Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ADAWA’UL BAYAN ( ASY-SYINKTHI)


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengenalan Kitab Tafsir Kontemporer
Dosen Pengampu : Hidayatullah, M.A.

Disusun oleh:
Ibnu Agung Handoyo
Ahmad Fadhli
Mohammad Multazam

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
Jl. Batan I, No. 63 Pasar Jum’at, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan
12440
TAHUN 2022 M-1443 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha
Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Solawat serta salam senantiasa kami haturkan kepada
junjungan alam, baginda rasul Nabi Muhammad SAW. yang telah menunjukkan kepada umatnya
jalan islam yang damai serta mengajarkan cara untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala.
Alhamdulillah Makalah dengan judul “ADWA’UL BAYAN (AS-SYINKITHI)” dapat kami
selesaikan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengenalan Kitab Tafsir Kontemporer dan
didiskusikan bersama dengan tujuan dapat berbagi manfa’at khususnya bagi kami dan umumnya
bagi yang lainnya.
Kami ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Dan juga kami minta maaf apabila pembaca menemukan kesalahan
dalam penulisan makalah ini, karena kami juga manusia yang masih dalam tahap belajar serta
manusia yang merupakan tempatnya lupa dan salah.

Jakarta, 24 Februari 2022

PENYUSUN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Mufassir
B. Deskripsi Kitab
C. Metode dan Corak
D. Karakteristik penafsiran
E. Contoh Penafsiran
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Adhwaul Bayan Fi Idhohil Qur’an Bil Qur’an adalah salah satu kitab tafsir yang telah
disumbangkan oleh seorang ulama di masa modern yang bernama Muhammad Amin Asy-
Sinqithi, yang sangat menakjubkan.Penafsirannya mudah dan kita dapat dengan mudah
memahami makna ayat ayat yang ada, bahkan kita tidak usah khawatir apakah tafsiran ini
menyimpang atau tidak dari batasan aqidah yang benar? Karena dalam tafsir ini ayat dijelaskan
dengan ayat-ayat penjelas yang semisalnya dan kemudian kesimpulan maksud dan
maknanya.Sangat mudah dan sangat ringkas, sehingga pemakalah merekomendasikan kepada
kaum muslimin sekalian untuk membaca kitab tafsir Adhwaul Bayan Fi Idhohil Qur’an Bil
Qur’an.
Setiap kitab tafsir atau mufasirnya tentu memiliki karakteristik tersendiri dalam menafsirkan al-
Qur’an karyanya, dalam kitab asy-syeikh Syinqithi mengutamakan tafsiran al-Qur’an dengan al-
Qur’an. Sebagai mana generasi sahabat dalamm menafsirkan Al-Qur'an bertumpu yang pertama
dengan Al-Qur'an. Begitu juga kalangan tabi’in, mufasir dari generasi ini mengutamakan
penyandaran tafsir Al-Qur'an dengan isi Al-Qur'an yang menjelaskannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi mufassir?
2. Bagaimana deskripsi kitab?
3. Apa metode dan corak?
4. Bagaimana karakteristik penafsiran?
5. Contoh penafsiran?

C. Tujuan
1. Mengetahui biografi mufassir.
2. Mengetahui deskripsi kitab.
3. Mengetahui metode dan corak.
4. Mengetahui karakteristik penafsiran.
5. Mengetahui contoh penafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Mufassir

Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtår al-Juknî asy-
Syinqîthî. Beliau lahir pada tahun 1325 H/1907 M, di desa Tinbah, wilayah Kifa, di daerah
Syinqîth, saat ini dikenal dengan Negara Meuritania1. Adapun Jakni/jukni adalah nama sukunya
yang diambil dari nama nenek moyangnya Jakin al-Abar. Suku ini adalah orang-orang Arab yang
tinggal di Syinqîth. Anggota suku ini dikenal sebagai kalangan terpelajar. Aktifitas belajar dan
menuntut ilmu adalah tradisi mereka baik ketika mukim maupun dalam perjalanan.2

Beliau ditinggal mati orang tuanya ketika masih kecil, di saat masih belajar membaca juz
'amma. Meski begitu, beliau mampu menyelesaikan hafalannya 30 juz pada usia 10 tahun di
bawah bimbingan pamannya. Dari pamannya juga, beliau memperoleh pelajaran sastra arab
beserta seluk beluknya, sirah nabawiyyah, ilmu fiqh dari mazhab Maliki. Ketika menginjak
dewasa, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Di saat haji itulah, asy-Syinqithi yang awalnya bermazhab Maliki, memiliki


kecenderungan ke arah pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Di tanah
Arab inilah, beliau menetap dalam beberapa tahun untuk belajar tafsir di masjid Nabawi, yang
saat itu di bawah kekuasaan Raja Abdul 'Aziz. Namun, pada akhirnya ia tetap konsisten dengan
mazhab awalnya, Maliki.

