lain. Ibnu Hazm berkata: “Periwayatan orang-orang yang terpercaya
hingga sampai ke Rasulullah adalah kekhususan yang diberikan Allah kepada umat
ini, yang tidak ada di agama lain. Adapun riwayat mursal atau mu’dhal (jenis-jenis
riwayat yang terputus jalur periwayatannya), banyak terdapat di Yahudi tapi tidak
sampai mendekati Musa alaihissalam sebagaimana riwayat kita sampai Rasulullah.
Riwayat orang-orang Yahudi itu hanya sampai pada orang yang antara dia dengan
Musa yang jaraknya lebih dari 30 masa. Mereka hanya sampai kepada Syam’un atau
semisalnya. Sedangkan Nashrani, mereka tidak mempunyai periwayatan seperti ini
kecuali riwayat pengharaman talak saja. Adapun riwayat yang didalamnya terdapat
para pendusta maupun orang-orang yang tidak dikenal, maka hal ini banyak ditemui
di periwayatan Yahudi dan Nashrani.
Pernyataan Ibnu Hazm ini diperkuat adanya bukti sejarah bahwa keempat
penulis kitab Injil yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, tidak pernah bertemu
dengan Nabi Isa alaihissalam. Sejarah tidak dapat memberikan jawaban siapa yang
meriwayatkan injil-injil tersebut dari Nabi Isa a.s. Lagi pula, tidak diketahui bahasa
asalnya. Karena itu sulit diyakini kebenarannya.

Ini berbeda dengan Islam, setiap sumbernya memiliki sanad yang jelas. Setiap
hadits yang diklaim berasal dari Rasulullah SAW mempunyai sanad alaupun ia
dhaif. Karena itulah kaum Muslimin dengan tegas menyatakan bahwa studi sanad
hadits itu sangat penting.
Studi sanad hadits yang dimaksud adalah mempelajari mata rantai para perawi
yang ada dalam sanad hadits yang menitikberatkan pada mengetahui biografi, kuat
lemahnya hafalan serta penyebabnya, mengetahui apakah mata rantai sanad antara
seorang perawi dengan yang lain bersambung atau terputus, dengan mengetahui
waktu lahir dan wafat mereka, dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan
al-jarh wat-ta’dil.
Melalui jalur ini, dimungkinkan penelitian terhadap kebenaran hadits hadits dan
berita-berita dengan mengenali para perawinya. Sebab, dalam sanad terhimpun
sejumlah bukti dan pendukung berupa perawi-perawinya yang bersifat adil, tsiqaat
dan dhobit. Dan dari sinilah keshahihan suatu berita yang diriwayatkan menjadi
kokoh. Cara ini memberikan rasa tenteram dan percaya pada berita yang
diriwayatkan. Bahkan setelah mempelajari semua unsur yang tersebut di atas,
kemudian memberikan hukum kepada sanad hadits apakah sanadnya shahih, lemah,
atau dusta.
Karena itulah para ulama menetapkan sanad sebagai bagian penting dalam
penerimaan hadits. Ibnu Mubarok mengatakan bahwa sanad merupakan bagian dari
agama. Sebab tanpa sanad, orang bisa berbicara apa saja sesuai yang
dikehendakinya.
Penetapan sanad ini dimaksudkan untuk memastikan keshahihan (keotentikan)
suatu nash (teks) atau berita, serta melenyapkan kepalsuan dan kebohongan yang
mungkin ada padanya. Dengan cara ini bisa diketahui siapa siapa yang meriwayatkan
sebuah berita. Bila yang meriwayatkan itu orang yang memenuhi kreteria di atas,
periwayatannya diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi kreteria tersebut,
periwayatannya ditolak.
Kegunaan lainnya, riwayat-riwayat yang disandarkan pada sanad jauh lebih
utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan tanpa sanad.
Alasannya, sanad dalam suatu riwayat dapat digunakan untuk melacak keotentikan
sebuah riwayat. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga dapat dilakukan dengan
cara yang jauh lebih sempurna dibanding dengan khabar-khabar atau riwayat yang
tidak bersanad.

