Anda di halaman 1dari 13

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN REGIS BLACHERE TERHADAP AL-

QUR’AN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Barat Atas Al- Qur’an

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad, Lc., M.Th.I

Oleh:

Raziq Ahmadi (19240021)


Wahyudistira Tanjung (19240045)
Rifqoh Nasywa Nabila Khoiruddin (200204110002)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Belajar merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proses
menuntut ilmu agar proses tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Untuk menunjang kebutuhan tersebut penulis berusaha menyusun materi kuliah
kajian barat atas Al-Qur'an dalam bentuk makalah. Beribu kata terima kasih kami
ucapkan kepada bapak Dr. Muhammad, Lc., M.Th.I. selaku dosen pengajar dan
pembimbing Mata Kuliah Kajian Barat Atas Al- Qur’an yang telah mendampingi
kami sebagai penyusun dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Serta
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini; para
penulis blog, penulis artikel lepas yang bersedia mengunggah karyanya di jejaring
media sehingga dengan leluasa kami dapat menukilnya, dan tak lupa pula teman-
teman kelas seperjuangan. Makalah ini akan membahas tentang “Biografi dan
Pemikiran Regis Blachere Terhadap Al-Qur’an”.
Apa yang disajikan dalam makalah ini hanyalah garis besar materi kuliah.
Untuk memperluas dan memperdalam wawasan dalam bidang ini diharapkan
mahasiswa membaca berbagai refensi yang relevan, terutama buku-buku ataupun
jurnal yang dijadikan acuan dalam penulisan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa banyak kelemahan yang terdapat makalah ini,
baik yang menyangkut isi, pengungkapan, maupun sistematika penulisan. Untuk
itu saran serta kritik yang konstruktif senantiasa penulis harapkan.

Malang,17 Oktober 2021

Penyusun
BAB I

PEMBUKAAN

A. Latar Belakang

Al-Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


SAW dan tidak ada keraguan di dalamnya. Kajian Al-Qur’an yang begitu luas,
dan perkembangan Islam yang begitu pesat, menjadikan banyak orang tertarik
untuk mempelajarinya termasuk para orientalis. Diantara mereka, ada yang
mempelajari Islam untuk memetik hikmah di dalamnya, dan ada pula yang
mempelajari Islam untuk menciptakan statement dan memutar balikkan fakta di
dalamnya. Salah satu dari sekian banyak orientalis yang meragukan, mengkritisi,
dan menyebarkan argumennya terkait berbagai aspek dalam Islam seperti Al-
Qur'an dan citra Nabi Muhammad SAW adalah Regis Blachere. Dalam makalah
ini, penyusun akan memaparkan beberapa pemikiran Regis Blachere, khususnya
pada bidang Al-Qur’an, yang banyak menyudutkan citra umat Muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Regis Blachere?
2. Bagaimana pemikiran Regis Blachere terhadap kalimat dalam al-Qur’an?
3. Bagaimana penjelasan mengenai pemikiran Regis Blachere?

C. Tujuan
A. Mengetahui biografi Regis Blachere
B. Mengetahui pemikiran Regis Blachere terhadap kalimat dalam al-Qur’an
C. Mengetahui penjelasan mengenai pemikiran Regis Blachere terhadap al-
Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Regis Blachere

Regis Blachere dilahirkan pada 30 Juni 1900 di Montrouge, Paris.


Blachere melakukan perjalanan bersama orang tuanya ke kawasan Maghribi pada
tahun 1915. Ayahnya ditugaskan dibagian urusan perdagangan, kemudian
ditugaskan sebagai pegawai administrasi di Maroko. Blachere menempuh
pendidikan menengahnya di Perancis, di gedung putih. Setelah tamat sekolah
tingkat keduanya di kota Casablanca, ia bekerja sebagai seorang penterjemah.1