Ketika beliau merasa semakin mantap untuk tinggal Saudi Arabia dan memulai belajar di
Masjid Nabawi, ternyata di sana banyak dijumpai halaqah-halaqah diskusi tentang empat
Mazhab. Namun, Syinqithi sendiri lebih tertarik untuk mempelajari dan mendalami tafsir. Hal ini
dilakukannya selama kurang lebih 30 tahun. Dan beliau wafat pada hari Kamis pagi, 17
Dzulhijjah 1393 H/ 1973 M, dimakamkan di Ma'la, Makkah al-Mukarramah.

1
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2019), cet. II, hlm. 231
2
Abdul Haris, DISTINGSI TAFSIR ADHWAU AL-BAYAN FI IDHAH AL-QUR’AN BI AL-QUR’AN, (Jakarta:
Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat 28 (1), 2017), jurnal.umj.ac.id, diakses 19 Februari 2022
pukul 17.11
Di antara karya-karyanya:

1. Adhwa al-Bayân fi Idhâh al-Qur'ân bil-Qur'ân

2. Man' Jawâz al-Majâz al-Munazzal

3. Muzakkirat al-Ushûl 'ala Raudhat an-Nâdzir

4. Adâb al-Bahts wa al-Munâdzarah

5. Daf Ihâm al-Idhthirâb 'an Ayi al-Kitâb3

6. Khalis Al-Juman fi Zikr Ansab Bani Adnan

7. Rajz fi Fura’ Madzhab Malik Yakhtas bil ‘Uqad min Al-Buya’ wa Ruhan

8. Alfiyah fil Mantiq

9. Nudzm fil Fara’id

10. Ayat al-Shifat4

B. Deskripsi Kitab

Nama lengkap kitab ini adalah Adhwa' al-Bayân fi Idhâh al-Qur'ân bil-Qur'ân, yang
seluruhnya berjumlah sembilan jilid. Dicetak pertama kali di percetakan 'Alm al-Kutub, Beirut,
pada tahun 1383 H. Kemudian dicetak ulang di percetakan Ibn Taimiyah, Kairo, pada tahun
1408 H. Adapun awal mula penyusunannya adalah pada tahun 1386 H.

Penyusunan Kitab ini melalui metode imlâ' (didiktekan) sampai jilid VII saja, akhir surah
al-Mujadalah, sebab beliau meninggal tak lama setelah itu. Kemudian disempurnakan oleh salah
seorang muridnya, 'Athiyah Muhammad Salim, sampai dua jilid.

Di dalam kitab ini, disertakan juga makalah-makalah asy Syinqithi, antara lain, an-
Nâsikh wal-Mansûkh, Man' Jawâz al Majâz 'an al-Munazzal, dan Daf' Ihâm al-Idhthirab,
sehingga seluruhnya berjumlah 10 jilid. Dengan demikian, yang secara khusus membicarakan
tafsir adalah sembilan jilid.

3
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm. 232
4
Abdul Haris, DISTINGSI TAFSIR ADHWAU AL-BAYAN FI IDHAH AL-QUR’AN BI AL-QUR’AN
Kitab Tafsir ini tidak membicarakan seluruh ayat-ayat al Qur'an, sebagaimana kitab-kitab
tafsir yang lain, sebab banyak ayat yang tidak dibahas atau ditafsirkannya. Kitab ini bisa dibilang
kitab tafsir yang spesifik dan menggunakan metode yang spesifik juga, yakni hanya menafsirkan
ayat-ayat al Qur'an secara ijmal, baik menyangkut lafaz maupun makna kandungannya. Namun,
beliau menjelaskannya pada ayat-ayat yang lain (yang semakna), baik makna literal maupun
kontekstualnya.5

Kitab ini juga mengandung beberapa penjelasan tambahan, seperti pembahasan tentang
beberapa masalah kebahasaan dan hal-hal yang dibutuhkannya seperti sharaf dan i’raab,
penyebutan syair-syair Arab sebagai dalil penguat, serta analisa terhadap masalah-masalah yang
dibutuhkan dalam menafsirkan sebuah ayat seperti masalah-masalah ushuliyah dan kalam
dengan dilandasi sanad-sanad hadits6