Karena pentingnya kedudukan sanad, para ulama berpendapat bahwa


mengetahuinya sama dengan mengetahui satu bagian yang besar dalam ilmu-ilmu
Islam. Imam Ali bin al- Madini berkata: "Kefahaman yang mendalam tentang
makna-makna hadits adalah separuh ilmu dan mengenali para perawi adalah separuh
ilmu.

Kata-kata Ibn al-Madini ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan ilmu


periwayatan yang sebanding dengan ilmu memahami kandungan hadits. Sebab,
hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti siapa yang
meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana
yang dapat diterima atau ditolak dan mana yang shahih atau tidak. Abdullah bin al-
Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama,
kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang
ia inginkan"
Dari sinilah kaum Muslimin menetapkan bahwa sanad merupakan media untuk
menentukan apakah suatu hadits benar penisbatannya kepada Rasulullah atau tidak.
Dengan sanad, para ahli hadits bisa membedakan mana hadits yang shahih, dhaif
(lemah) dan maudhu‟ (palsu).
Dengan sanad pula, muncul kesadaran dari umat Islam akan kedudukan as-
Sunnah dan betapa pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, karena ia
ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian detil, yang
belum pernah dikenal manusia sebelumnya sepanjang sejarah.
Untuk memenuhi hal itu kemudian para ulama hadits mengarang kitab yang
membahas tentang al-jarh wa al-ta‟dil serta biografi para perawi. Mereka menulis
sejumlah kitab yang tidak terhitung banyaknya tentang kaidah-kaidah periwayatan
dan keadaan para perawi hadits yang akan menentukan jalur periwayatannya.
Dengan begitu, klaim musuh-musuh Islam yang senang membuat keraguan
terhadap hadits dapat ditolak. Demikian pula syubhat-syubhat yang mereka lontarkan
seputar keshahihan hadits dapat dimentahkan.
Meski kaum muslimin sepakat bahwa sanad itu penting, namun diantara
mereka terjadi perbedaan dalam metodologi penetapan sebuah sanad. Perbedaan ini
muncul akibat pergolakan politik di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu
umat Islam terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Khowarij, Syiah dan Ahlusunnah
wal Jamaah (Sunni) yang merupakan mayoritas umat Islam.

1. Klasifikasi Hadits
Hadits bisa di klasifikasikan berdasarkan sebagian kriteria yakni berasalnya
ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat
keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).

a) Berdasarkan ujung sanad


Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’
(terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu’:
 Hadits Marfu’ adalah ucapan, perbuatan, ketetapan atau sifat yang
disandarkan kepda Nabi Saw. Secara khusus

‫الحديث المرفوع هومااضيف الي النبي صلي اهللا عليه وسلم حاصه‬

‫من قول او فعل اوتقريراووصف‬

 Hadits Mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan
tidak sampai kepada Rasulullah Saw.

‫الحديث الموقوف هو ما اضيف الى الصحابة رضوان اهللا عليهم‬

‫ولم يجاوز به الى رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم‬

 Dan hadita Maqthu’ yaitu perkataan atau perbuatan yang disanfdarkan


kepada tabiin baik sanadnya bersambungg ataupun tidak.

b) Berdasarkan keutuhan rantai atau lapisan sanad


Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi sebagian golongan
yakni musnad, munqati, mu’alaq, mu’dal dan mursal. Keutuhan rantai sanad
maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara
waktu dan keadaan bagi mendengar dari penutur diatasnya.
 Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad
yang dipunyai hadits tersebut tidak terpotong pada bidang tertentu.
Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits
berdasarkan waktu dan keadaan.
 Hadits Mursal. Jika penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain
seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW
(contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata"
tanpa ia menjelaskan beradanya kenalan yang menuturkan
kepadanya).
 Hadits Munqati' Jika sanad putus pada noda satu penutur yakni
penutur 4 atau 3
 Hadits Mu'dal jika sanad terputus pada dua generasi penutur berulang-
ulang.
 Hadits Mu'allaq jika sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1
(Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah mencapai
kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan
sanad selang dirinya hingga Rasulullah).