Mengingat potensi yang dimiliki Blachère, guru-gurunya selalu


menyarankan Blachère untuk menjadi tenaga pengajar. Akhirnya, ia benar-benar
menjadi tenaga pengajar dan ditugaskan sebagai pengawas sekolah di Madrasah
Maula Yusuf di Rabat. Selanjutnya, ia meneruskan pendidikan tingginya di
Universitas Aljazair dan memperoleh gelar sarjana mudanya pada tahun 1922.
Pada 1924 setelah ia mengikuti kuliah-kuliah yang diampu oleh William Marçais,
ia memperoleh gelar sarjana. Ia kembali ke Rabat dan menjadi staf pengajar, lagi-
lagi, di Madrasah Maula Yusuf. Karir pekerjaan dan pendidikan Blachère semakin
menanjak saat E. Levi Provençal menugaskannya menjadi direktur studi di Institut
des Hautes Etudes Marocaines yang baru didirikan hingga tahun 1935.
Sebelumnya, Provençal meramalkan Régis Blachère suatu hari nanti akan menjadi
seorang peneliti handal.

Pada tahun 1935 pula, Blachere menyelesaikan dua tesis doktoralnya di


Universitas Sorbonne Perancis dengan mengkaji penyair besar Syiria abad ke-11
H, Abu Thayyib al-Mutannabi, dan menerjemahkan kitab Tabaqat al-Umam karya
filosof besar Toledo, Sa’id al-Andalusi dari bahasa Arab ke bahasa Perancis.
Karena keahliannya dalam bahasa dan sastra Arab, ia diangkat sebagai dosen
bahasa Arab fushah di Ecole Nationale des Langues Orientales. Pada tahun 1950,

1
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi, hlm. 93-94
ia dinobatkan sebaga guru besar Filologi dan Sastra Arab Abad Pertengahan di
Universitas Sorbonne. 2

Pada 1942, ia menggantikan gurunya William Marçais di Ecole Pratique


des Hautes Etudes. Selain itu, Blachère juga pernah menjabat sebagai direktur
Institute des Etudes Islamiques di Académie de Paris sejak 1956 sampai 1965,
menjadi anggota Akademi Kairo dan Damaskus. Setahun sebelum ia meninggal
pada 7 Agustus 1973, ia terpilih sebagai anggota Intitute de France pada 1972. Ia
juga pernah menjabat sebagai direktur pada Centre de Lexicographie Arabe dan
wakil presiden asosiasi bagi perkembangan kajian kajian Islam. Di Sorbonne,
Blachère berguru kepada William Marçais, orientalis Perancis pakar bahasa
Barbar dan dialek bahasa Arab Maghribi, dan berinteraksi secara akademik
dengan E. Levi Provençal yang juga dikenal sebagai orientalis Perancis ahli sastra
dan bahasa Arab serta Islam Spanyol.

Pada perkembangan berikutnya, ia menyadari bahwa sastra hanyalah


salah satu metode untuk mengenal peradaban Islam. Untuk mengenal dan
memahami peradaban Islam secara lebih baik, seseorang tidak boleh mengabaikan
fenomena sentral sejarahnya. Hal inilah yang mendorong Blachère untuk secara
tekun melakukan riset serius terhadap sejarah Muhammad dan Al-Qur’an. Sebab,
menurutnya, tidak ada upaya yang paling esensial untuk memahami peradaban
Islam selain dengan cara mengetahui asal-usul sejarah dan perkembangan Nabi
Muhammad Saw dan kitab suci Al-Qur’an.

Karya Blachere banyak terpengaruh oleh karya-karya orientalis


sebelumnya, atau yang sezaman dengannya, seperti Theodore Noldeke, Ignaz
Goldziher, dan Arthur Jefferey. Meskipun karya-karya Blachère tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari literatur dan konteks kajian Barat saat itu, tetapi ia
bukanlah tipologi sarjana yang hanya bisa “mengimitasi” atau “membeo”
pendapat guru atau orang lain tanpa reserve. Sebaliknya, meski tidak radikal, ia
melakukan pengembangan atau bahkan berbeda dengan gagasan-gagasan yang ia

Andar Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere,”
2

Afakaruna, 1 (Januari-Juni 2014).