Alasan dan Tujuan penulisan

Al-Syinqithy menjelaskan alasan kenapa dia menulis tafsirnya, yaitu ketidakpedulian dan
keberpalingan sebagian besar manusia yang menyebut diri mereka Muslimin dari al-Qur‟an.
Mereka tidak tertarik pada janji-janji al-Qur’an dan tidak takut kepada ancamannya. Hal itulah
yang mendorong seseorang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an untuk mengabdikan
diri dengan menjelaskan maknanya, menampakkan kebaikannya, mengurai keruwetanya,
menjelaskan hukum-hukumnya, menyeru manusia untuk mengamalkan ajarannya dan
meninggalkan apa yang bertentangan dengannya.7

Selanjutnya al-Syinqithy menjelaskan dua tujuan utama penulisan tafsirnya yaitu


pertama, menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an sebagaimana disepakati oleh para
ulama bahwa tafsir yang paling mulia dan paling agung adalah tafsir kitabullah dengan
kitabullah, karena tidak ada yang lebih tahu makna kalamullah dari pada Allah azza wa jalla.8

Tujuan kedua adalah untuk menjelaskan hukum-hukum fiqh pada semua ayat yang
dijelaskan dengan mengambil dalil dari sunnah dan pendapat para ulama kemudian memilih

5
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm. 232-233
6
Fithriya Adae, Metode al-Syanqithi dalam Menafsirkan al-Qur’an, Skripsi, 2013: repository.uin-suska.ac.id,
diakses 19 Februari 2022 pukul 17.55
7
Al-Syanqithy, Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an (Beirut: Darul Alam al-Kutub, 2014)
muqaddimah, hlm. 5
8
Adhwau al-Bayan, muqaddimah, hlm. 5
yang dianggap rajah, lebih kuat, tanpa ta’assub kepada madzhab tertentu atau kepada pendapat
seseorang tertentu, karena yang diperhatikan adalah pendapatnya bukan siapa yang
mengatakannya.9 Barangkali karena tujuan kedua inilah, tafsir ini digolongkan oleh al-Qattan
dalam Tafsir Fiqhy, sekelompok dengan Ahkam al-Qur’an, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Tafsir
Ayat al-Ahkam dll.

C. Metode dan Corak Penafsiran

Tafsir ini bukan bukan Tafsir Maudhu’i (tematis), dimana seorang mufassir tidak memulai
tafsirnya dari surat pertama sampai surat terakhir melainkan memilih satu tema dalam al-Qur’an
untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut baru
kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut.
Untuk disebut sebagai tafsir dengan metode Tahlily, yang mana mufasir-nya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-
Qur’an sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, juga kurang tepat. Mungkin lebih tepat kalau
metode tafsir ini dikelompokkan dalam metode tafsir Muqarin yang menggunakan metode
perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat
para ulama.10 Atau dalam sumber lain dikatakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, asy-
Syinqithi menggunakan dua metode pokok, yakni metode literer/naqli (al-manhaj an-naqli) dan
metode rasional/‘aqli (al-manhaj al-‘aqli). Metode naqli yang dimaksud dalam hal ini adalah
metode penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’. Sedangkan
metode ‘aqli yang dimaksud dalam hal ini adalah penggunaan metode-metode rasional dalam
penafsiran al-Qur’an seperti qiyas, analisis kebahasaan dan ushul fikih.
Mengenai metode penafsiran naqlinya, ia mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya:
‫ أحدهما بيان القرأن بالقرأن إلجماع العلماء على أن أشرف أنواع التفسير وأجلها‬:‫واعلم أن من أهم المقصود بتأليفه أمران‬
‫ إذ ال أحد أعلم بمعنى كالم هللا من هللا جل وعال‬,‫تفسير كتاب هللا بكتاب هللا‬
Hal ini menunjukkan bahwa asy-Syinqithi berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan al-
Qur’an. Dan ini adalah metode yang juga dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta
para ulama setelahnya yang dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Hal ini karena
terkadang suatu ayat turun di satu tempat secara mujmal, atau muthlaq atau ‘amm, dan
ditemukan penjelasannya secara mubayyan, muqayyad dan mukhashshash di tempat yang lain.
Misal dalam hal ini adalah saat asy-Syinqithi membahas pernikahan antara muslim dengan non
muslim. Ia menegaskan tentang makna musyrik dan ahl al-kitab dalam surat al-Baqarah: 22
dengan menghadirkan surat al-Ma’idah:5, al-Bayyinah: 1 dan 6, al-Baqarah: 105, dan at-Taubah:
30-31. Selain itu, asy-Syinqithi juga menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis. Ia mengatakan:

9
Adhwau al-Bayan, muqaddimah, hlm. 6
10
Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt
‫واعلم أن مما التزمنا في هذا الكتاب المبارك أنه إن كانت لألية الكريمة مبين من القرأن غير واف بالمقصود من تمام البيان‬
‫فإنا نتمم البيان من السنة من حيث إنها تفسير للمبين‬
Asy-Syinqithi terhitung sangat banyak mengutip hadis untuk menguatkan penjelasan atas sebuah
ayat, menafsirkannya ataupun menjadikannya sebagai dalil dalam menentukan sebuah hukum.
Bahkan sebagian besar dalil yang disampaikan oleh asy-Syinqithi dalam tafsir ayat-ayat hukum
adalah hadis. Saat menafsirkan surat al-Baqarah: 229, ia berbicara tentang talak tiga dengan satu
lafadz dan mengemukakan pendapat para ulama yang menyatakan keabsahan dan tidaknya, dan
perdebatan antara ulama’ tentang masalah tersebut. Dengan panjang lebar, ia membahas masalah
ini dengan menyebutkan banyak hadis yang menguatkan kedua pendapat, kemudian mentarjih
antar pendapat tersebut dengan menyebutkan kelemahan dan kekuatan masing-masing pendapat.
Selain itu, asy-Syinqithi juga sering mengutip ijma’ dan kesepakatan para ulama atas sebuah
permasalahan hukum untuk menguatkan penjelasannya setelah mengutip ayat al-Qur’an atau
hadis. Misalnya adalah saat ia membahas masalah kafarah dzihar.
Mengenai metode ‘aqli atau rasional yang dipakai, asy-Syinqithi pada dasarnya bertumpu pada
beberapa sumber, antara lain ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah, bahasa, dan penalaran murni.
Hanya saja, sumber-sumber ini digunakan untuk menguatkan metode naqli, memperjelas makna
yang ada atau digunakan saat tidak ada nash yang jelas dalam masalah yang dibahas.Tentang
metodenya dalam masalah fiqh, ia mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya tentang tujuannya
dalam mengarang tafsir:
,‫ فإننا نبين ما فيها من األحكام وأدلتها من السنة‬,‫ في هذا الكتاب‬-‫بيان األحكام الفقهية في جميع األيات المبينة –بالفتح‬
‫ ألننا ننظر‬,‫ ونرجح ما ظهر لنا أنه الراجح بالدليل من غير تعصب لمذهب معين وال لقول قائل معين‬,‫وأقوال العلماء في ذلك‬
‫ ومعلوم أن الحق حق ولو كان‬,‫ ألن كل كالم فيه مقبول ومردود إال كالمه صلى هللا عليه وسلم‬,‫إلى ذات القول ال إلى قائله‬
]14[”.‫قائله حقيرا‬
Karena Adhwa’ al-Bayan adalah kitab dalam bidang tafsir, dan bukan dalam bidang fikih, maka
tentu saja tidak disusun dengan urutan bab-bab dalam fikih. Asy-Syinqithi berbicara tentang
masalah hukum apabila ia melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum (ayat al-ahkam).
Hanya saja, saat ia melewati ayat-ayat hukum dan berbicara tentang masalah fikih, ia membuat
urutan-urutan pembahasan secara baik dan detil. Saat berbicara tentang masalah dzihar misalnya,
ia membuat bab tersendiri tentang dzihar, membagi pembahasannya dalam 17 masalah, dan
membagi beberapa masalah yang ada dalam beberapa cabang masalah (far’). Dan itu
dilakukannya dalam masalah-masalah yang lain.
Ketika berbicara dalam sebuah masalah yang menimbulkan banyak perbedaan pendapat, asy-
Syinqithi selalu menuturkan berbagai pendapat yang ada, menyebutkan dalil-dalil yang dipakai
oleh setiap kelompok, dan kemudian melakukan perbandingan antar dalil (munaqasyah al-
adillah). Jika perbedaan tidak begitu kuat, ia hanya menyebutkan perbedaan antar ulama dan
dalil masing-masing tanpa melakukan perbandingan antar dalil. Dalam menjelaskan perbedaan
pendapat, sering sekali ia mengutip pendapat para ulama dan member sedikit komentar atas
perbedaan tersebut sekedar menjelaskan kelemahan atau keunggulan satu pendapat atau
mentarjih pendapat yang dianggapnya kuat.
