Anda di halaman 1dari 7

Sunnah dan 

Kehujjahannya dalam Syariat Islam

Kehujjahan secara Umum

Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifat ijmaly (global)


dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci).
Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-
penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup
manusia. NabiMuhammad SAW sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan
otoritas untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang
bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung
amalan praktis.
Para ulama telah sepakat bahwa Hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyah wajib
ditaati sebagaimana posisi al-Quran di dalam pengambilan suatu hukum
syariat (itsbat al-Hukum), al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam[1],
dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam al-Quran, ijma’, dan
Filsafat (pemikiran para ulama’)[2].

Allah berfirman dalam Surat an-Nahl ayat 44;

Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan


pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.

Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk


menjelaskan al Quran itu. Bahkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an-
Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban ummat Islam untuk
mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh Rasulullah.

Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr 7).

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah


mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ 80).

Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima Hadits sebagai landasan


(dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak Hadits
sebagai sumber syari’at setelah al-Quran. Mereka berasumsi bahwa :

1. Cukuplah al-Quran saja sebagai dasar  tasyri’[5].

Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allahdalam Surat An-


Nahl 89 yang berbunyi;
a. Firman Allah SWT

‫وما من دآبة فى األ رض وال طير يطير بجناحيه إال أمم أمثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيئ ثم إلى ربهم يخشرون‬
Artinya : "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah
kami alpakan sesuatu dalam al-Kitab (al-Qur'an), dan kepada tuhanlah mereka
dihimpun". (QS. al-An'am : 38)

Dan ayat berikut :


Artinya : Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.

Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa al-Quran


itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan
penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi
yang lain, seperti Hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam al-Quran
masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat,  dan kemudian dimentahkan
oleh pendapat para Jumhur Ulama’; Al-Quran memuat dasar-dasar agama dan
kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah
diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw.
Karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada
manusia  tentang hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran.Oleh karena itu, maka
penjelasan Rasulullah Saw tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama
halnya dengan penjelasan al-Quran itu sendiri.  

2. Sesungguhnya Allah menjaga al-Qur'an dan tidak menjaga Sunnah.

Hal ini mereka dasarkan kepada firman Allah dalam surah Al-Hijr : 9

‫إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون‬

Artinya : "Sesungguhnya kamilah yang menurukan al-Qur'an, dan sesungguhnya


kami memeliharanya". (QS. Al-Hijr : 9)

Jadi tidak terdapat garansi tentang kebenaran dan kemurnian hadits (sunnah).

Pendapat mereka ini dibantah oleh para Ulama lainnya bahwa pemeliharaan
Allah terhadap al-Qur'an mencakup pemeliharaan sunnah. Hal ini didasarkan pada
keberadaan sunnah sebagai perincian dari ayat al-Qur'an maka secara otomatis
pemeliharaan mencakup pemeliharaan keduanya.

3. Larangan penulisan hadits

Argument selanjutnya yaitu andaikata Hadits itu sebagai hujjah, niscaya


Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan
Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan Hadits, demi untuk memelihara agar
tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin
secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan
dalam berhujjah.[6] 
Mereka beralasan dengan terdapatnya perintah Nabi SAW kepada beberapa orang
sahabat untuk menulis al-Qur'an yang dikenal dengan para penulis wahyu
sedangkan Nabi SAW melarang penulisan hadits dengan menyatakan janganlah
kamu menulis sesuatu selain al-Qur'an.
Jawaban terhadap argument mereka ini : Periode penulisan hadis. Memang
Nabi SAW melarang penulisan hadis pada masa beliau karena kemampuan baca
tulis masyarakat muslim tatkala itu sangat lemah sehingga dikhawatirkan salah.
Tetapi Nabi SAW juga telah memberikan perintah kepada beberapa sahabat tertentu
untuk menulis hadits dan menyampaikannya dengan hati-hati agar tidak bercampur
dengan al-Qur'an, diantara sahabat yang diizinkan menulis hadits ialah Abdullah bin
'Amr.

Tidak adanya perintah menulis Hadits dan melarang menulisnya,


sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan
kehujjahan Hadits.

Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis al-
Quran dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan
bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya
Hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari
orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya.
Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan
dari tulisan.[7]

4. Kemungkinan pemalsuan dalam hadits yang begitu besar

bahkan terdapat hadits yang dhoif dan tidak dapat dijadikan landasan penetapan
hukum dan argumentasi, serta sulit membedakan antara hadits
yang shohih dan dhoif.

Jawaban terhadap argument ini :

Kontribusi para ulama dalam melayani hadis/sunnah dan pemurniannya.


Banyak hal dilakukan oleh ulama sunnah dalam melawan pendusta hadits dengan
berbagai argumentasi serta menetapkan berbagai persyaratan dan criteria bagi
hadits dari berbagai aspek yang dikemudian hari hal ini dijadikan sebuah ilmu yaitu
ilmu mustholhul hadits yang mencakup sembilan puluh disiplin ilmu dalam hadits.