terima sebelumnya. Misalnya, ketika membahas jam’ al-Qur’an yang dilakukan di
bawah otoritas ‘Utsman, Blachère mengungkap fenomena di balik pengumpulan
Al-Qur’an tersebut dengan metode historisisme eksternal, tidak seperti Noldeke
yang terjebak pada analisis internal dokumen-dokumen tentang kodifikasi
tersebut. Tak pelak, kajian Blachère unik dan memicu kontroversi. Setelah kurang
lebih enam puluh tahun mendedikasikan hidupnya bagi dunia akademik, terutama
secara eksklusif pada dunia Arab dan Islam, Blachère menyusun banyak karya
tentang bahasa, sastra, agama, sebagai instrumen penting bagi kemajuan riset dan
ilmu pengetahuan.

Sastra merupakan perhatian dan kegemaran akademik utama Blachere. Ia


pernah menyendiri pada minggu-minggu terakhir hidupnya untuk menganggit
karya tentang penyair Bashar. Ia juga mempublikasikan artikel tentang Ibn Darraj
al-Qasthalani, Ibn Zamrak, al-Ma’arif; artikel tentang al-’Abbas bin al-Ahnaf,
Abu Sahr al-Hudzali al-Ahtal, ‘Amr bin Kultsum, Dzu Rumma, Basshar bin Burd
al-Farazdaq dan lain sebagainya dalam Encyclopédie de l’Islam, menulis Abu
Nuwas, Syauqi, al-Ma’arif dalam Grand Encyclopédie. Meski tidak behasil
diselesaikan, Histoire de la Literature à la Fin du XVe Siecle, karya utamanya
dalam bidang sastra, merupakan instrumen esensial bagi dunia sastra, karena
mengandung kekayaan dan kebaruan pendekatan yang digunakan dalam kajian
Arab. Dalam bidang linguistik, ia bersama Maurice Gaudefroy-Demombynes
sempat menerbitkan Grammaire de l’Arabe Classique (1937), dan Dictionnaire
Arabe-Français-Anglais.

Seiring dengan kematangan intelektualnya, Blachère kian sadar bahwa


sastra hanyalah salah satu jalan untuk mengenal peradaban Arab. Oleh karena itu,
untuk memahami fenomena sentral sejarahnya, yakni Islam, kendaraan
ekspansinya, dan Arab, dibutuhkah karyakarya kunci tentang agama dan bahasa,
yakni karya tentang Al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Dalam rangka itulah, pada
tahun 1952 ia menyusun Le Problème de Mahomet, sebuah karya yang
memaparkan ikhtisar Nabi Muhammad dan peran sentralnya bagi dakwah Islam.
Selain itu, Blachère juga menyusun tiga jilid buku yang diabdikan untuk studi Al-
Qur’an. Jilid pertamanya yang berjudul Introduction au Coran terbit tahun 1949
dan 1959, menyajikan metode kritik yang sangat tegas terhadap seluruh sumber—
historis, filologis, literer—tentang Mushaf Al-Qur’an dan latar belakang
penetapannya menjadi sebuah textus receptus, teks yang diakui secara resmi.
Adapun jilid berikutnya, Le Coran; Traduction Nouvelle selon une Reclasement
des Sourates, merupakan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Perancis yang
didasarkan pada reklasemen surat menurut empat periode dakwah Muhammad
yang disertai dengan catatan dan tafsir historis-filologis beserta indeks.
Terjemahan ini dipengaruhi susunan kronologis karya patungan Noldeke-
Schwally. Sebab, asumsi dasar penanggalan empat periode beserta kriterianya
sepenuhnya diterima oleh Blachère. Sedangkan jilid III, Le Coran (Al-Qur’an);
Traduction Nouvelle, merupakan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Perancis
berdasarkan susunan kanonik surat disertai anotasi, glosari, dan indeks.3

Setelah itu, bersama fotografer Frederique Duran dan sejarahwan


sekaligus arkeolog Hélène Delattre, ia menyusun sebuah buku bertitel Dans Les
Pas de Mahomet. Buku ini bercerita tentang jejak Muhammad yang berperan
besar bagi perkembangan dakwah Islam dipadukan dengan gambar fotografis dan
arkeologis yang merefleksikan perkembangan dakwah Islam semenjak praIslam
hingga beberapa abad kemudian. Karya lainnya adalah Le Coran: Que Je Sais?
yang mengupas posisi Al-Qur'an dalam perkembangan Umat Muslim sehari-hari.