Hanya saja, dalam menjelaskan pendapat dalam beberapa madzhab, ia seringkali mendahulukan
pendapat Imam Malik. Hal ini menunjukkan bahwa ia memang lebih cenderung pada madzhab
Maliki, madzhab yang pernah dianutnya saat ia belum berpindah ke Arab Saudi. Akan tetapi, ia
tidak fanatik (ta’ashshub) pada madzhab Maliki. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah
saat ia menjelaskan perbedaan ulama tentang makna al-qur’an dan masalah khulu’.11
Sedangkan coraknya sebagaimana telah disinggung di awal adalah corak fiqh, sebab
pengarangnya adalah seorang yang menekuni bidang fiqh dan menjadi pengajar bidang ini baikdi
Madinah maupun Riyadh.12
D. Karakeristik Penafsiran
Kitab tafsir yang menakjubkan ini memiliki karakteristik penafsiran yang begitu bagus, yaitu;
a) Menafsirkan ayat secara urutan surat al-Qur'an. Kita dapat mengamatinya dari penafsiran
yang ada dimulai dari surat al-Fatihah kemudian al-Baqoroh kemudian ali-Imran dan seterusnya.
b) Tidak menafsirkan setiap ayat yang ada, bahkan tidak menafsirkan al-Qur'an perkata, namun
hanya pada ayat yang memiliki tafsiran pada ayat yang lainnya, atau ayat yang mengandung
hukum.
c) Menjelaskan al-Qur'an dengan al-Qur'an, ini telah menjadi ijma’ ulama’ bahwa cara
penafsiran yang terbaik adalah menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, karena tidak ada yang
lebih memahami makna kalam-kalam Allah dari Allah yang maha tinggi. Contoh:
: ‫ الكلمات هذه ما هنا يبين لم َربَّنَا ظَلَ ْمنَا َأ ْنفُ َسنَا َواِ ْن لَّ ْم قاال‬,‫ سورة في بينها ولكنه‬.)‫ت‬ ٍ ‫ ( فتلقى آدم ِمن َّربِّه َكلِ ِما‬: ‫قوله تعالى‬
ْ
) َ‫( بقوله االعراف االعرف ) ( تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ال َخا ِس ِر ْين‬
d) Konsisten dengan hanya menafsirkan dengan qiroah sab’ah, tidak mengambil dari qiro’ah
syadzah. Dan mungkin kami mencantumkan qiro’at syadzah hanya sebagai saksi dalam qiro’at
sab’ah. Qiro’at abi ja’far, ya’qub dan khalaf oleh penafsir tidaklah syadz, bahkan para ahli
qiro’atpun berpendapat demikian.
e) Menjelaskan hukum-hukum fiqih pada ayat hukum, dengan menambahkan pendalilan dari
sunnah dan perkataan para ulama’, kemudian merojihkan yang Nampak kuat di mata penafsir
berdasarkan dalil yang ada tanpa fanatik terhadap aliran madzhab tertentu, tidakk pula memihak
pada perkataan tokoh tertentu, karena setiap perkataan dari siapapun itu bisa diterima (karena
benar) dan bisa ditolak (karena salah).Kecuali perkataannya Rosulullah Shalallahu 'alaihi wa
salam. Kebenaran tetaplah kebenaran meskipun yang mengatakannya adalah manusia biasa.Di
bidang fiqih, dalam tafsirannya yang berkenaan hukum fikih, asy-syeikh menampilkan berbagai
pendapat ulama’ yang berbeda-beda, kemudian menyimpulkan pendapat mana yang lebih kuat
berdasarkan atas dalil aqli atau naqli.Artinya dalam kitab tafsir ini, sang mufasir tidak semata-
mata hanya menggunakan ayat dalam menafsirkan, namun menguatkan hujah dengan sunnah
juga.
11
Sofianasma, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya,
https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/07/muhammad-al-amin-asy-syinqithi-dan-metode-tafsirnya/ diakses
15 Februari 2022 pukul 22.00 WIB
12
‫)‪f‬‬ ‫‪Dalam perkara aqidah, beliau menjelaskan secara mantik dan dalil. Metode yang sangat‬‬
‫‪kental sekali adalah bahwa semua Allah sifati untuk dirinya sendiri yang ada dalam al-Qur'an ini‬‬
‫‪seperti istiwa’, tangan, wajah dan lain sebagainya diantara sifat-sifat Allah. Maka sifat itu adalah‬‬
‫‪sifat yang hakiki bukan majas dengan tetap meninggikan kesucian dzat Allah dari musyabahah‬‬
‫‪dari sifatnya manusia.‬‬