c) Berdasarkan jumlah penutur


Jumlah penutur yang dimaksud yaitu jumlah penutur dalam tiap tingkatan
dari sanad, atau ketersediaan sebagian jalur berbeda yang menjadi sanad hadits
tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan
hadits Ahad.
 Hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang dari sebagian sanad dan tidak terdapat probabilitas bahwa
mereka semua sepakat bagi berdusta bersama akan hal itu. Berlaku
hadits mutawatir memiliki sebagian sanad dan jumlah penutur pada
tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda gagasan
mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian
menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits
mutawatir sendiri bisa dibedakan selang dua jenis yakni mutawatir
lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada
redaksional terdapat perbedaan namun rumusan sama pada tiap
riwayat)
 Hadits hari pertama, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits hari pertama
belakang dibedakan atas tiga jenis selang lain :
 Gharib, jika hanya terdapat satu jalur sanad (pada noda satu
lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain
terdapat jumlah penutur)
 Aziz, jika terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada noda satu
lapisan)
 Mashur, jika terdapat semakin dari dua jalur sanad (tiga atau
semakin penutur pada noda satu lapisan) namun tidak mencapai
derajat mutawatir.

d) Berdasarkan tingkat keaslian hadits


Kategorisasi tingkat keaslian hadits yaitu klasifikasi yang paling penting
dan yaitu kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap
hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat
yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'.
 Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.
Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Sanadnya bersambung
 Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg sama berat, memiliki sifat
istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
 Matannya tidak berisi kejanggalan/bertentangan (syadz) serta
tidak berada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg
mencacatkan hadits.
 Hadits Hasan, jika hadits yang tersebut sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yg sama berat namun tidak sempurna
ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
 Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung
(dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak sama berat atau tidak kuat
ingatannya, berisi kejanggalan atau cacat.
 Hadits Maudu, jika hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki probabilitas berdusta.

Kesimpulan

Hadîts di bagi berdasarkan beberapa tipologi. Pertama berdasarkan bentuk


asal, hadîts dibagi menjadi empat yaitu: hadîts Qauliy, hadîts fi’liy, hadîts Taqrîriy
dan hadîts Shifatiy. Kedua berdasarkan sifat asal, hadîts dibagi menjadi dua yaitu:
hadîts Qudsiy dan hadîts Nabawiy. Ketiga berdasarkan jumlah periwayat, hadîts
dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Mutawâtir dan hadîts Ahad (Meskipun Hanafiyah
membaginya menjadi tiga). Keempat berdasarkan kwalitas, hadîts dibagi menjadi tiga
yaitu: hadîts Shahîh, hadîts Hasan dan hadîts Dha’if. Terakhir berdasarkan
penisbatan, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Marfû’, hadîts Mauqûf dan hadîts
Maqtu. 

Dikarenakan para ulama hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan pembagian


hadits, dan perbedaan itu adalah suatu yang wajar, selagi dengan tipologi dan alasan
yang jelas, maka ketika membahas macam-macam hadîts perlu diketahui pembagian
tersebut menurut siapa dan berdasarkan hal apa. Sehingga tidak menimbulkan
ketimpangan di dalam pembahasan yang terkait dengan pembagian hadîts ini        
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak Syaitibi, Al-Muafaqot, (Dar al-fikr al-arabi, kairo mesir, cet.2 1975
M/139H) juz III hal 369

Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-As‟asi al-Azdhi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Bab
Keutamaan Menyebarkan Ilmu), (Dar al-Kitab Arabi, Beirut, Libanon,tth) juz III, hal.
360

Ahmad Ibnu Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, Musnad Ahmad ibnu Hanbal, Tahqiq
oleh Sueb al-Arnut, (Mu‟asasah al-Risalah, Beirut, Libanon, 1420 H/1999 M), juz XI,
hal. 57

Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, tth),
hal.9-10

Abdul Bary Yahya, The Chain of Command, (al-Magriby Institute, Maryland,


Amerika Serikat tth), hal.

http://p2k.itbu.ac.id/en1/1-3055-2950/Hadis_27961_hadis-itbu.html

Anda mungkin juga menyukai