Regis Blachere meninggal di Paris, pada tanggal 7 Agustus 1973.4

B. Kalimat Al-Quran Dalam Pandangan R. Blachere5


Sejak khalifah Ali bin Abi Thalib 35 H sampai periode khalifah Abd malik
65 H berlangsung perselisihan dan perbedaan diantara aliran dalam islam
mengenai mushaf utsmani. Pengaruh mushaf utsmani tidak pernah hilang karena
didukung faksi atau kelimpok politik yang berkuasa. Dengan rentang yang lama
ini, dugaan blachere pendapat yang mengatakan reformasi terhadap mushaf
3
Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere”.
4
https://g.co/kgs/WmxKo1
5
Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere”, 111-112.
utsmani jadi sebuah keniscayaan muncul.
Lain dari itu, imam qira’ah yang lain beraggapan bahwa makna yang
tersirat lebih penting dari pada huruf yang tersurat esprit lebih penting dari letter.
Blachere melihat bahwa pada teori yang menyatakan “bacaan menurut maknanya”
ini sangat berbahaya, karena teori ini memungkinkan seseorang membaca teks
baku berdasarkan fantasi tiap individu dan cenderung rentan dari penyimpangan.
Menurutnya Menurutnya, mereka khalifah awal ummayah sebenarnya mewarisi
langkah politik ‘Utsman, tetapi dilakukan secara halus dan tanpa tergesa-gesa.
Misalnya, Khalifah Marwan bin al-Hakam, di masa berkuasanya yang singkat
pada tahun 64 H/ 684 M, Meminta dokumen Hafshah yang dijadikan basis bagi
Mushaf ‘Utsmani. Hafshah menolaknya. Dengan sabar, Marwan menantikannya
hingga Hafshah wafat. Setelah itu, ia merebutnya dan kemudian
memusnahkannya. Padahal, tindakan Khalifah-khalifah tersebut sebenarnya
berkaitan dengan perbedaan bacaan Al- Qur’an yang disebabkan semakin luasnya
wilayah kekuasaan islam dan kesulitan bagi non-Arab untuk membaca Al-Qur’an
dalam bentuknya yang tak ber-syakal dan berharakat.
Blachere berpendapat riwayat riwayat yang merekam cara pemusnahan
tersebut; apakah dibakar, dirobek, atau ditenggelamkan ke air, tidak semua
manuskrip berhasil dilenyapkan. Sebagian besar literatur muslim menyebut-
kannya dengan “merobek”, riwayat Bukhari dan Ibn Dawud yang diterima

mayoritas menyebutnya dengan “membakar”, (haraqa)‫حرق‬. Perbedaan satu titik

diakritik ini, kemungkinan besar, terjadi saat proses transmisi penulisannya,


sebab keduanya,“merobek” dan “membakar” sama-sama berasal dari ragam

konsonantal yang sama ‫ خرق‬dan ‫حرق‬.