‫‪g) Mengeluarkan Hikmah yang terpendam, sebagai mana yang beliau kelurkan atas tasfiran‬‬
‫‪surat al-Fatihah‬‬
‫قوله تعالى ‪ِ { :‬إيَّا َك نَ ْعبُ ُد }‬
‫أشار في هذه اآلية الكريمة إلى تحقيق معنى ال إله إال هللا ‪ :‬ألن معناها مركب من أمرين ‪ :‬نفي وإثبات ‪ .‬فالنفي ‪ :‬خلع جميع‬
‫المعبودات غير هللا تعالى في جميع أنواع العبادات ‪ ،‬واإلثبات ‪ :‬إفراد رب السموات واألرض وحده بجميع أنواع العبادات على‬
‫الوجه المشروع ‪ .‬وقد أشار إلى النفي من ال إله إال هللا بتقديم المعمول الذي هو { ِإيَّاكَ } ‪ .‬وقد تقرر في األصول ‪ ،‬في مبحث‬
‫دليل الخطاب الذي هو مفهوم المخالفة ‪ .‬وفي المعاني في مبحث القصر ‪ :‬أن تقديم المعمول من صيغ الحصر ‪ .‬وأشار إلى‬
‫اإلثبات منها بقوله ‪ { :‬نَ ْعبُ ُد } ‪ .‬وقد بين معناها المشار إليه هنا مفصالً في آيات أخر كقوله ‪ { :‬يَاَأيُّ َها الناس اعبدوا َربَّ ُك ُم الذي‬
‫َخلَقَ ُك ْم } [ البقرة ‪ ] 21 :‬اآلية ‪ -‬فصرح باإلثبات منها بقوله ‪ { :‬اعبدوا َربَّ ُك ُم } وصرح بالنفي منها في آخر اآلية الكريمة‬
‫سوالً َأ ِن اعبدوا هللا‬ ‫بقوله ‪ { :‬فَالَ ت َْج َعلُو ْا هَّلل ِ َأندَاداً َوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمونَ } [ البقرة ‪ ] 22 :‬وكقوله ‪َ { :‬ولَقَ ْد بَ َع ْثنَا ِفي ُك ِّل ُأ َّم ٍة َّر ُ‬
‫واجتنبوا الطاغوت } [ النحل ‪ ] 36 :‬فصرح باإلثبات بقوله ‪َ { :‬أ ِن اعبدوا هللا } وبالنفي بقوله { واجتنبوا الطاغوت } وكقوله‬
‫‪ { :‬فَ َمنْ يَ ْكفُ ْر بالطاغوت َو ْيْؤ ِمن باهلل فَقَ ِد استمسك بالعروة الوثقى } [ البقرة ‪ ] 256 :‬فصرح بالنفي منها بقوله ‪ { :‬فَ َمنْ‬
‫يَ ْكفُ ْر بالطاغوت } [ البقرة ‪ ] 256 :‬وباإلثبات بقوله ‪َ { :‬و ْيْؤ ِمن باهلل } [ البقرة ‪ ] 256 :‬وكقوله ‪َ { :‬وِإ ْذ قَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم َألبِي ِه‬
‫ول ِإالَّ‬‫س ٍ‬ ‫س ْلنَا ِمن قَ ْبلِ َك ِمن َّر ُ‬ ‫َوقَ ْو ِم ِه ِإنَّنِي َب َرآ ٌء ِّم َّما تَ ْعبُدُونَ ِإالَّ الذي فَطَ َرنِي } [ الزخرف ‪ ] 27-26 :‬اآلية ‪ -‬وكقوله ‪َ { :‬و َمآ َأ ْر َ‬
‫سلِنَآ َج َع ْلنَا ِمن د ِ‬
‫ُون‬ ‫َأ‬ ‫س ْلنَا ِمن قَ ْبلِكَ ِمن ُّر ُ‬ ‫سَأ ْل َمنْ َأ ْر َ‬‫نوحي ِإلَ ْي ِه َأنَّهُ ال إله ِإالَّ َأنَاْ فاعبدون } [ األنبياء ‪ ] 25 :‬وقوله ‪َ { :‬وا ْ‬
‫الرحمن آلِ َهةً يُ ْعبَدُونَ } [ الزخرف ‪ ] 45 :‬إلى غير ذلك من اآليات‬
‫ستَ ِعينُ } ‪.‬أي ال نطلب العون إال منك وحدك ‪ .‬ألن األمر كله بيدك وحدك ال يملك أحد منه معك مثقال ذرة‬ ‫قوله تعالى ‪َ { :‬وِإيَّا َك نَ ْ‬
‫ست َِعينُ } بعد قوله ‪ِ { :‬إيَّا َك نَ ْعبُ ُد } ‪ ،‬فيه إشارة إلى أنه ال ينبغي أن يتوكل إال على من يستحق‬ ‫‪ .‬وإتيانه بقوله ‪َ { :‬وِإيَّا َك نَ ْ‬
‫العبادة ‪ .‬ألن غيره ليس بيده األمر ‪ .‬وهذا المعنى المشار إليه هنا جاء مبينا ً واضحا ً في آيات أخر كقوله ‪ { :‬فاعبده َوت ََو َّك ْل‬
‫َعلَ ْي ِه } [ هود ‪ ] 123 :‬اآلية ‪ -‬وقوله ‪ { :‬فَِإن تَ َولَّ ْو ْا فَقُ ْل َح ْ‬
‫سبِ َي هللا ال إله ِإالَّ ُه َو َعلَ ْي ِه ت ََو َّك ْلتُ } [ التوبة ‪ ] 129 :‬اآلية ‪-‬‬
‫وقوله ‪َّ { :‬ر ُّب المشرق والمغرب الَ إله ِإالَّ ُه َو فاتخذه َو ِكيالً } [ المزمل ‪ ] 9 :‬وقوله ‪ { :‬قُ ْل ه َُو الرحمن آ َمنَّا بِ ِه َو َعلَ ْي ِه‬
‫[تَ َو َّك ْلنَا } [ الملك ‪ ] 299 :‬إلى غير ذلك من اآليات‬
E. CONTOH PENAFSIRAN ( Q.S AL-FATIHAH )
Al-Syinqithy memulai tafsîran surah al-Fatihah tanpa menerangkan Basmalah. Nampak bahwa ia
tidak mengakui Basmalah sebagai salah satu dari ayat dalam surah al-Fatihah. Hal ini
bersesuaian dengan pendapat imam Mâlik (93-179 H) yang menyatakan bahwa Basmalah tidak
termasuk salah satu dari ayat dalam al-Fatihah. Nampak disini juga bahwa al-Syinqithy tidak
melakukan tarjîh tentang Basmalah. Lafad alhamdulillah pada ayat 2, tidak menerangkan tempat
maupun waktu pujian tersebut dilakukan. Lanjut al-Syinqithy, pujian yang menerangkan tempat
misalnya dalam QS: al-Rûm; 18 (walahulhamdu fî alsamâwâti wa al-ardh) sedangkan pujian