5. Kritik matan.

Meski ulama hadits telah menyeleksi sunnah dari hadits-hadits maudhui tetapi
belum menyeluruh pada sanad hadits dan matannya. Seleksi baru dilakukan pada
bagian luarnya saja sehingga banyak hadits yang bertentangan dengan akal pikiran.

6. Rasul manusia biasa

Sesungguhnya sunnah mencakup apa yang dikatakan oleh Nabi SAW


sebagai manusia biasa dan perbuatan duniawinya atau sebagai pemimpin atau
qadhi, maka bagaimana mungkin hal ini dijadikan satu ajaran agama secara umum
untuk umatnya hingga hari kiamat kelak.

Kehujjahan Secara Khusus


Kebanyakan ulama Hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi kuantitas
sanad, Hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu; Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Namun
menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiyah, Hadits itu terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad[3].
Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan HaditsMutawatir, namun
mereka berselisih  pendapat dalam hal kehujjahan Hadits ahad, yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai
derajat mutawatir.[4] 
            

B.     FUNGSI HADIS/SUNAH TERHADAP al-Qur'an


Hadis sebagai penafsir ayat al-Qur'an

Hadis memiliki berbagai peranan yang penting terhadap al-Qur'an. Diantaranya


hadis memberikan  penafsiran terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur'an jika
memang tidak terdapat penjelasan yang lebih detail dalam al-Qur'an tentang sebuah
ayat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pengantar buku Usul at-Tafsir berkata :

"Sesungguhnya cara menafsiri al-Qur'an yang paling tepat ialah menafsirkan al-
Qur'an dengan al-Qur'an. Sesuatu yang disebutkan secara umum pada satu tempat
dirinci pada tempat yang lain, dan sesuatu yang disebutkan secara singkat pada
satu tempat disebutkan secara panjang lebar pada tempat yang lain.

Apabila tidak mendapatkan penafsirannya dalam al-Qur'an maka tafsirkanlah


dengan hadis Nabi SAW karena sesungguhnya dia memberikan penjelasan
terhadap al-Qur'an. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa setiap hukum yang
ditetapkan oleh Rosulullah SAW merupakan pemahaman yang berasal dari al-
Qur'an. Allah berfirman

‫إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أرك هللا وال تكن للخآئنين خصيما‬

Artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili diantara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah) karena (membela) orang-orang khianat". (QS. an-Nisa' : 105)

Dan firman Allah :

‫وما أنزلنا عليك الكتاب إال لتبين لهم الذى اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يؤمنون‬
Artinya : "Dan kami tidak menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". (QS. an-Nahl : 64).

As-Sunnah memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan al-Qur'an,


diantaranya :

1. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal). Misalnya


ayat-ayat yang menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam al-Qur'an
disebutkan secara global. Dan sunnah menjelaskan secara rinci mulai dari syarat,
rukun, waktu pelaksanaan dan lain-lain yang secara rinci dan jelas mengenai
tatacara pelaksanaan ibadah shalat, zakat dan haji.

2. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum ('am) yang disebutkan dalam al-
Qur'an. Seperti firman Allah an-Nisa' : 11. Ayat tentang waris tersebut bersifat umum
untuk semua bapak dan anak, tetapi terdapat pengecualian yakni bagi orang (ahli
waris) yang membunuh dan berbeda agama sesuai dengan hadits Nabi SAW.
"Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak boleh
mewarisi harta orang muslim" (HR. Jama'ah). Dan hadits "Pembunuh tidak mewarisi
harta orang yang dibunuh sedikit pun" (HR. Nasa'i).

3. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang mutlak dalam ayat-ayat al-Qur'an.


Seperti al-Maidah 38

‫والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكال من هللا وهللا عزيز حكيم‬

Artinya : "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-
Maidah : 38).

Ayat di atas dibatasi dengan sabda Nabi SAW : "Potong tangan itu untukseperempat
dinar atau lebih". Dengan demikian hukuman potong tangan bagi yang mencuri
seperempat dinar atau lebih saja.

4. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an.


Misalnya al-Hajj : 30.

... ‫واجتنبوا قول الزور‬

Artinya : "… Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". QS. Al-Hajj : 30).