Setelah dimusnakan Salinan mushaf-mushaf disebarkan ke kota-kota
besar secara resmi yang berlaku adalah mushaf utsmani. Bagi kota besar
mengadopsinya tidak menemukan kesulitan karena ada imam qiraah yang
dikirm utsman bin affan dan dan adannya rujukan resmi. Namun, Blachere
berpendapat bagaimana dengan penduduk terpencil? Apakah sama dengan
penduduk kota? Blachere mengatakan salinannya karena Mushaf Usmani dan
salinannya tertulis dalam bentuk scriptio defective (Sebuah tulisan dalam abjad
semitik yang tidak memiliki penandaan bunyi) penduduk di tempat-tempat
terpencil masih mendasarkan bacaan konsonantal dan syakal-nya pda ke-khasan
dialek masing-masing, yaitu berdasarkan hafalan dan dialeknya masing-masing.
Itu menyebabkan mereka akan salah membaca atau memasukkan bacaan pada
mushaf tidak resmi sengaja ataupun tidak sengaja. Hal ini menyebabkan
perbedaan bacaan dan teks tulisan di tiap-tiap penduduk yang berbeda-beda.
Faktanya empat atau lebih Salinan mushaf tersebut berbeda-beda satu
sama lain tidak dapat ditolak. Sejumlah riwayat lain melaporkan tentang
ditemukannya sejumlah kekeliruan atau perbedaan di dalam salinan-salinan.
Yang paling terkenal adalah riwayat mengenai utsman bin affan sendiri ketika
beliau memeriksa salah satu ekslembar yang selesai ditulis, kemudian utsman
mengatakan bahwa kekeliruan itu tidak dapat diubah, karena orang-orang arab-
dengan lisan mereka, bisa membetulkan. Riwayat masyhur lainnya seperti
sayyidah aisyah Aisyah menemukan sejumlah kekeliruan penulisan di beberapa
tempat; dalam Al-Baqarah, 17, wa al- mufuna...wa al-shabirina (untuk wa al-
shabiruna), dalam al-Nisa’, 162, lakini al- rasikhuna...wa al-muqimina...wa al-
mu’tuna (untuk lakinna...wa al-muqimuna).
Kondisi ini pada rentang mas Ali dan Abd Malik muncul dua pendapat
yang bertentangan dipihak pemerintah perlunya reformasi grafik scriptural teks
utsman bin affan dan anti terhadap reformasi yang di wakili oleh anas bin malik
yang pernah membolehkan bacaan aqwanu dan ashwabu.
Imam thabari berpendapat bahwa Al-qur’an ditulis dalam satu huruf,
yakni dialek quraisy unutk meminimalkan perbedaan bacaan diantara umat
muslim memperkuat kubu reformasi. Kemudian imam thabari lagi berpendapat
dibolehkannya menggunakan tujuh huruf buknlah kewajiban tetapi sekedar
keringanan, sehingga tidak terjadi perselisihan dikalangan umat utsman bin
affan menjadikannya satu huruf.
Dipihak kubu anti-reformasi diperkuat dengan pendapat imam ibn hazm
dan al-baqilaini yang berpendapat bahwa mashahif itu tersebut ada mengandung
tujuh huruf. Alasannya, utsman tidaklah membuat perubahan dalam Al-quran
dan tidak pula melarang untuk membacanya dalam tujuh huruf. Utsamn
menyatukan unuutk buat salinan dan mengoreksi kesalahan dari beberapa
qurra’.
Blachere juga menganggap kaum muslimin lebih mementingkan ruh AlQur'an,
bukan huruf dan teksnya6. pandangan Blachère bahwa teori “bacaan menurut
maknanya” (al- qira’atu bi al-ma’na) dinilai berbahaya, karena teori ini
mengandaikan seseorang membaca teks baku berdasarkan fantasi tiap individu
dan menyebabkan perubahan (tabdil), penyimpangan (tahrif) dalam teks Al-
Qur’an menjadi gugur dengan sendiri.

C. Pandangan Regis Blachere Terhadap Mushaf Utsmani

Pandangan sekaligus kritikan Regis Blechere terhadap mushaf utsmani


mencakup dua hal sentral: mengenai historisitas riwayat dan proses transmisi
wahyu dari tradisi lisan menjadi wahyu yang disakralkan dalam bentuk tulisan.7

Terkait dengan historisitas riwayat, Blachere berpendapat bahwa pada


riwayat yang disinyalir paling dominan tentang pengkodifikasian mushaf pada
masa Utsman bin Affan, yakni riwayat Anas bin Malik, saling tumpang tindih dan
kontradiksi dengan riwayat-riwayat lainnya. Pada riwayat tersebut dengan sangat
gamblang dijelaskan bahwa penyususnan mushaf disandarkan pada suhuf milik
Hafshah. Padahal pada riwayat yang lain dijelaskan bahwa ketika berada di atas
mimbar, Utsman bin Affan meminta kepada setiap orang yang memiliki catatan
wahyu menyerahkan kepadanya, lalu memerintahkan kepada Sa’id bin Al-‘Ash
dan Zaid bin Tsabit untuk menyusun mushaf berlandasakn dari materi-materi
tersebut.8

