Anda di halaman 1dari 20

AUTENTISITAS MUSHAF AL-QUR’AN PERSPEKTIF SUNNI DAN

SYI’AH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur‟an

Dengan Dosen Pengampu: Dr. Nasrullah, M.Th.I

Disusun Oleh:

Wiwit Nazilah Utami (20104210088)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu wa


Ta‟ala karena berkah taufik dan hidayahNya lah kami dapat
merampungkan tugas perkuliahan Studi Qur‟an ini dengan tepat waktu.
Tiada daya dan upaya selain pertolongan Allah Swt. pastinya sehingga
kami dapat menyusun makalah ini. Yakni makalah yang mengupas tentang
“Autentisitas Al-Qur‟an Perspektif Sunni dan Syi‟ah”.
Sholawat dan juga salam selalu kita curahkan kepada manusia
terbaik yakni Sayyidina Muhammad Saw. Yang berkatnya lah kita telah
berada di zaman yang penuh dengan cahaya-cahaya keilmuan ini. Tak lupa
kami ucapkan beribu terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah
Studi Qurdis ini Dr. Nasrullah, M.Th.I, yang telah memberikan kami
kesempatan untuk berpikir ilmiah mengenai materi dai tugas yang
diberikan ini. Sehingga selain kita mengenal tanggung jawab dalam
menyelesaikan kewajiban, kami juga mendapat ilmu-ilmu baru yang
sangat berarti untuk kehidupan kami.
Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang
sudah sepantasnya mendapatkan dan menerima banyak saran dan kritik
membangun dari pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan revisi
selanjutnya di lain waktu dan menjadikan motivasi kami untuk senantiasa
berbenah dari setiap kesalahan yang terjadi.

Malang, November 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menurunkan Al-Qur‟an sebagai suatu wahyu akhir zaman kepada


Rasulullah untuk dijadikan pedoman tetap bagi umat manusia yang hidup
di akhir zaman. Sehingga mengapa kedudukan Al-Qur‟an teramat mulia
dan diagungkan oleh seluruh umat Islam. Namun tidak semua umat Islam
mengenal betul isi Al-Qur‟an sehingga tidak semua umat Islam selalu
menjadikan Al-Qur‟an sebagai kiblatnya dalam menjalani kehidupan.
Karena ketidaktahuan inilah kemudian menjadi awal dari menurunnya
keimanan yang dimiliki manusia. Dan iman yang telah turun akan
memberikan rasa malas untuk bergaul dengan Al-Qur‟an. Sedangkan jika
kehidupan tanpa berlandas pada Al-Qur‟an maka hidup tidak akan
sejahtera. Maka dalam makalah ini penulis ingin memaparkan keaslian isi
Al-Qur‟an menurut sudut pandang Sunni dan Syiah. Dengan tujuan
menambah dan menguatkan pengetahuan pembaca terhadap Al-Qur‟an itu
sendiri. Sehingga dari sanalah diharapkan munculnya kecintaan pada diri
pembaca terhadap Al-Qur‟an. Dan dapat menumbuhkan semangat
pembaca untuk senantiasa menjadikan Al-Qur‟an sebagai landasan
hidupnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Autentisitas Al-Qur‟an?

2. Bagaimana Autentisitas Al-Qur‟an dalam perspektif Sunni?

3. Bagaimana Autentisitas Al-Qur‟an dalam perspektif Syi‟ah?

C. Tujuan Makalah

1. Menjelaskan maksud dari Autentisitas Al-Qur‟an.


2. Memberikan pengetahuan terkait autentsiitas Al-Qur‟an menurut
perspektif Sunni.

3. Memberikan pengetahuan terkait autentisitas Al-Qur‟an menurut


perspektif Syi‟ah.

.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Autentisitas Al-Qur‟an

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) autentisitas berarti


keaslian, kebenaran.1 Autentitas ialah istilah terhadap segala sesuatu yang
bermakna murni atau asli. Maka jika membahas mengenai autentisitas Al-
qur‟an berarti membahas tentang keaslian atau kemurnian dan juga kebenaran
dari Al-qur‟an itu sendiri.

Berbicara tentang kaslian Al-Qur‟an maka sebagai seorang muslim sudah


pasti meyakini akan orisinalitas Al-Qur‟an yang tidak sama dengan kitab-kitab
tauhid sebelumnya yakni Zabur, Taurat, dan Injil. Tidak sedikit para ahli tafsir
non muslim atau para pakar orientalis yang mengkaji tentang autentisitas Al-
Qur‟an kemudian mencari beberapa kelemahan dari Al-Qur‟an itu sendiri.
Sehingga mereka mencoba membuat argument-argument yang dapat
dipercaya orang banyak khususnya para orang kafir mengenai ketidak
autentisitas Al-Qur‟an.