Kemudian Rosulullah SAW menguatkannya dalam sabdanya : "Perhatikan! Aku


akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut
kami : "Baiklah hai Rasulullah". Beliau meneruskan sabdanya : "1. Musyrik kepada
Allah SWT. 2. Menyakiti orang tua". Saat itu Rosulullah sedang bersandar, tiba-tiba
duduk seraya bersabda lagi : "Awas berkata (bersaksi) palsu". (HR. Bukhori Muslim)
5. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an. Misalnya di
dalam al-Qur'an tidak terdapat larangan untuk memadu seorang perempuan dengan
bibinya, larangan terdapat dalam hadits yang berbunyi : "Tidak boleh seseorang
memadu seorang perempuan dengan 'ammah (saudari bapak)nya dan seorang
perempuan dengan khalah (saudara ibu)nya". (HR. Bukhori dan Muslim).

Selain yang tersebut diatas, fungsi hadis/sunah terhadap al-Qur’an adalah sebagai
berikut:

a.       Membuat hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini
hukum-hukum atau aturan itu hanya berasaskan sunnah/hadits semata-mata.
Contohnya larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena ia
dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:

‫إن هللا حرم من الرضاعة ما حرم من النسب –متفق عليه‬-

“Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan,


sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (riwayat
Bukhari-Muslim), serta hadits tentang kehalalan janin ikan yang ada dalam perut
induknya yang disembelih dengan halal, dan seperti juga halalnya bangkai ikan laut.

b.      Mengubah ketetapan hukum dalam Al-Qur'an. Contohnya adalah ayat 180 Surat
Al Baqoroh yang menjelaskan tentang kewajiban berwasiat. Kemudian diubah
dengan hadits yang berbunyi: ‫ال وص……………ية ل……………وارث‬.  Hadits (as-Sunnah) sebagai
penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan al Quran, (Hal ini menurut pendapat
yang membolehkanpenasakhan al Quran dengan as-Sunah)[11].

Contoh :
)‫الوصية لوارث (رواه الترميذي‬
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris)
yang ditetapkan oleh al Quran surat al Baqoroh 180 yaitu:
‫كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت ان ترك خيراً الوصية للوالدين واالقربين بالمعروف حقا على المتقين‬

Menurut sebagian ulama ayat ini sudah dinasakh. Ada yang mengatakan bahwa
ayat ini dinasakh dengan hadits yang tersebut di atas. Akan tetapi ada pula sebagian
ulama yang berpendapat bahwa ayat ini masih tetap “muhkamah”, artinya masih
tetap berlaku. Antara lain pendapat seorang mufassir yang terkenal bernama Abu
Muslim Al-Asfahany.

Menurut ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat syariat
menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan
yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir dipandang
lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ini menurut ulama yang menganggap
adanya fungsi bayan naskh. Kelompok ini adalah golongan Muktazilah, Hanafiyah,
dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri. Hanya saja muktazilah membatasi fungsi naskh
ini hanya berlaku untuk hadits–hadits yang mutawatir. Sementara golongan
hanafiyah tidak mensyaratkan hadits mutawatir bahkan hadits masyhur yang
merupakan hadits ahad pun bias menasakh hukum sebagian ayat Al Qur’an. Bahkan
Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah meskipun dengan
hadits ahad.

Sedangkan yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar
pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain
yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Dzahiriyah dan kelompok
Khawarij. Menurut As-Syafi’i sunnah/hadis tidak dapat menaskh Al Qur’an. Hanya
saja sunnah/hadis itu menjelaskan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab naskh itu
membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan dalil mana yang
datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal ini adalah dari Nabi sendiri.

=========================================================

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, bin Alwy al maliky. 1982. Al Manhal Al Latif fi Ushul Al Hadits As Syarif.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT.
Alma’arif       Bandung.
Al-Khatib, Muhammad Hajjaj. 1989. Ushul Hadits. Beirut: Dar el-Fikr.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Shalih, Subhi. 1997. Ushul Hadits. Beirut: Darul ‘Ilmi.

[1] Subhi Shalih. 1997. Ushul Hadits. Beirut: Darul ‘Ilmi. Hlm, 3.


[2] Wahbah al-Zuhaily. 1990. Ushul Fiqh. Kulliyyah al-Da’wah al-Mansyurah.
Hlm, 36.
[3] Muhammad Hajjaj Al-Khatib. 1989. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar el-Fikr.
Hlm, 301.
[4] Rahmat Syafe’i. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. Hlm, 60.
[5] Muhammad Hajjaj Al-Khatib. Op, cit.. Hlm, 302
[6] Fatchur Rahman. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT.
Alma’arif Bandung. Hlm, 63.
[7] Ibid. Hlm, 63-64.
[8]Rahmat Syafe’i. Op. Cit. Hlm, 66.
[9] Al-Maktabah Al-Syamilah, Al-Quran dan terjemahannya.
[10] Muhammad bin Alwy al Maliky. 1982. Al Manhal A- Latif fi Ushul Al-
Hadits Al-Syarif. Hlm, 13.
[11] Muhammad bin Alwy al Maliky. Op. Cit. Hlm, 14-15.

Anda mungkin juga menyukai