Blachere juga mempertanyakan riwayat yang menyebutkan nama anggota


komisi pengkodifikasian al-Qur’an. Pada riwayat yang masyhur, muncul nama-
6
Agus Darmawan, “Mengkritis Orientalis Yang Meragukan Al-Qur’an,” El-Banat, 1 (2016), 106.
7
Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere”, 97.
8
Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere”, 104.
nama berikut sebagai anggota komisi pengkodifikasian al-Qur’an: Zaid bin Tsabit,
‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan ‘Abdul al-Rahman bin al-Harits.
Pada riwayat ini, total sahabat yang ditugasi sebagai anggota komisi
pengkodifikasian berjumlah 4 orang sahabat. Sedangkan pada riwayat lain, ada
yang mengatakan bahwa jumlah anggota komisi pengkodifikasian mushaf tersebut
berjumlah 12 orang, atau ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat
Ubay bin Ka’ab termasuk salah satu dari anggota komisi pengkodifikasian. Di
samping dari riwayat-riwayat di atas, masih ada lagi riwayat lain yang
mengurangi jumlah anggota komisi pengkodifikasian sehingga menurut riwayat
tersebut anggota komisi tinggal berjumlah dua orang, yakni Zaid bin Tsabit dan
Sa’id bin al-‘Ash.9

Riwayat lain yang juga dipermaslahkan oleh Blachere ialah terkait dengan
penolakan Ibnu Mas’ud terhadap pembukuan mushaf utsmani dan pemusnahan
mushaf selainnya (dalam hal ini juga termasuk mushaf Ibnu Mas’ud). Penolakan
ini disinyalir karena perasaan cemburu Ibnu Mas’ud kepada Zaid bin Tsabit
selaku ketua komisi pengkodifikasian al-Qur’an, yang lebih junior dibandingkan
dia, mengingat bahwa Ibnu Mas’ud adalah seorang sahabat Nabi dan juga seorang
imam qiro’ah yang lebih senior.10

BAB III

9
Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere”, 104 -105.
10
Nubowo, “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Regis Blachere”, 107.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Regis Blachere dilahirkan pada 30 Juni 1900 di Montrouge, Paris. Karena


potensinya, atas saran dari para gurunya ia menjadi tenaga pengajar setelah lulus
dari sekolah tingkat keduanya. Pada tahun yang sama ketika Blachere
menyelesaikan dua tesis doktoralnya, ia juga ditugaskan untuk menjadi direktur
studi di Institut des Hautes Etudes Marocaines. Berkat keahilannya dalam bidang
bahasa dan sastra Arab, beberapa waktu kemudian ia diangkat menjadi dosen
bahasa Arab fushah di Ecole Nationale des Langues Orientales. Pada tahun 1950
ia kemudian dinobatkan menjadi guru besar Filologi dan sastra Arab abad
pertengahan di Universitas Sorbone. Pencapaian demi pencapaian berhasil diraih
oleh Rgeis Blachere, hingga pada akhirnya ia wafat pada 7 Agustus tahun 1973.

Kritikan Regis Blachere yang telah ditampilkan pada makalah di atas


mencakup dua pokok pembahasan: terkait dengan qiro’at dan riwayat-riwayat
tentang pengkodifikasian mushaf utsmani.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih sangat jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritikan yang membangun dari para
pembaca tentu sangat kami harapkan, agar penulisan makalah kedepannya bisa
jauh lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Badawi, Abdurrahman. Ensiklopedi.
Darmawan, Agus. “Mengkritis Orientalis Yang Meragukan Al-Qur’an”. El-Banat.
1 (2016).

Nubowo, Andar. “Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya
Regis Blachere”. Afakaruna. 1 (Januari-Juni 2014).

Anda mungkin juga menyukai