Autentisitas Al-Qur‟an dapat dipercaya dengan melihat perjalanan sejarah


terkumpulnya lembaran-lembaran wahyu ini menjadi sebuah mushaf yang
sampai saat ini masih terus dapat digunakan dan dijadikan sebuah pedoman
kehidupan. Nabi SAW menunjuk banyak sahabatnya untuk melayani sebagai
ahli Taurat, menuliskan ayat-ayat terbaru segera setelah ayat Al-qur‟an
diturunkan.2 Mu‟awiya bin Abu Sufyan dan Zaid bin Thabit adalah di antara
para ahli Taurat yang memiliki tugas ini. Sebagian besar, ayat-ayat baru akan
ditulis pada potongan tulang, kulit, atau perkamen, karena kertas belum
diimpor dari Cina. Penting untuk dicatat bahwa Muhammad SAW akan

1
KBBI
2
Nur Fahrizi dan Muhammad Zubir, Historitas dan Otentisitas Al-Qur’an (Studi Komparatif Antara
Arthur Jeffery dengan Manna’ Al-Qathan), (Bukit Tinggi : Journal of Quran and Tafseer Studies
Vol.1 No.2, 2022), hal. 191.
meminta para ahli Taurat membacakan kembali ayat-ayat kepadanya setelah
menuliskannya sehingga ia dapat mengoreksi dan memastikan tidak ada
kesalahan.3

Untuk lebih memastikan bahwa tidak ada kesalahan, Nabi Muhammad


SAW memerintahkan bahwa tidak boleh ada yang mencatat hal-hal lain,
bahkan kata-katanya, hadits, pada lembaran yang sama dengan Quran.
Mengenai lembaran-lembaran yang sedang ditulis Al-Quran, dia mengatakan
“dan siapa pun yang menulis sesuatu dari saya selain Al-Quran harus
menghapusnya” Ini dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada kata-kata
lain yang secara tidak sengaja dianggap sebagai bagian dari teks Al-Quran.

Penting untuk dipahami, bahwa penulisan fisik Al-Quran bukanlah cara


utama mencatat Al-Quran. Saudi di tahun 600an adalah masyarakat lisan.
Sangat sedikit orang yang bisa membaca dan menulis, sehingga penekanan
besar ditempatkan pada kemampuan untuk menghafal puisi panjang, surat,
dan pesan lainnya. Sebelum Islam, Mekah adalah pusat puisi Arab. Festival
tahunan diadakan setiap tahun yang mempertemukan para penyair terbaik dari
seluruh Semenanjung Arab. Peserta yang bersemangat akan menghafal kata-
kata persis yang dibacakan penyair favorit mereka dan mengutipnya bertahun-
tahun kemudian.4

Dengan demikian, dalam jenis masyarakat lisan ini, sebagian besar sahabat
mempelajari dan mencatat Al-Quran dengan menghafal. Selain kemampuan
alami mereka untuk menghafal, sifat ritmis dari Al-Quran membuat
hafalannya jauh lebih mudah.

Al-Quran tidak dikisahkan hanya untuk beberapa sahabat terpilih. Itu


didengar dan dihafal oleh ratusan dan ribuan orang, banyak dari mereka yang
bepergian ke Madinah. Dengan demikian, bab dan ayat-ayat Al-Quran dengan

3
Ulfiana, Otentisitas Al-Qur’an Perspektif John Wansbrough, (Jombong : USHULUNA : Jurnal Ilmu
Ushuluddin Vol.5 No.2, 2019), hal. 92.
4
Firas Alkhateeb, How Do We Know The Qur’an is Unchanged, (IslamiCity, 2018).
cepat menyebar selama kehidupan Nabi SAW ke seluruh penjuru
Semenanjung Arab. Mereka yang telah mendengar ayat-ayat dari Nabi SAW
akan pergi dan menyebarkannya ke suku-suku yang jauh, yang juga akan
menghafalnya. Dengan cara ini, Al-Quran mencapai status sastra yang dikenal
di kalangan orang Arab sebagai mutawatir. Mutawatir berarti disebarkan
secara luas kepada begitu banyak kelompok orang yang berbeda, yang
semuanya memiliki kata-kata yang persis sama, sehingga tidak dapat
dibayangkan bahwa satu orang atau kelompok mana pun dapat
memalsukannya. Beberapa perkataan Nabi SAW dikenal otentik karena
mutawatir, tetapi seluruh Quran sendiri diterima sebagai mutawatir, karena
penyebarannya yang luas selama kehidupan Nabi SAW melalui cara lisan.5