yang terkait dengan waktu dalam QS: al-Qashash; 70 (walahulhamdu fî al-ûla wa al-akhirah).
Penyebutan alhamdu dengan di dahului huruf alif-lam menandaskan semua pujian yang ada
merupakan perintah untuk memuji-Nya.Tentang Rab al-Âlamîn, alSyinqithy juga menunjuk pada
ayat yang menjelaskan tentang makna tersebut (QS: al-Syu`âra;23-24). Disini ia mencoba
menjelaskan makna tersebut dari aspek bahasa, yang menurutnya âlam pecahan dari `alâmah
(alamat/tanda) yang menandaskan bahwa alam adalah tanda yang tidak ada keraguan bahwa
sesungguhnya ada yang menciptakan. Lafad al-Rahmân dan al-Rahîm menurut al-Syinqithy
merupakan pecahan dari rahmah tapi dengan aspek mubâlaghah. Ia juga menukil pendapat
kebanyakan ulama tentang ini, bahwa al-Rahmân bagi semua makhluq termasuk orang beriman
di akhirat. Adapun al-Rahîm khusus bagi orang mu’min di akhirat saja. Tapi ia sendiri
berpendapat bahwa al-Rahîm bagi kaum mu’minin di dunia juga. Dengan menggunakan dalil
QS: alAhzâb; 43. Yaum al-Dîn tidak dijelaskan dalam ayat ini, namun keterangan mengenai ini
dapat dilihat pada QS: al-Infithâr; 17-19. Sedangkan al-Dîn diartikan dengan hari pembalasan
(al-jazâ). Penggalan ayat iyyaka na`budu menguatkan makna ucapan lâ ilâha illa Allah, karena
adanya peniadaan semua yang disembah selain dari Allah dalam segala bentuk ibadah, dan
menetapkan bahwa Tuhan langit dan bumi hanyalah satu. Penjelasan ayat ini diterangkan lebih
detail dalam ayat-ayat lainnya tentang penyembahan pada Allah swt, yang jumlahnya tidak
kurang dari 10 tempat (ayat). Sedangkan lafad wa iyyâka nasta`în bermakna kami tidak meminta
pertolongan kecuali hanya dari-Mu. Penggalan ini juga mengisyaratkan bahwa tidak boleh
bertawakkal kecuali kepada Zat yang berhak untuk disembah. Lebih baik al-Syinqithy, hemat
penulis menjelaskan bagaimana tentang orang yang menjadikan media sebagai penyembuhan
misalnya. Dimana seseorang meminta ‘bantuan’ orang lain atau dalam kasus syafa`at. Al-
Syinqithy langsung menafsirkan ayat 7 (shirât alladzînnna an`amta `alaihim…) namun ia
menukil bahwa shirât al-mustaqîm pada ayat sebelumnya (ayat 6) interpertasinya terdapat pada
ayat 7, dan penjelasan ayat terakhir dari al-fatihah ini lebih detail penjelasannyaterdapat dalam
QS: alNisâ; 69. Sayangnya, Dalam menerangkan ayat ini nampak al-Syinqithy menjadikannya
sebagai dalil sahnya kepemimpinan Abû Bakar al-Shiddîq ra (w. 13 H).57 Padahal ayat ini
terlalu umum, mungkin lebih baik menjadikan hadis yang shârih tentang ini,58 atau menjadikan
alasan bahwa terpili
hanya Abû Bakar berdasarkan ‘musyawarah’ yang justeru dianut mayoritas kaum Sunni. Karena
dalam ayat 69 di atas, disebut shiddîqîn yang merupakan tafsîran dari ayat 7 surah al-Fatihah,
maka al-Syinqithy coba mengangkat posisi Maryam as, apakah termasuk dalam cakupan ayat di
iatas ataukah tidak. Dua pendapat ulama dikemukakan, namun al-Syinqithy sendiri tidak
memberikan keputusan, pendapat mana yang ia dukung. Ia hanya menukil nazham dalam Murâqî
al-Sa`ûd tentang polemik tersebut. Penggalan ayat ghair al-magdhˆûb… pendapat al-Syinqithy
mengikuti pandangan mayoritas ulama bahwa mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Ia juga
menyertakan riwayat/hadîts yang menguatkan hal tersebut. Dari contoh penafsiran al-Syinqithy
tersebut di atas, nampak bahwa dalam menerangkan maksud ayat, al-Syinqithy tidak bertele-tele,
namun langsung merujuk kepada bahasa kemudian menjelaskan ayat yang berfungsi sebagai
keterangan dari ayat yang tengah dibahas.
BAB III
ENUTUP