B. Autentisitas Al-Qur‟an Perspektif Sunni

Dalam pandangan Ahlusunah wal Jamaah, Al-Qur‟an adalah kitab suci


umat Islam, yang menjadi acuan paling utama dengan segala sesuatu yang
berkaitan dengan mereka baik dalam masalah dunia maupun akhirat. Al-
Qur‟an juga dijadikan sebagai pedoman utama. Karenanya, Al-Quran selalu
dibaca, dipelajari dan juga diamalkan. Sehingga, ajaran Al-Qur‟an benar-benar
melekat dibenak masyarkat muslim. Baik arti (maknan) maupun redaksinya
(mabnan) maka Al-Qur‟an yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad yang
selanjutnya beliau sampaikan kepada para sahabat memang benar-benar
terpelihara orisinalitasnya. Sebab upaya penjagaan yang luar biasa dari para
sahabat.

Selain penjagaan intensif yang dilakukan oleh umat Islam, Al-Qur‟an


ditegaskan mendapat jaminian penjagaan langsung dari Allah. Sebagaimana
firman Allah dalam Al-Quran yani pada Q.S Al-Hijr ayat 9 :
ُ َ َ ْ ّ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َّ
‫ٱلذك َز َو ِإ َّها ل ُ ۥه ل ََٰح ِفظى َن‬
ِ ‫ِإها هحن هزلىا‬

5
Achmad Zubairin, Upaya Pembuktian Otentisitas Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sastra (Tafsir
Adabiy), (Tangerang : Jurnal Asy-Syukriyyah Vol. 21 No. 1, 2020), hal. 38.
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Demikian adalah keyakinan yang selalu menjadi pedoman Ahlusunah wal


Jamaah. Al-Quran yang kita baca hari ini, persis dengan apa yang Rasulullah
baca, sejak genarasi awal umat Islam, tidak terjadi penambahan, pengurangan
ataupun distrosi sedikitpun dalam al-Quran.Keyakinan kuat ahlu sunnah wal
jama‟ah terkait autentisitas Al-Qur‟an dikuatkan dengan proses penjagaan Al-
Qur‟an bahkan setelah Rasulullah SAW wafat.

Ketika ayat-ayat tersebar luas di seluruh dunia Islam, tidak mungkin ayat-
ayat itu diubah tanpa umat Islam di bagian lain dunia memperhatikan dan
memperbaikinya. Selama kehidupan Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril
akan membaca seluruh Al-Quran bersamanya setahun sekali, selama bulan
Ramadhan. Ketika Al-Qur‟an selesai diturunkan di dekat akhir kehidupan
Nabi SAW, ia memastikan bahwa banyak sahabat yang tahu seluruh isi Al-
Quran.

Namun, selama masa pemerintahan para khalifah pertama, kebutuhan


untuk menyusun semua ayat menjadi sebuah buku pusat muncul. Mengambil
tindakan pencegahan, para khalifah yang memerintah dunia Muslim setelah
wafatnya Nabi SAW khawatir bahwa jika jumlah orang yang hafal Al Quran
turun terlalu rendah, masyarakat akan berada dalam bahaya kehilangan Al-
Quran selamanya. Sebagai hasilnya, khalifah pertama, Abu Bakar, yang
memerintah dari 632 hingga 634, memerintahkan sebuah komite diorganisir,
di bawah kepemimpinan Zaid bin Thabit, untuk mengumpulkan semua
potongan-potongan tertulis dari Al-Quran yang tersebar di seluruh komunitas
Muslim. Rencananya adalah untuk mengumpulkan mereka semua menjadi
satu buku utama yang bisa dilestarikan jika orang-orang yang hafal Al-Quran
meninggal dunia.6

6
Firas Alkhateeb, How Do We Know The Qur’an is Unchanged, (IslamiCity, 2018).
Zaid sangat teliti tentang siapa dia yang menerima ayat-ayat. Karena
tanggung jawab yang sangat besar untuk secara tidak sengaja mengubah kata-
kata Al-Quran, ia hanya menerima potongan perkamen dengan Al-Quran yang
harus ditulis di hadapan Nabi SAW dan harus ada dua saksi yang dapat
membuktikan hal itu. Pecahan-pecahan Al-Quran yang ia kumpulkan ini
masing-masing dibandingkan dengan Al-Quran yang dihafalkan itu sendiri,
memastikan bahwa tidak ada perbedaan antara versi tertulis dan lisan.

Ketika tugas itu selesai, sebuah buku final dari semua ayat disusun dan
disajikan kepada Abu Bakar, yang mengamankannya di arsip negara Muslim
muda di Madinah. Dapat diasumsikan dengan pasti bahwa salinan ini persis
dengan kata-kata yang diucapkan Muhammad SAW karena banyaknya
penghafal Al-Quran yang hadir di Madinah, ditambah dengan potongan-
potongan perkamen yang disebarluaskan di mana ia dicatat. Jika ada
perbedaan, orang-orang Madinah akan mengangkat masalah ini. Namun, tidak
ada catatan tentang oposisi terhadap proyek Abu Bakar atau hasilnya.

Selama kekhalifahan Utsman, dari 644 hingga 656, masalah baru tentang
Alquran muncul di komunitas Muslim: pelafalan. Selama kehidupan Nabi
SAW, Al-Quran diturunkan dalam tujuh dialek yang berbeda – qira‟ah.
Dialek-dialek sedikit berbeda dalam pengucapan huruf dan kata-kata tertentu,
tetapi arti keseluruhannya tidak berubah. Ketujuh dialek ini bukanlah inovasi
yang dibawa oleh korupsi Al-Quran di tahun-tahun kemudian, seperti yang
disebutkan oleh Nabi SAW sendiri, dan ada banyak ucapannya yang
menggambarkan keaslian ketujuh dialek yang dicatat dalam kompilasi hadits
Bukhari dan Muslim. Alasan terkait adanya dialek yang berbeda untuk Al-
Quran adalah untuk memudahkan suku-suku yang berbeda di sekitar
Semenanjung Arab dalam belajar dan memahaminya.

Selama pemerintahan Utsman, orang-orang yang datang ke dunia Muslim


di pinggirannya, di tempat-tempat seperti Persia, Azerbaijan, Armenia, dan
Afrika Utara mulai belajar Al-Quran. Suatu masalah muncul bagi mereka
ketika berbicara tentang pelafalan kata-kata, karena mereka akan mendengar
orang Arab yang berbeda mengucapkan ayat yang sama secara berbeda.
Meskipun pelafalan yang berbeda disetujui oleh Nabi SAW dan tidak ada
bahaya yang melekat pada orang-orang melafalkan dan mengajar mereka, itu
menyebabkan kebingungan di antara Muslim baru non-Arab.

Utsman menanggapi dengan menugaskan kelompok untuk berkumpul,


mengatur Al-Quran sesuai dengan dialek suku Quraisy (suku Nabi SAW), dan
menyebarkan dialek Quraisy ke semua bagian kekaisaran. Tim Utsman (yang
lagi-lagi termasuk Zaid bin Thabit) menyusun Al-Quran menjadi satu buku
(dikenal sebagai mus‟haf – dari kata untuk halaman, sahifa) berdasarkan pada
manuskrip tangan pertama bersama dengan ingatan para pengaji Al-Quran
terbaik Madinah. Mus‟haf ini kemudian dibandingkan dengan salinan yang
ditugaskan Abu Bakar, untuk memastikan tidak ada perbedaan. Utsman
kemudian memerintahkan sejumlah salinan mus‟haf yang akan dibuat, yang
dikirim ke provinsi-provinsi jauh di seluruh kekaisaran, bersama dengan
reciters yang akan mengajar massa Quran.

Dia kemudian memerintahkan agar pecahan-pecahan itu dihancurkan


sehingga tidak dapat digunakan di masa depan untuk menimbulkan
kebingungan di antara massa. Seluruh komunitas di Madinah, termasuk
sejumlah sahabat terkemuka seperti Ali ibn Abi Thalib, dengan rela mengikuti
rencana ini, dan tidak ada keberatan yang disuarakan. Jika dia menghilangkan
perbedaan yang sah, orang-orang Madinah pasti akan keberatan atau bahkan
memberontak terhadap Utsman, yang keduanya tidak terjadi. Sebagai
gantinya, mus‟haf Utsman diterima oleh seluruh komunitas sebagai otentik
dan benar.

Salah satu masalah yang paling mendesak di mata umat adalah


perlindungan kesucian Quran. Umat Islam diingatkan bahwa orang Yahudi
dan Kristen merusak teks mereka dari waktu ke waktu, yang sekarang tidak
dapat dianggap otentik. Akibatnya, Umat Muslim mengembangkan sistem
untuk memastikan bahwa Quran dan hadis tidak akan berubah oleh kesalahan
manusia, baik disengaja atau tidak disengaja.
Sistem yang dikembangkan dikenal sebagai sistem isnad. 7 Sistem isnad
menekankan pada sanad, dari perkataan tertentu. Misalnya, dalam kompilasi
hadits Bukhari, masing-masing hadits didahului oleh rantai perawi yang
beralih dari Bukhari kembali ke Nabi Muhammad SAW. Rantai ini dikenal
sebagai sanad. Untuk memastikan bahwa hadis itu otentik, setiap narator
dalam rantai itu harus diketahui dapat dipercaya, memiliki ingatan yang baik,
dapat dipercaya, dan memiliki sifat-sifat benar lainnya.

Komunitas Islam awal sangat menekankan sistem ini untuk menentukan


keaslian hadits serta ayat-ayat dari Quran. Jika seseorang mengklaim memiliki
sebuah ayat yang tidak ada dalam teks kanonik dari mus‟haf Utsman, para
ulama akan melihat rantai yang orang klaim kembalikan ke Nabi saw dan
ditentukan darinya jika ada kemungkinan bahwa itu adalah ayat. asli. Jelas,
siapa pun yang memalsukan ayat-ayat Al-Quran tidak akan dapat
menghubungkannya dengan Nabi SAW.

Sistem isnad dengan demikian bekerja untuk menjaga kesucian Quran dan
juga hadits, karena mencegah orang dari membuat klaim yang salah yang
kemudian dapat diterima sebagai fakta. Melalui fokus pada keandalan sanad,
keandalan ayat-ayat atau hadis itu sendiri dapat dipastikan. Zaid bin Thabit
menggunakan sistem proto-isnad dalam karyanya menyusun Al-Quran selama
kekhalifahan Abu Bakar, dan pertumbuhan sistem isnad pada dekade-dekade
berikutnya membantu melindungi teks agar tidak diubah dengan cara apa pun.

C. Autentisitas Al-Qur‟an Perspektif Syi‟ah

Al-Qur‟an merupakan Firman Allah Ta‟ala sebagai undang-undang yang


mengatur kemaslahatan umat manusia dan dijamin Allah tidak ada keraguan
di dalamnya. Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan
kepada para shahabat untuk menulis pesan Ilahi ini. Pada mulanya berbentuk
lembaran-lembaran bertuliskan ayat per-ayat. Kemudian disusun atas perintah

7
Firas Alkhateeb, How Do We Know The Qur’an is Unchanged, (IslamiCity, 2018).
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menjadi surah per-surah. Surah yang
berjumlah 114 ini disusun menjadi satu yang kemudian dinamakan mushaf.

Berdasar pemahaman seperti ini kemudian kaum Muslimin mayoritas


yakni Ahlussunnah meyakini bahwa kitab suci terakhir ini bersifat otentik
(asli). Wahyu Allah ini diyakini tidak mengalami perubahan sedikitpun
sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil.
Adapun sebagian ulama Syiah berpandangan bahwa Al-Qur‟an yang ada di
tangan umat Muslim sekarang ini mengalami perubahan. Menurut mereka hal
ini terjadi pada masa Abu Bakr dan Umar bin Khatthab.

Para ulama Syiah saling berdebat tentang keotentikan Al-Qur‟an. sebagian


besar ulama Syiahmengatakan bahwa Kitab Suci yang berada di tangan umat
Islam sudah tidak asli lagi. Ulama-ulama Syiah seperti Muhammad bin Hasan
al-Shafar, Al-„Ayashi, Al-Qummi, Al-Mufid, Al-Tabarshi, Al-Kulaini, Al-
Jazairi, dan masih banyak lagi menyatakan dalam karya mereka dan sepakat
bahwa Al-Qur‟an yang ada di tangan Sunni telah banyak mengalami
perubahan. Memang ada sebagian ulama Syiah yang mengingkari adanya
penyelewengan tersebut namun itu hanya taqiyyah saja. 8

Salah satu ulama besar Syiah, Al-Kulaini dalam kitabnya al-Kafi


mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Al-Qur‟an yang diturunkan oleh Jibril
kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam berjumlah 17.000
ayat.” (al–Kulaini, al-Kafi, juz 2 hlm. 634) Padahal, ayat Al-Qur‟an tidak
lebih dari 6.300 ayat. Ulama besar Syiah lain, Al-Majlisi mengatakan, “Dan
masih banyak lagi riwayat-riwayat sahih menjelaskan bahwa Al-Qur‟an telah
mengalami pengurangan dan perubahan…. Menolak riwayat ini berarti
menolak seluruh riwayat Ahlul Bayt.” (Al-Majlisi, Mir‟ah al-„Uqul, juz 12
hlm. 525)

8
Zaqy Dafa, Keaslian Al-Qur’an Menurut Syi’ah, ANNAS: Artikel Syiah Indonesia, 2017.
Penyelewengan Al-Qur‟an merupakan suatu yang urgen dalam akidah
Syiah karena kebutuhan mereka dalam mendukung madzhabnya. Ada tiga
faktor mengapa Syiah beranggapan Al-Qur‟an yang berada di tangan umat
Islam telah mengalami tahrif.9

1. Pertama, tidak adanya penyebutan Imamah di dalamnya yang merupakan


dasar agama mereka. Imamah merupakan keyakinan yang paling urgen
bagi Syiah. Siapa yang tidak meyakininya dan bahkan mengingkarinya
maka ia telah menjadi kafir. Al-Kulaini mengatakan bahwa bahwa wilayah
Ali tertulis pada setiap suhuf para Nabi, lebih-lebih di dalam Al-Qur‟an.
Allah tidak sekali-kali mengutus para Rasul kecuali dengan nubuwwah
(kenabian) dan wasiat Ali. (Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 437) Namun
untuk membuktikan hal tersebut mereka mengalami kesulitan. Cara paling
mudah yaitu menuduh bahwa Al-Qur‟an dirubah dan ayatnya banyak yang
dihapus.

2. Kedua, dalam Al-Qur‟an terdapat pujian dan dukungan terhadap shahabat-


shahabat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Jelas hal ini
bertentangan dengan akidah Syiah yang selalu mencela para shahabat
seperti Abu Bakr, Umar, dan Utsman.

Untuk meyakinkan hal tersebut, Syiah menuduh bahwa shahabat telah


mengubah ayat Al-Qur‟an, diantaranya surah Fushshilat ayat 6.

َ ‫الل َذ ْين َأ‬


َ‫ض ََّّل َها م َن ْالج ّن َو ْْلا ْوس َه ْج َع ْل ُه َما َت ْحت‬ َّ َ َ َ َّ َ ُ َ َ َ َّ َ َ َ
‫وقال ال ِذين كفزوا ربىا أ ِرها‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َْ َ ُ َْ
‫أق َد ِام َىا ِل َيكىها ِم َن ْلا ْس َف ِل َين‬

“Dan orang-orang kafir berkata: “Ya Rabb kami perlihatkanlah kepada


kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami (yaitu) sebagian dari
jinn dan manusia agar kami letakkan keduanya di bawah telapak kaki kami

9
Zaqy Dafa, Keaslian Al-Qur’an Menurut Syi’ah, ANNAS: Artikel Syiah Indonesia, 2017.
supaya kedua jenis itu menjadi orang-orang yang hina.” (QS. Fushshilat:
29)

Al-Majlisi mengatakan yang dimaksud “huma (keduanya)” dalam ayat


diatas adalah Abu Bakr dan Umar (yaitu dua setan). (Al-Majlisi, Mir‟ah
al-„Uqul, juz 26 hlm. 488)

Contoh lain adalah surah al-Baqarah ayat 23:

ُ ُ ْ َ ‫َوإ ْن ُك ْى ُت ْم في َرْيب م َّما َه َّزْل َىا َع َلى َع ْب ِد َها َف ْأ ُتىا ب ُس‬


‫ىر ٍة ِم ْن ِمث ِل ِه َو ْاد ُعىا ش َه َد َاءك ْم‬ ِ ِ ٍ ِ ِ
َ ‫م ْن ُدون ََّّللا إ ْن ُك ْى ُت ْم‬
‫ص ِاد ِق َين‬ ِ ِ ِ ِ

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami
wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja)
yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Al-Kulaini dari Abu Ja‟far berkata tentang ayat diatas: Seperti inilah
diturunkan Jibril ayat ini, “Jika kamu dalam keraguan atas apa yang telah
Kami turunkan atas hamba Kami tentang Ali maka datangkanlah satu
surah semisalnya.” (Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 412) Masih banyak lagi
contoh dalam Al-Qur‟an yang menurut mereka telah di-tahrif, baik di
dalam surah Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Maidah, Al-An‟am, Al-A‟raf,
Bara‟ah, Ar-Ra‟d, Al-Kahfi, Thaha, Al-Furqan, Al-Qadr, dan lainnya.10

3. Ketiga, dalam Al-Qur‟an tidak terdapat keutamaan-keutamaan Imam dan


ziarah ke kuburan mereka. Dalam kitab al-Kafi dan Bihar al-Anwar
banyak terdapat keutamaan para Imam yang tidak ada dalam Al-Qur‟an,
seperti para Imam mengetahui kapan mereka akan mati dan tidak akan

10
Ade Jamarudin, KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI TAFSIR PERGERAKAN SYI’AH: Analisis Tafsir Min
Waḥy Al-Qur’ān Karya Muḥammad Ḥusain Faḍlullāh, (Riau : Jurnal Suhuf Vol. 13 No. 1, 2020), hal.
169.
mati kecuali mereka menginginkannya. (Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, juz 1
hlm. 258)

Lalu siapa yang telah mengubah Al-Qur‟an versi Syiah? Dalam hal ini
yang paling tidak mereka sukai adalah Abu Bakr, Umar, dan Utsman karena
mereka yang paling berperan dalam mengumpulkan Al-Qur‟an. Ulama Syiah
Muhammad Taqi al-Kashani mengungkapkan bahwa ketika Utsman
mengumpulkan Al-Qur‟an, ia menghapus ayat-ayat manaqib (sifat-sifat baik)
Ahlul Bayt. Diriwayatkan Utsman telah menghapus tiga perkara: manaqib
Amirul Mukminin (Ali), manaqib Ahlul Bayt, dan keburukan suku Quraisy.
(Ihsan Ilahi Zahir, al-Syiah wa Al-Qur‟an… hlm. 94)

Dari sinilah akhirnya Syiah mengklaim adanya mushaf tandingan. Dalam


akidah Syiah, Al-Qur‟an yang orisinil adalah Mushaf Fatimah. Syiah
beranggapan bahwa mushaf ini turun setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam wafat. Dijelaskan dalam suatu riwayat dalam al-Kafi, “Sesungguhnya
setelah Allah mengangkat (wafat) Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, Fatimah
dirundung duka dan kesedihan. Tidak ada yang tahu satupun kecuali Allah
Ta‟ala. Kemudian Allah mengirim kepadanya Malaikat untuk menghibur dan
meringankan kesedihannya. Lalu Fatimah mengadu kepada Ali. Ali pun
berseru, “Apabila engkau merasakan dan mendengar suara maka sampaikan
padaku.” Amirul Mukminin Ali mulai menulis semua yang didengarnya
sampai menjadi suatu mushaf. Tidak terdapat di dalamnya halal dan haram,
akan tetapi ilmu tentang sesuatu yang akan terjadi.” (Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1
hlm. 240)

Syiah menjadikan mushaf ini untuk mengetahui sesuatu yang ghaib dan
yang akan terjadi. Ulama Syiah, Abu Abdillah berkata, “Nanti akan keluar
kafir zindik pada tahun 128 H, dan kabar itu aku melihatnya di Mushaf
Fatimah.” (al-Kafi, juz 1 hlm. 240) Faktanya, pada tahun 128 H tidak terjadi
peristiwa besar apa pun kecuali terbunuhnya Jahm bin Shafwan, pemimpin
orang-orang sesat.
Selain Mushaf Fatimah, juga ada kitab al-Jami‟ah. Al-Majlisi
meriwayatkan bahwa sesungguhnya ilmu syariah terdapat dalam kitab al-
Jami‟ah, bukan Mushaf Fatimah. Dikatakan juga sesungguhnya mereka
mempunyai shahifah yang di dalamnya menerangkan halal dan haram. (Bihar
al-Anwar, juz 26 hlm. 23)

Tetapi ada juga yang menyangkal Mushaf Fatimah sebagai kitab yang
berisi ilmu untuk mengetahui tentang sesuatu yang akan terjadi. Yang benar
adalah kitab al-Jafr yang dibuat oleh Jibril dan Mikail yang isinya sampai-
sampai mengetahui apa yang terjadi di udara. (Bihar al-Anwar, juz 26 hlm.
19)

Tampak dari penjelasan-penjelasan diatas, ternyata ulama-ulama Syiah


tidak mempunyai suara yang bulat mengenai kebenaran Mushaf Fatimah.
Selanjutnya, jika kita yang ditulis Ali itu berasal dari Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam, mengapa ia menyembunyikannya dari umatnya? Padahal
Allah Ta‟ala memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan kepada manusia
semua yang diturunkan kepadanya. (QS. Al-Nisa: 82).

Hal yang perlu menjadi catatan, bahwa dari pemaparan diatas, kitab-kitab
samawi Syiah tersebut tidak pernah muncul ke permukaan. Semuanya hanya
sekedar fiktif belaka. Orang Syiah beranggapan bahwa al-Quran tak lagi
orisinal, dan telah mengalami perubahan. Menurut mereka, al-Quran yang
benar adalah yang disimpan oleh Sayidina Ali. Mereka beranggapan bahwa,
Sayidina Ali pernah memperlihatkan al-Quran yang asli hanya sekali saja
setelah itu beliau menyembunyikannya. Sebalum wafat, beliau sempat
menyerahkan mushaf itu ke Sayidina Hasan. Oleh Sayidina Hasan kemudian
mushaf itu diberikan kepada Sayidina Husain, demikian seterusnya hingga
anak-cucu beliau dan sampai ke tangan Imam Mahdi yang kemudian
menghilang.

Syiah juga menyatakan bahwa mereka sedang menanti munculnya mushaf


yang asli, yang ukurannya lebih besar tiga kali lipat dari al-Quran kaum pada
umumnya. Mereka berkeyakinan bahwa kelak, Imam mahdi akan muncul dari
persembunyannya dan akan membawa al-Quran yang isinya meliputi kitab
suci para nabi, dari nabi Adam hingga Nabi Muhammad.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam pandangan Ahlusunah wal Jamaah, Al-Qur‟an adalah kitab


suci umat Islam, yang menjadi acuan paling utama dengan segala sesuatu
yang berkaitan dengan mereka baik dalam masalah dunia maupun akhirat.
Al-Qur‟an juga dijadikan sebagai pedoman utama. Karenanya, Al-Quran
selalu dibaca, dipelajari dan juga diamalkan. Sehingga, ajaran Al-Qur‟an
benar-benar melekat dibenak masyarkat muslim. Baik arti (maknan)
maupun redaksinya (mabnan) maka Al-Qur‟an yang di wahyukan kepada
Nabi Muhammad yang selanjutnya beliau sampaikan kepada para sahabat
memang benar-benar terpelihara orisinalitasnya. Sebab upaya penjagaan
yang luar biasa dari para sahabat.

Sedangkan dalam pandagan orang Syiah beranggapan bahwa al-


Quran tak lagi orisinal, dan telah mengalami perubahan. Menurut mereka,
al-Quran yang benar adalah yang disimpan oleh Sayidina Ali. Mereka
beranggapan bahwa, Sayidina Ali pernah memperlihatkan al-Quran yang
asli hanya sekali saja setelah itu beliau menyembunyikannya. Sebalum
wafat, beliau sempat menyerahkan mushaf itu ke Sayidina Hasan. Oleh
Sayidina Hasan kemudian mushaf itu diberikan kepada Sayidina Husain,
demikian seterusnya hingga anak-cucu beliau dan sampai ke tangan Imam
Mahdi yang kemudian menghilang.

B. Saran

Kami sebagai penulis sangat menyadari bahwa makalah yang kami


tulis banyak kesalahan dan masih belum sempurna. Penulis akan berusaha
membuat makalah tersebut menjadi lebih baik lagi dengan berpedoman
pada berbagai sumber yang tentunya bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Kami harap para pembaca dapat memahami materi yang
telah kami paparkan di dalam makalah ini. Sehingga pengetahuan yang
sudah didapat tersebut kemudian dapat diaplikasikan dengan baik dan
benar, serta dapat disebarkan kepada yang lain agar ilmu tersebut barokah,
aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Alkhateeb, Firas. 2018. How Do We Know The Qur‟an is Unchanged. IslamiCity.

Dafa, Zaqy. 2017. Keaslian Al-Qur‟an Menurut Syi‟ah. ANNAS: Artikel Syiah
Indonesia.

Fahrizi, Nur dan Zubir, Muhammad. 2022. Historitas dan Otentisitas Al-Qur‟an
(Studi Komparatif Antara Arthur Jeffery dengan Manna‟ Al-Qathan).
Bukit Tinggi : Journal of Quran and Tafseer Studies Vol.1 No.2. hal. 191.

Jamarudin, Ade.2020. KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI TAFSIR


PERGERAKAN SYI‟AH: Analisis Tafsir Min Waḥy Al-Qur’ān Karya
Muḥammad Ḥusain Faḍlullāh. Riau : Jurnal Suhuf Vol. 13 No. 1. hal. 169.

KBBI

Ulfiana. 2019. Otentisitas Al-Qur‟an Perspektif John Wansbrough. Jombong :


USHULUNA: Jurnal Ilmu Ushuluddin Vol.5 No.2. hal. 92.

Zubairin, Achmad. 2020. Upaya Pembuktian Otentisitas Al-Qur‟an Melalui


Pendekatan Sastra (Tafsir Adabiy). Tangerang : Jurnal Asy-Syukriyyah
Vol. 21 No. 1. hal. 38.

Anda mungkin juga menyukai