A. KESIMPULAN

- Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtår al-Juknî asy-
Syinqîthî. Beliau lahir pada tahun 1325 H/1907 M, di desa Tinbah, wilayah Kifa, di
daerah Syinqîth, saat ini dikenal dengan Negara Meuritania. Adapun Jakni/jukni adalah
nama sukunya yang diambil dari nama nenek moyangnya Jakin al-Abar. Suku ini adalah
orang-orang Arab yang tinggal di Syinqîth. Anggota suku ini dikenal sebagai kalangan
terpelajar. Aktifitas belajar dan menuntut ilmu adalah tradisi mereka baik ketika mukim
maupun dalam perjalanan.
- Di antara karya-karyanya:

1. Adhwa al-Bayân fi Idhâh al-Qur'ân bil-Qur'ân

2. Man' Jawâz al-Majâz al-Munazzal

3. Muzakkirat al-Ushûl 'ala Raudhat an-Nâdzir

4. Adâb al-Bahts wa al-Munâdzarah

5. Daf Ihâm al-Idhthirâb 'an Ayi al-Kitâb13

6. Khalis Al-Juman fi Zikr Ansab Bani Adnan

7. Rajz fi Fura’ Madzhab Malik Yakhtas bil ‘Uqad min Al-Buya’ wa Ruhan

8. Alfiyah fil Mantiq

9. Nudzm fil Fara’id

10. Ayat al-Shifat

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2019), cet.
II, hlm. 231
Abdul Haris, DISTINGSI TAFSIR ADHWAU AL-BAYAN FI IDHAH AL-QUR’AN BI AL-
QUR’AN, (Jakarta: Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat 28 (1), 2017),
jurnal.umj.ac.id, diakses 19 Februari 2022 pukul 17.11
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm. 232
Abdul Haris, DISTINGSI TAFSIR ADHWAU AL-BAYAN FI IDHAH AL-QUR’AN BI AL-
QUR’AN
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm. 232-233
Fithriya Adae, Metode al-Syanqithi dalam Menafsirkan al-Qur’an, Skripsi, 2013: repository.uin-
suska.ac.id, diakses 19 Februari 2022 pukul 17.55
Al-Syanqithy, Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an (Beirut: Darul Alam al-Kutub,
2014) muqaddimah, hlm. 5
Adhwau al-Bayan, muqaddimah, hlm. 5
Adhwau al-Bayan, muqaddimah, hlm. 6
Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt
Sofianasma, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya,
https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/07/muhammad-al-amin-asy-syinqithi-dan-metode-
tafsirnya/ diakses
15 Februari 2022 pukul 22.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai